Cerita kehidupan sehari-hari yang barangkali bermanfaat untuk pembaca, sekedar tempat untuk meyalurkan hobi menulis.
Minggu, 09 Oktober 2016
Sahur pertama di perantauan
Assalamu'alaikum..
Kali ini gue bakalan cerita tentang pengalaman sahur pertama di perantauan tanpa keluarga. Sebenarnya pengalaman ini bakalan gue post pada bulan Ramadhan yang lalu. Tapi karena saat itu Opa berpulang, makanya belum sempat gue lanjutin tulisannya.
Satu hari sebelum puasa pertama, gue sebenarnya lagi ada acara Upgrading Ormawa sama temen-temen BEM di Malang. Dan itu baru nyampe di Surabayanya beberapa menit sebelum adzan Isya. Nyampe di kampus, turun dari Bus langsung cus ke kos. Tapi di jalan inget kalo belum beli persiapan apa-apa buat sahur besok. Akhirnya gue berubah haluan menuju Indo*aret terdekat. Sampe disana langsung nyerbu satu kaleng biskuit, satu bungkus roti berikut selai nanas, satu kotak kurma, 2 buah susu sapi logo beruang iklan naga. Nyampe di kos adzan isya langsung berkumandang. Malamnya setelah selesai sholat, gue bersih-bersih kamar. Ternyata gue menemukan kecoa. Kecoanya langsung terbang dan gue tiarap. Kemudian kecoanya bersembunyi dibalik lemari. Kalo kejadian ini terjadi di depan umum, gue bakalan tetep tenang dan ga panik supaya keliatan macho. Tapi ini terjadi di kamar gue sendiri, serem aja ngebayanginnya kalo gue harus berbagi kamar dengan kecoa. Gue langsung keluar kamar ngambil sapu. Gue berusaha mukul kecoanya tapi sumpah geli. Setiap gue mukul, kecoanya kemudian kabur ke sudut lain kamar. Akhirnya gue mengeluarkan jurus pamungkas, Bay*gon. Gue semprotin ke seluruh bagian kamar. Dan akhirnya kecoanya keluar sendiri sambil jalan sempoyongan. Kecoanya keluar dari kamar. Mission Completed.
Ternyata belum selesai. Kamar jadi dipenuhi bau bay*gon. Karena takut keracunan bay*gon, gue membiarkan pintu kamar dan jendela tetap terbuka. Kipas Angin gue nyalain biar udaranya keluar. Kemudian gue minum 2 kaleng susu yang rencananya buat sahur karena takut keracunan.
Setelah perburuan yang melelahkan, gue tiduran di kasur. Hp gue kemudian berdering, telpon dari mama. Mama kemudian nanya kabar gue, gue ceritain kalo baru nyampe surabaya. Trus hp dialihkan ke oma. Oma bilang kalo Angku (kakak Oma) lagi mampir ke rumah. kemudian hp berada di tangan Opa, gue nanya gimana kabar Opa karena sebelumnya beliau sempat dirawat di rumah sakit. Beliau jawab kalo kondisi beliau sudah baik-baik saja walaupun kemaren sempat dirawat di rumah sakit. Gue menyarankan supaya Opa ga usah puasa dulu, cukup bayar fidyah aja sebagai pengganti puasa. Tapi beliau ga mau, emang dasarnya keras kepala. Kemudian hp dialihkan lagi ke tangan mama, setelah sedikit ngobrol dan meminta maaf karena akan memasuki bulan ramadhan akhirnya hp dimatikan.
Selanjutnya gue ketiduran dan tiba-tiba pas bangun udah setengah 5 pagi. Ga sempat sahur deh T.T
Mungkin efek perbruan kecoa yang bikin gue ga bangun buat sahur. Padahal gue udah pasang alarm buat sahur. Semua makanan yang gue siapin buat sahur menjadi percuma. Dari sini gue belajar, kalo apa-apa yang udah di tangan kita, belum tentu jadi milik kita. Bisa aja suatu saat lepas dari genggaman kita. Lalu, makanan itu belum tentu menjadi rezeki kita selagi belum masuk ke dalam perut. Makanan yang telah masuk ke dalam perut lah yang menjadi rezeki kita, seperti kisah gue tadi yang udah beli banyak makanan tapi ga satupun yang gue makan pas sahur. Gue juga belajar, sebanyak apapun saldo di rekening kita, belum tentu itu adalah rezeki kita. Saldo di rekening hanyalah sebuah angka yang belum tentu akan bisa kita pakai kecuali Allah mengizinkan itu menjadi rezeki kita. Rezeki kita adalah apa yang telah kita rasakan dan miliki saat ini. Maka dari itu, jangan lupa selalu bersyukur dan membagikan sebagian rezeki kita kepada orang lain agar menjadi berkah.
Minggu, 25 September 2016
Selamat Jalan
Assalamu'alaikum..
Seperti yang telah aku katakan pada postingan sebelumnya, aku akan meneruskan cerita tentang Opa. Bukan untuk terus menerus larut dalam kesedihan, tapi untuk sekedar melepaskan sesak di dada.
Aku sedang berada di kamar kos saat mendengar kabar tentang keadaan opa yang kritis. Sesaat setelah telepon dimatikan, aku mulai berdoa kepada Allah semoga Opa pulih kembali. Aku berdoa semoga kondisi beliau tidak separah seperti yang aku pikirkan. Aku berdoa semoga Opa sehat kembali dan aku bisa bertemu dengan beliau ketika aku pulang nanti saat liburan semester sekitar 19 hari lagi. Saat itu aku benar-benar memohon kepada Allah untuk kesembuhan beliau. Aku memposisikan diri menghadap kiblat, menengadahkan tanganku dan berdoa kepada Allah dengan sepenuh hati dan pengharapan yang luar biasa. Kemudian aku merapatkan kedua telapak tanganku dan memohon dengan sangat agar apa yang aku takutkan tidak terjadi. Rasanya belum pernah aku berdoa seserius itu, Kemudian aku berusaha menenangkan diriku. Percaya bahwa ini semua akan baik-baik saja. Aku berusaha berpikir positif, karena katanya jika kita berpikiran positif maka hal yang baik akan terjadi sesuai dengan yang kita pikirkan.
Kemudian waktu untuk sholat Ashar masuk, aku sholat dan kembali berdoa dengan memohon, sangat sangat memohon bahwa yang aku takutkan tidak akan terjadi. Lalu beberapa saat sebelum masuk waktu maghrib untuk daerah Surabaya datang telepon dari Papa. Sebelum mengangkat HP aku telah mempersiapkan kemungkinan untuk mendengar kabar buruk. Dan benar, yang aku takutkan terjadi. Opa telah pergi. Saat di telepon aku berusaha tegar, aku tidak menunjukkan kesedihan, aku bukan tipe orang yang suka menampilkan perasaanku yang sebenarnya kepada orang lain, sesakit apapun akan kutanggung sendiri.
Dan saat telepon dimatikan aku tak kuasa untuk menahan semuanya. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku memukul-mukul pahaku, aku memukul lantai kamarku, aku mengitari seluruh kamar dengan tak karuan, walaupun aku tau bahwa terlalu menangisi orang yang telah meninggal hingga histeris dan sampai memukul-mukul badan dalam Islam itu dilarang tapi pada saat itu seolah-olah aku lupa. Saat sholat Maghrib pun aku terbata-bata membaca ayat Al-qur'an, aku tak kuasa menahan tangis.
1 tahun yang lalu saat aku diterima di Psikologi Airlangga, Opa ku sebenarnya menyarankan agar aku kuliah di Padang saja, beliau takut kalo terjadi apa-apa sama dia aku tidak sempat melihatnya. Dan ketika akhirnya dia mengizinkanku untuk pergi ke Surabaya, dia menitipkan fotonya dan foto Oma. Dia mengatakan jika terjadi apa-apa sama mereka, cukup lihat foto ini dan doakan mereka. lalu saat liburan semester 1 kemaren beliau juga pernah bilang seolah-olah menyiratkan beliau tidak akan menemuiku lagi, "ahhhh :(( .. berarti nanti Reyhan ga bisa ikut menyolatkan Opa dong", lalu aku menjawab, "jangan bicara begitu opa, nanti kita akan bertemu lagi".
