Sabtu, 14 November 2015

MENGAPA PILIH SURABAYA?


Sebelum gue mulai, gue bakalan kasih tau lo letak Padang itu dimana, karena masih banyak yang nanya Padang itu provinsi mana. Jujur aja gue sedih masak lo masih belom tau Padang itu dimana. Itu kan masih Indonesia, seengganyo lo tau lah.



Padang adalah Ibu Kota Provinsi Sumatera Barat (SUMBAR).
Udah tau kan? Oke.. sekarang waktunya ceritaa..

Mengapa pilih Surabaya? Di Padang ga ada Psikologi? Kenapa ga lanjut Psikologi UNP aja?
2 pertanyaan ini yg paling sering ditanyain ke gue. Oke gue akan coba bahas.
Kenapa pilih Surabaya, ga Padang aja? Ya karena sejak duduk di bangku SMA, keinginan gue itu emang kuliah di Jawa. Gue itu ga suka berdiam diri di suatu tempat. Gue ga pengen jadi katak dalam tempurung.  Namun di tahun pertama SBM (tahun 2014 maksudnya), gue belum berhasil buat kuliah di Jawa. Di tahun 2014 itu gue bertekad tahun depannya gue bakalan ngulang sbmptn. Hal yang bikin gue pengen banget ngulang sbmptn adalah karena gue masuk psikologi UNP (Universitas Negeri Padang) itu lewat jalur mandiri yang pake nilai rapor, dan nilai rapor itu gue akui ga murni 100% hasil usaha gue. Selama SMA, gue juga pernah nyontek, lihat buku, Tanya sana Tanya sini. Lo bayangin aja betapa mengerikannya kalo gue duduk di bangku kuliah karena nilai yang ga murni, gue udah ambil hak orang lain dan kursi yang gue duduki karena nilai ga murni itu bakalan jadi ga berkah. Lalu gimana nanti kalo setelah lulus kuliah gue kerja dan ngasih makan keluarga dari nilai kotor yang gue dapat waktu SMA yang karena itu gue bisa kuliah dan karena ijazah kuliah itu gue bisa kerja dan dapat duit. Paham gak sama yg gue maksud? Bahasanya emang agak berbelit-belit. Baca lagi dari atas kalo belum paham.

Tapi lama kelamaan gue mulai nyaman di Psikologi UNP, sama temen-temennya, sama suasana kampusnya, sama seseorang yang udah ga jadi seseorang lagi. Namun mengingat alasan yg gue utarain tadi akhirnya gue milih untuk ikut sbm lagi. Cuma buat coba-coba. Pilihan pertama gue pilih Psikologi Airlangga. Kenapa Psikologi? Karena gue udah jatuh cinta sama Psikologi. Kenapa Airlangga? Di Indonesia, Psikologi dengan akreditasi A (yang negeri) ada 4, UI dan UGM (keduanya terlalu sulit buat gue). UNPAD (sayangnya IPA, walaupun gue IPA tapi hati IPS). Dan AIRLANGGA (disinilah kita).satu-satunya yang kurang dari Airlangga adalah letaknya yang kejauhan, di Timur Djawa Dwipa, megah Engkau bertahta, Ksatria Airlanggaa.. (malah nyanyi hymne Airlangga). Pilihan kedua jurnalistik UNPAD, karena sepupu gue ada yg kerja di TR*NS TV dan gue juga suka nulis. Pilihan ketiga sastra sejarah UNPAD, karena gue paling suka sejarah (keliatan dari mukanya, kayak fosil).

Sebenernya gue ga yakin sama pilihan pertama gue, karena itu sesuatu yang wow! Sementara persiapan gue minim. Dan akhirnya tibalah saat ujian SBMPTN. Atas berkat rahmat Allah yang Maha kuasa, gue merasa soal-soalnya lumayanlah. Dari 15 soal sejarah, gue isi 12 soal. Gue sempat merasa heran karena di ruangan itu, gue yang pertama kali siap. Dalam hati gue berkata, minimal gue bisa lulus pilihan kedua, Insya ALLAH. Ternyata Allah memberi yang lebih baik, gue lulus pilihan pertama. Gue sempat bimbang bakalan ngambil atau engga. Salah satu yg bikin gue bimbang, gue harus jauh dari kakek dan nenek gue. Mereka adalah orang yang sangat berarti bagi gue. Mereka ga pengen gue kuliah jauh-jauh. Kakek gue takut kalo ntar dia kenapa-napa gue ga bisa ngeliat, atau kalo gue yg kenapa-napa di daerah orang jauh dari keluarga. Ntar gue ceritain khusus tentang kakek dan nenek gue. Tapi setelah diberi wejangan sama orang tua dan teman-teman gue akhirnya gue ambil juga. Diantara kata-kata temen gue yg gue ingat, “dari kecil lo udah ngabisin waktu sama kakek dan nenek lo, mungkin ini saatnya lo perjuangin hidup lo sendiri, kakek dan nenek lo pasti bakalan ngerti dan pahamin keputusan lo ini”, “bayangin berapa banyak orang yang ingin duduk di kursi yang bakalan lo buang, bayangin berapa orang yang udah lo kalahin buat dapat satu kursi itu, jangan buat itu jadi sia-sia”, “kuliah di jawa bisa membuka peluang untuk sukses, serta bikin lo punya banyak pengalaman yang ga bakalan lo dapetin di kampung.”

Dan akhirnya gue berangkat. Gue ga terlalu mengumbar soal kepindahan gue sama teman-teman gue di Psikologi UNP karena gue ga mau dianggap pergi dari mereka, gue mau gue tetap dianggap berada disana. Tapi karena gue ga pamit, mereka malah bilang gue ngelupain mereka, walaupun itu dibilangnya sambil bercanda.

Setiap kali ada yang nanya tentang kesan gue terhadap Surabaya, jawaban pertama gue pasti selalu “PANAS!!” gue bener-bener salut ama arek-arek suroboyo yang mampu bertahan hidup dari kecil hingga gede tinggal disini. Disini hukumnya wajib buat mandi sore, kalo ga mau badan lo gatel-gatel semaleman. Panas Surabaya cocok buat bikin kulit lo menjadi eksotis hanya dalam beberapa hari saja.

Satu hal lagi, ketika musim kemarau hujan benar-benar ga turun sama sekali disini. Bayangin selama hampir 4 bulan hujan ga turun sama sekali, dan baru beberapa hari yang lalu akhirnya hujan turun. Gue ga pernah bayangin kalo di Indonesia ada daerah kayak gini. Di tempat gue, semusim kemaraunya musim, hujan paling engga turun satu kali dalam 3 minggu, dan itupun orang-orang udah pada ngeluh. Tapi yang gue salutin disini, mereka sama sekali ga ngeluh. Mereka seakan udah terbiasa sama kondisi kayak gini. Ini sudah jadi hal yang lumrah bagi mereka. Ketika hujan turun beberapa hari yang lalu, gue ga bisa menahan keinginan gue untuk berbasah-basahan dengan hujan. Gue kangen bau yang tercium ketika hujan turun, gue kangen saat hujan menyirami dedaunan, gue kangen suaranya, gue kangen semuanya tentang hujan. Orang yg ngeliat gue mandi hujan mungkin bakalan merasa freak sama gue, tapi itu murni wujud syukur gue sebagai orang yang selama ini tinggal di tempat yang dianugerahi hujan yang cukup dan tiba-tiba pindah ke tempat dengan iklim yang baru.

Ya, mungkin itu yang bisa gue ceritain kali ini. Kalo ada salah-salah kata mohon maaf, tulisan ini murni buat hiburan dan ungkapan hati aja. aku sayang kalian pembacaku, walaupun silent reader seengganya kalian udah baca.

