Sabtu, 17 Agustus 2019

Review Film Bumi Manusia

Assalamu'alaikum.

Tanggal 15 Agustus kemaren gue baru saja menonton film Bumi Manusia. Film yang diangkat dari karya legendaris Pramoedya Ananta Toer yang juga pernah masuk nominasi nobel sastra ini telah ditunggu oleh banyak orang. Baik yang merupakan pecinta novelnya maupun yang bukan. Banyak yang meragukan kalo film ini akan sebagus novelnya. Dan menurut gue itu wajar. Ga mungkin ada film yang sama persis dengan novelnya dan mampu memenuhi ekspektasi pembaca novelnya. Jadi berikut ini akan gue ulas filmnya tanpa spoiler. Ulasan ini gue ambil dari tweet gue di twitter jadi mungkin antar kalimat agak gak berhubungan.

Secara keseluruhan film ini bagus dan ga mengecewakan. Gue suka sama pembawaan karakter nyai Ontosoroh dan minke oleh tante Ine dan Iqbal. Semangat perlawanan terhadap ketidakadilan juga terasa ke penonton sampe gue ikutan geram. Dulu banyak yang meragukan Iqbal sebagai pemeran Minke. Namun sekarang menurut gue, jika Minke ga diperankan oleh Iqbal maka film ini akan flop dan jadi film berlatar kolonial biasa seperti film-film lainnya serta ga akan diminati oleh generasi milenial. Pemilihan Iqbal sendiri sebagai pemeran Minke juga ga lepas dari kepentingan produksi agar film ini juga ditonton oleh orang yang ga baca novelnya dan merupakan fans Iqbal.

Nyai Ontosoroh berhasil mencuri perhatian dengan kekuatan karakter yang dia tampilkan. Seorang nyai yang berbeda dengan nyai kebanyakan, mengelola perkebunan, namun haknya dirampas oleh hukum kolonial dan dipaksa berpisah dengan anaknya. Untuk pemeran Annalies juga bagus, dan aktiknya di akhir film juga sangat bagus sehingga menggugah penonton. Setelah filmnya selesai, ada mbak-mbak di depanku yang bilang kalo seharusnya dia menonton film ini bersama mamanya (karena keharuan adegan nyai Ontosoroh dan Annalies). Gue pun juga ikut terharu dan berusaha menahan air mata. Gue heran kenapa bisa nangis untuk film ini. Padahal film ini bukan khusus sedih0sedihan. Namun karena akting yang bagus dari pemeran, adegannya bisa sampai ke penonton hingga membuat mereka terharu.

Untuk latar tempat dan suasana kolonialnya terbaik emang (walaupun pakaian tentara Belandanya agak aneh untuk zaman itu). Bahasa yang digunakanpun sangat beragam, mulai dari bahasa Belanda, Prancis, Jepang, Jawa, hingga Indonesia baku. Kenapa bukan bahasa Melayu? Karena mungkin Hanung Bramantyo (sutradara) berkaca dari film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk yang menggunakan bahasa Melayu namun malah terdenagr lucu.

Minusnya Bumi Manusia menurut gue, terlalu banyak adegan ciuman yang ga perlu, gombalin Minke yang cringe, konflik di rumah pelacuran yang kurang jelas, pemikiran Minke yang kurang ditonjolkan, dan kurangnya adegan bersama Jean. Khusus adegan Minke dan Jean yang sedikit, mungkin karena pertimbangan durasi film yang telah 3 jam. Lalu kekurangan lainnya, kurang diperlihatkannya kemampuan nyai Ontosoroh dalam mengelola perkebunan/pertanian sehingga kesannya hanya sebagai tukang check kerjaan anak buahnya saja.

Bagi penonton yang belum membaca novelnya, mungkin heran kenapa filmnya sad ending. Karena memang seperti itulah yang terjadi di novelnya. Bahkan 3 novel lainnya yang merupakan kelanjutan Bumi Manusia juga sad ending. Karena inti ceritanya itu bukan kayak cerita mainstream lainnya dimana yang benar akan selalu menang. Tapi ini adalah cerita yang dekat dengan realita kehidupan. Adakalanya yang benar akan kalah oleh penguasa dan ketidakadilan. Cerita yang disampaikan Pram itu ingin menggugah kesadaran kita dalam menjadi manusia dan bangsa.

Secara keseluruhan film ini cukup bagus, walaupun ga sempurna. Layak untuk ditonton. Terima kasih Falcon Pictures. Terima kasih Hanung Bramantyo. Semoga filmnya lanjut ke Anak Semua Bangsa.

