Assalamu’alaikum...
Gimana kabarnya? Pada sehat?
Akhirnya
mood gue buat nulis datang lagi. Kali ini seperti yang udah gue bilang
sebelumnya gue bakalan cerita tentang pendakian perdana gue ke Marapi. Bukan
Merapi ya, tapi Marapi. Kalau Merapi ada di pulau jawa, sedangkan Marapi ada di
Sumatera Barat. Marapi merupakan salah satu Gunung yang paling aktif di
Sumatera dengan ketinggian 2.891 m diatas permukaan laut. Cerita yang bakalan
gue ceritain ini adalah kisah sebenarnya, seperti saat terjadinya dan gue juga
kumpulin informasi dari teman-teman gue mengenai apa yang terjadi pada waktu
itu untuk menambah keakuratannya. Nama orang-orang yang terlibat bakalan gue
ganti, jadi gak pake nama sebenarnya. Oke, ini diaa...
Kisah perjalanan ini dimulai dari kamar kos gue yang kecil.
Saat itu hari Senin tanggal 22 Desember 2014, anak-anak pada kumpul di kos gue.
Kebetulan hari itu kami dalam masa-masa UAS, tinggal satu mata kuliah lagi
tanggal 30. Jadi sampai nunggu tanggal 30 kami nganggur. Tiba-tiba teman gue, Halim, nyeletuk...
“kita pergi mendaki yuk?”
“kemana? Marapi?” tanya gue.
“yoii...”
“Kedengarannya seru tuh, lagian gue juga belum pernah
mendaki” kata Doni, teman gue yang berbadan tegap.
“wahh.. gue emang udah lama pengen pergi” sambung Keling, cowok
kurus agak gelap teman gue juga.
“Gue telpon Ismail dulu, secara kan dia udah sering ngedaki
Marapi” jawab Halim menimpali.
Setelah itu Halim nelpon Ismail dan Ismail setuju buat
pergi, padahal yang gue tau dia baru turun dari Marapi juga 2 hari yang lalu
(tgl 20). Ismail ini memang udah sering ngedaki Marapi, bahkan katanya dia ke
Marapi cuma buat jogging.
“oke, kata Ismail dia bisa. Kita pergi hari Rabu malam tgl
24, kita usahain sampe puncak pas sunrise” kata Halim kemudian.
“kita juga ambil bunga edelweis” kata keling. Padahal jelas-jelas
bunga itu dilarang diambil.
“Cuma kita berlima aja nih yg pergi?” tanya Doni.
“lebih baik sedikit, kalau banyak-banyak susah nantinya.
Oke, gue cabut dulu, hari Rabu kita kumpul lagi buat bahas perlengkapan” jawab
Halim.
Setelah itu kami bubar dan hari-hari berjalan sesuai
biasanya, sampai-sampai gue hampir lupa bakalan mau mendaki. Rabunya sehabis
ujian sosiologi kita kumpul lagi di kampus ngebahas peralatan yang mau dibawa.
Disana juga ada Ismail.
“oke, kalau gitu gue ulang sekali lagi, jadi barang-barang
yang harus dibawa, air mineral ukuran besar 2 buah seorang, roti, kopi, beras,
panci kecil, kompor gas otomatis yang kecil, matras, tenda, sepatu yg ga licin,
sarung, minyak urut, garam, senter, dan perlengkapan lain yang kalian rasa
perlu” kata Ismail panjang lebar.
“kalian udah dengar kan? Udah paham semuanya?kita pergi
malam ini, jam 8” Sambung Halim.
“oke, gue ngerti. Gue mau balik dulu buat nyiapin peralatan
sekaligus pamit ma ortu” kata Doni yang asli Bukittinggi.
“gue mau ngajak Liam buat pergi juga”. Kata keling. Liam
adalah teman kami juga di psikologi.
“gue mau tidur” kata gue.
Habis itu kita bubar dan gue balik
ke kos.jam menunjukkan pukul 1 siang. Gue mencoba tidur untuk agar nanti malam
gak terlalu kecapean. Namun entah kenapa saat itu gue susah buat tidur, udah
ganti posisi berapa kali, bolak balik sana sini susah juga buat tidur. Lalu
saat itu pintu kost terbuka, gue langsung pura-pura tidur dibalut selimut...
“ndehh, ndak ado urang
do(ndehh.. gak ada orang)” ternyata keling. Lalu dia pergi lagi.