Jumat, 18 September 2015

REFLEKSI DIRI


Sebenarnya ini tugas ospek gue di tempat yang baru, Psikologi Airlangga. Kami disuruh nulis tentang diri sendiri. Jadi gue post aja sekalian ke blog, biar yang lain bisa baca. Maaf akhir-akhir ini jarang ngepost, soalnya masih sibuk adaptasi sama tempat baru dan budaya baru. Oh iya, buat yang baru pertama kalinya mampir ke blog gue, gue jelasin dulu. Blog ini bercerita tentang keseharian dan pengalaman gue, kadang gue juga post cerpen dan cerita motivasi disini. Buat yang baru gabung, gue saranin kalian baca dulu tulisan gue yang judulnya, “SALAM KENAL”, biar kalian tau sejarah dan arah tujuan blog ini (check di postingan awal). Tetapi sebelumnya gue kasi tau kalo blog ini tidak bermanfaat, semoga kalian suka dengan ketudakermanfaatan blog ini.
Nama lengkap gue Reyhan respati. Boleh dipanggil reyhan. Gue lahir di Muara panas, Sumatera Barat pada tanggal 02 Desember 1995. Oke, sebelum kalian komentar, gue akan jujur gue sudah tua. Tapi tampang masih muda (pose senyum keren). Nanti akan gue ceritakan lebih jelasnya lagi, sekarang gue mau nulis biografi dulu. Gue anak pertama dari 5 bersaudara. Ya, sebuah keluarga besar. Adik pertama gue perempuan dan selebihnya laki-laki. Di rumah selalu terjadi pertempuran besar antara adik-adik lelaki gue. Berikut ini riwayat pendidikan gue: tahun 2000-2002 TK Nurul Usmany, 2002-2008 SDN 10 Muara Panas, 2008-2011 SMPN 1 Bukit Sundi, 2011-2014 SMAN 1 KOTA SOLOK. Saat SMP gue sempat bergabung di OSIS dan menjadi ketua 2, kemudian gue juga sempat mengikuti olimpiade Biologi tingkat provinsi. Dari sekolah dasar sampai sekolah menengah pertama, Alhamdulillah gue selalu meraih peringkat pertama di sekolah. Namun semuanya berubah saat fisika, kimia dan matematika menyerang di sekolah menengah atas. gue hanya menduduki peringkat 15 besar. gue anak IPA yang salah masuk IPA. Bahkan pelajaran yang paling gue sukai adalah sejarah. Ciri-ciri orang yang susah move on. Kenapa gue suka sejarah? Karena dengan membaca sejarah gue bisa menembus waktu dan mencermati pemikiran-pemikiran tokoh terkenal pada zamannya. Sejarah bukan untuk dilupakan, tapi untuk diambil manfaatnya agar kita tidak jatuh di lubang yang sama. Di SMA gue kembali bergabung di OSIS dan menjabat sebagai ketua seksi bahasa dan sastra. Masa SMA bisa dibilang masa yang menyenangkan karenague sudah lebih bebas. gue biasa pergi jalan-jalan dengan teman-teman gue ke berbagai tempat menakjubkan di sumatera barat. Sejak saat itu, jalan-jalan menjadi salah satu hobi gue.
Oke, selanjutnya kita akan cerita tentang perjuangan paling susah yang pernah gue alami sampai di usia gue sekarang ini, yaitu perjuangan masuk perguruan tinggi negeri. Saat itu tahun 2014, gue telah mencoba snmptn, sbmptn, simak ui, dan ujian mandiri lainnya, namun belum diberi kesempatan untuk lulus di salah satu PTN. Kemudian gue juga coba ikut sekolah kedinasan, STAN, STIS, AMG, STTD namun juga masih belum berhasil. Secara akademis nilai-nilai saya termasuk baik, dan gue juga tidak terlalu bodoh. gue sempat merasa frustasi melihat teman-teman gue sudah kuliah sementara status gue masih digantung. Gue bahkan sempat berpikir jika gue masih gagal ujian PTN gue akan pergi menyebarkan agama Islam ke mentawai, salah satu pulau terpencil di Sumatera Barat. Namun akhirnya Tuhan menakdirkan lain. Gue diterima di 2 universitas melalui ujian mandiri gabungan beberapa universitas. Yang pertama di psikologi universitas negeri padang dan yang kedua di sastra sejarah undip. Lalu setelah gue berkonsultasi dengan orang tua gue memutuskan memilih psikologi Universitas Negeri Padang. Namun emang dasar orang minang, keinginan untuk merantau ke pulau jawa itu masih ada di dalam hati gue. gue bertekad untuk mengulang lagi tahun depan, di tahun 2015. tanpa maksud merendahkan, banyak hal yang membuat gue tidak betah disana. Tapi ditahun 2014 untuk sementara gue tetap di psikologi UNP.
Ternyata kuliah di psikologi UNP tidak sepenuhnya jelek karena ketika kuliah disana gue mengalami pengalaman paling mengesankan yang pernah gue alami sampai sejauh ini, yaitu mendaki gunung Marapi. Gunung Marapi ini bukan gunung yang ada di jawa, melainkan gunung yang berada di Sumatera Barat. Hanya saja memiliki kemiripan nama dengan yang berada di jawa. Sejak kecil gue memang suka bertualang, gue sering bermain di kebun orang dan merasa sedang di hutan belantara. Telah lama gue ingin mendaki gunung namun baru kesampaian di tahun 2014. gue bersama teman-teman kampus beranggotakan 6 orang berangkat pada akhir tahun. Kami berangkat dari kaki gunung pukul 10 malam. Dan baru sampai cadas pada pukul 4 pagi.  Cadas adalah daerah tanpa vegetasi tumbuhan yang dipenuhi kerikil. Setelah cadas adalah puncak. Bagi sebagian orang, bagian paling menyenangkan dari mendaki gunung adalah ketika melihat sunset atau sunrise, namun bagi gue bagian paling menyenangkannya adalah ketika melihat bintang. Karena cadas tidak ada pepohonan yang menghalangi langit lagi, maka ketika gue duduk di sebuah batu dan menengadahkan kepala gue keatas, pemandangan yang gue lihat adalah pemandangan paling spektakuler yang tidak akan pernah gue lupakan seumur hidup, ribuan bintang memenuhi langit malam dengan cahayanya yang terang benderang. Hampir tak ada ruang di langit yang kosong tanpai diisi bintang. Jauh lebih indah dari yang pernah gue lihat di planetarium. Keindahan ini masih ditambah lagi dengan bintang jatuh yang muncul tiap beberapa menit. Malam itu gue merasa kecil dihadapan Tuhan, dengan alam yang begitu luas, gue hanyalah setitik debu yang tidak berarti apa-apa dibandingkan alam semesta ini. Dari pengalaman ini gue berkesimpulan bahwa mendaki adalah pengalaman yang harus kamu coba dalam hidup kamu, minimal sekali seumur hidup.
Lulus di psikologi airlangga adalah anugerah yang luar biasa bagi gue, sesuai dengan apa yang gue tempelkan di dinding kamar gue. Gue menuliskan kalau di tahun 2015 gue akan keluar dari sumatera barat, bukan buat sekedar jalan-jalan tapi buat kuliah, dan itulah yang terjadi. Dengan restu orang tua, gue berangkat dari padang hingga menginjak tanah Surabaya, yang baru pertama kalinya gue kunjungi, tanpa sanak saudara disini dan dengan bahasa jawa yang tidak gue mengerti. Awalnya gue pikir gue adalah species terakhir dari jenis gue yang berada di Airlangga, namun ternyata masih ada anak Padang lainya. Kesan pertama  gue terhadap Surabaya adalah panas, tetapi orang-orang disini dalam beberapa hal lebih ramah dari di tempat gue. Gue senang mengenal budaya baru, makanan baru dan teman-teman baru disini. Gue sudah coba lontong balap dan rujak cingur dan gue juga sudah bisa berbahasa jawa sedikit-sedikit, sek-sek, kon nang ndi? Niki pinten? Suwuun.
Kedepannya gue akan berusaha disini, gue mempunyai keinginan S2 di jepang atau Australia, kemudian gue akan menjadi dosen psikologi dan mendirikan yayasan rumah baca di Padang dan Papua.
Untuk lebih mengenal tentang gue, silakan kunjungi blog saya yang tidak laku karena banyak yang jadi silent reader, “reyhanpatih.blogspot.com”. sekian.

