Jumat, 21 Desember 2018

Dibalik Aksi represif RRC terhadap Uighur

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh...

Akhir-akhir ini rame pembahasan tentang penindasan pemerintah China terhadap muslim Uighur. Sebagian besar dari laki-laki dewasa muslim uighur dimasukkan ke dalam kamp dan dipaksa menghilangkan identitas mereka.

Saat berita tersebut viral di dunia, muncul banyak aksi protes dari masyarakat dunia. Negara-negara barat dan PBB mengecam tindakan tersebut. Sementara di Jepang, dilakukan aksi long march untuk membela muslim Uighur. Umat Islam Indonesiapun tidak ketinggalan, mereka mengadakan aksi protes di depan kedubes China di Jakarta.

Banyak yang mengutuk aksi pemerintah China tersebut dan menuduh pemerintah China anti Islam. Namun, saya pribadi melihatnya ini bukan murni karena persoalan agama, tapi ada faktor lain yang menyebabkan pemerintah China berperilaku represif terhadap muslim Uighur.

Kenapa saya mengatakan kalo ini bukan murni persoalan agama? karena di China sendiri, muslim dari suku Hui (sukunya Laksamana Cheng Ho) dapat hidup aman dengan menjalankan keyakinannya serta menjalankan perekonomian seperti rakyat China lainnya. Perlu diketahui, pemerintah China bukannya tidak membolehkan rakyatnya untuk memeluk agama, mereka bahkan tidak membatasi rakyatnya untuk memeluk agama apapun (di Indonesia dibatasi hanya 6 agama yang diakui), dan juga tidak melarang rakyatnya jika tidak ingin memeluk agama apapun, dalam artian menjadi atheis atau menjadi agnostik. Mereka bahkan tidak peduli dengan semua itu. Yang mereka larang adalah rakyat yang membawa-bawa urusan agama dalam pemerintahan dan kehidupan bernegara.

Walaupun bagi kita sebagai seorang muslim, pandangan ini salah, karena agama bukan hanya tentang diri kita sendiri dan ritual ibadah semata, tetapi didalamnya mencakup segala aspek kehidupan kita mulai dari politik, ekonomi, sosial, dan lainnya yang tidak bisa dipisahkan. Tapi pandangan pemerintah China ini didasari oleh pengalaman traumatis mereka ketika masa kerajaan yang mempunyai keyakinan bahwa raja adalah "anak langit" yang kekuasaannya di bumi merupakan perwakilan dewa-dewa di langit sehingga mutlak dipatuhi. Akibatnya raja dapat berlaku sewenang-wenang kepada rakyatnya. Hal ini yang tidak mau dialami pemerintah China lagi.
Peristiwa yang terjadi di China juga mengingatkan saya dengan apa yang terjadi di Indonesia, tepatnya di Papua. Jangan-jangan apa yang dilakukan pemerintah China terhadap muslim Uighur juga dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap rakyat Papua. Loh kok bisa? Ayo kita analisis.

Pada muslim Uighur, ada keinginan untuk merdeka dan mendirikan negara sendiri yaitu Turkistan Timur. Di Papua juga begitu, ingin mendirikan negara West Papua.
Pada muslim Uighur, banyak dari mereka yang dilakukan penahanan paksa tanpa proses hukum yang jelas. Di Papua juga terjadi demikian. Walaupun tidak sebanyak yang di Uighur.
Selanjutnya, banyak suku Han (mayoritas) yang bermigrasi ke wilayah Uighur sehingga rakyat Uighur yang pada mulanya mayoritas namun kini hampir menjadi minoritas dengan perbandingan 40% suku Han dan 60% suku Uighur. Di Papua juga demikian, banyaknya suku jawa yang difasilitasi oleh pemerintah bertransmigrasi ke Papua.

Kemudian, adanya upaya penghilangan identitas dan cara hidup muslim Uighur. Mereka dipaksa hidup dengan cara ala pemerintah China sehingga perekonomian mereka tergantung kepada suku Han. Hal ini juga terjadi di Papua, suku Papua yang makanan pokoknya sagu, dipaksa beralih kepada beras. Pemerintah membangun 1,2 juta hektar sawah (dan masih akan ditambah 3 juta hektar sawah lagi walaupun proyeknya masih mangkrak). Sehingga yang awalnya masyarakat Papua tidak perlu bercocok tanam, merawat bibit padi hingga tumbuh, memberi pupuk, bekerja untuk sawah milik orang lain, kini dipaksa untuk melakukan itu semua. Perekonomian mereka juga dijajah oleh pemilik pabrik khususnya sawit. Mereka terpaksa menjual tanah mereka kepada pemilik pabrik, jika tidak mau maka mereka akan dikriminalisasi, dan setelah dijual pun mereka dipaksa bekerja di tanah mereka sendiri sebagai buruh sewa. Sumber daya alam mereka, emas, tembaga, nikel, habis dikeruk sementara yang mereka dapat tidak sebanding.