Tak beberapa lama kemudian datang lagi Halim, gue kembali
pura-pura tidur.
“ternyata re emang tidur seperti yang dibilangnya tadi
siang. Eh tunggu dulu, dia ga pura-pura tidur kan?” kata Halim sambil menengok
mata gue.
“ternyata dia emang tidur benaran.” Lalu Halim pergi. Gue
lega. Jujur aja gue emang gak suka diganggu kalau lagi mau tidur. Dan tak
beberapa lama kemudian pun gue emang tidur benaran.
Sorenya gue bangun,lalu sholat,
makan,trus hidupin laptop, internetan,
nonton. Gue sama sekali gak nunjukkin tanda-tanda mau pergi mendaki.
Perlengkapan pun belum ada gue siapin satu pun. Gue punya alasan, biasanya
kalau kita terlalu antusias sesuatu itu bisa saja gak sesuai sama yang kita
inginkan, gue ga mau terlalu kecewa nantinya, jadi gue biasa-biasa aja. Padahal
mendaki adalah keinginan gue sejak smp.
Malamnya habis isya si keling
mulai datang ke kos. Disampingnya ada Liam juga. Liam ibarat Ian di film 5cm
bagi kami. Liam berbadan besar, seperti tokoh ian. Dia punya penyakit asma,
tetapi semangatnya untuk pergi sangat tinggi. Lalu muncul Halim. Akhirnya gue
siap-siap juga. Gue mulai nyiapin baju hangat. Lalu hape gue berbunyi, ada sms
dari Ismail. Bunyinya,” sorry gue ga bisa
pergi, tolong sampaikan ke teman-teman. gue sakit“. Nah! Benar kan, apa yg
gue takutin terjadi. Ismail adalah orang yang paling berpengalaman diantara
kami, dia adalah orang yag kami jadkan pemandu, dia yang paling sering mendaki,
selain da ga ada satupun diantara kami yang pernah mendaki. Kecuali si Halim,
itupun Cuma sekali, dan dia terlihat ragu.
Sms tadi gue liatin ke Halim,
“kampret, kenapa dia ga bilang dari tadi siang. Kita udah
siap-siap nih. Apalagi Doni udah diperjalanan menuju kemari” kata Halim marah.
Tak beberapa lama kemudian si Doni datang, lalu gue, Halim,
keling, Liam dan Doni berkumpul membahas ini.
“barusan Ismail sms, dia ga bisa pergi katanya. Dia sakit.
Sekarang teman-teman maunya gimana? Kita lanjutin atau engga?” kata Halim
“gue emang pengen mendaki tapi gue juga harus berpikir
realistis, kalau rute nya ga jelas, gue ga bisa pergi.” Kata gue.
“atau gini aja, ini kan persiapan udah beres, gimana kalau
kita coba aja dulu pergi, kita coba seberapa sanggup, kalaupun ga sampai puncak
setidaknya kita udah mencoba” kata doni.
Kamipun setuju. Saat itu di kos
gue ada Alfi, dia udah pernah juga mendaki katanya. Melihat kami yang seperti
hilang harapan dia mau ikut untuk membantu kami. Akhirnya gue, Halim, Liam,
Keling, doni, alfi setelah meminjam kompor gas otomatis dan tenda Ismail langsung
menuju koto baru tempat titik awal pendakian. Diantara kami berenam hanya Doni yang
mendapatkan izin utntuk pergi dari orang tuanya.
Kami tiba pukul sepuluh malam di
pos pendaftaran. Ternyata tak seperti yang kami bayangkan, banyak juga orang
yang ingin mendaki malam itu. Motor dan mobil berjejer di tempat parkir. Gue
lihat awan begitu tebal diatas sana, langit tanpa bintang. Apakah kami akan
kehujanan? ujar gue dalam hati. Saat itu ada juga orang yang mau datang, gue
menyapa dia dengan sebutan “abang”. Lalu si Halim negur gue, katanya kalau di gunung
kita manggil orang lain dengan panggilan “pak” (buat cowok) dan “buk” (buat
cewek). Mitosnya kalau kita manggil nama orang, bisa saja dia diculik makhluk
gaib penunggu gunung. Atau panggilan itu bisa juga diartikan kita menghargai
orang tersebut, walaupun usianya kecil dari kita bisa saja pengalamannya jauh
lebih banyak dari kita.
