Pra
keberangkatan
Masa liburan belum selesai, tapi aku
memutuskan kembali lebih cepat ke ujung timur pulau Jawa. Karena apa lagi kalo
bukan untuk kembali mengerjakan skripsi agar lulus secepatnya. Perjalanan ke
tanah Jawa kali ini aku lakukan dengan melalui jalur darat menggunakan Bus.
Tiket pesawat paling murah harganya 1,7 Juta. Sementara jika menggunakan bus
hanya 500k untuk perjalanan dari Solok-Solo. Kemudian dilanjut dengan bus
lainnya menuju Surabaya dengan biaya 90k. anggaplah untuk biaya makan sebesar
100k, maka jika di total biayanya hanya 690k. Selisih sekitar 1 juta-an
dibanding menggunakan pesawat. Selisih 1 juta ini bisa aku gunakan untuk biaya
kos selama 2 bulan yang belum aku bayar karena sedang berada di kampung halaman.
Ide menggunakan bus ini dicetuskan
oleh om Iwan, anak angkat Oma yang berasal dari Jawa. Dia sudah terbiasa pulang
balik Solok-Cikuning dengan menggunakan bus dan dia mendapat info bahwa bus
Family Raya melayani rute Solok-Solo. Family Raya merupakan bus asal Jambi
(atau mungkin Padang) yang kantor pusatnya ada di Jambi. Dibanding bus ANS atau
NPM yang juga melayani rute Sumatera-Jawa, nama bus Family Raya bagiku cukup
asing didengar. Awalnya papa enggan aku naik Bus. Mama pun begitu, Mengingat
jauhnya perjalanan dan kondisi Bus yang mungkin tidak layak. Mama memberitahu
bahwa beberapa waktu yang lalu di depan kantornya ada bus Family Raya jurusan
Padang-Jakarta yang mogok. Namun om Iwan meyakinkan bahwa kondisi bus Family
Raya bagus dan nyaman. Aku pribadi cenderung ingin menggunakan Bus untuk
kembali ke Surabaya. Alasan utamanya karena biayanya yang jauh lebih murah.
Alasan lainnya karena aku bisa melalui kota-kota di sepanjang Sumatera hingga
ujung Jawa. Setelah aku meyakinkan orang tuaku bahwa aku tidak apa-apa jika
naik Bus, maka orang tuaku pun membolehkan. Walaupun sampai mendekati hari
keberangkatan mereka masih terus memintaku untuk memantau harga tiket pesawat,
barangkali telah turun.
Setelah sepakat menggunakan bus maka
aku dan orang tuaku menuju PO bus Family Raya di Solok. Kepada kami pegawainya
memberitahu bahwa harga tiket sebesar 650k. lebih mahal dari dugaan kami. Kami
memutuskan untuk tidak memesan dulu dan hanya memastikan bahwa untuk tanggal 14
Juli ada bus yang tersedia menuju Solo. Karena PO bus Family Raya yang di Solok
ini bukan agen resmi, maka mereka tidak bisa menjual tiket. Mereka harus
memastikan terlebih dahulu kepada agen resmi di Padang. Hari selanjutnya pun
kami masih sempat kembali ke PO Solok untuk melihat kondisi bus Family Raya.
Namun karena busnya tidak kunjung lewat, kami memutuskan untuk langsung ke PO
bus Family Raya di Padang pada keesokan harinya.
Di PO bus Family Raya Padang kami
diberitahu bahwa harga tiket hanya 500k, berbeda dari harga tiket di PO Solok.
Setelah melihat kondisi bus rute Padang-Jambi kami memutuskan untuk memesan
tiket untuk keberangkatanku. Katanya kondisi bus rute Padang-Solo tidak jauh
beda dengan rute Padang-Jambi. Rute Padang-Solo ini nanti juga akan lewat
Solok, jadi aku memutuskan untuk naik di Solok saja. Pihak bus menyampaikan
bahwa aku akan tiba di Solo pada hari Selasa pukul 9 malam. Aku mendapat tempat
duduk di nomor 6, kursi kedua dari depan bagian sebelah kiri. Terlalu ke depan
menurutku. Kata mereka itu satu-satunya kusi yang tersisa.