Terima kasih telah mampir, Jangan lupa baca cerita yang lainnya. Buat yang baru mampir jangan lupa baca “SALAM KENAL” http://reyhanpatih.blogspot.co.id/2014/10/assalamualaikum-selamat-malam-bro-dan.html )  untuk tau kegajean gue.

Sabtu, 04 April 2015

Marapi 2.891mdpl

Selamat malam mblo? Sudah makan? Makan apa? Makan perasaan?  T.T
Sebenarnya malam ini ada gerhana bulan total, tapi karena hujan ga keliatan. Padahal gue pengen banget liatnyaa.. ya udahlah.
Oke, malam ini gue mau cerita tentang pendakian kedua gue ke MARAPI. Setelah pendakian pertama yang kurang sukses, gue berniat kembali untuk mendaki. Kali ini gue berangkat bareng teman-teman SMA gue karena mereka kebetulan juga lagi libur waktu itu.
Kami yang berangkat ke marapi ada 5 orang. Berbeda dari cerita sebelumnya yang pake nama samaran, kali ini gue pake identitas asli teman-teman gue yang pergi. Berikut ini gue kenalin personelnya satu persatu....
yang pertama Agung, anak teknik informatika Universitas Padjajaran (UNPAD) , biasanya ketika SMA kalo ada acara jalan-jalan dialah pencetusnya. Dia sangat bersemangat dengan pendakian ini. agung berencana melakukan pendakian ketika kembali ke Jatinangor, jadi dia menganggap pendakian ke marapi ini sebagai latihan.
Yang kedua ada Zakhwan, anak Teknik Mesin Universitas Andalas (UNAND), dulu waktu baru kenal dia super pendiam, ternyata aslinya dia gila dan kocak, di masa SMA zakhwan adalah teman gue dalam melakukan hal-hal absurd. Ketika kami ngajak dia buat ikut pendakian ini, dia mau-mau aja.
Selanjutnya Syafril, atau kami biasanya manggil Ajo (nama panggilan buat orang Pariaman). Ajo ini kuliah di Teknik Lingkungan UNAND, biasanya dia paling susah diajak jalan-jalan, tapi kali ini dia mau ikut, hobinya futsal.
Lalu ada habib, teman sejurusan gue di Psikologi Universitas Negeri Padang (UNP) sekaligus teman seranjang, eh maksudnya teman sekamar gue di kos an. Dia dulu sekolah di MAN model Padang.
Dan terakhir gue....
Kami berempat berangkat dari Solok hari Rabu, tanggal 28 Januari 2015, sementara Habib menunggu di Bukittinggi. Sebenarnya kami akan berangkat hari sabtu minggu lalunya tapi karena cuaca ga mendukung perjalanannya kami undur jadi Rabu. Karena kami mengundur perjalanan, tenda yang rencana akan kami sewa di solok telah disewakan kepada orang lain. Maka kami putuskan untuk menyewa tenda di kotobaru, suatu daerah sebelum menuju pos pendaftaran. Setibanya disana ternyata tempatnya tutup. Harapan terakhir kami di Bukittinggi. Kalo ga ketemu tempat penyewaan tenda, bisa-bisa rencana pendakian ini batal. Untungnya kami berhasil menemukannya di daerah ngarai, tenda dengan kapasitas 4 orang (walaupun kami berlima) dengan harga 40rb untuk 24 jam. Setelah mendengar beberapa petuah dan nasehat dari pemilik tenda kami berangkat menjemput habib di kos gue.
Setiba di kos hari telah malam, pendakian memang malam hari rencananya akan kami lakukan. Di kos kami makan dulu. Pukul 21.30, Setelah membeli beberapa air mineral (3 botol ukuran 1 liter untuk satu orang), biskuit dan roti kami berangkat ke kotobaru, lalu belok kiri di pasarnya kalau dari bukittinggi, kami menuju pos pendaftaran.
Biaya administrasinya 7rb per orang dan 10rb per motor. Setelah mendaftarkan nama dan membayar biaya adminstrasi, petualangan pun dimulai. Kami mulai menuju pos satu. Untuk kondisi geografis Marapi mungkin ga akan gue jelasin panjang lebar lagi karena udah gue bahas di pendakian pertama, cerita sebelumnya. Sesampai di pos satu kami beristirahat sebentar, dan pukul 11 malam kami mulai memasuki hutan lebat menuju puncak. Diantara kami berlima hanya gue dan habib yang pernah mendaki. Itupun baru satu kali. Sebenarnya kami agak nekat juga pergi mendaki.
Agung berinisiatif berjalan paling depan, walaupun belum pernah mendaki. Gue udah ngasih saran ke agung, yang harus dia lakukan hanya mengikuti jalur yang ada. Belum beberapa lama berjalan gue minta istirahat. Sialan, berbeda dari pendakian pertama, kali ini gue lebih cepat lelah. Kata zakhwan mungkin karena rasa ingin tahu gue udah ga sebesar pendakian pertama. Beberapa kali gue minta istirahat. Akhirnya gue ngerti perasaan Halim(nama samaran) di pendakian pertama.
Setiap ada jalan yang bercabang, gue ngasih tau ke Agung jalan mana yang harus diambil. Seingat gue ketika mendaki Marapi, ketika ada jalan bercabang, lu harus ngambil yang kanan terus, kecuali di satu tempat yang lu harus ambil kiri.
Belajar dari pengalaman sebelumnya kali ini kami punya cukup senter. Walaupun begitu sekeliling kami tetap gelap, kami harus berhati-hati memilih jalan. Bayangkan kami berjalan dini hari di tengah hutan yang gelap, mana sepi lagi, ga ada pendaki lain. Gue sempat melihat bayangan-bayangan menyeramkan, yang gue anggap Cuma halusinasi gue ato bayangan ranting pohon. Ternyata zakhwan juga melihatnya, dia menceritakan ini ketika kami telah turun. Di saat pendakian gue hanya diam, ga cerita kalo gue lihat bayangan aneh dan tetap jalan, ga mau merusak suasana pendakian.
03.00 dini hari
Kami telah berjalan selama 4 jam, dan kami rasa sebentar lagi kami akan sampai. Sepanjang perjalanan kami isi dengan bercerita dan terus saling menyemangati. Satu botol air mineral telah habis. Rute yang kami lewati mulai sulit, kami mulai sering memanjat akar-akar pohon yang besar, melewati pohon tumbang, berjalan di sela-sela saluran air alami dari tanah.
04.00 dini hari
Mulai terdengar suara mengaji dari kaki gunung. Ajo terkejut sekaligus kagum karena suara bacaan Alquran bisa sampai ke atas sini. Ketika pendakian pertama gue juga tertegun mendengarnya. Kalo sebelumnya gue yang banyak minta istirahat, maka sekarang Ajo lah yang banyak minta istirahat. Hingga pada suatu ketika dia minta berhenti karena rasa mual, kepalanya juga pusing. Dia merasa udah ga kuat lagi. Untungnya kami udah sampe di pintu angin, tempat peristirahatan para pendaki sebelum menuju cadas. Setelah cadas adalah puncak. Kami berencana mendirikan tenda disini. Namun sebelum itu kami beristirahat dulu menunggu kondisi ajo pulih. Habib ngasih minyak angin ke dia.
Sembari beristirahat  di sebuah batu gue melihat ke langit, kali ini tidak ada lagi pepohonan yang menutupi pemandangan ke langit. Dan hal yang gue liat adalah hal yang gak akan gue lupakan seumur hidup (insya ALLAH). MASYA ALLAH, AMAZING! Langit dipenuhi bintang, milky way (bima sakti) terlihat jelas. Hampir tidak ada ruang kosong dilangit. Sangat sangat indahh.. lebih indah dari bintang yang gue liat di planetarium. Gue merasa kecil dihadapan Tuhan dengan segala ke Maha kuasaan Nya. Dalam hati gue berpikir kalau saat ini muncul bintang jatuh pasti keren. Dan tak beberapa lama kemudian doa gue dikabulkan ALLAH, di sebelah selatan muncul bintang jatuh. Hanya sepersekian detik, tapi sangat SPECTACULAR! Terima kasih ALLAH karena telah memperlihatkan keindahan ini. tentu saja gue ga berdoa ke bintang jatuh, ajaran bodoh macam apa itu.
Gue langsung bilang ke Agung kalo gue ngeliat bintang jatuh. Agung yang pennasaran juga ngeliat ke langit, tapi tak ada bintang jatuh yang muncul lagi. Sayangnya gue ga punya kamera yang bisa menangkap keindahan bintang-bintang ini. biarlah gue simpan di dalam memori gue aja.
Untuk meringankan beban ajo gue bertukar tas dengan Ajo. Selama ini, Ajo lah yang membawa tenda. Pantas saja dia kelelahan. Kami mulai melanjutkan perjalanan sedikit lagi. Hingga pada suatu ketika kami menemukan jalan buntu. Gue bilang ke teman-teman kalo seharusnya kita akan menemukan sebuah jurang kecil, nantinya kita akan lompat ke sisi seberang. Tapi karena gelap kami tidak menemukan tempat tersebut, senter tidak cukup membantu. gue menemukan jalur lagi, tapi gue ga yakin ini jalan yang benar karena yg gue ingat kami harus melompati jurang kecil. Setelah agung memeriksa jalur tersebut,  ternyata tidak ada lagi jalan di ujung jalur, hanya semak belukar.
05.00
Oke, karena buntu maka kami putuskan untuk mendirikan tenda di tempat yang agak lapang dekat situ, esok pagi kami akan cari lagi jalurnya. Di atas telah terdengar suara pendaki-pendaki lain. Ada banyak. Kami mendirikan tenda disamping tenda milik pendaki lain. Di depan tenda mereka Agung melihat botol Bir. Setelah itu kami berlima tidur di dalam tenda seperti ikan sarden. Tenda yang seharusnya kapasitas 4 orang kami isi berlima. Namun masalah paling utama adalah kaki kami kedinginan walaupun telah pakai kaus kaki. Kami hanya bisa menahan rasa dingin tersebut dan kemudian terlelap tidur.
06.00 ..
angin sangat kencang diluar, tenda kami nyaris roboh, kami semua cemas, tidak berani keluar. Akhirnya gue kembali tertidur.
07.30..
Untung tenda kami tidak roboh. Angin mulai tenang, tapi tetap saja diluar dingin. Gue keluar tenda. Matahari telah bersinar. Gunung singgalang terlihat jelas dihadapan kami.

