Rabu, 06 Mei 2020

Hal-Hal Penting Selama di Surabaya yang Belum Sempat Diceritakan (Part 2)


      Assalamu’alaikum. Selamat berpuasa bagi yang berpuasa, semoga bisa menjalankan sampai akhir ya dan ibadah puasa kita diterima. Sambil menunggu waktu berbuka puasa, aku mau cerita beberapa hal penting selama di Surabaya yang belum sempat diceritakan. Kenapa dijudulnya tertulis part 2? Karena di bulan Februari tahun 2016 aku juga udah pernah cerita tentang hal yang sama. Ini merupakan kelanjutan beberapa hal penting yang belum sempat aku ceritakan di part 1.

      Saat ini aku telah kembali ke kampung halaman meninggalkan Surabaya untuk selamanya. Engga deh, becanda. Bukan untuk selamanya, tapi sampai ada tawaran kerja atau hal penting lainnya yang harus aku urus di Surabaya. Aku udah ga ngekos lagi di Surabaya, semua barang-barang udah aku bawa pulang ke Solok (bukan Solo), Sumatera Barat. Kepulanganku yang mendadak ini dikarenakan orang tuaku takut aku ga bisa pulang jika tiba-tiba Surabaya di lockdown menyusul merebaknya virus Corona di Indonesia. Mengenai kepulanganku ini bisa dibaca di tulisan sebelumnya.

      Berada di kampung halaman membuatku kembali memikirkan beberapa hal yang telah aku lalui selama di Surabaya. Banyak pengalaman unik yang berbeda dari yang aku alami di Solok. Berikut ini akan aku ceritakan. Oh ya, sebelum itu, aku kasi tau dulu kalo ini murni pengalaman pribadi. Mungkin bisa berbeda dari yang dialami oleh orang lain. Dan mungkin pengalamanku ini tidak berlaku khusus hanya untuk kota Surabaya saja, bisa saja di kota lain juga mengalami hal yang serupa. Oke, langsung saja:

1. Penamaan Bakwan. Di Surabaya dan beberapa daerah di Jawa Timur, bakwan disebut sebagai ote-ote. Di Malang namanya berbeda lagi menjadi Weci/Heci. Padahal selama ini aku mengira “bakwan” adalah satu-satunya sebutan di seluruh Indonesia untuk gorengan yang terbuat dari sayuran dan tepung terigu ini. Awal berada di Surabaya, ketika aku membeli gorengan, penjualnya sering kebingungan ketika aku bilang bakwan.

Aku: “mas, tahu sama bakwannya campur 5000 ya”
Penjual: “tahu sama apa mas?”
Aku: “tahu sama bakwan”
Penjual: “bakwan? Ga ada bakwan mas”
Aku: “lah, itu apa? (sambil menunjuk bakwan)”
Penjual: “oh itu ote-ote mas”
Aku: “ya udah, beli itu aja mas”

      Itu trauma pertamaku membeli gorengan. Semenjak saat itu ketika membeli gorengan aku selalu bilang “beli yang ini mas” sambil menunjuk bakwan, karena aku kurang yakin dengan penamaan ote-ote, takut salah sebut. Di kemudian hari aku baru dijelaskan mengenai penamaan ote-ote dan weci oleh temanku.

2. Air minum di warung/rumah makan. Jika kita berkunjung ke warung makan mulai dari yang kaki lima hingga sekelas restoran di Solok atau Sumatera Barat umumnya di meja makan telah disediakan satu teko berisi air putih/mineral dan beberapa gelas. Pengunjung bebas mengambil minuman tersebut dan meminta tambah jika air di teko telah habis. Berbeda dengan yang aku alami di Surabaya. Pemilik warung/restoran tidak menyediakan hal tersebut di meja makan. Jika mau minum, kita harus memesan ke pelayan/pemilik warung. Dan sangat jarang bahkan terkesan aneh jika seseorang memesan air putih/mineral ke pelayan.
      Ketika baru di Surabaya, aku makan di sebuah tempat. Lalu pelayannya bertanya mau minum apa, aku jawab air putih (yang aku maksud air mineral). Pelayannya tampak heran bercampur kaget dari raut wajahnya. Dan semakin aku perhatikan, tidak ada pengunjung yang memesan air putih. Rata-rata memesan es teh atau es jeruk. Dari situ aku tau kalo air putih bukanlah hal lumrah yang dipesan ketika makan. Padahal bagi anak kos cukup mengeluarkan biaya juga kalo harus memesan es teh atau es jeruk setiap makan. Dan bukan hal yang baik juga untuk kesehatan kalo terus-terusan minum es teh atau es jeruk ketika makan. Tapi lama-lama aku terbiasa juga memesan es teh atau es jeruk.
      Pernah juga aku memaksa memesan air putih di suatu tempat, dan saat membayar air putih yang aku pesan itu dikenai biaya seribu rupiah. Tapi bagi pengunjung yang ingin air putih/mineral rata-rata di beberapa warung menyediakan air mineral kemasan (yang tetap harus dibayar).