Setelah mendaftar dan membayar
administrasi 7rb per orang serta biaya
parkir motor 10rb per motor, kami mulai mendaki menuju pos 1. Jalan menuju pos
1 masih bagus, setengahnya beraspal. Dari pos pendaftaran ke pos 1 kira-kira 3
km dengan jalan menanjak. Disekitarnya banyak terdapat ladang penduduk. Jalannya
masih sangat jelas. Sampai di pos 1 telah banyak tenda-tenda pendaki lainnya
berdiri, kami pun duduk sebentar beralaskan tanah untuk menghimpun tenaga. Kami
melihat pendaki lain dengan peralatannya yang bergitu lengkap, sementara kami
hanya bermodalkan nekat saja dengan sedikit peralatan.
Pukul 11 malam kami mulai bergerak, sebelum
berangkat kami berdoa dulu, “ya ALLAH berikanlah kekuatan kepada kami,
hilangkanlah kesukaran dari kami, mudahkanlah perjalanan kami ini, naik berenam
turun pun berenam, Aaminn” ujar gue yang kemudian diAminkan teman-teman.
Kamipun memasuki hutan sesungguhnya. Senter dihidupkan. Doni berdiri paling
depan, disusul Halim, gue, keling, Liam dan Alfi. Kami menyebrangi jembatan
bambu yang dibbawahnya sungai mengalir deras. Tak beberapa lama berjalan gue lihat di
sebelah kanan ada sepasang mata biru yang bercahaya, jumlahnya ada banyak,
seperti di film-film. Gue kaget, tapi teman gue diam aja. Setelah gue
perhatikan lagi ternyata itu Cuma kunang-kunang. Caanntiiiknyaaa.
15 menit berjalan dan Halim minta
berhenti, dia mengeluh pinggangnya sakit. Mungkin itu efek celana jeans yang
dia pakai. Gue sendiri juga pakai celana jeans dengan lapisan celana training,
didalamnya masih ada lagi celana pendek. Jaket pun 2 lapis gue kenakan untuk
mencegah dingin. Kami mengusulkan Halim mengganti celana jeansnya, dan dia pun
membuka celananya di tengah hutan hingga tinggal kolor saja, lalu dia mengambil
celana training dari tas yang segera dikenakannya. Perjalanan pun kami
lanjutkan, di sepanjang perjalanan kami melihat tenda-tenda pendaki lainnya
yang camping disepanjang jalur. Semakin ke atas jumlahnya semakin sedikit.
Setiap lewat tenda mereka, mereka menawarkan untuk mampir, “mampir dulu pak, minum dulu pak”, keramahtamahan ala gunung yang
slalu gue kenang.
Suatu saat karena kelelahan kami
berhenti, kami mencoba menghidupkan kompor gas otomatis. Ternyata ga bisa. Kami
telah mencobanya berulang kali tetap saja tidak bisa. Akhirnya kami
mengumpulkan beberapa dedaunan untuk menyalakan api. Ternyata daunnya basah,
apinya ga mau hidup. Untungnya gue bawa tisu, tisu itu pun kami bakar kemudian
ditambah beberapa ranting yang kering akhirnya api pun nyala, tak beberapa lama
kemudian api itu kembali mati. Pelajaran pertama gue di alam, API itu penting!
Pukul satu malam..
Setelah kembali berjalan, kami menemukan
tenda pendaki lainnya di kegelapan malam dan rimbunnya hutan. Mereka mengajak kami mampir, karena kecapean
akhirnya kami terima. Rombongan lain itu ternyata sekeluarga, berjumlah 6
orang, 2 diantaranya wanita, bahkan diantara mereka ada anak-anak yang usianya
kira-kira 5 tahun. Mereka menawarkan gorengan dan kue, ada yg ulang tahun
rupanya. Setelah berbincang beberapa lama akhirnya kami tau mereka berasal dari
payakumbuh. Dari mereka kami belajar menghidupkan kompor gas otomatis, ternyata
kami salah memosisikan tabung gas. Tak lama kemudian rintik-rintik hujan turun,
mereka pamit mau ke dalam tenda. Sebelum itu mereka menawarkan kami bantuan
mendirikan tenda yang akhirnya kami terima. Hanya gerimis, setelah agak reda
kami memasak mie. Sebenarnya ibu tenda sebelah yang memasak mie, kami Cuma
menolong menyediakan mie nya. Kami berenam makan mie di dalam tenda, saat itu
hanya ada satu piring dan satu sendok yang itupun kami pinjam dari tenda
sebelah, alhasil kami bergantian menyendok mie hangat tersebut. Liam
mengabadikan momen ini dengan handycam nya. Malam itu penuh tawa dan
kegembiraan dengan aksi konyol kami saat berebutan mie.