Hari
1
Hari Minggu tanggal 14 Juli pukul
13:30 bus tiba di Solok dan aku segera naik. Ternyata kondisi bus tidak sebagus
yang aku bayangkan. Bus yang terlihat tua, jarak antar kursi yang sempit, tidak
ada bantal dan selimut, dan yang paling parah tidak ada tempat untuk mengisi
ulang baterai hp bahkan di kursi sopir sekalipun. Tapi ya sudahlah aku sudah
terlanjur berada diatas bus dan kondisi busnya juga tidak terlalu buruk untuk
membuatku enggan menggunakannya. Sebenarnya jika bus ANS atau NPM melayani rute
Solok-Solo maka aku akan memilih bus mereka. Namun karena hanya bus Family Raya
yang melayani rute tersebut maka aku memutuskan menggunakan jasa mereka.
Pemberhentian atau istirahat bus
pertama belum jauh dari kota Solok. Disana sopir bus meminta penumpang untuk
sholat dan menjamaknya sekalian. Atau jika ada yang ingin membeli oleh-oleh
silakan. Oh ya, yang aku salut di tape bus yang diputar adalah ceramah agama.
Kalau tidak salah dengar penceramahnya adalah Zainuddin MZ. Jarang-jarang aku
lihat ada bus yang memutar ceramah agama. Nilai plus tersendiri bagiku. Aku
memutuskan untuk menunggu di bus karena telah menjamak sholat sebelumnya. Tak
lama bus kembali berjalan. Rasa kagumku berakhir ketika tape memutar lagu
Minang. Ternyata ceramah agama hanya diawal saja.
Teman sebangkuku adalah Bapak paruh
baya dengan rambut yang mulai memutih. Dia awalnya duduk di kursiku. Begitu aku
naik dia pindah ke kursinya yang berada di sebelahku. Ternyata alasannya pindah
karena sandaran kursi penumpang di depannya (kita sebut penumpang A) terlalu
diturunkan sehingga menghalangi kaki beliau. Jika aku masih seorang idealis
seperti dulu maka aku akan langsung menegur ibu-ibu di depan agar menaikkan
sandaran kursinya. Namun sekarang aku adalah seorang opportunis. Aku belum
terlalu mengenal si bapak dan aku juga tidak punya kepentingan untuk membela
beliau. Aku lihat ibu di depan juga membawa bayi, mungkin itu alasan sandaran
kursinya diturunkan supaya lebih mudah menggendong si bayi. Ternyata tak lama
kemudian sopir memberitahu bahwa sandaran kurisnya rusak makanya turun begitu.
Tapi dari yang kulihat masih bisa dinaikkan walaupun akan turun lagi. Jika ibu
di depan punya rasa belas kasihan pasti dia akan menaikkan sandaran kursinya
setiap sandaran kursi itu turun terlalu jauh. Si ibu ini pergi bersama suaminya
yang duduk disebelahnya. Si suami juga terkadang merasa kasihan dengan si bapak
yang di sebelahku dan berinisiatif menaikkan sandaran kursi sesekali.
Pemberhentian atau istirahat kedua
adalah menjelang maghrib di daerah Gunung Medan. Entah kenapa namanya Gunung
Medan padahal letaknya bukan di Medan. Disini aku memakan nasi bungkus
pertamaku yang aku bawa dari rumah. Ikan bilih dan sambel pedasnya enak.
Padahal aku mengira nasi yang dibungkus dari rumah tidak akan enak. Ternyata si
Bapak disebelahku juga makan nasi bungkus dan dia tidak sendiri. Dia pergi
bersama keluarganya. Beliau mendaftarkan anak perempuannya yang diterima di UGM
jurusan Fisika melalui jalur undangan. Ikut bersamanya sang istri dan satu anak
lelakinya yang duduk di kelas 5 SD. Si anak bolos dan ikut menemani kakaknya.
Keluarganya terpisah duduk di bangku bagian belakang.