Hal ini juga yang mungkin membuat pemerintah Indonesia belum mengeluarkan pernyataan sikap terkait yang terjadi di Uighur, karena mereka juga melakukan hal yang sama di negeri mereka sendiri. Di satu sisi, rakyat Uighur dan rakyat Papua menganggap mereka bukan bagian dari China dan Indonesia sehingga ingin merdeka. Bagi mereka tindakan mereka ini benar. Sementara di sisi lain, pemerintah China dan Indonesia juga menganggap tindakan mereka yang melakukan represi terhadap Uighur dan Papua benar karena mereka ingin mencegah tindakan separatis.

Yah memang begitulah pertikaian. Pertikaian memang akan terjadi jika kedua pihak merasa sama-sama paling benar. Maka dari itu tindakan yang tepat untuk mengatasi ini adalah dengan duduk dimeja perundingan. Karena jika tindakan represi ini semakin gencar maka tidak mungkin akan menyulut kemarahan rakyat yang dianiaya sehingga tindakan mereka akan semakin brutal. Namun baik tindakan perundingan maupun represi sama-sama mempunyai kerugian. Jika melakukan perundingan, maka pihak pemerintah secara otomatis mengakui eksistensi pihak musuh. Sedangkan jika dilakukan represi maka pemerintah akan dianggap sebagai pelanggar HAM. Saya rasa dilema inilah yang sedang dialami oleh TNI di Papua.

Terlepas dari itu semua, kita sepakat, upaya penangkapan, penganiayaan, penghilangan identitas secara paksa yang dilakukan pada masyarakat Uighur adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan. Aksi protes oleh umat Islam menunjukkan bahwa mereka telah memiliki kesadaran bahwa yang di Uighur sana juga saudara mereka, karena muslim itu bersaudara. Semoga semangat persatuan di kalangan umat Islam ini semakin kuat sehingga nantinya sekat-sekat yang lain akan hilang dan kita hanya akan disatukan oleh satu entitas yaitu entitas keIslaman.

