Selasa, 02 Februari 2016

Hal-Hal Penting Selama di Surabaya yang Belum Sempat Diceritakan

surabaya.. Surabaya.. ohh Surabayaa..
Kota kenangan.. kota kenangan.. tak kan terlupa
Disanalah, disanalah, di Surabaya..
Pertama lah, tuk yang pertama
Kami berjumpaa…”
-Sepenggal lirik lagu Surabaya

Assalamu’alaikum..
Selamat malam para fakir asmara tapi bukan pengemis cinta, lama tak jumpa.
“orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” – Pramoedya Ananta Toer.
Itulah salah satu alasan mengapa gue suka nulis. Dengan tulisan kita akan meninggalkan jejak bahwa kita pernah hidup di dunia ini. Walaupun diri telah hancur di dalam tanah, tapi pikiran kita masih tetap hidup di dunia. Dengan tulisan, 200 tahun ke depan orang-orang masih dapat mengenal kita melalui jejak yang kita tinggalkan.
Udah lama gue ga aktif lagi di blog dan akhirnya liburan semester ini gue punya kesempatan buat mulai nulis lagi. Sebelumnya, seperti biasa gue ngucapin terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada kalian yang udah nyempatin mampir ke blog gue, kalianlah salah satu alasan yang bikin gue semangat buat selalu nulis, Love you (yang cowok ga usah senyum).
Merantau. Ada pepatah di minang yang berbunyi, “marantau bujang dahulu di rumah paguno balun” yang maksudnya adalah perintah kepada anak lelaki minang untuk merantau terlebih dahulu ke negeri orang karena di kampung halaman belum banyak berguna untuk masyarakat disebabkan masih kurangnya pengalaman. Merantau bertujuan untuk mencari pengalaman baru, belajar hal-hal baru, belajar mandiri, belajar beradaptasi dengan budaya baru, serta belajar untuk menempa diri menjadi lebih baik.
Selama kurang lebih 6 bulan gue berada di Surabaya banyak hal yang gue pelajari. Bukan berarti dengan kita merantau lantas kita akan jadi lebih hebat dari orang-orang yang berada di kampung halaman, tapi jujur aja banyak hal yang gue dapetin selama disini yang jika di kampung halaman ga bakalan gue temuin. Gue jadi mengerti gimana rasanya jadi minoritas, secara gue disini berasal dari suku minang yang notabene mempunyai perbedaan dalam adat, budaya dan pola pikir dengan masyarakat Jawa walaupun masih sama-sama bangsa Indonesia.
 Dulu sewaktu gue kuliah di UNP (Universitas Negeri Padang) gue juga punya temen yang berasal dari Bogor, waktu itu gue memperlakukan dan menganggap dia sama aja kayak orang lain pada umumnya, maksudnya gue ga terlalu empati sama dia. Tapi ketika gue kuliah di Surabaya ini gue baru bisa ngerasain apa yang dia rasain dulu, dia yang dari Bogor harus kuliah di Minang dengan bahasa yang berbeda, kebudayaan yang berbeda, makanan yang pedes-pedes, tanpa sanak keluarga di Minang dan harus cepat beradaptasi dengan lingkungan barunya, begitu juga dengan yang gue rasain ketika di Surabaya. Dan akhirnya gue sadar, bahwa para perantau adalah orang yang rawan akan kesepian, apalagi kalo dia jomblo, maka tingkat kerawanan akan perasaan kesepiannya akan bertambah. Hal diatas membuat gue jadi lebih menghargai kaum minoritas, gue jadi lebih menghargai orang dengan agama yang berbeda, warna kulit yang berbeda dan suku bangsa yang berbeda. Karena ternyata yang terpenting bukanlah apa yang terlihat dari luar tapi apa yang ada di dalam hati kita.
Tapi gue bersyukur banget karena di tempat gue kuliah ini bisa dapet temen-temen yang ramah, pengertian dan juga gokil. Gue juga suka sama sikap anak-anaknya yang aktif dan ga apatis sama kegiatan kampus. Ketika ada acara kampus mereka keliatan excited dan terkesan perfeksionis. Tetapi berkat itu semua hasilnya jadi sangat memuaskan. Setiap kegiatan yang diadain selalu menuai pujian. Semoga aja ini bukan hanya sindrom maba dan kepedulian itu bisa terus ada, bukan hanya terhadap acara kampus tetapi juga antar teman seangkatan. Menurut psikologi Transpersonal, tidak ada kejadian yang terjadi hanya karena kebetulan semata, semuanya telah diatur oleh suatu kekuatan kosmik di alam semesta, dan begitu juga dengan pertemuan kita, ini bukan hanya kebetulan semata, melainkan telah digariskan sebelumnya, kita dipertemukan karena suatu alasan, karena aku, kamu dan kita adalah… PSYCH15!