Aku juga masih ingat saat hari keberangkatanku kembali ke Surabaya setelah libur semester satu. Saat itu aku telah bersalaman dan mencium kening beliau di dalam rumah. kemudian aku pergi keluar rumah dan naik ke mobil. Opa kemudian pergi ke pintu belakang untuk menjemur pakaian, dan saat mobil akan keluar dari pekarangan rumah entah kenapa Opa tiba-tiba bergegas menyusulku ke depan rumah dan menatapku yang di dalam mobil, beliau kemudian berpesan agar hati-hati di Surabaya dan memberi kabar jika telah sampai disana. aku kemudian melambaikan tanganku kepadanya. Itulah saat terakhir aku melihatnya secara langsung.
Beberapa saat sebelum Ramadhan, beliau juga sempat sakit dan dirawat di rumah sakit. Namun kemudian telah pulih dan dibawa kembali ke rumah. Ketika ditelpon beliau mengatakan kalau kondisinya sudah pulih. Dan ternyata di pertengahan Ramadhan beliau kembali sakit dan berpulang untuk selama-lamanya. Aku banyak melihat kejadian seperti ini. Dimana orang yang akan meninggal sebelumnya sakit dan kemudian pulih lalu secara tiba-tiba pergi untuk selama-lamanya. Seperti cahaya lentera yang sebelum padam memberi penerangan seterang terangnya kemudian padam.
Hingga lima hari setelah beliau pergi meninggalkan dunia ini, aku masih sering menangis. Yang paling aku sesalkan adalah aku tidak bisa melihat beliau untuk yang terakhir kalinya dan kesedihan karena aku erasa masih kurang banyak berbicara dengan belliau, masih banyak hal yang ingin aku ceritakan dan bagi dengan beliau tetapi sudah tidak bisa. Walau aku berusaha menyibukkan diri dengan kegiatan lain, air mataku tetap keluar begitu saja ketika mengingat beliau. Mataku sembab karena air mata. lalu pada hari keenam seorang temanku mengatakan bahwa semua yang kita punya ini hanyalah pinjaman dari Allah, tidak ada yang benar-benar kita punyai. Bahkan tangan dan kaki kita hanyalah pinjaman dari Allah. Jika badan kita sendiri hanyalah pinjaman dan kepunyaan Allah, apalagi dengan orang-orang yang kita sayangi. itu semua hanyalah pinjaman dari Allah dan Dia berhak mengambilnya sewaktu-waktu.
Sesampainya di kos aku kembali merenungkan perkataannya. Selama ini aku sudah terlalu larut dalam kesedihan. Aku harus sadar bahwa setiap orang pada suatu saat pasti akan pergi. Aku akhirnya sadar bahwa kesedihanku yang terlalu lama ini karena aku belum bisa memaafkan diriku sendiri. Aku harus bisa memaafkan diriku sendiri dan menerima bahwa ini semua bukan salahku. Ini semua sudah kehendak Allah. Kenapa aku marah terhadap sesuatu yang telah ditakdirkan Allah. Aku bukan siapa-siapa di dunia ini. Aku hanyalah makhluk, hamba Allah. Aku harus sadar bahwa kepergian Opa tidak sia-sia.
Perlahan aku mulai bisa memaafkan diriku sendiri. Aku mulai bisa melihat kebaikan diantara kepedihan. Opa meninggal di bulan yang suci dan yang lebih membahagiakan lagi beliau sempat mengucapkan kalimat tahlil "Lailahaillallah" di hembusan nafas terakhirnya. Rasulullah pernah bersabda bahwa orang yang bisa mengucapkan kalimat tahlil di akhir hayatnya jaminannya adalah surga. Aku percaya dengan apa yang dikatakan Rasulullah. lalu setidaknya Opa tidak harus menderita berlama-lama karena sakit. Beliau hanya dirawat 2 hari di rumah sakit. Aku juga harus kuat karena kematian tidak hanya menimpa keluargaku, tetapi juga orang-orang di seluruh dunia. Betapa banyak anggota keluarga kami di Palestina, di Suriah, di Rohingya, yang dibantai setiap hari oleh musuh-musuh Islam. Tetapi mereka tetap tegar dan berjuang di jalan Allah. Temanku-temanku juga banyak yang kehilangan orang tuanya tapi mereka bisa menunjukkan ketegaran. Jadi aku tidak boleh terlalu larut dalam kesedihan. Opa juga tidak meninggal sendirian, banyak orang yang merasa kehilangan akan beliau, banyak yang menghadiri sholat jenazahnya. Aku juga sangat berterima kasih kepada ucapan belasungkawa dari teman-teman satu angkatanku, aku sangat menghargai itu. Meninggalnya opa juga memberikanku satu tujuan hidup yang baru. Yang sebelumnya aku belum terlalu jelas apa yang ingin aku capai dalam hidup ini tapi setelah ini aku punya sesuatu yang hendak aku capai. Tapi tidak akan aku sebutkan disini.
Aku kemudian mempercepat kepulanganku ke Solok (BUKAN SOLO), Sumatera Barat dari yang 19 hari menjadi 15 hari. Setelah Ujian Akhir Semester beres, besoknya aku langsung berangkat ke Solok. Sesampainya di Padang aku dijemput oleh keluargaku di bandara. Kami tidak membicarakan tentang opa, dan aku juga tidak mau membahasnya. Setibanya di rumah aku segera menuju kamar Opa. Aku tidak menemukan beliau disana, ternyata memang beliau telah tiada. Aku memeriksa lemari baju beliau dan menemukan baju lebaran yang rencananya akan dipake beliau. Awalnya aku berencana keesokan harinya akan pergi ke Lintau, Kabupaten Tanah Datar untuk melihat makam opa, karena memang Opa tidak dimakamkan di kotaku melainkan di tanah kelahirannya. Tapi orang tua ku menyarankan agar kita sama-sama berziarah pada saat lebaran saja. Aku juga baru tau kalau saat beliau sakit menjelang kepergiannya beliau sempat menolak dibawa ke rumah sakit. Beliau berkata, "Jika akan meninggal, biarlah meninggal di rumah saja." Tapi orangtuaku tidak mungkin membiarkan Opa begitu saja tanpa perawatan. Akhirnya beliau dipaksa untuk dibawa ke rumah sakit.
Pada saat lebaran hari kedua aku bersama keluarga berangkat ke Lintau, sekitar 2,5 jam dari Solok. Di pagi hari keberangkatan aku muntah-muntah, entah karena psikosomatis atau karena terlalu lama bermain werewolf hingga pulang kemalaman. Sesampainya di Lintau, kami pergi ke rumah orang tua Opa yang di belakang rumah tersebut Opa dimakamkan. Makam opa biasa saja, tidak ditembok, tidak diberi keramik. Hanya gundukan tanah yang dibagian kepalanya diberi batu tanpa nisan, karena memang di dalam Islam dilarang meninggikan dan mendirikan bangunan diatas kuburan. Aku teringat setiap tahun kami pergi berlebaran ke kampung halaman Opa saat beliau masih hidup, beliau selalu berpesan jika meninggal nanti ingin dimakamkan di kampung halamannya tersebut. Mama dan adik-adik kembali menangis di kuburan tersebut. Entahlah, setiap dari kami memang punya kenangan tersendiri yang membekas dengan opa.
Yang terpenting aku akan mewariskan dan menjaga nilai-nilai yang telah beliau ajarkan selama ini. Semangat beliau akan tetap hidup di dunia ini. Aku akan berdoa semoga kelak kami sekeluarga kembali dikumpulkan bersama di surga Allah.
Sabtu, 18 Juni 2016
Kehilangan Terhebat
Aku merasa harus menuliskan ini, kehilangan terhebat pertamaku.
Siang tadi sekitar pukul 14:30 aku mendapat telpon dari keluargaku di Solok, Sumatera Barat. ketika kuangkat, di ujung telpon telah ada papa.
"Nak, opa masuk rumah sakit, kadar gulanya naik. fokus aja ujian ya, jangan lupa doakan beliau ya."
Aku tau keadaan opaku tidak baik-baik saja saat itu. Sebelum ramadhan opa juga memang sudah masuk rumah sakit karena masalah yang sama.
"Ya pa.. " aku hanya mampu menjawab itu. Kemudian telpon dimatikan oleh papaku.
Aku selalu takut ketika mendapat telpon dari rumah yang mengabarkan kondisi opa, dan kali ini telpon itu datang. Aku tak bisa berhenti memikirkan kondisi opaku.
kemudian 5 menit kemudian papa nelpon lagi.
"Lagi ujian nak?"
"Engga pa, ujian selanjutnya hari Senin"
"Oo.. kalo gitu bicara sama opa nak. ini..." kata papaku dengan suara tercekat.
aku membayangkan papa mengarahkan hape ke opa.
"opa.. opa..."
tidak ada jawaban.
"langsung aja bicara sama opa, Rey" sambung papa.
Dari situ aku tau opa sudah tak sadarkan diri.
"Opa.. cepet sembuh ya pa.. jangan lupa makan.. cepet sembuh ya pa"
aku benar-benar ga tau harus ngomong apa saat itu, pikiranku buntu, hanya kalimat itu yang terucap dari mulutku.
"minta maaf sama opa Rey" sambung papa ditelpon.
"Opa, maafkan Reyhan ya opa. maafkan kesalahan Reyhan" ucapku sambil tercekat. kemudian hening.
"Udah ya nak. sekarang Opa lagi diinfus dan belum sadar, doakan beliau ya. kalo terjadi apa-apa Reyhan harus siap ya. Sekarang Reyhan Sholat, doakan opa. fokus ujian ya nak." kata papaku dengan terbata-bata dan berusaha menguatkanku. kemudian telpon dimatikan.
Dari dulu aku sudah tau, ketika seseorang dalam kondisi koma, harapan untuk kembali sadarnya itu kecil. Dalam hati aku berpikir, apakah ini sudah waktunya untuk beliau?
Air mataku mulai mengalir. Aku selalu berpikir bahwa nanti ketika anggota keluargaku meninggal aku tak akan menangis, atau paling tidak air mataku hanya akan keluar sedikit saja karena akhir-akhir ini entah kenapa afeksi ku mulai berkurang. aku sudah terbiasa melihat kekecewaan, kehilangan, perpisahan dan keputusasaan. Tapi bagaimana mungkin aku tidak menangis jika yang akan pergi meninggalkanku adalah orang yang telah hidup satu rumah denganku selama 18 tahun? orang yang bahkan secara emosional aku lebih dekat dengannya dibanding dengan orang tuaku, orang yang bahkan menangis ketika melepas kepergianku untuk belajar di Surabaya, orang yang selalu menyisihkan uang yang didapatnya untuk jajanku di Surabaya padahal aku tau dengan sangat beliau sangat membutuhkannya, Orang yang selalu aku pegang tangannya dan kemudian berjalan kaki menuju mesjid untuk Shalat Jum'at dari aku masih TK hingga aku SMA, Orang yang mengajakku ke kebun ketika liburan untuk memetik Kakao dan menjualnya di pasar, Orang yang selalu menjadi temanku menonton piala dunia tengah malam disaat yang lain tidur dan membuatkan mie untuk menemani kami nonton? Bagaimana mungkin aku tidak akan berlinang air mata ketika mengingat semua itu. Bahkan ketika aku menuliskan ini pun tanpa sadar air mataku kembali mengalir.
Aku harus menuliskan ini. Aku takut suatu saat ketika ingatanku tak lagi sebaik sekarang ini, Aku bisa kembali membaca tulisan ini dan mengingatnya. Aku benar-benar takut kalau aku harus kehilangan semua memori tentang beliau. Opa memang bukan orang yang sempurna, beliau juga bukan orang paling alim sedunia. Tapi aku belajar banyak dari beliau tentang nilai-nilai kemanusiaan. Bahwa kita tidak harus menjadi sempurna untuk dicintai orang lain, bahwa ketika salah yang terpenting bukan permintaan maafnya, tetapi usaha kita untuk membuktikan dengan perbuatan ucapan maaf itu, bahwa cinta yang sesungguhnya tidak hanya sebatas kata tetapi yang lebih penting lagi bagaimana sikap dan perbuatan kita menunjukkan itu semua.
Opa merupakan orang yang sangat keras. Beliau adalah orang yang suaranya paling keras di rumah dan kalau sudah marah suaranya akan mengagetkan seisi rumah. Tapi dibalik itu semua beliau adalah orang yang sangat lembut dan hatinya sangat mudah tersentuh. Disaat aku akan pergi belajar ke Surabaya beliaulah yang pertama kali menolak, beliau sangat takut kalau terjadi apa-apa padanya aku tidak sempat balik untuk melihatnya yang terakhir kali. ketika akhirnya hati beliau luluh untuk mengizinkan aku berangkat, beliaulah yang pertama kali menangis di hari keberangkatanku. padahal oma dan papa bersikap biasa saja, dan mama baru menangis ketika melepasku dibandara. Opa bahkan memeberikanku foto beliau dan oma sewaktu masih muda. Beliau berpesan, "kalo terjadi apa-apa dan Reyhan tidak bisa pulang, cukup lihat foto ini dan doakan opa ya Rey." Ini terjadi sewaktu keberangkatanku yang pertama di semester 1. ketika aku akan kembali ke Surabaya di semester 2 beliau juga kembali menangis. Menangis melepas seseorang yang akan pergi merantau ke tempat lain mungkin hal yang biasa, tetapi yang tidak bisa aku bayangkan yang menangis itu adalah opaku yang terkenal keras dan galak. Aku selalu tau beliau sebenarnya merupakan seorang yang penyayang.
Ingatan pertamaku tentang beliau adalah saat ulang tahunku yang ketiga. Saat itu ulang tahunku dirayakan dengan mengundang banyak anak-anak seumuranku. Aku sangat takut untuk keluar dari kamar dan menemui mereka. saat aku keluar dan melihat begitu banyak orang aku langsung menangis dan berlari ke kamar. saat itu Opa pergi ke kamar dan menggendongku, Kemudian membawaku keluar. beliau menemaniku duduk di kursi. Dan rasa takutku seketika hilang. kemudian aku juga pernah dibawanya untuk tinggal di Pekanbaru. Saat itu beliau masih menjadi Direktur di sebuah perusahaan kayu. Saat aku sudah TK, aku hanya tinggal di Pekanbaru sewaktu liburan. Aku selalu jajan di koperasi dan membuat tagihan untuk Opa yang harus dibayarnya setiap akhir bulan. Banyak pengalamanku bersama beliau di Pekanbaru.
Percakapan terakhir kami kira-kira seminggu yang lalu, saat itu beliau tidak berbicara banyak. Beliau hanya berpesan "jangan ikut aliran-aliran disana ya Rey". Beliau sangat takut aku ikut aliran-aliran kegamaan yang sesat dan berafiliasi dengan teroris.
Malam sebelum kepergian beliau aku sempat bermimpi tentang beliau. Opa datang menemuiku dengan pakaian batik biru yang sama dengan di fotonya yang terpajang di rumah. Saat itu beliau tidak mengatakan apa-apa. Paginya ketika aku bangun, aku takut. Takut ini merupakan sebuah pertanda. Dan ternyata sorenya aku mendapat kabar tentang beliau. Tepat saat adzan Maghrib, setelah aku minum beberapa teguk datang telpon dari Papa. yang berbicara adalah "Angku" (adik nenekku). beliau mengabarkan Opa telah berpulang. Aku diminta sabar dan mendoakan beliau. Aku berusaha tegar ketika ditelpon, dan ketika telpon telah ditutup aku tak kuasa menahan tangisku.