3. Tidak ada hujan selama 6 bulan! Ini hal yang membuat aku sangat kaget ketika berada di Surabaya. Di Solok, walaupun musim kemarau sekalipun, seengganya akan tetap turun hujan sekali dalam 10 hari. Hujan tidak turun selama 1,5 bulan saja orang-orang sudah melaksanakan sholat isitisqa (sholat minta hujan). Sementara di Surabaya 6 bulan lebih tidak hujan dan orang-orangnya masih santai saja. Mungkin karenaa faktor geografis juga ya. Aku masih ingat hujan pertamaku di Surabaya. Saat itu awal bulan Desember. Aku dan angkatanku berlatih untuk penampilan angkatan. Gerimis kecil turun dan aku membiarkan tubuhku dibasahi oleh rintik hujan. Temanku memintaku untuk berteduh namun aku memilih untuk berdiri sedikit lebih lama lagi dibawah tetesan air. Aku tidak menyangka nikmat hujan begitu indahnya.

4. Perbedaan arti kata. Di Solok dan Sumatera pada umumnya kalo ngomong “siap” itu konteksnya udah selesai. Tapi kalo di Surabaya “siap” itu artinya baru mau diselesaikan.

Temanku: “Rey, gimana tugas m
ind map Sejarah dan Aliran Psikologimu?”
Aku: “iya, udah siap nih”
Temanku: “oh, baru mau dikerjakan? Okedeh”
Aku: “enggaa.. udah siap kok”
Temanku: “iya iya, baru mau dikerjakan kan? Paham kok”
Aku: “Bukann.. dibilangin udah siap!”
Akhirnya kami baku hantam.

Hal yang sama juga terjadi saat aku bilang ingin beli bensin untuk sepeda motor.
Teman: “mau kemana?”
Aku: “beli minyak”
Teman: “hah minyak? Minyak goreng? Bensin kali”
Aku: terdiam…
Untuk yang satu ini aku akui kalo penyebutan orang Solok itu salah. Bensin lebih tepat.

Untuk minuman, jika di Surabaya disebut es teh, maka di tempatku disebut teh es. Mana yang lebih tepat kira-kira? Es yang dberi teh atau teh yang diberi es?

      Perbedaan lainnya adalah dalam penyebutan nama barang. Jika ditempat asalku alat untuk penjepit kertas berisi logam berbentuk huruf U disebut klip maka di Surabaya disebut staples. Akhirnya daripada rancu, setiap meminta staples ke mas fotokopi aku langsung memperagakannya dengan gerakan tangan. Di Surabaya klip itu adalah alat penjepit kertas lainnya seperti gambar di bawah.


Barusan aku cek di kbbi penyebutan staples yang benar adalah stapler. Sementara staples itu adalah isiannya.

5. Hal yang aku sesalkan di Surabaya adalah sulit sekali menemukan martabak mesir. Jikapun ada biasanya harganya lebih mahal daripada di Solok. Sepertinya semakin ke Timur Indonesia semakin susah menemukan martabak mesir. Padahal martabak mesir menurutku adalah martabak yang harus kalian coba minimal sekali seumur hidup karena rasanya yang begitu enak. Aku bahkan mau menjadi duta martabak mesir supaya makanan ini lebih dikenal lagi di wilayah timur :D
      Bedanya apa dengan martabak telur? Untuk bumbu daging martabak telur umumnya lebih sederhana, yakni bawang bombay, bawang putih, dan garam-merica secukupnya. Sedangkan bumbu daging martabak mesir adalah bawang merah, bawang putih, pala, lengkuas, jahe, jintan, bunga lawang, daun atau bubuk kari, daun salam, dan bahkan santan. Salah satu keunikan lain yang membedakan citarasa keduanya adalah bahan minyaknya. Martabak telur umumnya menggunakan minyak kelapa untuk menggoreng martabak, sedangkan martabak mesir pakai margarin atau minyak samin. Hal unik lainnya dari martabak mesir yang bikin lezat adalah kuah cukonya yang terdiri dari potongan bawang bombay, cabe rawit dan tomat. Di Surabaya aku baru menemukan martabak mesir di restoran sederhana. Harganya kurang lebih 40 ribuan. Kalo kalian tau tempat lain di Surabaya yang menyediakan martabak mesir silakan komen dibawah yaa..