Pada
kesempatan kali ini penulis akan menyajikan atau menampilkan kembali isi pidato
salah seorang proklamator kita yaitu Drs. Mohammad Hatta yang berjudul “Indonesia
Vrij” (Indonesia Merdeka). Pidato ini disampaikannya di depan pengadilan
Belanda tepatnya di Den Haag pada tahun 1927, sebagai pembelaan atas dirinya
yang saat itu sedang diadili atas tuduhan menjadi anggota perhimpunan
terlarang, terlibat dalam pemberontakan, dan menghasut untuk menentang Kerajaan
Belanda. Berkat pidatonya yang menggilang ini, Muhammad Hatta pada akhirnya
dibebaskan dari segala tuduhan.
Hal
ini bisa juga kita jadikan perbandingan antara pengadilan di Belanda dengan di
Hindia Belanda pada waktu itu. Soekarno juga pernah diadili di pengadilan
Bandung dan membuat sebuah pidato pembelaan yang memukau dengan judul
“Indonesia Menggugat”. Tetapi hasilnya, Soekarno dihukum 4 tahun penjara. Bisa
dilihat bahwa pengadilan di Negara merdeka (Belanda) lebih memperlakukan semua
orang sama di mata hukum, sedangkan di negara jajahan (Hindia Belanda), sehebat
apapun pembelaannya, pegadilan tetap menjatuhkan vonis hukuman.
Penulis
sengaja menyajikan kembali isi pidato Muhammad Hatta karena penulis sendiri
merasa kesulitan menemukan pidato “Indonesia Vrij” ini di dunia maya. Berbeda
dengan “Indonesia Mengunggat” Yang sudah banyak terdapat di dunia maya. Semoga
tulisan ini dapat membantu teman-teman yang juga mengalami kesulitan yang sama
dnegan penulis. Disamping itu penulis juga berharap kaum muda Indonesia dapat
kembali menelaah pemikiran bung Hatta melalui pidatonya ini.
Artikel
ini bersumber dari buku “Untuk Negeriku: sebuah otobiografi jilid 1” yang
ditulis oleh Muhammad Hatta sendiri. Artikel ini juga hanya menyajikan pidato
bung Hatta bagian awal dan akhirnya saja, karena jika dituliskan semuanya maka
akan memakan waktu Tiga setengah jam untuk membacanya, seperti yang diungkapkan
Muhammad Hatta sendiri. Mungkin akan terdapat perbedaan bahasa Indonesia yang
digunakan pada masa dahulu dengan masa sekarang dan akan ada beberapa kalimat
yang mungkin terdengar asing untuk pembaca di zaman sekarang, jadi dibutuhkan
kecermatan untuk membacanya.
“INDONESIA VRIJ”
“yang Mulia Tuan-tuan
Ketua dan Hakim!
“tatkala dalam tahun
1924 redaksi Indonesia Merdeka
menulis kata pendahuluan untuk tahun baru, kata-kata yang berikut keluar dari
pena-nya: ‘Indonesia Merdeka’ menjadi suara mahasiswa muda Indonesia, suara
yang barangkali belum diperhatikan oleh yang berkuasa, tetapi suatu kali akan
didengarnya. Tidak dengan tidak ada kesalahan suara itu diabaikan saja sebab di
belakang suara itu ada kemauan yang tegas untuk terus mencapai hak-hak yang
cepat atau lambat akan menegakkan dalam dunia ini suatu Indonesia Merdeka.
“Sedikit mereka menduga
bahwa masa itu begitu cepat ada balasannya, terutama dalam lingkungan yang
memerintah. Lebih kurang diduga bahwa suara itu begitu cepat dibawa ke muka
pengadilan. Aku sekarang berdiri di muka Tuan-Tuan yang mulia, Presiden dan Hakim,
untuk mempertanggungjawabkan tujuan dan perjuangan Perhimpunan Indonesia dan
membenarkan tujuan dan perjuangan itu dari pandanganku”.