Sekitar pukul 18:45 bus kembali
melaju. Si bapak disebelahku (sampai akhir aku tdiak tau namanya karena sangat
jarang yang bertanya nama di dalam perjalanan dengan orang asing untuk
menghindari informasi pribadi tersebar) pindah ke bagian belakang. Kebetulan
masih ada kursi yang kosong tak jauh dari keluarganya. Alhasil, aku bisa
selonjoran dan tidur cukup nyaman karena
bangku di sebelahku kosong. Karena aku tidak tau kapan dan dimana bus
ini akan berhenti lagi, aku memutuskan sholat maghrib di bus. Debu di kursi
penumpang aku jadikan alat untuk tayamum. Setelah itu aku mengecek HP. Masih
ada signal dan aku memutuskan mendengar beberapa track lagu Hanin Dhiya untuk
mengusir bosan. Kemudian aku memutuskan untuk tidur.
Tak lama aku terbangun karena bus
berhenti di suatu tempat yang ternyata adalah PO Family Raya. Aku mengecek HP,
kalau tidak salah ingat waktu menunjukkan pukul 10 malam. Lalu aku mengecek
google map, tempat yang muncul di peta adalah Bangko, tak jauh dari kota Jambi.
Aku teringat Bangko adalah tempat tinggal temanku yang berkuliah di psikologi
UNP. Aku tak tau apakah PO Bangko adalah kantor pusat Family Raya atau bukan.
Tempatnya lumayan luas dan ada minimarket sendiri dengan merek Family Raya. Di
seberang jalan aku melihat Indomaret. Yah, kita telah berada di luar Sumbar.
Karena di Sumbar tidak ada Indomaret ataupun Alfamart disebabkan larangan oleh pemerintah
provinsi supaya tidak merugikan usaha kecil anak negeri. Aku kemudian membeli
minyak rambut yang lupa aku bawa. Lalu menuju musholla untuk menjamak sholat
maghrib dan isya.
Aku tak tau pukul berapa tepatnya,
tapi kemudian bus berangkat. Aku kembali tidur sampai kemudian terbangun karena
ada penumpang yang naik. Disana timbul perselisihan karena bapak yang
disebelahku tidak mau pindah kembali ke tempat duduknya. Pak sopir kemudian
meminta aku bertukar tempat dengan penumpang yang baru naik, namun aku menolaknya.
Aku menyarankan si penumpang baru untuk duduk di sebelahku, namun akhirnya pak
sopir kembali meminta si bapak untuk kembali duduk di sebelahku. Si bapak
akhirnya menerima dan perjalanan dilanjutkan kembali. Ternyata alasan si Bapak
ingin pindah ke belakang adalah karena tidak kuat dengan bau parfum bus yang
ditempatkan di bagian depan dan kemudian kursi di depannya yang bermasalah
sehingga menghalangi kakinya. aku melihat ke belakang dan masih ada 2 kursi
lagi yang kosong. Aku menyarankan si bapak untuk pindah ke kursi yang kosong
tersebut. Si Bapak terlihat ingin pindah namun tidak pindah saat itu juga. Bus
kemudian masuk tempat pemeriksaan di kantor dinas perhubungan. Si Bapak
mengatakan izin ke toilet bus yang di bagian belakang. Namun si Bapak tidak
kembali dan aku berasumsi dia telah pindah ke tempat duduk yang aku sarankan.
Asumsiku benar. Aku kembali dapat berselonjoran dan tidur dengan nyaman.
Sekitar pukul 1 bus berhenti di tempat
yang seperti terminal. Ternyata bannya harus diganti. Butuh 2 jam untuk
menggantinya. Selama itu aku memutuskan untuk tidur di atas bus. Lalu bus
kembali berjalan dan kembali berhenti di rumah makan kecil sekitar pukul 4.
Ternyata ada penumpang yang naik. Jumlah mereka banyak. setelah diselidiki,
mereka adalah penumpang bus Family Raya yang busnya mengalami kerusakan
sehingga pindah ke bus kami. Bus kami hanya dapat menampung sekitar 8 orang,
itu pun ada yang tidak kebagian kursi. Aku bersyukur bus kami tidak rusak.
Bangku di sebelahku diisi seorang nenek yang pergi bersama anaknya. Tujuan
mereka adalah Muara Enim. Si nenek memberitahu bahwa biasanya beliau naik
travel karena lebih murah, 100k saja. Sementara jika naik bus biayanya 250k
padahal jaraknya tidak terlalu jauh. Namun karena travelnya tidak sedang
beroperasi dia memutuskan untuk naik bus.