Ini pertama kalinya aku kehilangan orang yang serumah denganku. Semua perasaan bercampur aduk, aku tak tau apa yang aku rasakan apakah sedih, kecewa atau senang karena beliau tidak tersiksa terlalu lama dan meninggal di bulan yang suci ini. yang aku tau saat itu air mataku mengalir deras, aku seakan masih tak percaya beliau telah tiada. ketika kulihat fotonya yang dikirimkan mama, beliau terlihat seperti tidur. sejujurnya yang membuat kesedihanku memuncak adalah karena aku belum bisa membalas semua yang beliau berikan kepadaku. aku belum bisa memberikan apa-apa untuk beliau. aku selalu berdoa umur beliau dipanjangkan hingga aku wisuda dan telah bekerja hingga bisa membalas kebaikan beliau dan juga bisa membuat beliau bangga. Aku menyesal karena selama ini belum bisa memberikan yang terbaik untuk beliau. Tapi kemudian aku menyadari bahwa untuk menebus kesalahan itu aku akan mewarisi semangat beliau, aku akan menjaga apa-apa yang telah beliau ajarkan dan perjuangkan, semangat beliau akan tetap hidup dan aku berdoa semoga beliau dikumpulkan bersama orang-orang beriman di Surga dan kami bsa bertemu kembali kelak di Surga. sebenarnya masih banyak yang ingin aku ceritakan, tapi aku sudah tak sanggup lagi untuk saat ini. aku takut kesedihanku semakin mendalam dan membuat beliau sedih melihat kondisiku seperti ini. aku akan sambung di lain waktu. Aku sayang Opa..
Sabtu, 14 Mei 2016
Filosofi Cinta
Cinta seharusnya
menjadikan manusia sebagai makhluk yang diliputi kebahagiaan, tapi banyak yang
sengsara karena cinta. Cinta seharusnya menimbulkan kedamaian bagi yang
merasakannya. Namun mengapa ketika jatuh cinta hati menjadi gundah gulana. Dan
cinta juga seharusnya bisa mempersatukan. Tapi mengapa banyak kita lihat kisah
tragis dari cinta, seperti romeo-juliet, Cleopatra-antonius, ataupun
laila-majnun. Lalu bagaimana dengan cinta yang katanya tak harus saling
memiliki? Bagaimana mungkin kita merelakan orang yang kita cintai tak menjadi
milik kita.
Cinta bisa jadi kata
yang paling banyak dibicarakan banyak orang. Cinta bisa kepada berbagai hal.
Cinta kepada harta, anak, istri, kekuasaan, kendaraan mewah dan lain sebagainya.
Banyak yang telah merasakan cinta, namun banyak juga orang yang kesulitan
ketika diminta menjelaskan, apa itu cinta? Ratusan pemikir dan ilmuwan mencoba
mendefinisikan arti kata itu. Namun, tak ada yang sungguh bisa menjelaskannya.
Atau, jangan-jangan cinta itu hanya bisa dirasa, tapi tak bisa dijelaskan
dengan kata-kata? Bagaimana menurut anda?
Bagaimana sebenarnya
hakikat cinta jika ditinjau dari segi filsafat?
Suatu hari, Plato
bertanya pada gurunya, “Apa itu cinta? Bagaimana saya menemukannya? Gurunya
menjawab, “Ada kebun mawar yang luas didepan sana. Berjalanlah kamu kesana dan
tanpa boleh mundur kembali, ambillah satu tangkai bunga mawar yang paling
indah. Jika kamu menemukan mawar yang kamu anggap paling menakjubkan, artinya
kamu telah menemukan cinta”
Plato pun berjalan, dan
tidak seberapa lama, dia kembali dengan tangan kosong, tanpa membawa apapun.
Gurunya bertanya,
“Mengapa kamu tidak membawa satu tangkaipun bunga mawar?” Plato menjawab, “Aku
hanya boleh membawa satu saja dan saat berjalan tidak boleh mundur kembali
(berbalik). Sebenarnya aku telah menemukan yang paling menakjubkan, tapi aku
tak tahu apakah ada yang lebih menakjubkan lagi di depan sana, jadi tak kuambil
mawar tersebut. Saat kumelanjutkan berjalan lebih jauh lagi, baru kusadari bahwa
mawar-mawar yang kutemukan kemudian tak sebagus mawar yang pertama tadi, jadi
tak kuambil setangkaipun pada akhirnya”
Gurunya kemudian
menjawab ” Ya! itulah cinta”
Di hari yang lain,
Plato bertanya lagi pada gurunya,”Apa itu perkawinan? Bagaimana saya bisa
menemukannya?”
Gurunya pun menjawab
“Ada hutan yang subur didepan sana. Berjalanlah tanpa boleh mundur kembali
(menoleh) dan kamu hanya boleh menebang satu pohon saja. Dan tebanglah jika
kamu menemukan pohon yang paling tinggi, karena artinya kamu telah menemukan
apa itu perkawinan”
Plato pun berjalan, dan
tidak seberapa lama, dia kembali dengan membawa pohon. Pohon tersebut bukanlah pohon yang
segar/subur, dan tidak juga terlalu tinggi. Pohon itu biasa-biasa saja.
Gurunya bertanya,
“Mengapa kamu memotong pohon yang seperti itu?” Plato pun menjawab, “sebab
berdasarkan pengalamanku sebelumnya, setelah menjelajah kebun mawar, ternyata
aku kembali dengan tangan kosong. Jadi dikesempatan ini, aku lihat pohon ini,
dan kurasa tidaklah buruk-buruk amat, jadi kuputuskan untuk menebangnya dan
membawanya kesini. Aku tidak mau menghilangkan kesempatan untuk mendapatkannya”
Gurunya pun kemudian
menjawab, “Dan ya itulah perkawinan”
Dari kisah diatas kita
dapat mengambil 2 hal. Pertama, seringkali kita berusaha menemukan cinta yang
sempurna dan malah meninggalkan cinta yang telah ada. Dan hingga akhirnya
ketika kita tiba diujung pencarian, kita baru menyadari bahwa yang kita miliki
selama inilah yang merupakan cinta terbaik, Namun kita malah meninggalkannya dan
berusaha mencari cinta yang lain yang kita rasa sempurna. Kedua, perkawinan itu
ibarat kisah diatas, kita berusaha menjalani perkawinan dan berumah tangga yang
terbaik, namun karena takut gagal seperti saat pencarian cinta, kita hanya
melewatinya dengan biasa-biasa saja dan terkesan hambar.
Filsafat sendiri
berasal dari kata philos yang artinya cinta dan shopia yang artinya
kebijaksanaan. Jadi filsafat artinya cinta kebijaksanaan.
Berdasarkan filsafat
Yunani, terdapat beberapa jenis cinta, diantaranya:
Eros. Eros adalah
cinta secara fisik, dengan kerinduan yang sifatnya sebagian besar
sensual. Eros adalah cinta yang didasarkan semata-mata pada emosi dan
bukan pada logika.
Philia, didefiniskan
sebagai cinta yang sifatnya mental. Philia juga diasosiasikan sebagai
cinta antar sahabat di dalam bahasa Yunani Kuno dan Modern. Cinta semacam ini
sifatnya 'memberi dan menerima'. Philia menurut Aristoteles, adalah
cinta yang sifatnya penuh kebajikan dan tidak bersifat agresif.
Agape, berarti
cinta di dalam sifatnya yang spiritual, yang berarti "aku
mencintaimu" di dalam bahasa Yunani Kuno, seringkali dikaitkan dengan
'cinta yang tak bersyarat'. Cinta semacam ini tidak mementingkan diri sendiri,
cinta ini memberi dan tidak mengharapkan diberi.
Storge, berarti "rasa
sayang" di dalam bahasa Yunani Kuno dan Modern. Storge adalah cinta
yang sifatnya alamiah, seperti yang dirasakan orangtua kepada anak mereka. Kata
ini jarang digunakan di dalam teks-teks kuno, dan hampir selalu digunakan untuk
menggambarkan cinta diantara anggota keluarga.
Selain jenis cinta
diatas adalagi jenis cinta yang lain menurut Plato, yaitu Cinta Platonis. Sesuai
dengan Pemikiran Plato mengenai konsep ideal yang hanya ada dalam alam pikiran,
maka “Cinta Platonis” merupakan pandangan plato tentang cinta yang paling
ideal, atau cinta yang sempurna. Cinta Platonis ialah cinta yang hanya ada di
dalam angan-angan atau cinta yang hanya ada dalam pikiran. Cinta yang tidak
diungkapkan pada siapapun, menjadi cinta paling misterius, cinta dalam diam,
yang tidak dikatakan pada orang lain, atau kepada orang yang dicintai itu.
Maka, berdasarkan
konsep pemikiran Plato, sebuah cinta yang telah diungkapkan, maka cinta itu
sudah tidak lagi menjadi cinta yang ideal atau sudah tidak lagi menjadi cinta
sejati.
Sebenarnya apa sih yang
membuat manusia jatuh cinta?