Pukul 2 dini hari..
Setelah berpamitan kepada
rombongan payakumbuh yang juga mulai bersiap-siap kami berangkat. Gue berjalan
paling depan, padahal gue sama sekali ga tau jalurnya. Gue hanya mengikuti
jalur yang sudah ada plus jejak-jejak yang ditinggalkan pendaki sebelumnya.
Alfi ga mau di depan karena dia takut akan jalan terlalu cepat. Ketika gue
kebingungan dia baru menunjukkan
jalannya. Kami lebih banyak diam,
tapi tetap saling mengingatkan ketika ada pohon besar yang menghalangi jalan
atau ada jurang disebelahmu.
Jalan semakin sukar, kami jadi
lebih banyak memanjat. Kami harus ekstra hati-hati memilih jalan. Alfi sekarang
didepan. Dia mengambil kendali
sepenuhnya. Halim dan Liam berganti-ganti meminta istirahat, mereka terlihat
kecapean. Gue bersyukur masih sanggup berjalan, ternyata gue gak terlalu lemah.
Tapi hal ini berubah saat pendakian gue kedua nantinya, saat itu gue bisa
dibilang yang paling cemen. Masalah kami tak hanya itu, pencahayaan kami
berkurang, senter Doni mulai meredup. Gue terpaksa ngeluarin senter hape.
Sekarang hanya ada 3 senter, senter Doni, senter keling dan senter hape gue.
Senter itu kami kasih ke yang paling depan, tengah dan belakang agar cahayanya
merata. Berkali-kali Halim di yang paling belakang meminta cahaya. Pelajaran
kedua gue di alam, setiap anggota harus punya SENTER!
Gue melihat ke langit berharap ada
bintang, ternyata hanya awan tebal yang gue lihat. Disela-sela rimbunnya
pepohonan gue masih bisa melihat cahaya lampu kota. Gue membayangkan
orang-orang lagi terlelap tidur dibalik selimut di rumahnya yg nyaman,
sementara kami disini harus berjuang melawan cape dan dingin. Pikiran itu gue
tepis, gue harus berjuang.
Semakin lama berjalan struktur tanahnya semakin berbeda,
mulai banyak bebatuan. Alfi bilang sebentar lagi sampai.
“lihat, pepohonannya semakin rendah, lihat juga keatas, kita
udah hampir sampai” kata alfi.
Beberapa waktu berlalu dan kami
tetap juga belum sampai. Si Liam semakin banyak meminta istirahat. Gue sendiri
juga udah cape. Tenggorokan gue udah kering. Kami duduk sebentar di pepohonan
yang tumbang dan bergantian meminum air. Alfi menolak minum air. Anehnya
semakin banyak gue minum semakin kehausan gue. Ingus gue juga mulai mengalir,
saat itu gue sebenarnya lagi demam. Perjalanan kembali dilanjutkan, Alfi terus
memberi kami harapan, walau keliatannya masih jauh.
Pukul setengah 5..
Sayup-sayup gue dengar suara mengaji dari speaker mushalla
atau mungkin mesjid dibawah sana. Gue terhenyak, tak menyangka suara mengaji
itu sampai ke ketinggian ini. kuasa ALLAH itu memang meliputi langit dan bumi.
Tiba-tiba Liam berteriak kakinya kram, Liam benar-benar
lelah, ini seperti adegan Ian di 5cm. Liam meminta kami meninggalkannya disana
dan melanjutkan perjalanan tanpa dia. Dia tidak mau menjadi beban bagi kami.
Tentu saja kami tak mungkin melakukannya. Kami duduk sebentar sembari memberi
semangat Liam. Alfi yg sudah jauh di depan kembali lagi ke tempat kami dan
mengatakan kita sudah sampai di pintu angin. 10 menit dari palang pintu angin
adalah cadas dan setelah cadas puncak. Kami menguatkan diri untuk berjalan
beberapa saat lagi sembari mencari tempat yg bagus untuk mendirikan tenda.
Setelah menemukan tempat yg dirasa cocok, kami mendirikan tenda, hujan mulai mengguyur
walaupun tidak lebat tapi cukup membuat kami kebasahan.