Selasa, 06 Agustus 2019

Merenung Sejenak 2

       Ketika liburan kemaren, aku dan teman-teman melakukan jalan-jalan ke pantai Pariaman. Dalam perjalanan pulang kami mampir ke masjid Raya Sumatera Barat untuk sholat Maghrib. Setelah sholat saat menuju parkiran, mata tertuju pada lampu-lampu taman yang banyak serta taman yang luas. Seketika terlintas pikiran betapa hebatnya pengurus masjid Raya Sumatera Barat yang bisa merawat masjid seluas ini berikut dengan taman dan dekorasi indah lainnya. Listrik juga mengaliri seluruh ruangan sehingga memberi penerangan. Air juga tercukupi untuk kebutuhan bersuci ribuan orang. Kebersihannya pun terjaga. Lalu pikiran kembali melalang buana. 
       Jika masjid yang luas ini saja ada yang mengurusnya sehingga tertata baik, maka alam semesta ini juga pasti ada yang menguasainya sehingga semua seimbang dan berjalan dengan posinya masing-masing. Lampu-lampu taman ibarat bintang di alam semesta, ada yang memberinya cahaya sehingga bisa berpijar. Kebersihan dan ketersediaan air ibarat rezeki yang Allah berikan kepada manusia. Allah tidak akan membiarkan hambanya terlunta-lunta menghadapi kehidupan dunia. Ukiran di dinding masjid yang begitu detail ibarat penciptaan makhluk. Tidak mungkin makhluk begitu saja hadir di dunia dengan segala detail instrumen penopang kehidupan, pasti ada yang menciptakannya. 
       Jika masjid Raya Sumatera Barat yang menurut ukuran manusia saja sudah demikian luas ada yang mengurusnya, maka sudah pasti alam semesta yang jauh lebih luas juga ada yang menciptakan dan mengurusnya.
         Seketika lamunanku berakhir karena aku telah berada di parkiran.


       
  *foto diambil pada kesempatan lain. 

3 Hari 3 Malam

Pra keberangkatan
     Masa liburan belum selesai, tapi aku memutuskan kembali lebih cepat ke ujung timur pulau Jawa. Karena apa lagi kalo bukan untuk kembali mengerjakan skripsi agar lulus secepatnya. Perjalanan ke tanah Jawa kali ini aku lakukan dengan melalui jalur darat menggunakan Bus. Tiket pesawat paling murah harganya 1,7 Juta. Sementara jika menggunakan bus hanya 500k untuk perjalanan dari Solok-Solo. Kemudian dilanjut dengan bus lainnya menuju Surabaya dengan biaya 90k. anggaplah untuk biaya makan sebesar 100k, maka jika di total biayanya hanya 690k. Selisih sekitar 1 juta-an dibanding menggunakan pesawat. Selisih 1 juta ini bisa aku gunakan untuk biaya kos selama 2 bulan yang belum aku bayar karena sedang berada di kampung halaman.
     Ide menggunakan bus ini dicetuskan oleh om Iwan, anak angkat Oma yang berasal dari Jawa. Dia sudah terbiasa pulang balik Solok-Cikuning dengan menggunakan bus dan dia mendapat info bahwa bus Family Raya melayani rute Solok-Solo. Family Raya merupakan bus asal Jambi (atau mungkin Padang) yang kantor pusatnya ada di Jambi. Dibanding bus ANS atau NPM yang juga melayani rute Sumatera-Jawa, nama bus Family Raya bagiku cukup asing didengar. Awalnya papa enggan aku naik Bus. Mama pun begitu, Mengingat jauhnya perjalanan dan kondisi Bus yang mungkin tidak layak. Mama memberitahu bahwa beberapa waktu yang lalu di depan kantornya ada bus Family Raya jurusan Padang-Jakarta yang mogok. Namun om Iwan meyakinkan bahwa kondisi bus Family Raya bagus dan nyaman. Aku pribadi cenderung ingin menggunakan Bus untuk kembali ke Surabaya. Alasan utamanya karena biayanya yang jauh lebih murah. Alasan lainnya karena aku bisa melalui kota-kota di sepanjang Sumatera hingga ujung Jawa. Setelah aku meyakinkan orang tuaku bahwa aku tidak apa-apa jika naik Bus, maka orang tuaku pun membolehkan. Walaupun sampai mendekati hari keberangkatan mereka masih terus memintaku untuk memantau harga tiket pesawat, barangkali telah turun.
     Setelah sepakat menggunakan bus maka aku dan orang tuaku menuju PO bus Family Raya di Solok. Kepada kami pegawainya memberitahu bahwa harga tiket sebesar 650k. lebih mahal dari dugaan kami. Kami memutuskan untuk tidak memesan dulu dan hanya memastikan bahwa untuk tanggal 14 Juli ada bus yang tersedia menuju Solo. Karena PO bus Family Raya yang di Solok ini bukan agen resmi, maka mereka tidak bisa menjual tiket. Mereka harus memastikan terlebih dahulu kepada agen resmi di Padang. Hari selanjutnya pun kami masih sempat kembali ke PO Solok untuk melihat kondisi bus Family Raya. Namun karena busnya tidak kunjung lewat, kami memutuskan untuk langsung ke PO bus Family Raya di Padang pada keesokan harinya.
     Di PO bus Family Raya Padang kami diberitahu bahwa harga tiket hanya 500k, berbeda dari harga tiket di PO Solok. Setelah melihat kondisi bus rute Padang-Jambi kami memutuskan untuk memesan tiket untuk keberangkatanku. Katanya kondisi bus rute Padang-Solo tidak jauh beda dengan rute Padang-Jambi. Rute Padang-Solo ini nanti juga akan lewat Solok, jadi aku memutuskan untuk naik di Solok saja. Pihak bus menyampaikan bahwa aku akan tiba di Solo pada hari Selasa pukul 9 malam. Aku mendapat tempat duduk di nomor 6, kursi kedua dari depan bagian sebelah kiri. Terlalu ke depan menurutku. Kata mereka itu satu-satunya kusi yang tersisa.