Ketika memasuki waktu shubuh, bus
berhenti di rumah makan. Lalu bus jalan lagi dan sekitar pukul 10 bus berhenti
di rumah makan yang lain. Aku turun, menuju toilet, sikat gigi dan membersihkan
wajah. Setelah itu aku kembali ke bus dan makan nasi bungkus keduaku di luar
bus. Di rumah makan itu naik seorang perempuan yang ternyata adalah isteri si
supir. Supir busnya ada 2 orang. Satu orang Minang/Jambi yang berperangai dan
bermulut kasar. Satu lagi orang Jawa (tepatnya Tegal) yang berperilaku baik
namun tetap mencoba berkata kasar ketika marah (walaupun jadinya kelihatan lucu
karena ucapan kasarnya dipaksakan). Selain 2 supir, ada satu orang kernet juga.
Perempuan tadi adalah isteri supir Minang. Aku cukup bingung kenapa isterinya
naik di daerah ini. atau mungkin sejak di Jambi isterinya telah naik namun aku
tidak sadar.
Hari
2
Saat akan berangkat lagi, si nenek
(sejujurnya aku ragu beliau lebih pantas dipanggil nenek atau ibu, usianya
sekitar 57 tahun) meminta bertukar tempat duduk denganku karena sekitar 1 jam
lagi dia akan tiba di tempat tujuan. Aku menolak karena kakiku yang panjang
membuatku akan tersiksa jika harus berada di belakang kursi yang rusak. Sekitar
15 menit dari rumah makan tadi di daerah sebelum Muara Enim, kami berhenti di
pom bensin untuk mengisi bensin. Ternyata kata petugasnya solar habis. Sopir
Minang kami menggerutu dan mengatakan sepanjang jalan dari selepas Bangko
hingga hamper memasuki Muara Enim ini bensin habis. Dia takut jika memaksakan
sampai ke Muara Enim maka mobil akan mogok. Akhirnya petugas mengatakan bahwa
masih ada sedikit sisa Solar yang bisa kami gunakan. Hampir saja kami berhenti
lebih lama untuk menunggu truk pertamina datang. Di pom bensin ini juga naik
mbak-mbak Jawa dengan bayinya yang akan mudik ke Tegal. Dia terpaksa duduk di
depan karena tidak ada kursi yang kosong.
Sesampainya di Muara Enim, nenek di
sebelahku turun. Kursinya digantikan mbak yang membawa bayi tadi. Karena
penumpang A di depanku juga membawa bayi, maka mulailah interaksi menggemaskan
antar bayi. Namun jika sudah menangis maka mereka akan menjadi sosok yang menjengkelkan
sekali. Di kursi sebelah kananku juga ada sepasang penumpang yang membawa anak
berusia 4 atau 5 tahun (kita sebut penumpang B). Dan di belakang penumpang
tersebut ada juga sepasang penumpang lainnya yang membawa anak berusia sama
(kita sebut penumpang C). Mereka pun juga sibuk bermain dan bercanda. Pada saat
kehabisan bensin tadi, si bapak penumpang B berkata kepadaku bahwa sopir Minang
tidak punya sopan santun. Aku hanya tertawa kecil karena aku tidak mau mencari
masalah dengan si supir.
Dengan tibanya kami di Muara Enim,
berarti kami telah memasuki provinsi Sumatera Selatan. Disini ada satu lagu
yang diputar tape bus, judulnya takkan pisah, dinyanyikan oleh band Wali. Lagu
lama yang membuat aku ingin memutarnya berulang-ulang setiba di Surabaya. Selepas
Ashar kami berhenti kembali di rumah makan. Aku menjamak sholat zuhur dan
ashar. Penumpang lain ada yang makan. Aku ragu apakah akan ikut makan nasi
bungkus terakhirku sekarang atau nanti saja di atas kapal penyeberangan. Aku
pikir jarak antara Sumatera Selatan dan Lampung tidak terlalu jauh namun nyatanya
sampai tengah malam kami belum juga tiba di pelabuhan Bakauheni, Kab. Lampung
Selatan. Penumpang C berpindah ke depan dekat supir untuk merokok (penumpang
yang ingin merokok akan pergi ke depan dekat supir karena di depan jendelanya
dibuka). Kepada supir Jawa penumpang C bercerita tentang dia yang pernah kerja
di Malaysia dan betapa berbedanya kondisi Malaysia dan Indonesia. Dia bercerita
tentang Malaysia yang berani tegas kepada pemerintah China dan berharap
pemerintah Indonesia tidak terlalu tunduk kepada China. Dia juga menyoroti
mahalnya tiket pesawat. Supir Jawa juga sesekali menimpali.