Kamis, 18 Oktober 2018

Mengenal Psikologi Islam


Asosiasi Psikologi Islam (API) merupakan satu dari 13 asosiasi atau ikatan yang ada di Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI). Selain API, di HIMPSI juga terdapat asosiasi atau ikatan lainnya seperti Asosiasi Psikologi Kristiani (APK), Asosiasi Psikologi Forensik (APSIFOR), Ikatan Psikologi Olahraga (IPO), Ikatan Psikoterapis Indonesia, dan lainnya dengan total 13 asosiasi atau ikatan.
Salah satu tujuan dari API adalah sebagai sarana perkembangan Psikologi Islam di Indonesia dan sekaligus memberikan banyak kemanfaatan bagi masyarakat luas. Psikologi Islam sendiri berangkat dari kenyataan bahwa psikologi kontemporer dalam perkembangannya dianggap mengalami distorsi yang fundamental, psikologi yang seharusnya membicarakan konsep jiwa, namun ternyata tidak mau tahu dengan hakikat jiwa. Serta keberatan akan praktek melandaskan kajian perilaku manusia pada hasil penelitian terhadap perilaku hewan, sehingga seolah-olah psikologi mempelajari yang “tidak berjiwa” (Mudjib & Muzakir, 2002). Kemudian psikologi kontemporer juga cenderung mengabaikan latar belakang kebudayaan dan karakteristik masyarakat. Karena teori yang dikembangkan di suatu daerah dengan budaya serta karakteristik masyarakat tertentu belum tentu sesuai untuk diaplikasikan di daerah lain dengan karakteristik masyarakat dan budaya yang berbeda.
Konsep ini juga didukung oleh seorang psikolog asal Amerika yang bernama Erich Fromm. Dia menyatakan bahwa kebutuhan utama manusia untuk hidup secara bermakna yang berwujud aktivitas menyembah Sang Pencipta, belum dipenuhi oleh peradaban Barat (Amerika). Para psikolog lain seperti P. Scott Richards dan Allen E. Bergin dari American Psychological Association (APA) juga menyatakan bahwa pentingnya memasukkan nilai religius dan spiritual dalam intervensi psikologi.
Di Indonesia, momentum Psikologi Islam diawali dengan terbitnya sebuah buku hasil karya Djamaluddin Ancok & Fuad Nasahari Suroso dengan judul Psikologi Islami, Solusi Islam  atas  Problem-problem Psikologi (1994). Kemunculan buku ini berbarengan dengan berlangsungnya kegiatan Simposium Nasional Psikologi Islam I. Psikologi Islami didefinisikan sebagai ilmu yang berbicara tentang manusia, terutama masalah kepribadian manusia, yang berisi filsafat, teori, metodologi dan pendekatan problem dengan didasari sumber-sumber formal Islam, akal, indera dan intuisi (Ancok & Suroso, 2005). Sedang menurut Baharuddin (2005), Psikologi Islam adalah sebuah aliran baru dalam dunia psikologi yang mendasarkan seluruh bangunan teori-teori dan konsep-konsepnya kepada Islam. Dapat disimpulkan, Psikologi Islam adalah ilmu tentang jiwa dan perilaku manusia berdasarkan sumber utama Islam, yaitu Al-qur’an dan Hadis.
Ada perbedaan pendapat untuk menamai konsep psikologi baru ini dengan “Psikologi Islami” (dengan i) atau “Psikologi Islam” (tanpa i). “Psikologi Islami” mewakili pilihan para ahli untuk menonjolkan ilmu psikologi yang dilatari oleh konsep Islam, sedang “Psikologi Islam” dimaksudkan “sebagai bagian” dari studi Islam untuk menjelaskan berbagai fenomena psikologi. Semenjak berdirinya Asosiasi Psikologi Islami pada tahun 2002, nama resmi yang diakui untuk konsep psikologi baru ini adalah “Psikologi Islami” (dengan i). Namun setelah konferensi API pada tahun 2015, nama yang disepakati adalah “Psikologi Islam” (tanpa i). 
Mengenai ruang lingkup Psikologi Islam, jika ruang lingkup psikologi kontemporer terbatas pada tiga dimensi, yaitu: dimensi fisik-biologi, dimensi kejiwaan dan sosiokultural. Maka Psikologi Islam juga mencakup dimensi kerohanian (spiritual). Selain itu, terdapat beberapa alternatif metode yang bisa digunakan untuk membangun Psikologi Islam yaitu Metode Pragmatis dan Metode Idealistik (Mujib & Mudzakir, 2002). Metode Pragmatis adalah metode pengkajian dan pengembangan psikologi Islam yang mengadopsi kerangka teori-teori psikologi kontemporer yang telah mapan. Teori-teori tersebut kemudian dicarikan legalisasi dan justifikasinya dari Al-Qur’an dan Hadis. Sementara Metode Idealistik yaitu metode yang lebih mengutamakan penggalian Psikologi Islam dari ajaran Islam sendiri. Metode ini menggunakan pola deduktif dengan cara menggali premis mayor (sebagai postulasi) yang digali dari Al-Qur’an dan Hadis.
Jika tujuan Psikologi Barat hanya tiga; menguraikan, meramalkan dan mengendalikan tingkah laku, maka Psikologi Islam menambah dua poin; yaitu membangun perilaku yang baik dan mendorong orang hingga merasa dekat dengan Allah SWT. Konseling Psikologi Islam tidak hanya fokus pada sekitar masalah sehat dan tidak sehat secara psikologis saja, namun juga menembus hingga bagaimana orang merasa hidupnya bermakna.
Namun perlu diingat bahwa meskipun Psikologi Islam tidak dapat terpisahkan dari agama Islam, Psikologi Islam adalah ilmu pengetahuan yang harus dikembangkan secara ilmiah. Artinya, integrasi antara psikologi dan agama tidaklah dilakukan secara ngawur atau mereduksi fenomena keagamaan menjadi semata-mata fenomena psikologi. Psikologi Islam juga tidak untuk disakralkan atau menggantikan peran agama dalam upaya mengatasi permasalahan kejiwaan.
Diatas semua itu, Psikologi Islam sebagai disiplin ilmu yang relatif muda masih memiliki beberapa kendala sendiri saat ini seperti integrasi psikologi dengan Islam yang masih bertaraf teoritik dan belum pada tataran aplikatif serta belum adanya alat tes dalam mengukur kriteria-kriteria tertentu. Dengan semakin dikenalnya Psikologi Islam, harapannya kalangan ilmuan psikologi, praktisi, peneliti dan siapapun yang tertarik dengan Psikologi Islam dapat menemukan solusi atas permasalahan ini sehingga membuat Psikologi Islam menjadi disiplin ilmu yang kokoh.

