Sabtu, 17 Agustus 2019

Review Film Bumi Manusia

Assalamu'alaikum.

Tanggal 15 Agustus kemaren gue baru saja menonton film Bumi Manusia. Film yang diangkat dari karya legendaris Pramoedya Ananta Toer yang juga pernah masuk nominasi nobel sastra ini telah ditunggu oleh banyak orang. Baik yang merupakan pecinta novelnya maupun yang bukan. Banyak yang meragukan kalo film ini akan sebagus novelnya. Dan menurut gue itu wajar. Ga mungkin ada film yang sama persis dengan novelnya dan mampu memenuhi ekspektasi pembaca novelnya. Jadi berikut ini akan gue ulas filmnya tanpa spoiler. Ulasan ini gue ambil dari tweet gue di twitter jadi mungkin antar kalimat agak gak berhubungan.

Secara keseluruhan film ini bagus dan ga mengecewakan. Gue suka sama pembawaan karakter nyai Ontosoroh dan minke oleh tante Ine dan Iqbal. Semangat perlawanan terhadap ketidakadilan juga terasa ke penonton sampe gue ikutan geram. Dulu banyak yang meragukan Iqbal sebagai pemeran Minke. Namun sekarang menurut gue, jika Minke ga diperankan oleh Iqbal maka film ini akan flop dan jadi film berlatar kolonial biasa seperti film-film lainnya serta ga akan diminati oleh generasi milenial. Pemilihan Iqbal sendiri sebagai pemeran Minke juga ga lepas dari kepentingan produksi agar film ini juga ditonton oleh orang yang ga baca novelnya dan merupakan fans Iqbal.

Nyai Ontosoroh berhasil mencuri perhatian dengan kekuatan karakter yang dia tampilkan. Seorang nyai yang berbeda dengan nyai kebanyakan, mengelola perkebunan, namun haknya dirampas oleh hukum kolonial dan dipaksa berpisah dengan anaknya. Untuk pemeran Annalies juga bagus, dan aktiknya di akhir film juga sangat bagus sehingga menggugah penonton. Setelah filmnya selesai, ada mbak-mbak di depanku yang bilang kalo seharusnya dia menonton film ini bersama mamanya (karena keharuan adegan nyai Ontosoroh dan Annalies). Gue pun juga ikut terharu dan berusaha menahan air mata. Gue heran kenapa bisa nangis untuk film ini. Padahal film ini bukan khusus sedih0sedihan. Namun karena akting yang bagus dari pemeran, adegannya bisa sampai ke penonton hingga membuat mereka terharu.

Untuk latar tempat dan suasana kolonialnya terbaik emang (walaupun pakaian tentara Belandanya agak aneh untuk zaman itu). Bahasa yang digunakanpun sangat beragam, mulai dari bahasa Belanda, Prancis, Jepang, Jawa, hingga Indonesia baku. Kenapa bukan bahasa Melayu? Karena mungkin Hanung Bramantyo (sutradara) berkaca dari film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk yang menggunakan bahasa Melayu namun malah terdenagr lucu.

Minusnya Bumi Manusia menurut gue, terlalu banyak adegan ciuman yang ga perlu, gombalin Minke yang cringe, konflik di rumah pelacuran yang kurang jelas, pemikiran Minke yang kurang ditonjolkan, dan kurangnya adegan bersama Jean. Khusus adegan Minke dan Jean yang sedikit, mungkin karena pertimbangan durasi film yang telah 3 jam. Lalu kekurangan lainnya, kurang diperlihatkannya kemampuan nyai Ontosoroh dalam mengelola perkebunan/pertanian sehingga kesannya hanya sebagai tukang check kerjaan anak buahnya saja.

Bagi penonton yang belum membaca novelnya, mungkin heran kenapa filmnya sad ending. Karena memang seperti itulah yang terjadi di novelnya. Bahkan 3 novel lainnya yang merupakan kelanjutan Bumi Manusia juga sad ending. Karena inti ceritanya itu bukan kayak cerita mainstream lainnya dimana yang benar akan selalu menang. Tapi ini adalah cerita yang dekat dengan realita kehidupan. Adakalanya yang benar akan kalah oleh penguasa dan ketidakadilan. Cerita yang disampaikan Pram itu ingin menggugah kesadaran kita dalam menjadi manusia dan bangsa.

Secara keseluruhan film ini cukup bagus, walaupun ga sempurna. Layak untuk ditonton. Terima kasih Falcon Pictures. Terima kasih Hanung Bramantyo. Semoga filmnya lanjut ke Anak Semua Bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar