Kamis, 18 Oktober 2018

Mengenal Psikologi Islam


Asosiasi Psikologi Islam (API) merupakan satu dari 13 asosiasi atau ikatan yang ada di Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI). Selain API, di HIMPSI juga terdapat asosiasi atau ikatan lainnya seperti Asosiasi Psikologi Kristiani (APK), Asosiasi Psikologi Forensik (APSIFOR), Ikatan Psikologi Olahraga (IPO), Ikatan Psikoterapis Indonesia, dan lainnya dengan total 13 asosiasi atau ikatan.
Salah satu tujuan dari API adalah sebagai sarana perkembangan Psikologi Islam di Indonesia dan sekaligus memberikan banyak kemanfaatan bagi masyarakat luas. Psikologi Islam sendiri berangkat dari kenyataan bahwa psikologi kontemporer dalam perkembangannya dianggap mengalami distorsi yang fundamental, psikologi yang seharusnya membicarakan konsep jiwa, namun ternyata tidak mau tahu dengan hakikat jiwa. Serta keberatan akan praktek melandaskan kajian perilaku manusia pada hasil penelitian terhadap perilaku hewan, sehingga seolah-olah psikologi mempelajari yang “tidak berjiwa” (Mudjib & Muzakir, 2002). Kemudian psikologi kontemporer juga cenderung mengabaikan latar belakang kebudayaan dan karakteristik masyarakat. Karena teori yang dikembangkan di suatu daerah dengan budaya serta karakteristik masyarakat tertentu belum tentu sesuai untuk diaplikasikan di daerah lain dengan karakteristik masyarakat dan budaya yang berbeda.
Konsep ini juga didukung oleh seorang psikolog asal Amerika yang bernama Erich Fromm. Dia menyatakan bahwa kebutuhan utama manusia untuk hidup secara bermakna yang berwujud aktivitas menyembah Sang Pencipta, belum dipenuhi oleh peradaban Barat (Amerika). Para psikolog lain seperti P. Scott Richards dan Allen E. Bergin dari American Psychological Association (APA) juga menyatakan bahwa pentingnya memasukkan nilai religius dan spiritual dalam intervensi psikologi.
Di Indonesia, momentum Psikologi Islam diawali dengan terbitnya sebuah buku hasil karya Djamaluddin Ancok & Fuad Nasahari Suroso dengan judul Psikologi Islami, Solusi Islam  atas  Problem-problem Psikologi (1994). Kemunculan buku ini berbarengan dengan berlangsungnya kegiatan Simposium Nasional Psikologi Islam I. Psikologi Islami didefinisikan sebagai ilmu yang berbicara tentang manusia, terutama masalah kepribadian manusia, yang berisi filsafat, teori, metodologi dan pendekatan problem dengan didasari sumber-sumber formal Islam, akal, indera dan intuisi (Ancok & Suroso, 2005). Sedang menurut Baharuddin (2005), Psikologi Islam adalah sebuah aliran baru dalam dunia psikologi yang mendasarkan seluruh bangunan teori-teori dan konsep-konsepnya kepada Islam. Dapat disimpulkan, Psikologi Islam adalah ilmu tentang jiwa dan perilaku manusia berdasarkan sumber utama Islam, yaitu Al-qur’an dan Hadis.
Ada perbedaan pendapat untuk menamai konsep psikologi baru ini dengan “Psikologi Islami” (dengan i) atau “Psikologi Islam” (tanpa i). “Psikologi Islami” mewakili pilihan para ahli untuk menonjolkan ilmu psikologi yang dilatari oleh konsep Islam, sedang “Psikologi Islam” dimaksudkan “sebagai bagian” dari studi Islam untuk menjelaskan berbagai fenomena psikologi. Semenjak berdirinya Asosiasi Psikologi Islami pada tahun 2002, nama resmi yang diakui untuk konsep psikologi baru ini adalah “Psikologi Islami” (dengan i). Namun setelah konferensi API pada tahun 2015, nama yang disepakati adalah “Psikologi Islam” (tanpa i). 
Mengenai ruang lingkup Psikologi Islam, jika ruang lingkup psikologi kontemporer terbatas pada tiga dimensi, yaitu: dimensi fisik-biologi, dimensi kejiwaan dan sosiokultural. Maka Psikologi Islam juga mencakup dimensi kerohanian (spiritual). Selain itu, terdapat beberapa alternatif metode yang bisa digunakan untuk membangun Psikologi Islam yaitu Metode Pragmatis dan Metode Idealistik (Mujib & Mudzakir, 2002). Metode Pragmatis adalah metode pengkajian dan pengembangan psikologi Islam yang mengadopsi kerangka teori-teori psikologi kontemporer yang telah mapan. Teori-teori tersebut kemudian dicarikan legalisasi dan justifikasinya dari Al-Qur’an dan Hadis. Sementara Metode Idealistik yaitu metode yang lebih mengutamakan penggalian Psikologi Islam dari ajaran Islam sendiri. Metode ini menggunakan pola deduktif dengan cara menggali premis mayor (sebagai postulasi) yang digali dari Al-Qur’an dan Hadis.
Jika tujuan Psikologi Barat hanya tiga; menguraikan, meramalkan dan mengendalikan tingkah laku, maka Psikologi Islam menambah dua poin; yaitu membangun perilaku yang baik dan mendorong orang hingga merasa dekat dengan Allah SWT. Konseling Psikologi Islam tidak hanya fokus pada sekitar masalah sehat dan tidak sehat secara psikologis saja, namun juga menembus hingga bagaimana orang merasa hidupnya bermakna.
Namun perlu diingat bahwa meskipun Psikologi Islam tidak dapat terpisahkan dari agama Islam, Psikologi Islam adalah ilmu pengetahuan yang harus dikembangkan secara ilmiah. Artinya, integrasi antara psikologi dan agama tidaklah dilakukan secara ngawur atau mereduksi fenomena keagamaan menjadi semata-mata fenomena psikologi. Psikologi Islam juga tidak untuk disakralkan atau menggantikan peran agama dalam upaya mengatasi permasalahan kejiwaan.
Diatas semua itu, Psikologi Islam sebagai disiplin ilmu yang relatif muda masih memiliki beberapa kendala sendiri saat ini seperti integrasi psikologi dengan Islam yang masih bertaraf teoritik dan belum pada tataran aplikatif serta belum adanya alat tes dalam mengukur kriteria-kriteria tertentu. Dengan semakin dikenalnya Psikologi Islam, harapannya kalangan ilmuan psikologi, praktisi, peneliti dan siapapun yang tertarik dengan Psikologi Islam dapat menemukan solusi atas permasalahan ini sehingga membuat Psikologi Islam menjadi disiplin ilmu yang kokoh.

Referensi:
Ancok, Jamaluddin Ancok & Fuad Nashori. 2005. Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Badri, M. B. 1993. Dilema Psikolog Muslim. Yogyakarta: Pustaka Firdaus.
Baharuddin. 2005. Aktualisasi Psikologi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bastaman, Hanna Djumhana. 1997. Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jamaluddin, Dadan dkk. 2006. Psikologi Islami, alternatif pendekatan lewat kacamata Islam, diskusi reguler jurusan Tasawuf Psikoterapi. Fakutas Ushuluddin.
Mujib, Abdul &  Mudzakir. 2001. Nuansa-nuansa Psikologi Islam. Jakarta: Raja Grafindo.
Purwoko, Saktiyono B. 2012. Psikologi Islami: Teori dan Penelitian (cetakan kedua). Saktiyono Wordpress.

Kamis, 04 Oktober 2018

Azab, ujian, atau alamiah?


Assalamu’alaikum. Selamat malam.
Sudah lama tidak menulis, dan Alhamdulillah pada kesempatan kali ini bisa menulis kembali.
Baru-baru ini Indonesia dikejutkan dengan gempa dan tsunami yang terjadi di Donggala & Palu, Sulawesi. Gempa tersebut terjadi pada tanggal 28 September 2018 pukul 18:02 WITA atau 17:02 WIB. Gempa dengan kekuatan 7,4 SR (ada yang menyebut 7.7 SR) ini diikuti oleh tsunami yang meluluhlantakkan kota Palu dan Donggala. Tak cukup sampai disitu, tak lama setelah gempa dan tsunami, terjadi fenomena Likuifaksi atau tanah bergerak yang menelan satu kompleks perumahan kedalam tanah. Sampai saat ini, 2000 orang telah dinyatakan sebagai korban dan jumlahnya terus bertambah. Kita bersedih dan berduka atas peristiwa ini. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan untuk menghadapi ini.
Yang menarik, banyak yang berkomentar mengenai peristiwa ini di media sosial. Ada yang beranggapan ini adalah ujian, ada yang mengatakan ini azab, dan ada yang berpendapat ini adalah kejadian alam biasa yang tida perlu disangkutpautkan dengan kehendak Tuhan. Netizen di media sosial, ramai membincangkan ini. Manakah pendapat yang benar? Menurut saya, ketika terjadi bencana alam di suatu tempat, maka yang harus diinterospeksi pertama kali adalah diri sendiri. Jadikan bencana tersebut sebagai kesempatan untuk melihat kembali apa yang telah kita perbuat selama ini. Apakah yang kita lakukan telah sesuai dengan perintah Allah dan kita tidak melakukan yang dilarangnya? Apakah kita telah benar-benar memurnikan ketaatan kepada Allah dan tidak menyekutukannya? Itulah yang harus kita lakukan pertama kali saat mendengar bencana terjadi di suatu tempat.
Jangan sibuk menghakimi orang lain dengan menuduh bencana yang terjadi di tempat tersebut sebagai azab atas dosa penduduknya. Tapi berkacalah kepada diri sendiri atas apa yang telah diperbuat selama ini. Bencana tidak terjadi di tempat kalian bukan berarti kalian lebih baik dibanding penduduk yang tertimpa bencana. Bisa jadi tidak terjadinya bencana di tempat kalian adalah karena Allah sudah tidak peduli dengan kalian. Atau Allah sengaja menangguhkan bencana di tempat kalian sampai kalian terlena dengan dosa-dosa kalian. Dan bisa saja bencana yang menimpa saudara kalian di tempat lain adalah karena Allah masih sayang dengan mereka. Allah ingin mereka kembali mengingat Allah dengan memberinya bencana tesebut. Siapa tau setelah bencana itu, penduduk di daerah tersebut menjadi lebih ta’at kepada Allah. Sementara kita yang sibuk menghakimi malah tidak mendapat pelajaran dari peristiwa tersebut dan semakin jauh dari Allah. Semoga kita dijauhkan dari hal tersebut.
Sekarang pertanyaan selanjutnya? Apakah gempa dan tsunami yang terjadi atas campur tangan Allah atau hanya kejadian alamiah biasa? Saya sepakat bahwa gempa dan tsunami tersebut terjadi atas kehendak Allah. Karena bahkan satu helai daun yang gugurpun terjadi atas kehendak Allah. Apakah Allah jahat? Tidak karena bisa saja ada hikmah dibalik persitiwa tersebut yang kita tidak tau.
Apakah setiap bencana diartikan sebagai azab dari Allah? Menurut saya tidak. Bisa saja bencana tersebut terjadi karena Allah menginginkannya seperti itu, Bisa saja bencana itu memang sesuatu yang harus terjadi dan telah dituliskan di lauhul mahfudz jauh sebelum manusia tercipta. Atau bisa juga bencana itu merupakan cara Allah agar bumi kembali menemukan titik keseimbangannya. Wallahu'alam, kita tidak selalu tau apa hikmah dibalik suatu peristiwa, namun yang harus kita lakukan adalah berhusnudzan kepada Allah dan orang yang sedang ditimpa bencana serta melakukan introspeksi kepada diri sendiri.
 Demikian opini saya untuk peristiwa ini. Semoga Sulawesi cepat pulih.