Referensi:
Ancok, Jamaluddin Ancok & Fuad Nashori. 2005. Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Badri, M. B. 1993. Dilema Psikolog Muslim. Yogyakarta: Pustaka Firdaus.
Baharuddin. 2005. Aktualisasi Psikologi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bastaman, Hanna Djumhana. 1997. Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jamaluddin, Dadan dkk. 2006. Psikologi Islami, alternatif pendekatan lewat kacamata Islam, diskusi reguler jurusan Tasawuf Psikoterapi. Fakutas Ushuluddin.
Mujib, Abdul &  Mudzakir. 2001. Nuansa-nuansa Psikologi Islam. Jakarta: Raja Grafindo.
Purwoko, Saktiyono B. 2012. Psikologi Islami: Teori dan Penelitian (cetakan kedua). Saktiyono Wordpress.

Kamis, 04 Oktober 2018

Azab, ujian, atau alamiah?


Assalamu’alaikum. Selamat malam.
Sudah lama tidak menulis, dan Alhamdulillah pada kesempatan kali ini bisa menulis kembali.
Baru-baru ini Indonesia dikejutkan dengan gempa dan tsunami yang terjadi di Donggala & Palu, Sulawesi. Gempa tersebut terjadi pada tanggal 28 September 2018 pukul 18:02 WITA atau 17:02 WIB. Gempa dengan kekuatan 7,4 SR (ada yang menyebut 7.7 SR) ini diikuti oleh tsunami yang meluluhlantakkan kota Palu dan Donggala. Tak cukup sampai disitu, tak lama setelah gempa dan tsunami, terjadi fenomena Likuifaksi atau tanah bergerak yang menelan satu kompleks perumahan kedalam tanah. Sampai saat ini, 2000 orang telah dinyatakan sebagai korban dan jumlahnya terus bertambah. Kita bersedih dan berduka atas peristiwa ini. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan untuk menghadapi ini.
Yang menarik, banyak yang berkomentar mengenai peristiwa ini di media sosial. Ada yang beranggapan ini adalah ujian, ada yang mengatakan ini azab, dan ada yang berpendapat ini adalah kejadian alam biasa yang tida perlu disangkutpautkan dengan kehendak Tuhan. Netizen di media sosial, ramai membincangkan ini. Manakah pendapat yang benar? Menurut saya, ketika terjadi bencana alam di suatu tempat, maka yang harus diinterospeksi pertama kali adalah diri sendiri. Jadikan bencana tersebut sebagai kesempatan untuk melihat kembali apa yang telah kita perbuat selama ini. Apakah yang kita lakukan telah sesuai dengan perintah Allah dan kita tidak melakukan yang dilarangnya? Apakah kita telah benar-benar memurnikan ketaatan kepada Allah dan tidak menyekutukannya? Itulah yang harus kita lakukan pertama kali saat mendengar bencana terjadi di suatu tempat.
Jangan sibuk menghakimi orang lain dengan menuduh bencana yang terjadi di tempat tersebut sebagai azab atas dosa penduduknya. Tapi berkacalah kepada diri sendiri atas apa yang telah diperbuat selama ini. Bencana tidak terjadi di tempat kalian bukan berarti kalian lebih baik dibanding penduduk yang tertimpa bencana. Bisa jadi tidak terjadinya bencana di tempat kalian adalah karena Allah sudah tidak peduli dengan kalian. Atau Allah sengaja menangguhkan bencana di tempat kalian sampai kalian terlena dengan dosa-dosa kalian. Dan bisa saja bencana yang menimpa saudara kalian di tempat lain adalah karena Allah masih sayang dengan mereka. Allah ingin mereka kembali mengingat Allah dengan memberinya bencana tesebut. Siapa tau setelah bencana itu, penduduk di daerah tersebut menjadi lebih ta’at kepada Allah. Sementara kita yang sibuk menghakimi malah tidak mendapat pelajaran dari peristiwa tersebut dan semakin jauh dari Allah. Semoga kita dijauhkan dari hal tersebut.
Sekarang pertanyaan selanjutnya? Apakah gempa dan tsunami yang terjadi atas campur tangan Allah atau hanya kejadian alamiah biasa? Saya sepakat bahwa gempa dan tsunami tersebut terjadi atas kehendak Allah. Karena bahkan satu helai daun yang gugurpun terjadi atas kehendak Allah. Apakah Allah jahat? Tidak karena bisa saja ada hikmah dibalik persitiwa tersebut yang kita tidak tau.
Apakah setiap bencana diartikan sebagai azab dari Allah? Menurut saya tidak. Bisa saja bencana tersebut terjadi karena Allah menginginkannya seperti itu, Bisa saja bencana itu memang sesuatu yang harus terjadi dan telah dituliskan di lauhul mahfudz jauh sebelum manusia tercipta. Atau bisa juga bencana itu merupakan cara Allah agar bumi kembali menemukan titik keseimbangannya. Wallahu'alam, kita tidak selalu tau apa hikmah dibalik suatu peristiwa, namun yang harus kita lakukan adalah berhusnudzan kepada Allah dan orang yang sedang ditimpa bencana serta melakukan introspeksi kepada diri sendiri.
 Demikian opini saya untuk peristiwa ini. Semoga Sulawesi cepat pulih.