Hari 1
     Hari Minggu tanggal 14 Juli pukul 13:30 bus tiba di Solok dan aku segera naik. Ternyata kondisi bus tidak sebagus yang aku bayangkan. Bus yang terlihat tua, jarak antar kursi yang sempit, tidak ada bantal dan selimut, dan yang paling parah tidak ada tempat untuk mengisi ulang baterai hp bahkan di kursi sopir sekalipun. Tapi ya sudahlah aku sudah terlanjur berada diatas bus dan kondisi busnya juga tidak terlalu buruk untuk membuatku enggan menggunakannya. Sebenarnya jika bus ANS atau NPM melayani rute Solok-Solo maka aku akan memilih bus mereka. Namun karena hanya bus Family Raya yang melayani rute tersebut maka aku memutuskan menggunakan jasa mereka.
     Pemberhentian atau istirahat bus pertama belum jauh dari kota Solok. Disana sopir bus meminta penumpang untuk sholat dan menjamaknya sekalian. Atau jika ada yang ingin membeli oleh-oleh silakan. Oh ya, yang aku salut di tape bus yang diputar adalah ceramah agama. Kalau tidak salah dengar penceramahnya adalah Zainuddin MZ. Jarang-jarang aku lihat ada bus yang memutar ceramah agama. Nilai plus tersendiri bagiku. Aku memutuskan untuk menunggu di bus karena telah menjamak sholat sebelumnya. Tak lama bus kembali berjalan. Rasa kagumku berakhir ketika tape memutar lagu Minang. Ternyata ceramah agama hanya diawal saja.
     Teman sebangkuku adalah Bapak paruh baya dengan rambut yang mulai memutih. Dia awalnya duduk di kursiku. Begitu aku naik dia pindah ke kursinya yang berada di sebelahku. Ternyata alasannya pindah karena sandaran kursi penumpang di depannya (kita sebut penumpang A) terlalu diturunkan sehingga menghalangi kaki beliau. Jika aku masih seorang idealis seperti dulu maka aku akan langsung menegur ibu-ibu di depan agar menaikkan sandaran kursinya. Namun sekarang aku adalah seorang opportunis. Aku belum terlalu mengenal si bapak dan aku juga tidak punya kepentingan untuk membela beliau. Aku lihat ibu di depan juga membawa bayi, mungkin itu alasan sandaran kursinya diturunkan supaya lebih mudah menggendong si bayi. Ternyata tak lama kemudian sopir memberitahu bahwa sandaran kurisnya rusak makanya turun begitu. Tapi dari yang kulihat masih bisa dinaikkan walaupun akan turun lagi. Jika ibu di depan punya rasa belas kasihan pasti dia akan menaikkan sandaran kursinya setiap sandaran kursi itu turun terlalu jauh. Si ibu ini pergi bersama suaminya yang duduk disebelahnya. Si suami juga terkadang merasa kasihan dengan si bapak yang di sebelahku dan berinisiatif menaikkan sandaran kursi sesekali.
     Pemberhentian atau istirahat kedua adalah menjelang maghrib di daerah Gunung Medan. Entah kenapa namanya Gunung Medan padahal letaknya bukan di Medan. Disini aku memakan nasi bungkus pertamaku yang aku bawa dari rumah. Ikan bilih dan sambel pedasnya enak. Padahal aku mengira nasi yang dibungkus dari rumah tidak akan enak. Ternyata si Bapak disebelahku juga makan nasi bungkus dan dia tidak sendiri. Dia pergi bersama keluarganya. Beliau mendaftarkan anak perempuannya yang diterima di UGM jurusan Fisika melalui jalur undangan. Ikut bersamanya sang istri dan satu anak lelakinya yang duduk di kelas 5 SD. Si anak bolos dan ikut menemani kakaknya. Keluarganya terpisah duduk di bangku bagian belakang.
     Sekitar pukul 18:45 bus kembali melaju. Si bapak disebelahku (sampai akhir aku tdiak tau namanya karena sangat jarang yang bertanya nama di dalam perjalanan dengan orang asing untuk menghindari informasi pribadi tersebar) pindah ke bagian belakang. Kebetulan masih ada kursi yang kosong tak jauh dari keluarganya. Alhasil, aku bisa selonjoran dan tidur cukup nyaman karena  bangku di sebelahku kosong. Karena aku tidak tau kapan dan dimana bus ini akan berhenti lagi, aku memutuskan sholat maghrib di bus. Debu di kursi penumpang aku jadikan alat untuk tayamum. Setelah itu aku mengecek HP. Masih ada signal dan aku memutuskan mendengar beberapa track lagu Hanin Dhiya untuk mengusir bosan. Kemudian aku memutuskan untuk tidur.