Sekitar pukul 23:00 kami melewati
keramaian yang disebabkan oleh kecelakaan antara bus dan sepeda motor. 2 orang
penumpang sepeda motor tergeletak tak bergerak di pinggir jalan. Sepeda
motornya hancur. Sopir Jawa mengatakan bahwa sepertinya korban telah tewas.
Sepertinya bus pelaku ingin menyalip bus lainnya dan kemudian menabrak sepeda
motor. Tidak jelas apakah bus pelaku kabur atau tidak. Yang jelas ada satu bus
berhenti disana. Penumpang bus kami yang sebelumnya tertidur ramai bangun untuk
melihat. Bus berjalan pelan di lokasi. Tak beberapa memasuki provinsi Lampung
seluruh bus yang melintas di kawasan tersebut diminta untuk masuk area kantor
dinas perhubungan (sebenarnya bukan kantor dinas tapi lebih ke tempat
pemeriksaan kelayakan bus dan penerbitan surat jalan). Supir Jawa menduga ini
ada kaitannya dengan kasus tabrakan tadi karena sebelumnya tidak pernah ada
pemeriksaan seperti itu di wilayah ini. Setelah 10 menit, bus diperbolehkan
melaju kembali.
Menjelang masuk pelabuhan Bakauheni
kami berhenti dahulu di PO Family Raya yang juga mempunyai rumah makan. Selepas
sholat isya aku ditanya oleh si Bapak (mantan teman sebangkuku) apakah tidak
makan. Aku pun memutuskan makan nasi bungkus terakhirku karena sedari tadi
sudah menahan lapar. Ketika makan di sebuah kursi di luar bus, di sebelahku
duduk seorang pemuda berusia sekitar 27 tahun. Ternyata dia juga akan ke Solo.
Aku bersyukur ada teman seperjalanan ke Solo. Dia asli Solo dan saat ini akan
akan mudik ke Solo. Dia bekerja di Pariaman semenjak tahun 2007. Kepadaku dia
memberitahu bahwa ada bus EKA tujuan Surabaya dari Solo. Sebelumnya aku juga
telah mencari tau tentang bus tujuan Surabaya dan aku tertarik naik bus EKA
kelas eksekutif.
Saat antri masuk kapal feri di
pelabuhan Bakauheni, bus kami disalip oleh bus lain sehingga kami harus naik
kapal lain karena kapal tersebut telah penuh. Supir Minang kami marah dan
memaki-maki petugas pelabuhan. Pukul setengah 5 pagi kami menyeberang. Aku
masuk ke bagian penumpang di kapal dan mencas HP karena di bus tidak ada tempat
cas HP. Rencananya aku mau mencas powerbank juga namun kepala casnya tertinggal
di bus. Sembari menunggu waktu shubuh aku tiduran di kursi kapal. Kemudian
selepas Shubuh aku mencuci wajah dan sikat gigi. Sebenarnya pukul 6 kami telah
bisa merapat ke pelabuhan. Namun karena antri kami menunggu dulu di laut. Aku
mengambil kesempatan tersebut dengan mengabadikan sunrise di dek depan kapal.
Sangat indah pemandangannya.
Pukul 7 kami keluar dari kapal. Hari
Selasa, tanggal 16 Juli secara resmi kami telah menginjak tanah Jawa. Saat
keluar kapal terjadi macet parah kendaraan yang akan keluar dari pelabuhan
Merak. Supir bus kami yang tidak mau busnya tersalip lagi memaksa maju ke
depan. Akibatnya truk yang di sebelah kami tidak bisa bergerak karena terlalu
mepet. Supir kami marah dan memaki-maki supir truk tersebut karena menganggap
supir truk tersebut tidak mau mengalah. Hampir terjadi perkelahian, untungnya
tidak jadi. Akhirnya kami berhasil keluar dari pelabuhan Merak. Aku tidur
kembali.