Menurut Jacques Lacan,
manusia memiliki lubang di dalam jiwanya yang harus diisi. Ada ruang kosong di
dalam jiwanya yang selalu mencari tambalan untuk menutupi lubang tersebut.
Dalam konsep psikologi dikenal istilah Id, yaitu hasrat naluriah manusia yang
dibawanya sejak lahir. Maka untuk menutupi lubang di dalam jiwa tadi dibutuhkan
cinta. Cintalah yang mampu mengisi kekosongan itu.
Cinta tidak sebatas
kepada lawan jenis. Cinta bisa kepada siapa saja atau apapun. Cinta bisa kepada
Allah, kepada harta, ataupun kepada lawan jenis. Namun yang paling sesuai untuk
mengisi kekosongan hati adalah cinta kepada Allah. Jika cinta kepada manusia
maka suatu saat ketika dia pergi maka hati akan menjadi kosong kembali, namun
jika cinta kepada Allah maka Allah kekal, Allah akan selalu bersama orang yang
mencintainya. Pasangan hanyalah sarana agar kita bisa lebih mencintai Allah.
Jika kita memilih cinta kepada harta, maka lubang dijiwa kita tidak akan pernah
terisi. Jiwa akan selalu menuntut lebih dan tidak akan pernah merasa puas. Lain
halnya jika kita mencinta Allah yang Maha Pemilik segala-galanya. Hanya dengan
mengingat Allah lah hati kita akan menjadi tentram.
Apa yang membuat cinta
berhenti di tengah jalan?
Seringkali cinta kandas
ditengah jalan dan menyisakan luka. Padahal awalnya kita merasa semua akan
baik-baik saja. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya komitmen. Atau komitmen
yang telah dibuat diawal dilanggar. Maka dari itu dibutuhkan komitmen sejak
awal menjalin hubungan dari masing-masing pihak. Dan komitmen yang telah dibuat
itu hendaknya dijaga sampai akhir. Jangan sampai hanya sebatas janji kosong. Cinta
bukanlah kata-kata, tetapi adalah tindakan konkrit yang diejawantahkan dalam
kehidupan nyata.
Tapi bukan berarti
komitmen menghalangi seseorang untuk berubah. Seringkali kita mendengar
kata-kata “kamu jangan pernah berubah ya, tetap kayak gini terus”. Ini adalah
hal yang mustahil. Mau tidak mau kita harus menerima bahwa seseorang itu pasti
akan berubah. Senang atau tidak. Karena pada dasarnya manusia selalu menuju
proses penyempurnaan. Jangan menghalangi pasangan anda untuk berubah, karena
kalau dia tidak berubah selama bersama anda, berarti anda gagal sebagai
pasangan. Bukankah hari ini harusnya lebih baik dibanding hari kemaren. Biarkan
pasangan anda berubah jadi lebih baik, biarkan pasangan anda menjadi dewasa
bersama anda. Anda juga harus dapat memahami dan menerima perubahan itu.
Tapi perlu diingat,
jangan berubah hanya untuk menyenangkan pasanganmu. Karena itu akan melelahkan.
Ketika kamu berubah mengikuti apa yang pasangan kamu suka, maka lama kelamaan
pasanganmu akan bosan kepadamu, karena dia tidak melihat hal menarik lagi dari
dirimu. Tetaplah menjadi apa yang kamu suka. Apabila ada hal yang buruk dari
dirimu, pasangan yang baik pasti tidak akan memaksa kamu untuk berubah secara
instan. Dia pasti akan menemanimu untuk berproses bersama menjadi lebih baik.
Karena dia mencintai semua yang ada pada dirimu.
Kata orang cinta itu
buta. Cinta sebenarnya tidak buta. Cinta adalah sesuatu yang murni, luhur dan
diperlukan. Yang buta adalah bila cinta itu menguasai dirinya tanpa suatu
pertimbangan. Seringkali kita lihat individu yang rela membelikan pasangannya
ini itu padahal dia belum punya penghasilan sendiri. Lain halnya jika sudah
punya penghasilan sendiri, terserah uangnya mau dipakai buat apa. Tapi akan
terasa hambar jika cinta hanya terpatok pada materi. Materi itu perlu, tapi
materi bukan segala-galanya.
Pernahkah anda bosan
dalam menjalin sebuah hubungan? Ketika cinta hanya sebatas ucapan selamat pagi,
selamat siang, selamat tidur. Ketika cinta hanya sebatas pertanyaan lagi
ngapain, udah makan belum, udah mandi belum, udah bernafas belum. Ataupun cinta
hanya sebatas ngasih surprise ulang tahun, cowok traktir ceweknya makan dan
pergi nonton bareng. Membosankan sekali. Mungkin diawalnya emang terasa
menyenangkan, tapi lama kelamaan pacaran akan kehilangan esensi.
Pernahkah terpikirkan
untuk melakukan hal-hal bermanfaat bersama pasangan anda. Seperti melakukan
kegiatan social, mengajar anak-anak yang tidak sempat mengenyam pendidikan,
atau kalian berdua bisa iuran setiap minggunya buat bagiin nasi bungkus gratis
kepada orang-orang yang membutuhkan, atau kalian bisa bikin usaha bareng. Pasti
akan banyak keseruan disana. Memang refreshing sekali-kali juga dibutuhkan,
tapi jangan sampai pacaran hanya sebatas ritual buang-buang uang dan menanyakan
hal-hal ga penting. Kalian tidak perlu menanyakan pasangan kalian udah makan
apa belum, karena ketika dia lapar pasti dia akan makan, kecuali kalian emang
niat bawain dia makanan.
Pernahkah kalian merasa
takut untuk mengungkapkan perasaanmu?
Jika kamu memang cinta
maka ungkapkan saja. Cinta bisa disembunyikan tapi cinta tidak bisa dibungkam,
maka katakanlah selagi masih ada kesempatan atau kau akan kehilangan dan
menyesal. Tapi pastikan dulu perasaan kamu itu apakah hanya sebatas suka, kagum
atau benar-benar cinta. Tanyakan dulu kepada hatimu. Jika itu memang cinta,
maka katakanlah. Bilang cinta bukan berarti nembak atau memaksanya menjadi
pacar kita. Setiap orang berhak jatuh cinta dan mengakuinya.
Dan buat orang yang
diungkapin perasaannya, kamu harus bisa berpikir dewasa. Kenapa dia bisa
mencintai kamu, pasti ada sesuatu yang dia suka dari kamu, pastilah ada hal
menarik yang dilihatnya dari kamu. Anggaplah ungkapan cinta itu sebagai pujian.
Tidak ada yang salah dari seorang anak manusia yang mengatakan isi hatinya. Cinta
tidak bermain dengan logika, tapi rasa untuk selalu membuat bahagia, apapun
bentuknya. Jangan salahkan perasaan cinta seseorang terhadapmu karena ia pun
tidak pernah tau tentang rasa cinta yg tumbuh itu. Jangan kau benci karena
cintanya padamu, ia pun tersiksa karena rasa cinta itu padamu.
Jika kamu memang tidak
ada perasaan kepadanya, maka ucapkan saja terima kasih atas ungkapannya, lalu
bilang maaf karena tidak merasakan hal yang serupa. Lalu jalani kehidupanmu
seperti biasa, bukan dengan menjauhi orang yang mengungkapkan perasaannya kepadamu.
Mencintai memang mudah,
untuk dicintai juga memang mudah. Tapi untuk dicintai oleh orang yang kita
cintai itulah yang sukar diperoleh.
Source: Benthem,
Andriaans. 2008. Handbook of the Philosophy of
Science Volume 8: Philosophy of Information. Belanda: Elsevier B.V.
Indonesia Merdeka
Pada
kesempatan kali ini penulis akan menyajikan atau menampilkan kembali isi pidato
salah seorang proklamator kita yaitu Drs. Mohammad Hatta yang berjudul “Indonesia
Vrij” (Indonesia Merdeka). Pidato ini disampaikannya di depan pengadilan
Belanda tepatnya di Den Haag pada tahun 1927, sebagai pembelaan atas dirinya
yang saat itu sedang diadili atas tuduhan menjadi anggota perhimpunan
terlarang, terlibat dalam pemberontakan, dan menghasut untuk menentang Kerajaan
Belanda. Berkat pidatonya yang menggilang ini, Muhammad Hatta pada akhirnya
dibebaskan dari segala tuduhan.