Pukul setengah 6..
Kami kedinginan. Hilang sudah
harapan kami untuk sampai tepat waktu di puncak agar bisa melihat sunrise. Kami
memutuskan untuk tidur dulu barang sebentar. Karena jumlah kami berenam
sementara kapasitas tenda hanya berempat, kami saling menyandarkan kepala di
tengah dan kaki ke sisi tenda. Posisi yang sangat tidak nyaman. Sayangnya kami
memilih tempat yang salah, hujan masuk ke dalam tenda, kami tidur diatas air.
Tapi karena kecapean kami tak peduli. Gue sendiri ga bisa tidur, hanya sempat
setengah sadar, sayup-sayup gue dengar suara langkah kaki orang diluar, pendaki
lain ternyata, mereka memuji kami yang sanggup tidur diatas air. Pelajaran ketiga,
bawa MATRAS karena tanahnya sangat dingin, apalagi kalau hujan!
07.30..
Hujan mulai reda, dengan malas
kami keluar dari tenda. Kami susah payah membangunkan Halim. Di luar masih
sangat dingin, cuaca berkabut. kami mulai bersemangat lagi. Perjalanan kami
lanjutkan menuju cadas. Kali ini beban kami lebih ringan, kami hanya membawa
makanan dan minuman menuju puncak. Peralatan lainnya kami tinggalkan di tenda.
Kurang dari 10 menit kami sampai di cadas.
Kali ini tidak ada lagi pepohonan
menjulang tinggi. Hanya ada bebatuan kecil. Kami melihat ke bawah, sayangnya
berkabut. Pemandangan di kaki gunung tidak kelihatan. Tapi tetap saja indah
menurut kami yang baru pertama kali mendaki. Kami memanfaatkan kesempatan ini
untuk berfoto-foto. Doni mengeluarkan secarik kertas yang telah disiapkannya
semenjak dari rumah. Di kertas itu terpampang tulisan, “semangat ya belajarnya intan
sayang”. Dia meminta gue untuk memfotonya. Gue sendiri juga ngeluarin kertas
dan minta di fotoin, isinya salam buat teman-teman. Halim ngeluarin kertas
ucapan selamat ulang tahun buat Dessi, anak psikologi. Sementara gue, Halim,
Liam dan Doni asyik berfoto, Keling dan Alfi terus berjalan menuju puncak.
Setelah asyik berfoto, kami
berempat baru tersadar kalau alfi dan keling telah jauh meninggalkan kami. Kami
segera menyusulnya, tapi mereka sudah tak terlihat lagi. Padahal dari awal mula
perjalanan tadi Halim telah mengingatkan untuk tidak berpisah. Harus sama-sama,
ga boleh ninggalin teman. Akhirnya kami putuskan berjuang menuju puncak sambil
berharap di puncak nanti bertemu mereka.
Di cadas kita harus berjalan secara zig zag diantara bebatuan.
Salah sedikit kami bisa jatuh ke jurang yang ada disisi kami. Terlebih saat itu
angin di cadas benar-benar ekstrem. Arah angin berubah tak beraturan, kadang ke
atas kadang ke samping. Ini mungkin efek hujan semalam. Kami berada didalam
awan. Penglihatan kami berkurang karena Jarak pandang hanya 10 m. Rambut kami
pun sampai memutih terkena embun. Kami menggigil kedinginan.
Setengah jam berjalan dan kami mulai goyah. Alasannya,
pertama, Alfi yang merupakan pemandu dan orang yang memberi kami harapan telah
pergi. Kedua, kami sendiri tak yakin dengan apa yang ada diujung sana dan harus
berapa lama lagi kami akan berjalan. Ketiga, cuaca yang begitu ekstrem membuat
kami ragu.
Sampai suatu ketika Halim berkata,
“kayaknya kita harus kembali ke tenda. Kalian lihat
sekeliling? Hanya kita yang mendaki di tengah badai seperti ini.”
“tapi kita sudah mendaki sejauh ini. gue yakin sebentar lagi
kita sampai” kata gue.
“ini salah Alfi dan keling yang ninggalin kita” kata Liam.
Doni hanya diam.
Gue pun berteriak ke atas, “ALLFIIII...KELIIINNNGGG”
Tak beberapa lama kemudian
terdengar jawaban dari atas, teriakan juga “HAANNN..” tapi tidak begitu jelas.