zakhwan, Ajo, gue dan Habib dengan latar Singgalang

08.00..
Setelah menemukan jalur yang tepat, Kami semua melanjutkan perjalanan ke cadas dan selanjutnya puncak. Kami meninggalkan tenda di tempat kami mendirikannya. Kami hanya membawa makanan dan air mineral ke puncak. Jalan cadas penuh kerikil dan di pinggirnya jurang. Kami sering berhenti dan melihat sekeliling. Ternyaat kami telah lebih tinggi dari awan. Awan yang bergumpal-gumpal seperti negeri diatas langit, bergerak beriringan. Ada juga ynag menabrak gunung singgalang.
Setelah satu jam, kami sampai di puncak. semua rasa capek itu hilang. Kami bersyukur bisa sampai ke puncak. senyum lebar terbersit dari wajah kami semua. Kami disambut oleh tugu peringatan Abel Tasman, seorang pendaki yang rela mengorbankan dirinya untuk menolong pendaki lain dari terpaan batu panas(lava pijar) ketika marapi tiba-tiba meletus.
Setelah berfoto dekat kawah kami melanjutkan perjalanan ke puncak merpati, lebih kurang 15 menit. Saat itu aroma belerang begitu kuat tercium. Aku teringat pesan penyewa tenda yang mengatakan saat ini marapi sedang dalam “panas-panasnya”. hal yang bikin gue agak miris adalah banyak batu-batu yang dicoret oleh orang-orang yang "katanya" pecinta alam.
                                     


Dari puncak merpati kami lanjutkan ke taman edelweis. taman yang berisi bunga edelweis yang tak akan layu. walaupun dilarang dipetik tapi kami melihat seorang wanita memetiknya sebanyak genggaman dua tangannya hingga membentuk buket bunga edelweis. Cukup lama untuk ke taman tersebut, kurang lebih setengah jam. Cuaca di cadas yang dingin tiba-tiba menjadi panas di puncak. kami berjalan dibawah terik matahari. Setelah itu kami putuskan untuk kembali ke tenda karena tenaga kami telah terkuras habis. Di perjalanan menuju tenda zakhwan berharap seandainya banyak teman-teman kami yang ikut mendaki, pasti seru.

menuju puncak merpati

dari puncak merpati

Untungnya tenda kami masih ada, sesampainya ditenda kami kembali tidur, kecuali habib dan zakhwan. Mereka gak bisa tidur dan lebih memilih mendengarkan musik.
14.30..
Setelah sarapan, Kami turun ke kaki gunung. Perjalanan lebih banyak kami habiskan dalam diam. Sesekali kami berlari-lari kecil agar cepat sampai dibawah. Zakhwan mulai kelelahan. Dan setelah setengah perjalanan dia benar-benar kecapean. Kami memperlambat jalan. Jalan terlihat sama bagi kami. Ajo dan agung mulai sering bertanya ke gue berapa lama lagi untuk sampai ke pos satu. Gue terus ngasih mereka harapan.  Zakhwan mulai berjalan dengan dibopong oleh habib.
18.00 ..
Kami hampir sampai ke pos satu. Mungkin sekitar 5 menit lagi. Kami semua berjalan dalam diam. Tiba-tiba dari atas pohon ada suara teriakan, lalu diikuti oleh sekelebat bayangan yang melompat. Ternyata itu kumpulan kera yang berebutan makanan. mereka ada banyak. Kami mulai waspada. Dan dari arah samping kanan gue, dari arah semak belukar terdengar suara kasak kusuk yang semakin mendekat. Gue lari dan tepat pada waktunya dari tempat yag gue tinggalkan tadi keluar melintas seekor kera yang terus jalan masuk ke semak belukar lainnya. Kami semua panik saat itu dan bergegas berjalan. Setelah agak jauh kami semua tertawa lega.
Akhirnya kami sampai di pos satu. Kami membersihkan diri di toilet terdekat dan pergi sholat secara bergantian. Kami kemudian duduk-duduk. Ternyata setelah diperiksa, di dalam tas zakhwan ada batu yang diisikan oleh Ajo. Pantas saja zakhwan kelelahan. Kami kemudian turn ke pos pendaftaran dan kembali ke kos gue.
ALHAMDULILLAH. Ya bisa dibilang perjalanan ini berhasil, hanya saja kami belum sempat melihat sunrise ataupun sunset. Kepada para pembaca blog ini gue cuma pengen bilang MENDAKI ADALAH HAL YANG WAJIB KAMU COBA LAKUKAN MINIMAL SEKALI DI HIDUP KAMU! Impian gue selanjutnya adalah gue bisa pergi di pendakian selanjutnya bareng kamu, iyaa kamu, yang lagi baca ini, love you..