Menjelang masuk tol, kami istirahat
makan dulu. Makanan pertama yang aku coba di tanah Jawa adalah soto ayam
seharga 36k lengkap dengan teh botol. Aku kaget begitu akan membayar. Tapi ya
sudahlah. Kernet bus meminta kami naik ke bus karena bus akan berangkat. Diatas
telah duduk penumpang B dan penumpang C. mereka saling bercerita bahwa anak
mereka menangis karena tidak dibelikan mainan yang dijajakan oleh penjual
mainan di depan rumah makan. Penjual mainan mengatakan “sayang anak, sayang
anak”. Namun menurut ibu penumpang B, jika sayang anak maka seharusnya orang
tua mendidik anak dengan baik, mengajari akhlak yang baik, sehingga si anak
akan menyayangi orang tuanya kelak yang telah merawat mereka di waktu kecil.
Tambahnya lagi lebih baik uang disimpan dan digunakan untuk keperluan
pendidikan anak. Sambil menyebutkan bahwa saat ini pendidikan pesantren sedang
trend dan jika ada rezeki maka kelak si anak akan dikuliahkan. Si ibu penumpang
C juga menambahkan bahwa dia pernah membeli mainan mobil transformer seharga
35k namun setelah 3 hari mainan tersebut langsung rusak. Mendengar pembicaraan
mereka aku jadi terharu mengingat bahwa orang tua ingin yang terbaik untuk anak
mereka. Orang tua berharap anaknya bisa menjadi pribadi yang baik dan berakhlak
mulia serta berpendidikan. Menjadi ironi apakah ketika dewasa kelak si anak
dapat menjadi anak yang diharapkan oleh orang tuanya atau tidak.
Bus lanjut lagi dan supir Jawa
mengambil alih. Supir Minang yang telah selesai mandi dan mengganti pakaian
kini duduk di bangku belakang supir yang kosong. Dia kemudian ikut bercanda
dengan ibu penumpang B. Entah maksudnya untuk mencairkan suasana setelah
keributan di pelabuhan atau emang dia ingin menjahili is ibu B ini. Si supir
Minang mengatakan bahwa bus tidak akan berhenti di Bekasi. Suami penumpang B
hanya tertawa saja dan ikut-ikutan bercanda karena tau si supir bercanda degan
mengatakan itu. Namun si ibu penumpang B merasa kesal dan mengatakan kalau
tidak akan diturunkan di Bekasi kenapa mereka dinaikkan ke bus yang ini. si
supir Minang menjawab, salah sendiri naik bus ini. Dia kemudian bertanya kepada
ibu penumpang B asalnya darimana. Si bapak penumpang B memberitahu bahwa
isterinya dari Pariaman. Supir Minang menggoda ibu penumpang B dengan
mengatakan bahwa ibu penumpang B merupakan pribadi yang bersuara keras karena tinggal
di pinggir laut. Merasa kesal, ibu penumpang B kemudian memegang kepala supir
minang sebanyak 2 kali. Supir Minang marah dan mengatakan bahwa dia bercanda
hanya dengan mulut saja, jangan dengan fisik apalagi kepala. Lanjutnya lagi,
kepala adalah hal yang dia lindungi karena dia telah di aqiqah oleh orang
tuanya. Aku hanya tertawa dalam hait. Tipikal orang Indonesia banget yang sangat
anti dipegang kepalanya. Si suami penumpang B hanya tersenyum tipis saja dan
tidak ikut membela isterinya. Setelah itu suasana jadi sedikit canggung. Si
supir Minang kemudian bercanda dengan penumpang yang lain dan bapak penumpang B
juga ikut. Suasana canggung sedikit reda.