Doni melarang gue teriak-teriak di gunung, karena mitosnya kalau teriak di
gunung ada aja yg ngejawab, padahal bukan teman kita.
“melihat kondisi cuaca lebih baik
kita kembali ke tenda. Setidaknya walaupun kita tidak sampe puncak tapi kita
telah punya pengalaman. Mungkin di pendakian selanjutnya kita bisa sampe
puncak. Kita tunggu alfi dan keling di tenda aja” Kata Doni.
Akhirnya kami turun dan kembali ke
tenda. Rintik-rintik hujan kembali turun. Gue menaruh botol air gue yang telah
kosong dibawah cucuran pohon. air mengalir turun masuk kedalam botol. Rasa airnya
jauh lebih nikmat. Masalah lain datang, tangan gue “membeku”, efek kedinginan
karena ga pake sarung tangan. Doni berinisiatif ngehidupin kompor gas otomatis
agar kami tak kedinginan. Dengan susah payah akhirnya api hidup, tapi itu tak
cukup membantu. Ingus gue ga berhenti-henti semenjak kemaren malam. Halim
memeberikan selimutnya ke gue.
Sambil menunggu kedatangan Keling
dan Alfi kami makan mie instan mentah-mentah tanpa dimasak. Hal ini kami
lakukan karena tidak punya panci. Kami punya sekaleng sarden, tapi tak punya
pembuka kaleng. AHH.. Sial benar kami yang hanya bermodal semangat pergi
mendaki. Dalam hati gue berjanji ga mau pergi mendaki lagi kalau peralatannya
ga lengkap.
Pukul 09.30..
Alfi dan keling belum juga kembali. Kami mulai tak yakin
dengan apa yang kami tunggu. Kami mulai berpikir aneh-aneh. Kami mulai
berpikiran kalau alfi dan keling telah turun duluan, atau mereka sebenarnya
tidak pernah sampai ke puncak, atau bisa saja mereka terjatuh ke jurang yang
kami lewati tadi. Pikiran itu kami tepis jauh-jauh, kami berharap mereka
baik-baik saja.
“beginilah jadinya kalau terpisah. Udah gue bilang sejak
awal kita harus sama-sama.” Kata Halim.
“gue takutnya mereka kenapa-kenapa” kata Doni.
“semoga aja enggak” kata Liam.
“kita tunggu sampai jam 11 kalau mereka belum datang juga
kita turun duluan. Kita tinggalin aja pesan. Biar mereka nyusul nantinya. Perbekalan
kita udah menipis, dan gue mesti ke padang sore ini” kata Halim.
“capeklah turun alfi,
keling. Dingin bana aa..(cepetan turun alfi keling, dingin banget)” kata
gue.
Kami berharap mereka bisa turun secepatnya karena jujur saja
kami sudah tak betah lagi menunggu. Kami sudah sangat kedinginan dan tak tau
harus berbuat apa. Tapi disatu sisi kami juga tak mau meninggalkan mereka.
Selama menunggu gue mulai berpikiran macam-macam, gue mulai
membayangkan makanan dan minuman yang selama ini gue anggap biasa aja tiba-tiba
jadi wah. Gue pengen beli semuanya, gue pengen beli apel, pir, jeruk, ayam
goreng, dendeng, miso, soto, minuman bersoda, kue-kue, roti, jus, kopi dan teh.
Setibanya dibawah gue pengen habisin uang jajan bulanan gue buat beli itu
semua. Ahh.. mungkin babang sudah lelah.
Pukul 11.00..
“kita harus turun sekarang, mereka ninggalin kita jadi ga
ada salahnya kita juga ninggalin mereka. Kita udah nunggu mereka 2 jam lebih. Kita
nunggu mereka di pos 1 aja.” ujar Halim.
Kami bertiga hanya diam. Jujur, kami masih mengharapkan
mereka akan datang sekarang juga. Gue terus melihat ke atas, ke arah jalur dan
berharap dari tikungan akan keluar alfi dan keling. Tapi itu tak terjadi.
Tanpa suara kami mulai berkemas. Kami mulai melipat tenda
dan embersihkan sampah. Kami juga membawakan tas alfi dan keling. Setelah semuanya
beres, kami segera turun. Pada setiap pendaki yang menuju puncak kami temui
kami berpesan jika nanti dipuncak mereka bertemu dengan teman kami yang ciri-cirinya
yang satu berkumis lebat, yang satu lagi gelap (you kknow what i mean) bilang
kalau kami menunggu mereka di pos 1.