     Tak lama aku terbangun karena bus berhenti di suatu tempat yang ternyata adalah PO Family Raya. Aku mengecek HP, kalau tidak salah ingat waktu menunjukkan pukul 10 malam. Lalu aku mengecek google map, tempat yang muncul di peta adalah Bangko, tak jauh dari kota Jambi. Aku teringat Bangko adalah tempat tinggal temanku yang berkuliah di psikologi UNP. Aku tak tau apakah PO Bangko adalah kantor pusat Family Raya atau bukan. Tempatnya lumayan luas dan ada minimarket sendiri dengan merek Family Raya. Di seberang jalan aku melihat Indomaret. Yah, kita telah berada di luar Sumbar. Karena di Sumbar tidak ada Indomaret ataupun Alfamart disebabkan larangan oleh pemerintah provinsi supaya tidak merugikan usaha kecil anak negeri. Aku kemudian membeli minyak rambut yang lupa aku bawa. Lalu menuju musholla untuk menjamak sholat maghrib dan isya.
     Aku tak tau pukul berapa tepatnya, tapi kemudian bus berangkat. Aku kembali tidur sampai kemudian terbangun karena ada penumpang yang naik. Disana timbul perselisihan karena bapak yang disebelahku tidak mau pindah kembali ke tempat duduknya. Pak sopir kemudian meminta aku bertukar tempat dengan penumpang yang baru naik, namun aku menolaknya. Aku menyarankan si penumpang baru untuk duduk di sebelahku, namun akhirnya pak sopir kembali meminta si bapak untuk kembali duduk di sebelahku. Si bapak akhirnya menerima dan perjalanan dilanjutkan kembali. Ternyata alasan si Bapak ingin pindah ke belakang adalah karena tidak kuat dengan bau parfum bus yang ditempatkan di bagian depan dan kemudian kursi di depannya yang bermasalah sehingga menghalangi kakinya. aku melihat ke belakang dan masih ada 2 kursi lagi yang kosong. Aku menyarankan si bapak untuk pindah ke kursi yang kosong tersebut. Si Bapak terlihat ingin pindah namun tidak pindah saat itu juga. Bus kemudian masuk tempat pemeriksaan di kantor dinas perhubungan. Si Bapak mengatakan izin ke toilet bus yang di bagian belakang. Namun si Bapak tidak kembali dan aku berasumsi dia telah pindah ke tempat duduk yang aku sarankan. Asumsiku benar. Aku kembali dapat berselonjoran dan tidur dengan nyaman.
     Sekitar pukul 1 bus berhenti di tempat yang seperti terminal. Ternyata bannya harus diganti. Butuh 2 jam untuk menggantinya. Selama itu aku memutuskan untuk tidur di atas bus. Lalu bus kembali berjalan dan kembali berhenti di rumah makan kecil sekitar pukul 4. Ternyata ada penumpang yang naik. Jumlah mereka banyak. setelah diselidiki, mereka adalah penumpang bus Family Raya yang busnya mengalami kerusakan sehingga pindah ke bus kami. Bus kami hanya dapat menampung sekitar 8 orang, itu pun ada yang tidak kebagian kursi. Aku bersyukur bus kami tidak rusak. Bangku di sebelahku diisi seorang nenek yang pergi bersama anaknya. Tujuan mereka adalah Muara Enim. Si nenek memberitahu bahwa biasanya beliau naik travel karena lebih murah, 100k saja. Sementara jika naik bus biayanya 250k padahal jaraknya tidak terlalu jauh. Namun karena travelnya tidak sedang beroperasi dia memutuskan untuk naik bus.
     Ketika memasuki waktu shubuh, bus berhenti di rumah makan. Lalu bus jalan lagi dan sekitar pukul 10 bus berhenti di rumah makan yang lain. Aku turun, menuju toilet, sikat gigi dan membersihkan wajah. Setelah itu aku kembali ke bus dan makan nasi bungkus keduaku di luar bus. Di rumah makan itu naik seorang perempuan yang ternyata adalah isteri si supir. Supir busnya ada 2 orang. Satu orang Minang/Jambi yang berperangai dan bermulut kasar. Satu lagi orang Jawa (tepatnya Tegal) yang berperilaku baik namun tetap mencoba berkata kasar ketika marah (walaupun jadinya kelihatan lucu karena ucapan kasarnya dipaksakan). Selain 2 supir, ada satu orang kernet juga. Perempuan tadi adalah isteri supir Minang. Aku cukup bingung kenapa isterinya naik di daerah ini. atau mungkin sejak di Jambi isterinya telah naik namun aku tidak sadar.