Aku kemudian tidur lagi dan kami tiba
di kebon jeruk (tempat aku naik bus dulu saat akan pulang ke Solok). Disini ada
2 orang penumpang yang turun. Di perjalanan dari kebon jeruk ke Bekasi aku
mendengar Bapak penumpang C bercerita kepada penumpang D bahwa dia akan turun
di Bandung sama seperti penumpang D. Dia menduga mereka akan dipindahkan ke bus
lainnya di Bekasi. Penumpang C juga bercerita bahwa dia ke Bandung dengan
maksud membuka rumah makan Padang. Dia telah menggeluti berbagai profesi
semenjak berusia 17 tahun, mulai dari menggergaji kayu, menjadi TKI secara
Ilegal di Malaysia, berjualan bumbu masakan, dan kini dia mencoba membuka rumah
makan Padang di Bandung. Menurutnya yang membedakan rumah makannya dengan rumah
makan lain adalah bumbu dan kuahnya. Aku salut mendengar bahwa beliau telah
melalang buana semenjak usia 17 tahun dan telah berpenghasilan. Saat ini
usianya sekitar 35 tahun. Aku juga ingin secepatnya lulus dan bekerja. Oh ya,
penumpang C sempat meminjam powerbankku karena baterai hpnya habis padahal dia
harus menghubungi keluarga di Bandung.
Hari
3
Sekitar pukul 12 siang kami tiba di
Bekasi, bus kami menuju terminal Bekasi. Banyak orang yang turun disini
sehingga bus menjadi lebih longgar. Ternyata penumpang C dan D tidak diturunkan
disini melainkan dibawa terus menuju Solo. Setelah memasuki tol, kernet kami
menghubungi pihak PO Family Raya Padang untuk menanyakan kenapa penumpang
tujuan Bandung bisa ada di bus ini. Ternyata diketahui bahwa agen Padang
menulis tujuan Bekasi di kertas tiket penumpang tersebut walaupun penumpang C
dan D telah mengatakan kepada agen Padang bahwa mereka akan turun di Bandung.
Aku cukup kecewa mendengar hal tersebut. Agen Padang rela menipu penumpang demi
memenuhi kuota kursi. Padahal apa salahnya jika mereka dinaikkan bus tujuan
Bandung sejak awal. Akhirnya penumpang C dan D diturunkan di pinggir jalan tol dan
untungnya tak lama kemudian bus tujuan Bandung lewat. Mereka bergegas naik bus
tersebut. Penumpang C sempat bersalaman
denganku dan mengatakan terima kasih. Aku membalasnya dengan ucapan hati-hati
di jalan.
Dari Bekasi hingga Tegal kami
menggunakan jalan tol. Karena tempat duduk telah banyak yang kosong aku pindah
ke kursi bagian kanan tempat penumpang B dulu. Di Tegal mbak Jawa yang membawa
bayi dan seorang perempuan lagi yang duduk di belakang turun. Ternyata bayinya
mengompol di kursi L. Kemudian dari belakang pindah ke
tempat duduk sebelahku seorang pak tua yang akan menuju Salatiga. Dia naik di
Bekasi. Aku dan dia banyak becerita tentang masa penjajahan hingga kemerdekaan
yang intinya bahwa sisi baik dari oenjajahan adalah Indonesia bisa bersatu.
Kalau tidak mungkin kita masih menjadi kerajaan-kerajaan yang tersebar di
nusantara.
Kota Solo yang aku perkirakan bisa
ditempuh 8 jam dari Bekasi ternyata hingga pukul 9 malam kami masih berada di
Tegal. Menjelang Semarang, bus kami beristirahat di depan rumah makan. Selepas
sholat, aku duduk di luar bus. Bapak mantan teman bangkuku yang baru selesai
makan duduk di sebelahku. Dia mengeluhkan harga makanan yang terlewat mahal.
Aku juga menyampaikan bahwa selepas Bakauheni tadi aku makan soto ayam seharga
36k. kemudian kami bercerita banyak. Si Bapak dulunya pernah merantau ke
Jakarta. Pekerjaan pertamanya adalah menjadi satpam bank. Baru 3 bulan bekerja,
krisis 98 pecah dan dia memilih menjaga toko kakaknya daripada menjaga bank
tempat dia bekerja karena kerusuhan massa tidak bisa dihentikan. Dia bercerita
ada yang membawa tiang listrik untuk mendobrak teroli besi mall. Dan dia juga
menyampaikan ada orang yang membakar mall dari bawah padahal di lantai atasnya
sedang banyak massa yang menjarah. Selepas itu dia mendaftar di kepolisian
namun gagal pada tes akhir. Temannya ada yang lolos setelah menjual sawah
orangtuanya untuk menyuap panitia dan kini dia bertugas di Solok. Kemudian dia
bekerja di bagian labor perusahaan lem. Dia pernah diancam dengan golok oleh
petugas truk yang membawa bahan baku lem karena tidak meloloskan truk tersebut
yang ternyata mengandung bahan campuran lainnya. Setelah bosan disana dia pergi
ke Jakarta untuk berjualan baju. Dia cukup menyesal karena tidak serius
berjualan baju.