Bagi yang mau nanya-nanya atau berbagi pengalaman silahkan sharing di kolom komentar, thanks!
itu agung yang di depan


Sabtu, 07 Februari 2015

minus 2.891mdpl

Assalamu’alaikum...
Gimana kabarnya? Pada sehat?
          Akhirnya mood gue buat nulis datang lagi. Kali ini seperti yang udah gue bilang sebelumnya gue bakalan cerita tentang pendakian perdana gue ke Marapi. Bukan Merapi ya, tapi Marapi. Kalau Merapi ada di pulau jawa, sedangkan Marapi ada di Sumatera Barat. Marapi merupakan salah satu Gunung yang paling aktif di Sumatera dengan ketinggian 2.891 m diatas permukaan laut. Cerita yang bakalan gue ceritain ini adalah kisah sebenarnya, seperti saat terjadinya dan gue juga kumpulin informasi dari teman-teman gue mengenai apa yang terjadi pada waktu itu untuk menambah keakuratannya. Nama orang-orang yang terlibat bakalan gue ganti, jadi gak pake nama sebenarnya.  Oke, ini diaa...
Kisah perjalanan ini dimulai dari kamar kos gue yang kecil. Saat itu hari Senin tanggal 22 Desember 2014, anak-anak pada kumpul di kos gue. Kebetulan hari itu kami dalam masa-masa UAS, tinggal satu mata kuliah lagi tanggal 30. Jadi sampai nunggu tanggal 30 kami nganggur. Tiba-tiba teman gue,   Halim, nyeletuk...
“kita pergi mendaki yuk?”
“kemana? Marapi?” tanya gue.
“yoii...”
“Kedengarannya seru tuh, lagian gue juga belum pernah mendaki” kata Doni, teman gue yang berbadan tegap.
“wahh.. gue emang udah lama pengen pergi” sambung Keling, cowok kurus agak gelap teman gue juga.
“Gue telpon Ismail dulu, secara kan dia udah sering ngedaki Marapi” jawab Halim menimpali.
Setelah itu Halim nelpon Ismail dan Ismail setuju buat pergi, padahal yang gue tau dia baru turun dari Marapi juga 2 hari yang lalu (tgl 20). Ismail ini memang udah sering ngedaki Marapi, bahkan katanya dia ke Marapi cuma buat jogging.
“oke, kata Ismail dia bisa. Kita pergi hari Rabu malam tgl 24, kita usahain sampe puncak pas sunrise” kata Halim kemudian.
“kita juga ambil bunga edelweis” kata keling. Padahal jelas-jelas bunga itu dilarang diambil.
“Cuma kita berlima aja nih yg pergi?” tanya Doni.
“lebih baik sedikit, kalau banyak-banyak susah nantinya. Oke, gue cabut dulu, hari Rabu kita kumpul lagi buat bahas perlengkapan” jawab Halim.
Setelah itu kami bubar dan hari-hari berjalan sesuai biasanya, sampai-sampai gue hampir lupa bakalan mau mendaki. Rabunya sehabis ujian sosiologi kita kumpul lagi di kampus ngebahas peralatan yang mau dibawa. Disana juga ada Ismail.
“oke, kalau gitu gue ulang sekali lagi, jadi barang-barang yang harus dibawa, air mineral ukuran besar 2 buah seorang, roti, kopi, beras, panci kecil, kompor gas otomatis yang kecil, matras, tenda, sepatu yg ga licin, sarung, minyak urut, garam, senter, dan perlengkapan lain yang kalian rasa perlu” kata Ismail panjang lebar.
“kalian udah dengar kan? Udah paham semuanya?kita pergi malam ini, jam 8” Sambung Halim.
“oke, gue ngerti. Gue mau balik dulu buat nyiapin peralatan sekaligus pamit ma ortu” kata Doni yang asli Bukittinggi.
“gue mau ngajak Liam buat pergi juga”. Kata keling. Liam adalah teman kami juga di psikologi.
“gue mau tidur” kata gue.
Habis itu kita bubar dan gue balik ke kos.jam menunjukkan pukul 1 siang. Gue mencoba tidur untuk agar nanti malam gak terlalu kecapean. Namun entah kenapa saat itu gue susah buat tidur, udah ganti posisi berapa kali, bolak balik sana sini susah juga buat tidur. Lalu saat itu pintu kost terbuka, gue langsung pura-pura tidur dibalut selimut...
ndehh, ndak ado urang do(ndehh.. gak ada orang)” ternyata keling. Lalu dia pergi lagi.
Tak beberapa lama kemudian datang lagi Halim, gue kembali pura-pura tidur.
“ternyata re emang tidur seperti yang dibilangnya tadi siang. Eh tunggu dulu, dia ga pura-pura tidur kan?” kata Halim sambil menengok mata gue.
“ternyata dia emang tidur benaran.” Lalu Halim pergi. Gue lega. Jujur aja gue emang gak suka diganggu kalau lagi mau tidur. Dan tak beberapa lama kemudian pun gue emang tidur benaran.

Sorenya gue bangun,lalu sholat, makan,trus hidupin laptop, internetan,  nonton. Gue sama sekali gak nunjukkin tanda-tanda mau pergi mendaki. Perlengkapan pun belum ada gue siapin satu pun. Gue punya alasan, biasanya kalau kita terlalu antusias sesuatu itu bisa saja gak sesuai sama yang kita inginkan, gue ga mau terlalu kecewa nantinya, jadi gue biasa-biasa aja. Padahal mendaki adalah keinginan gue sejak smp.

Malamnya habis isya si keling mulai datang ke kos. Disampingnya ada Liam juga. Liam ibarat Ian di film 5cm bagi kami. Liam berbadan besar, seperti tokoh ian. Dia punya penyakit asma, tetapi semangatnya untuk pergi sangat tinggi. Lalu muncul Halim. Akhirnya gue siap-siap juga. Gue mulai nyiapin baju hangat. Lalu hape gue berbunyi, ada sms dari Ismail. Bunyinya,” sorry gue ga bisa pergi, tolong sampaikan ke teman-teman. gue sakit“. Nah! Benar kan, apa yg gue takutin terjadi. Ismail adalah orang yang paling berpengalaman diantara kami, dia adalah orang yag kami jadkan pemandu, dia yang paling sering mendaki, selain da ga ada satupun diantara kami yang pernah mendaki. Kecuali si Halim, itupun Cuma sekali, dan dia terlihat ragu.
Sms tadi gue liatin ke Halim,
“kampret, kenapa dia ga bilang dari tadi siang. Kita udah siap-siap nih. Apalagi Doni udah diperjalanan menuju kemari” kata Halim marah.
Tak beberapa lama kemudian si Doni datang, lalu gue, Halim, keling, Liam dan Doni berkumpul membahas ini.
“barusan Ismail sms, dia ga bisa pergi katanya. Dia sakit. Sekarang teman-teman maunya gimana? Kita lanjutin atau engga?”  kata Halim
“gue emang pengen mendaki tapi gue juga harus berpikir realistis, kalau rute nya ga jelas, gue ga bisa pergi.” Kata gue.
“atau gini aja, ini kan persiapan udah beres, gimana kalau kita coba aja dulu pergi, kita coba seberapa sanggup, kalaupun ga sampai puncak setidaknya kita udah mencoba” kata doni.
Kamipun setuju. Saat itu di kos gue ada Alfi, dia udah pernah juga mendaki katanya. Melihat kami yang seperti hilang harapan dia mau ikut untuk membantu kami. Akhirnya gue, Halim, Liam, Keling, doni, alfi setelah meminjam kompor gas otomatis dan tenda Ismail langsung menuju koto baru tempat titik awal pendakian.  Diantara kami berenam hanya Doni yang mendapatkan izin utntuk pergi dari orang tuanya.