Hari 2
     Saat akan berangkat lagi, si nenek (sejujurnya aku ragu beliau lebih pantas dipanggil nenek atau ibu, usianya sekitar 57 tahun) meminta bertukar tempat duduk denganku karena sekitar 1 jam lagi dia akan tiba di tempat tujuan. Aku menolak karena kakiku yang panjang membuatku akan tersiksa jika harus berada di belakang kursi yang rusak. Sekitar 15 menit dari rumah makan tadi di daerah sebelum Muara Enim, kami berhenti di pom bensin untuk mengisi bensin. Ternyata kata petugasnya solar habis. Sopir Minang kami menggerutu dan mengatakan sepanjang jalan dari selepas Bangko hingga hamper memasuki Muara Enim ini bensin habis. Dia takut jika memaksakan sampai ke Muara Enim maka mobil akan mogok. Akhirnya petugas mengatakan bahwa masih ada sedikit sisa Solar yang bisa kami gunakan. Hampir saja kami berhenti lebih lama untuk menunggu truk pertamina datang. Di pom bensin ini juga naik mbak-mbak Jawa dengan bayinya yang akan mudik ke Tegal. Dia terpaksa duduk di depan karena tidak ada kursi yang kosong.
     Sesampainya di Muara Enim, nenek di sebelahku turun. Kursinya digantikan mbak yang membawa bayi tadi. Karena penumpang A di depanku juga membawa bayi, maka mulailah interaksi menggemaskan antar bayi. Namun jika sudah menangis maka mereka akan menjadi sosok yang menjengkelkan sekali. Di kursi sebelah kananku juga ada sepasang penumpang yang membawa anak berusia 4 atau 5 tahun (kita sebut penumpang B). Dan di belakang penumpang tersebut ada juga sepasang penumpang lainnya yang membawa anak berusia sama (kita sebut penumpang C). Mereka pun juga sibuk bermain dan bercanda. Pada saat kehabisan bensin tadi, si bapak penumpang B berkata kepadaku bahwa sopir Minang tidak punya sopan santun. Aku hanya tertawa kecil karena aku tidak mau mencari masalah dengan si supir.
     Dengan tibanya kami di Muara Enim, berarti kami telah memasuki provinsi Sumatera Selatan. Disini ada satu lagu yang diputar tape bus, judulnya takkan pisah, dinyanyikan oleh band Wali. Lagu lama yang membuat aku ingin memutarnya berulang-ulang setiba di Surabaya. Selepas Ashar kami berhenti kembali di rumah makan. Aku menjamak sholat zuhur dan ashar. Penumpang lain ada yang makan. Aku ragu apakah akan ikut makan nasi bungkus terakhirku sekarang atau nanti saja di atas kapal penyeberangan. Aku pikir jarak antara Sumatera Selatan dan Lampung tidak terlalu jauh namun nyatanya sampai tengah malam kami belum juga tiba di pelabuhan Bakauheni, Kab. Lampung Selatan. Penumpang C berpindah ke depan dekat supir untuk merokok (penumpang yang ingin merokok akan pergi ke depan dekat supir karena di depan jendelanya dibuka). Kepada supir Jawa penumpang C bercerita tentang dia yang pernah kerja di Malaysia dan betapa berbedanya kondisi Malaysia dan Indonesia. Dia bercerita tentang Malaysia yang berani tegas kepada pemerintah China dan berharap pemerintah Indonesia tidak terlalu tunduk kepada China. Dia juga menyoroti mahalnya tiket pesawat. Supir Jawa juga sesekali menimpali.
     Sekitar pukul 23:00 kami melewati keramaian yang disebabkan oleh kecelakaan antara bus dan sepeda motor. 2 orang penumpang sepeda motor tergeletak tak bergerak di pinggir jalan. Sepeda motornya hancur. Sopir Jawa mengatakan bahwa sepertinya korban telah tewas. Sepertinya bus pelaku ingin menyalip bus lainnya dan kemudian menabrak sepeda motor. Tidak jelas apakah bus pelaku kabur atau tidak. Yang jelas ada satu bus berhenti disana. Penumpang bus kami yang sebelumnya tertidur ramai bangun untuk melihat. Bus berjalan pelan di lokasi. Tak beberapa memasuki provinsi Lampung seluruh bus yang melintas di kawasan tersebut diminta untuk masuk area kantor dinas perhubungan (sebenarnya bukan kantor dinas tapi lebih ke tempat pemeriksaan kelayakan bus dan penerbitan surat jalan). Supir Jawa menduga ini ada kaitannya dengan kasus tabrakan tadi karena sebelumnya tidak pernah ada pemeriksaan seperti itu di wilayah ini. Setelah 10 menit, bus diperbolehkan melaju kembali.
      Menjelang masuk pelabuhan Bakauheni kami berhenti dahulu di PO Family Raya yang juga mempunyai rumah makan. Selepas sholat isya aku ditanya oleh si Bapak (mantan teman sebangkuku) apakah tidak makan. Aku pun memutuskan makan nasi bungkus terakhirku karena sedari tadi sudah menahan lapar. Ketika makan di sebuah kursi di luar bus, di sebelahku duduk seorang pemuda berusia sekitar 27 tahun. Ternyata dia juga akan ke Solo. Aku bersyukur ada teman seperjalanan ke Solo. Dia asli Solo dan saat ini akan akan mudik ke Solo. Dia bekerja di Pariaman semenjak tahun 2007. Kepadaku dia memberitahu bahwa ada bus EKA tujuan Surabaya dari Solo. Sebelumnya aku juga telah mencari tau tentang bus tujuan Surabaya dan aku tertarik naik bus EKA kelas eksekutif.