“Yang mulia Tuan-tuan
Presiden dan para Hakim.”
“Hanya satu yang hendak
kuterangkan dengan ringkas, yaitu bagaimana pendirian Perhimpunan Indonesia
terhadap kekerasan, perkosaan. Baik dalam statutanya maupun dalam keterangan
dasarnya, tidak ada anasir kekerasan. Belum pernah dikehendakinya tindakan
kekerasan. Belum pernah ia berkata untuk tindakan kekerasan. Tetapi, yang
pernah ada ialah bahwa ia bicara tentang kekerasan.
Dengan menganalisa
perhubungan kolonial, Perhimpunan Indonesia memperoleh suatu kenyataan bahwa
perhubungan itu dikuasai oleh dua tenaga yang bertentangan tujuannya, yaitu
pendirian Nederland yang mau mempertahankan penjajahannya apapun yang akan
terjadi dan tujuan Indonesia ke jurusan merdeka sama sekali. Dan ini
menimbulkan keyakinan padanya bahwa kemerdekaan Indonesia hanya dapat diperoleh
dengan kekerasan. Tetapi, hal ini bukanlah suatu pendapat yang luar biasa.
Karena juga pendeta-pendeta dan anggota-anggota Perwakilan Rakyat Negeri
Belanda mempunyai pendapat seperti itu, sebagaimana Mr. Duys (pembela Hatta)
kemarin menunjukkan dengan berbagai kutipan. Itu adalah hukum sejarah bahwa
ahirnya suatu bangsa selalu sejalan dengan penumpahan darah dan air mata.
Indonesia
Merdeka menulis tentang itu dalam tahun 1924, halaman 1,
sebagai berikut:
“cepat atau lambat pada
suatu ketika bangsa yang terjajah mengambil kembali kemerdekaannya, itu adalah
hokum besi sejarah dunia. Cuma suasana dan keadaan betaap gerakan kemerdekaan
itu terjadi ikut ditentukan oleh mereka yang berkuasa. Sebagian besar
bergantung kepada mereka, apakah lahirnya kemerdekaan itu sejalan dengan
penumpahana darah dan air mata atau berjalan dengan proses perdamaian.”
Negeri Belanda
menguasai sepenuhnya, bagaimana Indonesia akan merdeka, dengan jalan kekerasan
atau dengan jalan damai. Tetapi, dengan memperhatikan sikap sebagian besar
rakyat Belanda, seperti yang terjadi pada debat dalam Tweede Kamer (Majelis
Rendah) pada tahun 1925 tentang undang-undang yang akan mengatur susunan
pemerintahan Hindia Belanda, aku khawatir bahwa jalan yang pertama akan
ditempuh.
Bahwa penjajahan
Belanda akan berakhir, bagiku itu pasti. Itu hanya soal waktu dan bukan soal ya
atau tidak. Janganlah Nederland menyugesti dirinya sendiri bahwa penjajahannya
akan tetap sampai akhir zaman.
Ada satu hal lagi, Tuan
Presiden, yang akan aku singgung, yaitu penahanan preventif kami. Kami berdiri
disini bukan sebagai penjahat, melainkan kami orang-orang yang jujur, yang
membela keyakinan kami. Tuan dapat menerima apa yang aku kemukakan.
Penahanan kami selalu
diberi alasan ‘takut akan lari’. Lari, Tuan Presiden? Kami terlalu jantan untuk
lari. Kami berjuang untuk suatu cita-cita tinggi dan lari hanya merusak tujuan
kami sendiri. Keyakinan kami barangkali bukan keyakinan Tuan, tetapi suatu hal
yang dapat menyamakan pendapat kita karena kita bukan penjahat, yaitu
menghargai pendapat masing-masing. Penghargaan itu akan menginsafkan Tuan bahwa
lari adalah suatu perbuatan pengecut yang tak mungkin akan kami lakukan.