Kami tiba pukul sepuluh malam di pos pendaftaran. Ternyata tak seperti yang kami bayangkan, banyak juga orang yang ingin mendaki malam itu. Motor dan mobil berjejer di tempat parkir. Gue lihat awan begitu tebal diatas sana, langit tanpa bintang. Apakah kami akan kehujanan? ujar gue dalam hati. Saat itu ada juga orang yang mau datang, gue menyapa dia dengan sebutan “abang”. Lalu si Halim negur gue, katanya kalau di gunung kita manggil orang lain dengan panggilan “pak” (buat cowok) dan “buk” (buat cewek). Mitosnya kalau kita manggil nama orang, bisa saja dia diculik makhluk gaib penunggu gunung. Atau panggilan itu bisa juga diartikan kita menghargai orang tersebut, walaupun usianya kecil dari kita bisa saja pengalamannya jauh lebih banyak dari kita.

Setelah mendaftar dan membayar administrasi  7rb per orang serta biaya parkir motor 10rb per motor, kami mulai mendaki menuju pos 1. Jalan menuju pos 1 masih bagus, setengahnya beraspal. Dari pos pendaftaran ke pos 1 kira-kira 3 km dengan jalan menanjak. Disekitarnya banyak terdapat ladang penduduk. Jalannya masih sangat jelas. Sampai di pos 1 telah banyak tenda-tenda pendaki lainnya berdiri, kami pun duduk sebentar beralaskan tanah untuk menghimpun tenaga. Kami melihat pendaki lain dengan peralatannya yang bergitu lengkap, sementara kami hanya bermodalkan nekat saja dengan sedikit peralatan.

Pukul  11 malam kami mulai bergerak, sebelum berangkat kami berdoa dulu, “ya ALLAH berikanlah kekuatan kepada kami, hilangkanlah kesukaran dari kami, mudahkanlah perjalanan kami ini, naik berenam turun pun berenam, Aaminn” ujar gue yang kemudian diAminkan teman-teman. Kamipun memasuki hutan sesungguhnya. Senter dihidupkan. Doni berdiri paling depan, disusul Halim, gue, keling, Liam dan Alfi. Kami menyebrangi jembatan bambu yang dibbawahnya sungai mengalir deras.  Tak beberapa lama berjalan gue lihat di sebelah kanan ada sepasang mata biru yang bercahaya, jumlahnya ada banyak, seperti di film-film. Gue kaget, tapi teman gue diam aja. Setelah gue perhatikan lagi ternyata itu Cuma kunang-kunang. Caanntiiiknyaaa.

15 menit berjalan dan Halim minta berhenti, dia mengeluh pinggangnya sakit. Mungkin itu efek celana jeans yang dia pakai. Gue sendiri juga pakai celana jeans dengan lapisan celana training, didalamnya masih ada lagi celana pendek. Jaket pun 2 lapis gue kenakan untuk mencegah dingin. Kami mengusulkan Halim mengganti celana jeansnya, dan dia pun membuka celananya di tengah hutan hingga tinggal kolor saja, lalu dia mengambil celana training dari tas yang segera dikenakannya. Perjalanan pun kami lanjutkan, di sepanjang perjalanan kami melihat tenda-tenda pendaki lainnya yang camping disepanjang jalur. Semakin ke atas jumlahnya semakin sedikit. Setiap lewat tenda mereka, mereka menawarkan untuk mampir, “mampir dulu pak, minum dulu pak”, keramahtamahan ala gunung yang slalu gue kenang.

Suatu saat karena kelelahan kami berhenti, kami mencoba menghidupkan kompor gas otomatis. Ternyata ga bisa. Kami telah mencobanya berulang kali tetap saja tidak bisa. Akhirnya kami mengumpulkan beberapa dedaunan untuk menyalakan api. Ternyata daunnya basah, apinya ga mau hidup. Untungnya gue bawa tisu, tisu itu pun kami bakar kemudian ditambah beberapa ranting yang kering akhirnya api pun nyala, tak beberapa lama kemudian api itu kembali mati. Pelajaran pertama gue di alam, API itu penting!

Pukul satu malam..

Setelah kembali berjalan, kami menemukan tenda pendaki lainnya di kegelapan malam dan rimbunnya hutan.  Mereka mengajak kami mampir, karena kecapean akhirnya kami terima. Rombongan lain itu ternyata sekeluarga, berjumlah 6 orang, 2 diantaranya wanita, bahkan diantara mereka ada anak-anak yang usianya kira-kira 5 tahun. Mereka menawarkan gorengan dan kue, ada yg ulang tahun rupanya. Setelah berbincang beberapa lama akhirnya kami tau mereka berasal dari payakumbuh. Dari mereka kami belajar menghidupkan kompor gas otomatis, ternyata kami salah memosisikan tabung gas. Tak lama kemudian rintik-rintik hujan turun, mereka pamit mau ke dalam tenda. Sebelum itu mereka menawarkan kami bantuan mendirikan tenda yang akhirnya kami terima. Hanya gerimis, setelah agak reda kami memasak mie. Sebenarnya ibu tenda sebelah yang memasak mie, kami Cuma menolong menyediakan mie nya. Kami berenam makan mie di dalam tenda, saat itu hanya ada satu piring dan satu sendok yang itupun kami pinjam dari tenda sebelah, alhasil kami bergantian menyendok mie hangat tersebut. Liam mengabadikan momen ini dengan handycam nya. Malam itu penuh tawa dan kegembiraan dengan aksi konyol kami saat berebutan mie.

Pukul 2 dini hari..

Setelah berpamitan kepada rombongan payakumbuh yang juga mulai bersiap-siap kami berangkat. Gue berjalan paling depan, padahal gue sama sekali ga tau jalurnya. Gue hanya mengikuti jalur yang sudah ada plus jejak-jejak yang ditinggalkan pendaki sebelumnya. Alfi ga mau di depan karena dia takut akan jalan terlalu cepat. Ketika gue kebingungan dia baru menunjukkan  jalannya.  Kami lebih banyak diam, tapi tetap saling mengingatkan ketika ada pohon besar yang menghalangi jalan atau ada jurang disebelahmu.

Jalan semakin sukar, kami jadi lebih banyak memanjat. Kami harus ekstra hati-hati memilih jalan. Alfi sekarang didepan. Dia  mengambil kendali sepenuhnya. Halim dan Liam berganti-ganti meminta istirahat, mereka terlihat kecapean. Gue bersyukur masih sanggup berjalan, ternyata gue gak terlalu lemah. Tapi hal ini berubah saat pendakian gue kedua nantinya, saat itu gue bisa dibilang yang paling cemen. Masalah kami tak hanya itu, pencahayaan kami berkurang, senter Doni mulai meredup. Gue terpaksa ngeluarin senter hape. Sekarang hanya ada 3 senter, senter Doni, senter keling dan senter hape gue. Senter itu kami kasih ke yang paling depan, tengah dan belakang agar cahayanya merata. Berkali-kali Halim di yang paling belakang meminta cahaya. Pelajaran kedua gue di alam, setiap anggota harus punya SENTER!