Hal
ini bisa juga kita jadikan perbandingan antara pengadilan di Belanda dengan di
Hindia Belanda pada waktu itu. Soekarno juga pernah diadili di pengadilan
Bandung dan membuat sebuah pidato pembelaan yang memukau dengan judul
“Indonesia Menggugat”. Tetapi hasilnya, Soekarno dihukum 4 tahun penjara. Bisa
dilihat bahwa pengadilan di Negara merdeka (Belanda) lebih memperlakukan semua
orang sama di mata hukum, sedangkan di negara jajahan (Hindia Belanda), sehebat
apapun pembelaannya, pegadilan tetap menjatuhkan vonis hukuman.
Penulis
sengaja menyajikan kembali isi pidato Muhammad Hatta karena penulis sendiri
merasa kesulitan menemukan pidato “Indonesia Vrij” ini di dunia maya. Berbeda
dengan “Indonesia Mengunggat” Yang sudah banyak terdapat di dunia maya. Semoga
tulisan ini dapat membantu teman-teman yang juga mengalami kesulitan yang sama
dnegan penulis. Disamping itu penulis juga berharap kaum muda Indonesia dapat
kembali menelaah pemikiran bung Hatta melalui pidatonya ini.
Artikel
ini bersumber dari buku “Untuk Negeriku: sebuah otobiografi jilid 1” yang
ditulis oleh Muhammad Hatta sendiri. Artikel ini juga hanya menyajikan pidato
bung Hatta bagian awal dan akhirnya saja, karena jika dituliskan semuanya maka
akan memakan waktu Tiga setengah jam untuk membacanya, seperti yang diungkapkan
Muhammad Hatta sendiri. Mungkin akan terdapat perbedaan bahasa Indonesia yang
digunakan pada masa dahulu dengan masa sekarang dan akan ada beberapa kalimat
yang mungkin terdengar asing untuk pembaca di zaman sekarang, jadi dibutuhkan
kecermatan untuk membacanya.
“INDONESIA VRIJ”
“yang Mulia Tuan-tuan
Ketua dan Hakim!
“tatkala dalam tahun
1924 redaksi Indonesia Merdeka
menulis kata pendahuluan untuk tahun baru, kata-kata yang berikut keluar dari
pena-nya: ‘Indonesia Merdeka’ menjadi suara mahasiswa muda Indonesia, suara
yang barangkali belum diperhatikan oleh yang berkuasa, tetapi suatu kali akan
didengarnya. Tidak dengan tidak ada kesalahan suara itu diabaikan saja sebab di
belakang suara itu ada kemauan yang tegas untuk terus mencapai hak-hak yang
cepat atau lambat akan menegakkan dalam dunia ini suatu Indonesia Merdeka.
“Sedikit mereka menduga
bahwa masa itu begitu cepat ada balasannya, terutama dalam lingkungan yang
memerintah. Lebih kurang diduga bahwa suara itu begitu cepat dibawa ke muka
pengadilan. Aku sekarang berdiri di muka Tuan-Tuan yang mulia, Presiden dan Hakim,
untuk mempertanggungjawabkan tujuan dan perjuangan Perhimpunan Indonesia dan
membenarkan tujuan dan perjuangan itu dari pandanganku”.
“Yang mulia Tuan-tuan
Presiden dan para Hakim.”
“Hanya satu yang hendak
kuterangkan dengan ringkas, yaitu bagaimana pendirian Perhimpunan Indonesia
terhadap kekerasan, perkosaan. Baik dalam statutanya maupun dalam keterangan
dasarnya, tidak ada anasir kekerasan. Belum pernah dikehendakinya tindakan
kekerasan. Belum pernah ia berkata untuk tindakan kekerasan. Tetapi, yang
pernah ada ialah bahwa ia bicara tentang kekerasan.
Dengan menganalisa
perhubungan kolonial, Perhimpunan Indonesia memperoleh suatu kenyataan bahwa
perhubungan itu dikuasai oleh dua tenaga yang bertentangan tujuannya, yaitu
pendirian Nederland yang mau mempertahankan penjajahannya apapun yang akan
terjadi dan tujuan Indonesia ke jurusan merdeka sama sekali. Dan ini
menimbulkan keyakinan padanya bahwa kemerdekaan Indonesia hanya dapat diperoleh
dengan kekerasan. Tetapi, hal ini bukanlah suatu pendapat yang luar biasa.
Karena juga pendeta-pendeta dan anggota-anggota Perwakilan Rakyat Negeri
Belanda mempunyai pendapat seperti itu, sebagaimana Mr. Duys (pembela Hatta)
kemarin menunjukkan dengan berbagai kutipan. Itu adalah hukum sejarah bahwa
ahirnya suatu bangsa selalu sejalan dengan penumpahan darah dan air mata.
Indonesia
Merdeka menulis tentang itu dalam tahun 1924, halaman 1,
sebagai berikut:
“cepat atau lambat pada
suatu ketika bangsa yang terjajah mengambil kembali kemerdekaannya, itu adalah
hokum besi sejarah dunia. Cuma suasana dan keadaan betaap gerakan kemerdekaan
itu terjadi ikut ditentukan oleh mereka yang berkuasa. Sebagian besar
bergantung kepada mereka, apakah lahirnya kemerdekaan itu sejalan dengan
penumpahana darah dan air mata atau berjalan dengan proses perdamaian.”
Negeri Belanda
menguasai sepenuhnya, bagaimana Indonesia akan merdeka, dengan jalan kekerasan
atau dengan jalan damai. Tetapi, dengan memperhatikan sikap sebagian besar
rakyat Belanda, seperti yang terjadi pada debat dalam Tweede Kamer (Majelis
Rendah) pada tahun 1925 tentang undang-undang yang akan mengatur susunan
pemerintahan Hindia Belanda, aku khawatir bahwa jalan yang pertama akan
ditempuh.
Bahwa penjajahan
Belanda akan berakhir, bagiku itu pasti. Itu hanya soal waktu dan bukan soal ya
atau tidak. Janganlah Nederland menyugesti dirinya sendiri bahwa penjajahannya
akan tetap sampai akhir zaman.
Ada satu hal lagi, Tuan
Presiden, yang akan aku singgung, yaitu penahanan preventif kami. Kami berdiri
disini bukan sebagai penjahat, melainkan kami orang-orang yang jujur, yang
membela keyakinan kami. Tuan dapat menerima apa yang aku kemukakan.
Penahanan kami selalu
diberi alasan ‘takut akan lari’. Lari, Tuan Presiden? Kami terlalu jantan untuk
lari. Kami berjuang untuk suatu cita-cita tinggi dan lari hanya merusak tujuan
kami sendiri. Keyakinan kami barangkali bukan keyakinan Tuan, tetapi suatu hal
yang dapat menyamakan pendapat kita karena kita bukan penjahat, yaitu
menghargai pendapat masing-masing. Penghargaan itu akan menginsafkan Tuan bahwa
lari adalah suatu perbuatan pengecut yang tak mungkin akan kami lakukan.
Tetapi, baiklah aku
bicara tidak dalam abstrakto saja, akan aku sebutkan bukti yang nyata untuk
menginsafkan Tuan bahwa alasan ‘Taku akan lari’ tidak ada dasarnya sama sekali.
Apabila sekitarnya ada niatku untuk lari, justru Nederland tak akan pernah
dapat menangkapku. Aku sedang berada di Swiss, waktu penuntutan terhadap kami
bermula dengan penggeledahan di rumah-rumah kami. Dan aku akan tetap tinggal
disana apabila ada kiranya padaku rasa takut akan dituntut berdasarkan hukum
pidana. Sebaliknya! Justru, berhubung dengan kemungkinan perkara kami akan
dimajukan ke muka mahkamah yang aku duga akan terjadi pada akhir September, aku
persingkat masa liburku di luar negeri dan aku kembali ke Nederland. Juga
teman-temanku yang tiga orang ini waktu masa libur berada di luar negeri.
Apabila sekiranya ada pada mereka niat akan lari, mereka akan tetap saja ada
disana. Tetapi, Tuan Presiden, kejujuran kami melarang kami dibayar dengan
mengurung kami lima setengah bulan dalam penjara.