Jalur pendakian tampak berbeda dibandingkan malam hari. Ternyata
malam hari kami sempat lewat selokan air. Tak beberapa lama berjalan hujan
lebat mengguyur kami, sekarang gue kedinginan karena baju gue basah. Halim dan Doni
bejalan didepan. Gue dan Liam tetinggal di belakang. Gue segera mengejar Doni
dan Halim untuk mengingatkan mereka supaya tidak ada lagi diantara kami yang
terpisah. Semenjak hujan lebat mengguyur jalur jadi sangat licin. Beberapa kali
kami berempat tergelincir. Jari hali
bahkan sampai terluka. Pakaian kami berlepotan lumpur. Kami harus ekstra
hati-hati agar tidak tergelincir menuju jurang.
Kami terus berjalan melewati akar pohon yang
keliatan sama berulang kali. Suatu saat kami berhenti dan duduk di akar pohon
yang sangat besar. Karena kelaparan kami memakan energen rasa jahe tanpa air,
langsung dari sachetnya. Hanya itu yang kami punya. Halim menanyakan berapa lama
lagi kami akan sampai. Gue menjawab sebentar lagi, padahal gue lagi php-in dia
biar kuat.
Dengan sisa-sisa tenaga yang ada
kami melanjutkan perjalanan, sekitar setengah jam kemudian gue mendengar aliran
sungai, ini pertanda kami udah dekat. Kami semakin bersemagat. Tak lama
kemudian kami menemukan pos dua, sebuah pondok kosong tanpa dinding. Kami kembali
berisitirahat disini.
Gue penasaran seperti apa alfi dan keling
melewati semua ini tanpa perlengkapan. Saat gue memikirkan hal tersebut, hal
yang tak terduga terjadi, alfi dan keling muncul. Alfi menjinjing sandalnya
yang putus. Kami menyambut mereka dengan gembira. Mereka mengatakan kalau telah
sampai puncak, tapi hanya sampai ke “lapangan bola” tidak sampai ke puncak
merpati karena ada badai disana. Mereka juga tidak sempat ke taman edelweis. Mereka
menumpang di tenda pendaki lainnya. Disana mereka disuguhkan sup ayam. Gue tanya
ke mereka apa mereka mendengar suarea gue yang teriak? Mereka jawab iya, bahkan
mereka juga membalasnya. Ternyata suara yg gue dengar itu memang suara mereka.
Hujan telah reda. Kami berenam
melanjutkan perjalanan, jalanan tetap licin tapi si keling sangat lincah dalam
berjalan. Tak jauh dari situ kami menemukan jembatan bambu tempat tadi malam
kami menyeberang.
16.00..
Kami sampai di pos satu, kami segera duduk dan meluruskan
kaki. Selanjutnya kami membersihkan kaki dan pakaian di wc umum. Setelah agak
kuat, kami segera turun ke pos pendaftaran.
16.30..
Inilah akhir perjalanan kami. Setelah
melapor ke pos pendaftaran bahwa kami berenam telah kembali dengan selamat kami
bergegas menuju tempat parkir. Tak lupa kami berdoa mengucap syukur atas
perjalanan ini. banyak teman-teman yg kecewa dengan perjalanan ini tapi jujur
aja gue sama sekali ga ngerasa kecewa. Banyak pengalaman yg gue dapetin di
perjalanan ini. kami segera menuju kos gue. Sesampai di kos gue dan alfi jalan
ngangkang kayak habis sunat karena saking capeknya. Gue segera membeli nasi
bungkus sambal ayam porsi double. Teman-teman yang lain beli sate. Setelah itu
selama tiga hari kedepan gue lebih banyak tidur. Dalam hati gue bilang ga mau mendaki
lagi. Tapi seminggu kemudian gue niat gue muncul lagi untuk mendaki.
Yupp.. itu dia kisah pendakian
perdana gue ke marapi. Setelah ini rencananya gue bakalan nulis pendakian kedua
gue bareng teman SMA yang menurut gue jauh lebih seru karena kami sampai ke
puncak merpati dan taman edelweis. Silahkan
tinggalkan komentar teman-teman dibawah, mau nanya-nanya atau berbagi
pengalaman serunya juga boleh.
Wassalam..