Tetapi, baiklah aku
bicara tidak dalam abstrakto saja, akan aku sebutkan bukti yang nyata untuk
menginsafkan Tuan bahwa alasan ‘Taku akan lari’ tidak ada dasarnya sama sekali.
Apabila sekitarnya ada niatku untuk lari, justru Nederland tak akan pernah
dapat menangkapku. Aku sedang berada di Swiss, waktu penuntutan terhadap kami
bermula dengan penggeledahan di rumah-rumah kami. Dan aku akan tetap tinggal
disana apabila ada kiranya padaku rasa takut akan dituntut berdasarkan hukum
pidana. Sebaliknya! Justru, berhubung dengan kemungkinan perkara kami akan
dimajukan ke muka mahkamah yang aku duga akan terjadi pada akhir September, aku
persingkat masa liburku di luar negeri dan aku kembali ke Nederland. Juga
teman-temanku yang tiga orang ini waktu masa libur berada di luar negeri.
Apabila sekiranya ada pada mereka niat akan lari, mereka akan tetap saja ada
disana. Tetapi, Tuan Presiden, kejujuran kami melarang kami dibayar dengan
mengurung kami lima setengah bulan dalam penjara.
Alasan ‘takut akan
lari’ sama sekali tidak dapat dipertahankan. Sebab itu aku mendesak kepada
Tuan, sambil menunggu keputusan Tuan tentang perkara kami, tahanan preventif
kami segera dicabut. Aku percaya bahwa Tuan dalam hal ini juga akan
melaksanakan hukum.
Yang terhormat
Tuan-tuan presiden dan Hakim!
Aku sampai sekarang
pada akhir pembelaanku, inginlah aku mempergunakan kedudukanku sebagai orang
yang tertuduh menjadi penuduh terhadap kezaliman yang diderita terus menerus
oleh bangsaku. Kepada Tuan-tuan, pendukung hukum dan keadilan, aku majukan
pertanyaan, apakah sesuai dengan jabatan Tuan-tuan untuk menyetujui perbuatan
Pemerintah Belanda yang bertentangan dengan hukum terhadap pemuda Indonesia
yang tidak berdaya. Bertahun-tahun hiudp kami di negeri ini dipersukar dengan
berbagai macam cara. Kami kira bahwa kami disini dalam Negara Grotius, dimana
hak asasi manusia dijunjung tinggi, merasai juga hak-hak elementer itu. Tetapi,
tidak! Karena orang tidak dapat berbuat apa-apa terhadap kami, selain daripada
perantaraan mahkamah, diambil cara imoril untuk menikam kami. Orang tua kami di
Indonesia dengan ancaman keluar dari jabatan pemerintah atau dengan cara lain,
dilarang mengirimkan uang untuk anaknya di negeri Belanda selama ia masih
menjadi anggota Perhimpunan Indonesia. Tindakan itu serua dengan sebilah pedang
bermata dua yang menyayat timbal balik. Pada satu pihak anaknya ditelantarkan
di negeri orang dan menderita kesukaran, pada pihak lain ditimbulkan
pertentangan antara bapak dan anak, antara generasi tua dan generasi muda. Juga
dengan tiada ancaman itu ada hubungan yang tegang antara angkatan tua dan muda.
Juga denga tiada tindakan pemerintah, ayah dan anak hidup dalam suasana
terpisah. Orang tua yang hidupnya terkait kepada tradisi lama dan merasai
hidupnya sudah dekat pada lobang kubur, ingin mempertahankan apa yang ada,
berhadapan dengan amgkatan muda yang menyongsong sinar merah pagi dan jiwanya penuh
dengan cahaya baru yang datang. Keyakinannya begitu kuat dan kepercayaannya
hidup dalam hatinya yang muda, sehingga tidak dapat dibunuh. Cinta dan semangat
begitu duduk dalam jiwanya sehingga anak muda, seklai pun dengan jiwa yang
luka, bersedia memutuskan hubungan keluarga untuk membela kepercayaannya.