Kamis, 23 Agustus 2018

Apa yang kamu cari di Psikologi?


“Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali" - Tan Malaka ”.
Saat pertemuan dengan dosen wali untuk persetujuan Kartu Rencana Studi, dosen wali saya menanyakan pertanyaan “Apa yang kamu cari di Psikologi?”. Ingatan saya kembali di tahun 2015 saat saya mendaftar di fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Niat awal saya hanya ingin lolos dan diterima di jurusan psikologi dan di salah satu universitas terbaik di Indonesia. Setelah dinyatakan diterima, niat itu berubah menjadi saya ingin setelah lulus bekerja sebagai dosen psikologi.
Kemudian setelah saya menjalani beberapa semester di Fakultas Psikologi, saya kembali memikirkan alasan saya berada di Fakultas Psikologi. Dengan bertambahnya mata kuliah yang telah saya ambil membuat saya melihat manusia dari sudut pandang lain. Jika selama ini saya mudah sekali “menghakimi” manusia jika melakukan kesalahan, maka setelah saya belajar di psikologi saya menjadi lebih berusaha untuk tidak tergesa-gesa menghakimi seseorang atas kesalahan yang dilakukannya. Saya belajar untuk mencari tau terlebih dahulu apa yang melatarbelakangi perilaku seseorang. Karena sejatinya perilaku manusia tidak muncul begitu saja, namun dilatarbelakangi oleh pengalaman dan nilai yang dianutnya semenjak dia lahir.
Psikologi membuat saya lebih bijak. Mungkin bisa dikatakan seperti itu. Saya mulai memahami bahwa setiap manusia itu unik. Setiap manusia itu istimewa. Setiap manusia itu berharga. Tinggal bagaimana caranya mengoptimalkan keistimewaan yang dimiliki manusia. Beranjak ke semester 5 membuat saya lebih sering berjumpa dengan mata kuliah berbau PIO. Saya kemudian berpikir setelah lulus untuk bekerja sebagai HRD di sebuah perusahaan. Karena dari yang saya baca karir di dunia psikologi industri dan organisasi juga bervariasi dan alumni psikologi sangat amat terbuka untuk hampir dalam berbagai jenis pekerjaan di dunia industri. Tau kenapa? Karena belajar psikologi sebenernya amat sangat simple, bahwa kita sebenarnya mempelajari alam pikiran manusia dan kebiasaannya dalam kehidupan sehari-hari.
Apa yang kamu cari di Psikologi? Di mata kuliah metode penelitian kuantitatif dan kualitatif saya belajar berbagai metode penelitian karena psikologi juga identik dengan data statistik. Selain itu di psikologi saya juga belajar untuk bekerjasama dalam tim. Bagaimana kamu mengelola tim, goal yang ingin kamu capai, dan bagaimana setiap anggota tim kamu bersedia untuk bekerja sama dengan kamu kurang lebih belajar seperti itu.
Apa yang kamu cari di Psikologi? Seiring lamanya saya di psikologi, jawaban dari pertanyaan tersebut selalu berubah-ubah. Namun untuk saat ini yang saya yakini, yang saya cari di psikologi adalah ilmu psikologi itu sendiri. Dengan ilmu, harkat dan martabat manusia akan terangkat. Dan dengan ilmu dia akan bisa berkontribusi di masyarakat. Ilmu psikologi akan sangat dibutuhkan oleh masyarakat kita. Karena dimana ada manusia, disitu ada persoalan yang bisa diselesaikan dengan ilmu psikologi.
 - Reyhan Respati (Mahasiswa Psikologi Universitas Airlangga)
 - Prof. Dr. Cholichul Hadi, Drs., M.Si., Psikolog (Guru Besar Universitas Airlangga)