Gue melihat ke langit berharap ada bintang, ternyata hanya awan tebal yang gue lihat. Disela-sela rimbunnya pepohonan gue masih bisa melihat cahaya lampu kota. Gue membayangkan orang-orang lagi terlelap tidur dibalik selimut di rumahnya yg nyaman, sementara kami disini harus berjuang melawan cape dan dingin. Pikiran itu gue tepis, gue harus berjuang.

Semakin lama berjalan struktur tanahnya semakin berbeda, mulai banyak bebatuan. Alfi bilang sebentar lagi sampai.
“lihat, pepohonannya semakin rendah, lihat juga keatas, kita udah hampir sampai” kata alfi.
Beberapa waktu berlalu dan kami tetap juga belum sampai. Si Liam semakin banyak meminta istirahat. Gue sendiri juga udah cape. Tenggorokan gue udah kering. Kami duduk sebentar di pepohonan yang tumbang dan bergantian meminum air. Alfi menolak minum air. Anehnya semakin banyak gue minum semakin kehausan gue. Ingus gue juga mulai mengalir, saat itu gue sebenarnya lagi demam. Perjalanan kembali dilanjutkan, Alfi terus memberi kami harapan, walau keliatannya masih jauh.

Pukul setengah 5..

Sayup-sayup gue dengar suara mengaji dari speaker mushalla atau mungkin mesjid dibawah sana. Gue terhenyak, tak menyangka suara mengaji itu sampai ke ketinggian ini. kuasa ALLAH itu memang meliputi langit dan bumi.
Tiba-tiba Liam berteriak kakinya kram, Liam benar-benar lelah, ini seperti adegan Ian di 5cm. Liam meminta kami meninggalkannya disana dan melanjutkan perjalanan tanpa dia. Dia tidak mau menjadi beban bagi kami. Tentu saja kami tak mungkin melakukannya. Kami duduk sebentar sembari memberi semangat Liam. Alfi yg sudah jauh di depan kembali lagi ke tempat kami dan mengatakan kita sudah sampai di pintu angin. 10 menit dari palang pintu angin adalah cadas dan setelah cadas puncak. Kami menguatkan diri untuk berjalan beberapa saat lagi sembari mencari tempat yg bagus untuk mendirikan tenda. Setelah menemukan tempat yg dirasa cocok, kami mendirikan tenda, hujan mulai mengguyur walaupun tidak lebat tapi cukup membuat kami kebasahan.

Pukul setengah 6..

Kami kedinginan. Hilang sudah harapan kami untuk sampai tepat waktu di puncak agar bisa melihat sunrise. Kami memutuskan untuk tidur dulu barang sebentar. Karena jumlah kami berenam sementara kapasitas tenda hanya berempat, kami saling menyandarkan kepala di tengah dan kaki ke sisi tenda. Posisi yang sangat tidak nyaman. Sayangnya kami memilih tempat yang salah, hujan masuk ke dalam tenda, kami tidur diatas air. Tapi karena kecapean kami tak peduli. Gue sendiri ga bisa tidur, hanya sempat setengah sadar, sayup-sayup gue dengar suara langkah kaki orang diluar, pendaki lain ternyata, mereka memuji kami yang sanggup tidur diatas air. Pelajaran ketiga, bawa MATRAS karena tanahnya sangat dingin, apalagi kalau hujan! 
07.30..
Hujan mulai reda, dengan malas kami keluar dari tenda. Kami susah payah membangunkan Halim. Di luar masih sangat dingin, cuaca berkabut. kami mulai bersemangat lagi. Perjalanan kami lanjutkan menuju cadas. Kali ini beban kami lebih ringan, kami hanya membawa makanan dan minuman menuju puncak. Peralatan lainnya kami tinggalkan di tenda. Kurang dari 10 menit kami sampai di cadas.

Kali ini tidak ada lagi pepohonan menjulang tinggi. Hanya ada bebatuan kecil. Kami melihat ke bawah, sayangnya berkabut. Pemandangan di kaki gunung tidak kelihatan. Tapi tetap saja indah menurut kami yang baru pertama kali mendaki. Kami memanfaatkan kesempatan ini untuk berfoto-foto. Doni mengeluarkan secarik kertas yang telah disiapkannya semenjak dari rumah. Di kertas itu terpampang tulisan, “semangat ya belajarnya intan sayang”. Dia meminta gue untuk memfotonya. Gue sendiri juga ngeluarin kertas dan minta di fotoin, isinya salam buat teman-teman. Halim ngeluarin kertas ucapan selamat ulang tahun buat Dessi, anak psikologi. Sementara gue, Halim, Liam dan Doni asyik berfoto, Keling dan Alfi terus berjalan menuju puncak.

Setelah asyik berfoto, kami berempat baru tersadar kalau alfi dan keling telah jauh meninggalkan kami. Kami segera menyusulnya, tapi mereka sudah tak terlihat lagi. Padahal dari awal mula perjalanan tadi Halim telah mengingatkan untuk tidak berpisah. Harus sama-sama, ga boleh ninggalin teman. Akhirnya kami putuskan berjuang menuju puncak sambil berharap di puncak nanti bertemu mereka.

           Di cadas kita harus berjalan secara zig zag diantara bebatuan. Salah sedikit kami bisa jatuh ke jurang yang ada disisi kami. Terlebih saat itu angin di cadas benar-benar ekstrem. Arah angin berubah tak beraturan, kadang ke atas kadang ke samping. Ini mungkin efek hujan semalam. Kami berada didalam awan. Penglihatan kami berkurang karena Jarak pandang hanya 10 m. Rambut kami pun sampai memutih terkena embun. Kami menggigil kedinginan.

        Setengah jam berjalan dan kami mulai goyah. Alasannya, pertama, Alfi yang merupakan pemandu dan orang yang memberi kami harapan telah pergi. Kedua, kami sendiri tak yakin dengan apa yang ada diujung sana dan harus berapa lama lagi kami akan berjalan. Ketiga, cuaca yang begitu ekstrem membuat kami ragu.
Sampai suatu ketika Halim berkata,
“kayaknya kita harus kembali ke tenda. Kalian lihat sekeliling? Hanya kita yang mendaki di tengah badai seperti ini.”
“tapi kita sudah mendaki sejauh ini. gue yakin sebentar lagi kita sampai” kata gue.
“ini salah Alfi dan keling yang ninggalin kita” kata Liam.
Doni hanya diam.
Gue pun berteriak ke atas, “ALLFIIII...KELIIINNNGGG”
Tak beberapa lama kemudian terdengar jawaban dari atas, teriakan juga “HAANNN..” tapi tidak begitu jelas. Doni melarang gue teriak-teriak di gunung, karena mitosnya kalau teriak di gunung ada aja yg ngejawab, padahal bukan teman kita.
“melihat kondisi cuaca lebih baik kita kembali ke tenda. Setidaknya walaupun kita tidak sampe puncak tapi kita telah punya pengalaman. Mungkin di pendakian selanjutnya kita bisa sampe puncak. Kita tunggu alfi dan keling di tenda aja” Kata Doni.
Akhirnya kami turun dan kembali ke tenda. Rintik-rintik hujan kembali turun. Gue menaruh botol air gue yang telah kosong dibawah cucuran pohon. air mengalir turun masuk kedalam botol. Rasa airnya jauh lebih nikmat. Masalah lain datang, tangan gue “membeku”, efek kedinginan karena ga pake sarung tangan. Doni berinisiatif ngehidupin kompor gas otomatis agar kami tak kedinginan. Dengan susah payah akhirnya api hidup, tapi itu tak cukup membantu. Ingus gue ga berhenti-henti semenjak kemaren malam. Halim memeberikan selimutnya ke gue.
Sambil menunggu kedatangan Keling dan Alfi kami makan mie instan mentah-mentah tanpa dimasak. Hal ini kami lakukan karena tidak punya panci. Kami punya sekaleng sarden, tapi tak punya pembuka kaleng. AHH.. Sial benar kami yang hanya bermodal semangat pergi mendaki. Dalam hati gue berjanji ga mau pergi mendaki lagi kalau peralatannya ga lengkap.