     Saat antri masuk kapal feri di pelabuhan Bakauheni, bus kami disalip oleh bus lain sehingga kami harus naik kapal lain karena kapal tersebut telah penuh. Supir Minang kami marah dan memaki-maki petugas pelabuhan. Pukul setengah 5 pagi kami menyeberang. Aku masuk ke bagian penumpang di kapal dan mencas HP karena di bus tidak ada tempat cas HP. Rencananya aku mau mencas powerbank juga namun kepala casnya tertinggal di bus. Sembari menunggu waktu shubuh aku tiduran di kursi kapal. Kemudian selepas Shubuh aku mencuci wajah dan sikat gigi. Sebenarnya pukul 6 kami telah bisa merapat ke pelabuhan. Namun karena antri kami menunggu dulu di laut. Aku mengambil kesempatan tersebut dengan mengabadikan sunrise di dek depan kapal. Sangat indah pemandangannya.
     Pukul 7 kami keluar dari kapal. Hari Selasa, tanggal 16 Juli secara resmi kami telah menginjak tanah Jawa. Saat keluar kapal terjadi macet parah kendaraan yang akan keluar dari pelabuhan Merak. Supir bus kami yang tidak mau busnya tersalip lagi memaksa maju ke depan. Akibatnya truk yang di sebelah kami tidak bisa bergerak karena terlalu mepet. Supir kami marah dan memaki-maki supir truk tersebut karena menganggap supir truk tersebut tidak mau mengalah. Hampir terjadi perkelahian, untungnya tidak jadi. Akhirnya kami berhasil keluar dari pelabuhan Merak. Aku tidur kembali.
     Menjelang masuk tol, kami istirahat makan dulu. Makanan pertama yang aku coba di tanah Jawa adalah soto ayam seharga 36k lengkap dengan teh botol. Aku kaget begitu akan membayar. Tapi ya sudahlah. Kernet bus meminta kami naik ke bus karena bus akan berangkat. Diatas telah duduk penumpang B dan penumpang C. mereka saling bercerita bahwa anak mereka menangis karena tidak dibelikan mainan yang dijajakan oleh penjual mainan di depan rumah makan. Penjual mainan mengatakan “sayang anak, sayang anak”. Namun menurut ibu penumpang B, jika sayang anak maka seharusnya orang tua mendidik anak dengan baik, mengajari akhlak yang baik, sehingga si anak akan menyayangi orang tuanya kelak yang telah merawat mereka di waktu kecil. Tambahnya lagi lebih baik uang disimpan dan digunakan untuk keperluan pendidikan anak. Sambil menyebutkan bahwa saat ini pendidikan pesantren sedang trend dan jika ada rezeki maka kelak si anak akan dikuliahkan. Si ibu penumpang C juga menambahkan bahwa dia pernah membeli mainan mobil transformer seharga 35k namun setelah 3 hari mainan tersebut langsung rusak. Mendengar pembicaraan mereka aku jadi terharu mengingat bahwa orang tua ingin yang terbaik untuk anak mereka. Orang tua berharap anaknya bisa menjadi pribadi yang baik dan berakhlak mulia serta berpendidikan. Menjadi ironi apakah ketika dewasa kelak si anak dapat menjadi anak yang diharapkan oleh orang tuanya atau tidak.
     Bus lanjut lagi dan supir Jawa mengambil alih. Supir Minang yang telah selesai mandi dan mengganti pakaian kini duduk di bangku belakang supir yang kosong. Dia kemudian ikut bercanda dengan ibu penumpang B. Entah maksudnya untuk mencairkan suasana setelah keributan di pelabuhan atau emang dia ingin menjahili is ibu B ini. Si supir Minang mengatakan bahwa bus tidak akan berhenti di Bekasi. Suami penumpang B hanya tertawa saja dan ikut-ikutan bercanda karena tau si supir bercanda degan mengatakan itu. Namun si ibu penumpang B merasa kesal dan mengatakan kalau tidak akan diturunkan di Bekasi kenapa mereka dinaikkan ke bus yang ini. si supir Minang menjawab, salah sendiri naik bus ini. Dia kemudian bertanya kepada ibu penumpang B asalnya darimana. Si bapak penumpang B memberitahu bahwa isterinya dari Pariaman. Supir Minang menggoda ibu penumpang B dengan mengatakan bahwa ibu penumpang B merupakan pribadi yang bersuara keras karena tinggal di pinggir laut. Merasa kesal, ibu penumpang B kemudian memegang kepala supir minang sebanyak 2 kali. Supir Minang marah dan mengatakan bahwa dia bercanda hanya dengan mulut saja, jangan dengan fisik apalagi kepala. Lanjutnya lagi, kepala adalah hal yang dia lindungi karena dia telah di aqiqah oleh orang tuanya. Aku hanya tertawa dalam hait. Tipikal orang Indonesia banget yang sangat anti dipegang kepalanya. Si suami penumpang B hanya tersenyum tipis saja dan tidak ikut membela isterinya. Setelah itu suasana jadi sedikit canggung. Si supir Minang kemudian bercanda dengan penumpang yang lain dan bapak penumpang B juga ikut. Suasana canggung sedikit reda.
       Aku kemudian tidur lagi dan kami tiba di kebon jeruk (tempat aku naik bus dulu saat akan pulang ke Solok). Disini ada 2 orang penumpang yang turun. Di perjalanan dari kebon jeruk ke Bekasi aku mendengar Bapak penumpang C bercerita kepada penumpang D bahwa dia akan turun di Bandung sama seperti penumpang D. Dia menduga mereka akan dipindahkan ke bus lainnya di Bekasi. Penumpang C juga bercerita bahwa dia ke Bandung dengan maksud membuka rumah makan Padang. Dia telah menggeluti berbagai profesi semenjak berusia 17 tahun, mulai dari menggergaji kayu, menjadi TKI secara Ilegal di Malaysia, berjualan bumbu masakan, dan kini dia mencoba membuka rumah makan Padang di Bandung. Menurutnya yang membedakan rumah makannya dengan rumah makan lain adalah bumbu dan kuahnya. Aku salut mendengar bahwa beliau telah melalang buana semenjak usia 17 tahun dan telah berpenghasilan. Saat ini usianya sekitar 35 tahun. Aku juga ingin secepatnya lulus dan bekerja. Oh ya, penumpang C sempat meminjam powerbankku karena baterai hpnya habis padahal dia harus menghubungi keluarga di Bandung.