Sesungguhpun begitu,
Tuan Presiden, cara mengadakan provokasi, cara menekan beberapa pelajar
Indonesia disini supaya hidup sengsara dan menderita, bertentangan dengan hukum
dan berdosa!
Kepada Tuan-tuan para
Hakim, pengasuh hukum, aku bertanya dengan penuh kepercayaan, apakah car ini
bukan suatu jalan yang tidak langsung untuk menghalangi kami di negeri ini
bergerak bebas, yang bertentangan dengan hukum Undang-Undang Dasar? Kepada
Tuan-tuan aku bernai bertanya dengan kepercayaan: apakah tindakan itu tidak
melanggar kebebasan yang diakui oleh Undang-Undang Dasar?
Apakah tidak akan
menimbulkan kejengkelan yang lebih besar kepada kami, apabila orang dengan
jalan yang sewenang-wenang saja menyuruh rasakan kepada kami, juga dengan jalan
yang bertentangan dengan hukum yang berlaku, betapa sedihnya nasib menjadi
bagian daripada bangsa yang tidak merdeka? Sangat jelas bahwa jaminan hukum
bagi kami, putra-putra suatu bangsa yang terjajah, tidak ada dimana-mana.
Tetapi, pemuda
Perhimpunan Indonesia tahu menderita, sebagaimana tiap-tiap pemuda bangsa yang
terjajah harus menderita. Masa mudanya bukan bulan terang seperti masa mudanya
putra bangsa yang merdeka. Pada masa mudanya mereka menderita dan memberikan
berbagai pengorbanan. Tetapi, semuanya ini membina pikirannya dan karakternya
dalam perjuangan untuk cita-cita yang mengubik dan memanggil. Panggilan suara
rakyat Indonesia yang banyak serasa terdengar dan menggembirakan mereka, dan
bersama dengan rakyat banyak itu mereka mau berjuang.
“kami percaya masa datang
bangsa kami dan kami percaya atas kekuatan yang ada dalam jiwanya. Kami tahu
bahwa neraca kekuatan di Indonesia senantiasa berkisar ke arah keuntungan kami.
“orang katakan- kata Indonesia Merdeka- bahwa bangsa kami, yang besar di masa
yang lampau tidak lagi mampu untuk mendukung kebesaran di masa datang bahwa
tidak mungkin lagi mengatasi garis yang menurun. Kami tidak akan mengadili
bangsa kami, sejarah akan menentukannya.
“sinar merah masa
datang sudah mulai menyingsing sekarang. Kami menghormati itu sebagai datangnya
hari baru. Pemuda Indonesia harus menolong kami mengemudi ke jurusan yang
benar. Tugasnya ialah mempercepat datangnya hari baru itu. Ia harus mengajar
rakyat kami kegembiraan; bukan sengsara saja yang harus menjadi bagiannya.
Mudah-mudahan rakyat Indonesia merasa merdeka di bawah langitnya dan
mudah-mudahan mereka merasa menjadi Tuan sendiri dalam Negara yang dikaruniakan
Tuhan kepada mereka.
“Yang Mulia Tuan-tuan
Hakim!”
“sekarang aku sedang
siap menunggu keputusan Tuan-tuan tentang pergerakan kami. Kata-kata Rene de
Clerq, yang dipilih pemuda Indonesia sebagai petunjuk, hinggap di bibirku:
“Hanya satu tanah yang dapat disebut Tanah Airku, Ia berkembang dengan
usaha, dan usaha itu ialah usahaku.”
Sumber: Hatta,
Muhammad. (2011). “Untuk Negeriku: sebuah
otobiografi jilid 1”. Jakarta: Kompas.
Ilmu baru
BalasHapusMakasih banget penulis yang udah nulis ulang isi pidato "Indonesia Vrij" karena susah banget nyari pidato lengkapnya, sekali lagi makasih.
BalasHapus