Berikut ini beberapa hal yang gue alamin di Surabaya yang belum sempet gue ceritain di tulisan sebelumnya:
1.             Biasanya pada pertemuan pertama mereka akan nyebut gue dengan sebutan “orang luar pulau” karena gue berasal dari pulau Sumatera (walaupun hanya sebagian kecil yang nyebut itu). Gue ga tau sebutan itu juga berlaku atau engga buat orang dari pulau Kalimantan, pulau Sulawesi, pulau Papua dan lainnya. Gue ngerasa aneh aja dengan sebutan “orang luar pulau”, seolah-olah gue hidup terapung di lautan. Bukankah Sumatera juga sebuah pulau? Lain halnya kalo kalimat tersebut dilengkapi jadi “orang luar pulau Jawa” nah itu baru bener, hehe…. Mereka bisa langsung tau gue dari luar Jawa karena logat gue juga beda, terlihat jelas pada cara pengucapan huruf “E”. kalo gue ngucapin “E” dengan jelas maka temen-temen disini ngucapin “E” dengan sedikit penekanan. Memang agak susah dijelasin, lebih gampang kalo dipraktekkin.
2.             Disini matahari terbit lebih cepat.
       Gue sempat kaget ketika kebangun jam 4 pagi dan tiba-tiba dengar suara azan. “orang macam apa yang azan pukul 4 dini hari”, pikir gue waktu itu. Dan ternyata Shubuh emang jam segitu disini. Kalo di Padang pukul 05.30 gue masih bisa sholat Shubuh, tapi kalo di Surabaya itu udah terang banget. Ini cukup menyulitkan gue pada awalnya untuk bangun pukul 04.00.
3.            Masalah panggilan.
       Awalnya gue udah sempet searching kalo panggilan di Surabaya dan Madura itu “cak”, contohnya Cak Nun, Cak Dur Asim. Tapi awal-awal di Surabaya gue sempet heran ketika dengar kata “Cuk”. Saat itu gue berkesimpulan kalo kata “Cuk” pastilah pasangan dari “Cak”, ada “Cak” ada juga “Cuk”, “Cak” itu nama panggilan buat cowok yang dihormati, “Cuk” itu buat panggilan perempuan yang lebih tua, begitulah kesimpulan yang gue ambil.
       Maka gue mencoba nerapinnya ketika bertransaksi ekonomi (baca: belanja) pecel lele. Saat itu yang jualan adalah seorang ibu tua. Maka gue bilang, “Cuk, bungkus pecel lelenya satu”. Seketika ibu yang jualan dan pembeli pada diam dan ngeliat gue. Gue langsung berpikiran kalo kalimat yang gue ucapin kurang halus dan kurang lemah lembut. Akhirnya gue ulang lagi dengan nada yang lebih sopan, “Cuuuukk… tolong bungkus pecel lelenya satu”. Tanpa aba-aba ibu penjual pecel lelenya ngelempar sambel ke mata gue, gue langsung lari dengan menutup mata dan akhirnya menabrak tiang listrik.
       Itulah yang akan terjadi kalo sebelumnya gue ga pernah searching kata-kata kotor Surabaya di Google. Untung sebelumnya gue udah searching, jadi cerita diatas ga pernah terjadi. Hahaha XD
       Menurut gue langkah pertama dalam mempelajari bahasa baru adalah dengan mencari kata-kata kotornya agar kita tidak mudah dikelabui sebagai pendatang.
4.         Gue salut sama masyarakat disini yang masih mau makan lesehan di trotoar jalan, soalnya gue belum pernah melihat hal serupa di Padang. Itu menunjukkan kalo masyarakatnya gak gengsian, yang penting bisa “cangkruk” bareng. Lalu gue juga kaget karena di Surabaya, becak masih digunakan sebagai sarana transportasi, soalnya di Padang udah ga ada. Ini menjadi wahana hiburan tersendiri buat gue ketika awal kedatangan disini.
5.            Gue yakin seyakin-yakinnya kesan pertama orang yang baru bertemu sama gue, gue adalah orang yang pendiam. Namun seiring berjalannya waktu, gue sering mendengar orang lain bilang “waahh Reyhan ternyata bisa heboh ya”, “Reyhan ternyata aslinya gini ya”, “loh.. reyhan?”. Oke, gue mau jujur, gue ga sependiam yang kalian kira. Gue Cuma butuh waktu lebih lama untuk mengenal orang-orang disekitar gue. Seiring berjalannya waktu tingkat ke-absurd-an gue akan bertambah. Makanya banyak yang heran sama tulisan gue yang katanya “meledak-ledak”. Dan satu hal lagi, gue bukan orang yang suka formalitas dan kekakuan, jadi bersikap santai aja sama gue. Hehe ^_^


Oke, sekian dulu buat kali ini. Tulisan ini murni pandagan subjektif gue, kalo ada kata-kata yang salah mohon dimaafkan, ga ada maksud sedikitpun buat menyinggung dan ini murni hanya ungkapan isi hati gue. Wassallam..