Hari 3
       Sekitar pukul 12 siang kami tiba di Bekasi, bus kami menuju terminal Bekasi. Banyak orang yang turun disini sehingga bus menjadi lebih longgar. Ternyata penumpang C dan D tidak diturunkan disini melainkan dibawa terus menuju Solo. Setelah memasuki tol, kernet kami menghubungi pihak PO Family Raya Padang untuk menanyakan kenapa penumpang tujuan Bandung bisa ada di bus ini. Ternyata diketahui bahwa agen Padang menulis tujuan Bekasi di kertas tiket penumpang tersebut walaupun penumpang C dan D telah mengatakan kepada agen Padang bahwa mereka akan turun di Bandung. Aku cukup kecewa mendengar hal tersebut. Agen Padang rela menipu penumpang demi memenuhi kuota kursi. Padahal apa salahnya jika mereka dinaikkan bus tujuan Bandung sejak awal. Akhirnya penumpang C dan D diturunkan di pinggir jalan tol dan untungnya tak lama kemudian bus tujuan Bandung lewat. Mereka bergegas naik bus tersebut. Penumpang C sempat  bersalaman denganku dan mengatakan terima kasih. Aku membalasnya dengan ucapan hati-hati di jalan.
       Dari Bekasi hingga Tegal kami menggunakan jalan tol. Karena tempat duduk telah banyak yang kosong aku pindah ke kursi bagian kanan tempat penumpang B dulu. Di Tegal mbak Jawa yang membawa bayi dan seorang perempuan lagi yang duduk di belakang turun. Ternyata bayinya mengompol di kursi L. Kemudian dari belakang pindah ke tempat duduk sebelahku seorang pak tua yang akan menuju Salatiga. Dia naik di Bekasi. Aku dan dia banyak becerita tentang masa penjajahan hingga kemerdekaan yang intinya bahwa sisi baik dari oenjajahan adalah Indonesia bisa bersatu. Kalau tidak mungkin kita masih menjadi kerajaan-kerajaan yang tersebar di nusantara.
      Kota Solo yang aku perkirakan bisa ditempuh 8 jam dari Bekasi ternyata hingga pukul 9 malam kami masih berada di Tegal. Menjelang Semarang, bus kami beristirahat di depan rumah makan. Selepas sholat, aku duduk di luar bus. Bapak mantan teman bangkuku yang baru selesai makan duduk di sebelahku. Dia mengeluhkan harga makanan yang terlewat mahal. Aku juga menyampaikan bahwa selepas Bakauheni tadi aku makan soto ayam seharga 36k. kemudian kami bercerita banyak. Si Bapak dulunya pernah merantau ke Jakarta. Pekerjaan pertamanya adalah menjadi satpam bank. Baru 3 bulan bekerja, krisis 98 pecah dan dia memilih menjaga toko kakaknya daripada menjaga bank tempat dia bekerja karena kerusuhan massa tidak bisa dihentikan. Dia bercerita ada yang membawa tiang listrik untuk mendobrak teroli besi mall. Dan dia juga menyampaikan ada orang yang membakar mall dari bawah padahal di lantai atasnya sedang banyak massa yang menjarah. Selepas itu dia mendaftar di kepolisian namun gagal pada tes akhir. Temannya ada yang lolos setelah menjual sawah orangtuanya untuk menyuap panitia dan kini dia bertugas di Solok. Kemudian dia bekerja di bagian labor perusahaan lem. Dia pernah diancam dengan golok oleh petugas truk yang membawa bahan baku lem karena tidak meloloskan truk tersebut yang ternyata mengandung bahan campuran lainnya. Setelah bosan disana dia pergi ke Jakarta untuk berjualan baju. Dia cukup menyesal karena tidak serius berjualan baju.