Alasan ‘takut akan
lari’ sama sekali tidak dapat dipertahankan. Sebab itu aku mendesak kepada
Tuan, sambil menunggu keputusan Tuan tentang perkara kami, tahanan preventif
kami segera dicabut. Aku percaya bahwa Tuan dalam hal ini juga akan
melaksanakan hukum.
Yang terhormat
Tuan-tuan presiden dan Hakim!
Aku sampai sekarang
pada akhir pembelaanku, inginlah aku mempergunakan kedudukanku sebagai orang
yang tertuduh menjadi penuduh terhadap kezaliman yang diderita terus menerus
oleh bangsaku. Kepada Tuan-tuan, pendukung hukum dan keadilan, aku majukan
pertanyaan, apakah sesuai dengan jabatan Tuan-tuan untuk menyetujui perbuatan
Pemerintah Belanda yang bertentangan dengan hukum terhadap pemuda Indonesia
yang tidak berdaya. Bertahun-tahun hiudp kami di negeri ini dipersukar dengan
berbagai macam cara. Kami kira bahwa kami disini dalam Negara Grotius, dimana
hak asasi manusia dijunjung tinggi, merasai juga hak-hak elementer itu. Tetapi,
tidak! Karena orang tidak dapat berbuat apa-apa terhadap kami, selain daripada
perantaraan mahkamah, diambil cara imoril untuk menikam kami. Orang tua kami di
Indonesia dengan ancaman keluar dari jabatan pemerintah atau dengan cara lain,
dilarang mengirimkan uang untuk anaknya di negeri Belanda selama ia masih
menjadi anggota Perhimpunan Indonesia. Tindakan itu serua dengan sebilah pedang
bermata dua yang menyayat timbal balik. Pada satu pihak anaknya ditelantarkan
di negeri orang dan menderita kesukaran, pada pihak lain ditimbulkan
pertentangan antara bapak dan anak, antara generasi tua dan generasi muda. Juga
dengan tiada ancaman itu ada hubungan yang tegang antara angkatan tua dan muda.
Juga denga tiada tindakan pemerintah, ayah dan anak hidup dalam suasana
terpisah. Orang tua yang hidupnya terkait kepada tradisi lama dan merasai
hidupnya sudah dekat pada lobang kubur, ingin mempertahankan apa yang ada,
berhadapan dengan amgkatan muda yang menyongsong sinar merah pagi dan jiwanya penuh
dengan cahaya baru yang datang. Keyakinannya begitu kuat dan kepercayaannya
hidup dalam hatinya yang muda, sehingga tidak dapat dibunuh. Cinta dan semangat
begitu duduk dalam jiwanya sehingga anak muda, seklai pun dengan jiwa yang
luka, bersedia memutuskan hubungan keluarga untuk membela kepercayaannya.
Sesungguhpun begitu,
Tuan Presiden, cara mengadakan provokasi, cara menekan beberapa pelajar
Indonesia disini supaya hidup sengsara dan menderita, bertentangan dengan hukum
dan berdosa!
Kepada Tuan-tuan para
Hakim, pengasuh hukum, aku bertanya dengan penuh kepercayaan, apakah car ini
bukan suatu jalan yang tidak langsung untuk menghalangi kami di negeri ini
bergerak bebas, yang bertentangan dengan hukum Undang-Undang Dasar? Kepada
Tuan-tuan aku bernai bertanya dengan kepercayaan: apakah tindakan itu tidak
melanggar kebebasan yang diakui oleh Undang-Undang Dasar?
Apakah tidak akan
menimbulkan kejengkelan yang lebih besar kepada kami, apabila orang dengan
jalan yang sewenang-wenang saja menyuruh rasakan kepada kami, juga dengan jalan
yang bertentangan dengan hukum yang berlaku, betapa sedihnya nasib menjadi
bagian daripada bangsa yang tidak merdeka? Sangat jelas bahwa jaminan hukum
bagi kami, putra-putra suatu bangsa yang terjajah, tidak ada dimana-mana.
Tetapi, pemuda
Perhimpunan Indonesia tahu menderita, sebagaimana tiap-tiap pemuda bangsa yang
terjajah harus menderita. Masa mudanya bukan bulan terang seperti masa mudanya
putra bangsa yang merdeka. Pada masa mudanya mereka menderita dan memberikan
berbagai pengorbanan. Tetapi, semuanya ini membina pikirannya dan karakternya
dalam perjuangan untuk cita-cita yang mengubik dan memanggil. Panggilan suara
rakyat Indonesia yang banyak serasa terdengar dan menggembirakan mereka, dan
bersama dengan rakyat banyak itu mereka mau berjuang.
“kami percaya masa datang
bangsa kami dan kami percaya atas kekuatan yang ada dalam jiwanya. Kami tahu
bahwa neraca kekuatan di Indonesia senantiasa berkisar ke arah keuntungan kami.
“orang katakan- kata Indonesia Merdeka- bahwa bangsa kami, yang besar di masa
yang lampau tidak lagi mampu untuk mendukung kebesaran di masa datang bahwa
tidak mungkin lagi mengatasi garis yang menurun. Kami tidak akan mengadili
bangsa kami, sejarah akan menentukannya.
“sinar merah masa
datang sudah mulai menyingsing sekarang. Kami menghormati itu sebagai datangnya
hari baru. Pemuda Indonesia harus menolong kami mengemudi ke jurusan yang
benar. Tugasnya ialah mempercepat datangnya hari baru itu. Ia harus mengajar
rakyat kami kegembiraan; bukan sengsara saja yang harus menjadi bagiannya.
Mudah-mudahan rakyat Indonesia merasa merdeka di bawah langitnya dan
mudah-mudahan mereka merasa menjadi Tuan sendiri dalam Negara yang dikaruniakan
Tuhan kepada mereka.
“Yang Mulia Tuan-tuan
Hakim!”
“sekarang aku sedang
siap menunggu keputusan Tuan-tuan tentang pergerakan kami. Kata-kata Rene de
Clerq, yang dipilih pemuda Indonesia sebagai petunjuk, hinggap di bibirku:
“Hanya satu tanah yang dapat disebut Tanah Airku, Ia berkembang dengan
usaha, dan usaha itu ialah usahaku.”
Sumber: Hatta,
Muhammad. (2011). “Untuk Negeriku: sebuah
otobiografi jilid 1”. Jakarta: Kompas.
Selasa, 02 Februari 2016
Hal-Hal Penting Selama di Surabaya yang Belum Sempat Diceritakan
“surabaya.. Surabaya.. ohh Surabayaa..
Kota
kenangan.. kota kenangan.. tak kan terlupa
Disanalah,
disanalah, di Surabaya..
Pertama
lah, tuk yang pertama
Kami
berjumpaa…”
-Sepenggal lirik lagu Surabaya
Assalamu’alaikum..
Selamat malam para fakir asmara tapi
bukan pengemis cinta, lama tak jumpa.
“orang boleh pandai setinggi
langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan
dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” – Pramoedya Ananta Toer.
Itulah salah satu
alasan mengapa gue suka nulis. Dengan tulisan kita akan meninggalkan jejak
bahwa kita pernah hidup di dunia ini. Walaupun diri telah hancur di dalam
tanah, tapi pikiran kita masih tetap hidup di dunia. Dengan tulisan, 200 tahun
ke depan orang-orang masih dapat mengenal kita melalui jejak yang kita
tinggalkan.
Udah lama gue ga
aktif lagi di blog dan akhirnya liburan semester ini gue punya kesempatan buat
mulai nulis lagi. Sebelumnya, seperti biasa gue ngucapin terima kasih yang
sebanyak-banyaknya kepada kalian yang udah nyempatin mampir ke blog gue,
kalianlah salah satu alasan yang bikin gue semangat buat selalu nulis, Love you
(yang cowok ga usah senyum).
Merantau. Ada
pepatah di minang yang berbunyi, “marantau
bujang dahulu di rumah paguno balun” yang maksudnya adalah perintah kepada
anak lelaki minang untuk merantau terlebih dahulu ke negeri orang karena di
kampung halaman belum banyak berguna untuk masyarakat disebabkan masih
kurangnya pengalaman. Merantau bertujuan untuk mencari pengalaman baru, belajar
hal-hal baru, belajar mandiri, belajar beradaptasi dengan budaya baru, serta
belajar untuk menempa diri menjadi lebih baik.