Pukul 09.30..

Alfi dan keling belum juga kembali. Kami mulai tak yakin dengan apa yang kami tunggu. Kami mulai berpikir aneh-aneh. Kami mulai berpikiran kalau alfi dan keling telah turun duluan, atau mereka sebenarnya tidak pernah sampai ke puncak, atau bisa saja mereka terjatuh ke jurang yang kami lewati tadi. Pikiran itu kami tepis jauh-jauh, kami berharap mereka baik-baik saja.
“beginilah jadinya kalau terpisah. Udah gue bilang sejak awal kita harus sama-sama.” Kata Halim.
“gue takutnya mereka kenapa-kenapa” kata Doni.
“semoga aja enggak” kata Liam.
“kita tunggu sampai jam 11 kalau mereka belum datang juga kita turun duluan. Kita tinggalin aja pesan. Biar mereka nyusul nantinya. Perbekalan kita udah menipis, dan gue mesti ke padang sore ini” kata Halim.
capeklah turun alfi, keling. Dingin bana aa..(cepetan turun alfi keling, dingin banget)” kata gue.
Kami berharap mereka bisa turun secepatnya karena jujur saja kami sudah tak betah lagi menunggu. Kami sudah sangat kedinginan dan tak tau harus berbuat apa. Tapi disatu sisi kami juga tak mau meninggalkan mereka.
Selama menunggu gue mulai berpikiran macam-macam, gue mulai membayangkan makanan dan minuman yang selama ini gue anggap biasa aja tiba-tiba jadi wah. Gue pengen beli semuanya, gue pengen beli apel, pir, jeruk, ayam goreng, dendeng, miso, soto, minuman bersoda, kue-kue, roti, jus, kopi dan teh. Setibanya dibawah gue pengen habisin uang jajan bulanan gue buat beli itu semua. Ahh.. mungkin babang sudah lelah.

Pukul 11.00..

“kita harus turun sekarang, mereka ninggalin kita jadi ga ada salahnya kita juga ninggalin mereka. Kita udah nunggu mereka 2 jam lebih. Kita nunggu mereka di pos 1 aja.” ujar Halim.
Kami bertiga hanya diam. Jujur, kami masih mengharapkan mereka akan datang sekarang juga. Gue terus melihat ke atas, ke arah jalur dan berharap dari tikungan akan keluar alfi dan keling. Tapi itu tak terjadi.
Tanpa suara kami mulai berkemas. Kami mulai melipat tenda dan embersihkan sampah. Kami juga membawakan tas alfi dan keling. Setelah semuanya beres, kami segera turun. Pada setiap pendaki yang menuju puncak kami temui kami berpesan jika nanti dipuncak mereka bertemu dengan teman kami yang ciri-cirinya yang satu berkumis lebat, yang satu lagi gelap (you kknow what i mean) bilang kalau kami menunggu mereka di pos 1.
Jalur pendakian tampak berbeda dibandingkan malam hari. Ternyata malam hari kami sempat lewat selokan air. Tak beberapa lama berjalan hujan lebat mengguyur kami, sekarang gue kedinginan karena baju gue basah. Halim dan Doni bejalan didepan. Gue dan Liam tetinggal di belakang. Gue segera mengejar Doni dan Halim untuk mengingatkan mereka supaya tidak ada lagi diantara kami yang terpisah. Semenjak hujan lebat mengguyur jalur jadi sangat licin. Beberapa kali kami berempat tergelincir.  Jari hali bahkan sampai terluka. Pakaian kami berlepotan lumpur. Kami harus ekstra hati-hati agar tidak tergelincir menuju jurang.

 Kami terus berjalan melewati akar pohon yang keliatan sama berulang kali. Suatu saat kami berhenti dan duduk di akar pohon yang sangat besar. Karena kelaparan kami memakan energen rasa jahe tanpa air, langsung dari sachetnya. Hanya itu yang kami punya. Halim menanyakan berapa lama lagi kami akan sampai. Gue menjawab sebentar lagi, padahal gue lagi php-in dia biar kuat.

Dengan sisa-sisa tenaga yang ada kami melanjutkan perjalanan, sekitar setengah jam kemudian gue mendengar aliran sungai, ini pertanda kami udah dekat. Kami semakin bersemagat. Tak lama kemudian kami menemukan pos dua, sebuah pondok kosong tanpa dinding. Kami kembali berisitirahat disini.

 Gue penasaran seperti apa alfi dan keling melewati semua ini tanpa perlengkapan. Saat gue memikirkan hal tersebut, hal yang tak terduga terjadi, alfi dan keling muncul. Alfi menjinjing sandalnya yang putus. Kami menyambut mereka dengan gembira. Mereka mengatakan kalau telah sampai puncak, tapi hanya sampai ke “lapangan bola” tidak sampai ke puncak merpati karena ada badai disana. Mereka juga tidak sempat ke taman edelweis. Mereka menumpang di tenda pendaki lainnya. Disana mereka disuguhkan sup ayam. Gue tanya ke mereka apa mereka mendengar suarea gue yang teriak? Mereka jawab iya, bahkan mereka juga membalasnya. Ternyata suara yg gue dengar itu memang suara mereka.
Hujan telah reda. Kami berenam melanjutkan perjalanan, jalanan tetap licin tapi si keling sangat lincah dalam berjalan. Tak jauh dari situ kami menemukan jembatan bambu tempat tadi malam kami menyeberang.

16.00..

Kami sampai di pos satu, kami segera duduk dan meluruskan kaki. Selanjutnya kami membersihkan kaki dan pakaian di wc umum. Setelah agak kuat, kami segera turun ke pos pendaftaran.

16.30..
Inilah akhir perjalanan kami. Setelah melapor ke pos pendaftaran bahwa kami berenam telah kembali dengan selamat kami bergegas menuju tempat parkir. Tak lupa kami berdoa mengucap syukur atas perjalanan ini. banyak teman-teman yg kecewa dengan perjalanan ini tapi jujur aja gue sama sekali ga ngerasa kecewa. Banyak pengalaman yg gue dapetin di perjalanan ini. kami segera menuju kos gue. Sesampai di kos gue dan alfi jalan ngangkang kayak habis sunat karena saking capeknya. Gue segera membeli nasi bungkus sambal ayam porsi double. Teman-teman yang lain beli sate. Setelah itu selama tiga hari kedepan gue lebih banyak tidur. Dalam hati gue bilang ga mau mendaki lagi. Tapi seminggu kemudian gue niat gue muncul lagi untuk mendaki.

Yupp.. itu dia kisah pendakian perdana gue ke marapi. Setelah ini rencananya gue bakalan nulis pendakian kedua gue bareng teman SMA yang menurut gue jauh lebih seru karena kami sampai ke puncak merpati dan taman edelweis.  Silahkan tinggalkan komentar teman-teman dibawah, mau nanya-nanya atau berbagi pengalaman serunya juga boleh.
Wassalam..