     Kemudian datang Bapak penumpang A. Bapak mantan teman bangkuku bercerita bahwa supir Minang sangat kasar. Penumpang A menyetujui, tapi dia tidak punya kuasa. Mereka hanya penumpang katanya. Si Bapak menambahkan bahwa supir tidak memperlakukan manusia secara manusiawi. Lalu si Bapak bertanya-tanya dimanakah mereka akan dipindahkan (penumpang A juga akan ke Jogja). Aku mengatakan bahwa mungkin selepas Solo bus ini akan terus ke Jogja. Namun kemudian kernet memberitahu bahwa mereka akan dipindahkan ke bus lain di Solo.
     Sekitar pukul 10 malam bus berangkat. Di Semarang turun lagi sekeluarga besar. Lalu di Salatiga turun pak tua dan cucunya. Sekarang di bus tinggal penumpang A, si Bapak dan keluarga, lalu aku dan mas Solo. Pukul 1 kami tiba di Solo. Baru memasuki kota Solo, di persimpangan lampu merah, bus berhenti. Penumpang A dan si Bapak beserta keluarga turun dan dipindahkan ke bus lain. Aku membantu menurunkan koper lalu naik lagi menunggu di bus. Setelah sopir Minang dan kernet kembali ke bus aku baru tau ternyata mereka cekcok dengan si Bapak. Pihak bus tidak mau membayar tiket mereka ke Jogja padahal perjanjian awal mereka membayar untuk ke Jogja. Lagi-lagi aku kecewa dengan bus ini. Tapi untunglah selama perjalanan aku tidak pernah dikasari oleh supir Minang.
     Supir bus bertanya kepadaku apakah akan dibantu dioper ke bus lain. Aku menolak dan meminta diturunkan di terminal Solo saja. Supir Minang hanya berani mengantarkan aku sampai jarak yang tidak cukup jauh dari terminal karena bus ini tidak boleh masuk terminal Solo. Aku bersama mas Solo berjalan menuju terminal. Hanya tinggal menyeberang dan berjalan sedikit. Aku  berencana naik bus EKA. Mas Solo memberitahu bahwa tujuan timur ada di sisi lain pintu yang aku masuki. Aku sempat miskom dengan mas Solo dan menunggu di tempat yang salah. Akhirnya setelah bertanya ke penjual pulsa aku menemukan ruang tunggu bus tujuan Surabaya.
     Pukul 3 pagi aku naik bus EKA kelas eksekutif tujuan Surabaya. Biayanya 90k lengkap dengan voucher makanan. Pukul 4.15 kami tiba di Ngawi dan aku sholat Shubuh dahulu. Lalu aku memesan nasi goreng. Aku takut nasi gorengku belum habis ketika bus berangkat. Tapi ternyata aku bisa makan hingga hampir habis. Kernet bus mengingatkanku bahwa bus akan berangkat. Aku kemudian bergegas menuju bus. Aku tidur hingga sampai Surabaya. Bus memasuki kota Surabaya pukul 8 pagi. Menjelang terminal Bungurasih Surabaya (Sidoarjo?), ternyata ada penumpang yang salah naik bus, padahal harusnya dia akan ke Gresik. Penumpang lain menyarankan untuk pindah ke bus lain nanti. Aku turun di depan terminal dan memesan Go-car. Cukup capek membawa tas dan koper menuju alfamart terdekat karena Go-car tidak boleh mengambil penumpang di terminal. Aku tiba di kos sekitar pukul 9 pagi. Di kos aku baru menyadari bahwa peralatan mandi dan satu buah kolorku hilang. Jika di total perjalananku kurang lebih 68 jam. Menurutku pengalaman naik bus menyusuri Sumatera dan Jawa merupakan pengalaman yang harus dicoba sekali seumur hidup. Alhamdulillah.