Selama kurang
lebih 6 bulan gue berada di Surabaya banyak hal yang gue pelajari. Bukan
berarti dengan kita merantau lantas kita akan jadi lebih hebat dari orang-orang
yang berada di kampung halaman, tapi jujur aja banyak hal yang gue dapetin
selama disini yang jika di kampung halaman ga bakalan gue temuin. Gue jadi
mengerti gimana rasanya jadi minoritas, secara gue disini berasal dari suku
minang yang notabene mempunyai perbedaan dalam adat, budaya dan pola pikir
dengan masyarakat Jawa walaupun masih sama-sama bangsa Indonesia.
Dulu sewaktu gue kuliah di UNP (Universitas
Negeri Padang) gue juga punya temen yang berasal dari Bogor, waktu itu gue
memperlakukan dan menganggap dia sama aja kayak orang lain pada umumnya,
maksudnya gue ga terlalu empati sama dia. Tapi ketika gue kuliah di Surabaya
ini gue baru bisa ngerasain apa yang dia rasain dulu, dia yang dari Bogor harus
kuliah di Minang dengan bahasa yang berbeda, kebudayaan yang berbeda, makanan
yang pedes-pedes, tanpa sanak keluarga di Minang dan harus cepat beradaptasi
dengan lingkungan barunya, begitu juga dengan yang gue rasain ketika di
Surabaya. Dan akhirnya gue sadar, bahwa para perantau adalah orang yang rawan
akan kesepian, apalagi kalo dia jomblo, maka tingkat kerawanan akan perasaan
kesepiannya akan bertambah. Hal diatas membuat gue jadi lebih menghargai kaum
minoritas, gue jadi lebih menghargai orang dengan agama yang berbeda, warna
kulit yang berbeda dan suku bangsa yang berbeda. Karena ternyata yang
terpenting bukanlah apa yang terlihat dari luar tapi apa yang ada di dalam hati
kita.
Tapi gue bersyukur
banget karena di tempat gue kuliah ini bisa dapet temen-temen yang ramah,
pengertian dan juga gokil. Gue juga suka sama sikap anak-anaknya yang aktif dan
ga apatis sama kegiatan kampus. Ketika ada acara kampus mereka keliatan excited
dan terkesan perfeksionis. Tetapi berkat itu semua hasilnya jadi sangat
memuaskan. Setiap kegiatan yang diadain selalu menuai pujian. Semoga aja ini
bukan hanya sindrom maba dan kepedulian itu bisa terus ada, bukan hanya
terhadap acara kampus tetapi juga antar teman seangkatan. Menurut psikologi
Transpersonal, tidak ada kejadian yang terjadi hanya karena kebetulan semata,
semuanya telah diatur oleh suatu kekuatan kosmik di alam semesta, dan begitu
juga dengan pertemuan kita, ini bukan hanya kebetulan semata, melainkan telah
digariskan sebelumnya, kita dipertemukan karena suatu alasan, karena aku, kamu
dan kita adalah… PSYCH15!
Berikut ini beberapa hal yang gue
alamin di Surabaya yang belum sempet gue ceritain di tulisan sebelumnya:
1. Biasanya
pada pertemuan pertama mereka akan nyebut gue dengan sebutan “orang luar pulau”
karena gue berasal dari pulau Sumatera (walaupun hanya sebagian kecil yang
nyebut itu). Gue ga tau sebutan itu juga berlaku atau engga buat orang dari
pulau Kalimantan, pulau Sulawesi, pulau Papua dan lainnya. Gue ngerasa aneh aja
dengan sebutan “orang luar pulau”, seolah-olah gue hidup terapung di lautan.
Bukankah Sumatera juga sebuah pulau? Lain halnya kalo kalimat tersebut
dilengkapi jadi “orang luar pulau Jawa” nah itu baru bener, hehe…. Mereka bisa
langsung tau gue dari luar Jawa karena logat gue juga beda, terlihat jelas pada
cara pengucapan huruf “E”. kalo gue ngucapin “E” dengan jelas maka temen-temen
disini ngucapin “E” dengan sedikit penekanan. Memang agak susah dijelasin,
lebih gampang kalo dipraktekkin.
2. Disini matahari terbit lebih cepat.
Gue sempat kaget ketika kebangun jam 4
pagi dan tiba-tiba dengar suara azan. “orang macam apa yang azan pukul 4 dini
hari”, pikir gue waktu itu. Dan ternyata Shubuh emang jam segitu disini. Kalo di
Padang pukul 05.30 gue masih bisa sholat Shubuh, tapi kalo di Surabaya itu udah
terang banget. Ini cukup menyulitkan gue pada awalnya untuk bangun pukul 04.00.
3. Masalah panggilan.
Awalnya gue udah sempet searching kalo
panggilan di Surabaya dan Madura itu “cak”, contohnya Cak Nun, Cak Dur Asim. Tapi
awal-awal di Surabaya gue sempet heran ketika dengar kata “Cuk”. Saat itu gue
berkesimpulan kalo kata “Cuk” pastilah pasangan dari “Cak”, ada “Cak” ada juga “Cuk”,
“Cak” itu nama panggilan buat cowok yang dihormati, “Cuk” itu buat panggilan
perempuan yang lebih tua, begitulah kesimpulan yang gue ambil.
Maka gue mencoba nerapinnya ketika
bertransaksi ekonomi (baca: belanja) pecel lele. Saat itu yang jualan adalah
seorang ibu tua. Maka gue bilang, “Cuk, bungkus pecel lelenya satu”. Seketika ibu
yang jualan dan pembeli pada diam dan ngeliat gue. Gue langsung berpikiran kalo
kalimat yang gue ucapin kurang halus dan kurang lemah lembut. Akhirnya gue
ulang lagi dengan nada yang lebih sopan, “Cuuuukk… tolong bungkus pecel lelenya
satu”. Tanpa aba-aba ibu penjual pecel lelenya ngelempar sambel ke mata gue,
gue langsung lari dengan menutup mata dan akhirnya menabrak tiang listrik.
Itulah yang akan terjadi kalo sebelumnya
gue ga pernah searching kata-kata kotor Surabaya di Google. Untung sebelumnya
gue udah searching, jadi cerita diatas ga pernah terjadi. Hahaha XD
Menurut gue langkah pertama dalam
mempelajari bahasa baru adalah dengan mencari kata-kata kotornya agar kita
tidak mudah dikelabui sebagai pendatang.
4. Gue salut sama masyarakat disini yang
masih mau makan lesehan di trotoar jalan, soalnya gue belum pernah melihat hal
serupa di Padang. Itu menunjukkan kalo masyarakatnya gak gengsian, yang penting
bisa “cangkruk” bareng. Lalu gue juga kaget karena di Surabaya, becak masih
digunakan sebagai sarana transportasi, soalnya di Padang udah ga ada. Ini menjadi
wahana hiburan tersendiri buat gue ketika awal kedatangan disini.
5. Gue yakin seyakin-yakinnya kesan pertama
orang yang baru bertemu sama gue, gue adalah orang yang pendiam. Namun seiring
berjalannya waktu, gue sering mendengar orang lain bilang “waahh Reyhan
ternyata bisa heboh ya”, “Reyhan ternyata aslinya gini ya”, “loh.. reyhan?”. Oke,
gue mau jujur, gue ga sependiam yang kalian kira. Gue Cuma butuh waktu lebih
lama untuk mengenal orang-orang disekitar gue. Seiring berjalannya waktu
tingkat ke-absurd-an gue akan bertambah. Makanya banyak yang heran sama tulisan
gue yang katanya “meledak-ledak”. Dan satu hal lagi, gue bukan orang yang suka
formalitas dan kekakuan, jadi bersikap santai aja sama gue. Hehe ^_^
Oke, sekian dulu
buat kali ini. Tulisan ini murni pandagan subjektif gue, kalo ada kata-kata
yang salah mohon dimaafkan, ga ada maksud sedikitpun buat menyinggung dan ini murni
hanya ungkapan isi hati gue. Wassallam..
Langganan:
Postingan (Atom)