Kemudian datang Bapak penumpang A.
Bapak mantan teman bangkuku bercerita bahwa supir Minang sangat kasar.
Penumpang A menyetujui, tapi dia tidak punya kuasa. Mereka hanya penumpang
katanya. Si Bapak menambahkan bahwa supir tidak memperlakukan manusia secara
manusiawi. Lalu si Bapak bertanya-tanya dimanakah mereka akan dipindahkan
(penumpang A juga akan ke Jogja). Aku mengatakan bahwa mungkin selepas Solo bus
ini akan terus ke Jogja. Namun kemudian kernet memberitahu bahwa mereka akan
dipindahkan ke bus lain di Solo.
Sekitar pukul 10 malam bus berangkat.
Di Semarang turun lagi sekeluarga besar. Lalu di Salatiga turun pak tua dan
cucunya. Sekarang di bus tinggal penumpang A, si Bapak dan keluarga, lalu aku
dan mas Solo. Pukul 1 kami tiba di Solo. Baru memasuki kota Solo, di
persimpangan lampu merah, bus berhenti. Penumpang A dan si Bapak beserta
keluarga turun dan dipindahkan ke bus lain. Aku membantu menurunkan koper lalu
naik lagi menunggu di bus. Setelah sopir Minang dan kernet kembali ke bus aku
baru tau ternyata mereka cekcok dengan si Bapak. Pihak bus tidak mau membayar
tiket mereka ke Jogja padahal perjanjian awal mereka membayar untuk ke Jogja.
Lagi-lagi aku kecewa dengan bus ini. Tapi untunglah selama perjalanan aku tidak
pernah dikasari oleh supir Minang.
Supir bus bertanya kepadaku apakah
akan dibantu dioper ke bus lain. Aku menolak dan meminta diturunkan di terminal
Solo saja. Supir Minang hanya berani mengantarkan aku sampai jarak yang tidak
cukup jauh dari terminal karena bus ini tidak boleh masuk terminal Solo. Aku
bersama mas Solo berjalan menuju terminal. Hanya tinggal menyeberang dan
berjalan sedikit. Aku berencana naik bus
EKA. Mas Solo memberitahu bahwa tujuan timur ada di sisi lain pintu yang aku
masuki. Aku sempat miskom dengan mas Solo dan menunggu di tempat yang salah.
Akhirnya setelah bertanya ke penjual pulsa aku menemukan ruang tunggu bus
tujuan Surabaya.
Pukul 3 pagi aku naik bus EKA kelas
eksekutif tujuan Surabaya. Biayanya 90k lengkap dengan voucher makanan. Pukul
4.15 kami tiba di Ngawi dan aku sholat Shubuh dahulu. Lalu aku memesan nasi
goreng. Aku takut nasi gorengku belum habis ketika bus berangkat. Tapi ternyata
aku bisa makan hingga hampir habis. Kernet bus mengingatkanku bahwa bus akan
berangkat. Aku kemudian bergegas menuju bus. Aku tidur hingga sampai Surabaya.
Bus memasuki kota Surabaya pukul 8 pagi. Menjelang terminal Bungurasih Surabaya
(Sidoarjo?), ternyata ada penumpang yang salah naik bus, padahal harusnya dia
akan ke Gresik. Penumpang lain menyarankan untuk pindah ke bus lain nanti. Aku
turun di depan terminal dan memesan Go-car. Cukup capek membawa tas dan koper
menuju alfamart terdekat karena Go-car tidak boleh mengambil penumpang di
terminal. Aku tiba di kos sekitar pukul 9 pagi. Di kos aku baru menyadari bahwa
peralatan mandi dan satu buah kolorku hilang. Jika di total perjalananku kurang
lebih 68 jam. Menurutku pengalaman naik bus menyusuri Sumatera dan Jawa
merupakan pengalaman yang harus dicoba sekali seumur hidup. Alhamdulillah.