Sabtu, 14 Mei 2016

Indonesia Merdeka

      Pada kesempatan kali ini penulis akan menyajikan atau menampilkan kembali isi pidato salah seorang proklamator kita yaitu Drs. Mohammad Hatta yang berjudul “Indonesia Vrij” (Indonesia Merdeka). Pidato ini disampaikannya di depan pengadilan Belanda tepatnya di Den Haag pada tahun 1927, sebagai pembelaan atas dirinya yang saat itu sedang diadili atas tuduhan menjadi anggota perhimpunan terlarang, terlibat dalam pemberontakan, dan menghasut untuk menentang Kerajaan Belanda. Berkat pidatonya yang menggilang ini, Muhammad Hatta pada akhirnya dibebaskan dari segala tuduhan.
Hal ini bisa juga kita jadikan perbandingan antara pengadilan di Belanda dengan di Hindia Belanda pada waktu itu. Soekarno juga pernah diadili di pengadilan Bandung dan membuat sebuah pidato pembelaan yang memukau dengan judul “Indonesia Menggugat”. Tetapi hasilnya, Soekarno dihukum 4 tahun penjara. Bisa dilihat bahwa pengadilan di Negara merdeka (Belanda) lebih memperlakukan semua orang sama di mata hukum, sedangkan di negara jajahan (Hindia Belanda), sehebat apapun pembelaannya, pegadilan tetap menjatuhkan vonis hukuman.
Penulis sengaja menyajikan kembali isi pidato Muhammad Hatta karena penulis sendiri merasa kesulitan menemukan pidato “Indonesia Vrij” ini di dunia maya. Berbeda dengan “Indonesia Mengunggat” Yang sudah banyak terdapat di dunia maya. Semoga tulisan ini dapat membantu teman-teman yang juga mengalami kesulitan yang sama dnegan penulis. Disamping itu penulis juga berharap kaum muda Indonesia dapat kembali menelaah pemikiran bung Hatta melalui pidatonya ini.
Artikel ini bersumber dari buku “Untuk Negeriku: sebuah otobiografi jilid 1” yang ditulis oleh Muhammad Hatta sendiri. Artikel ini juga hanya menyajikan pidato bung Hatta bagian awal dan akhirnya saja, karena jika dituliskan semuanya maka akan memakan waktu Tiga setengah jam untuk membacanya, seperti yang diungkapkan Muhammad Hatta sendiri. Mungkin akan terdapat perbedaan bahasa Indonesia yang digunakan pada masa dahulu dengan masa sekarang dan akan ada beberapa kalimat yang mungkin terdengar asing untuk pembaca di zaman sekarang, jadi dibutuhkan kecermatan untuk membacanya.



“INDONESIA VRIJ”
“yang Mulia Tuan-tuan Ketua dan Hakim!
“tatkala dalam tahun 1924 redaksi Indonesia Merdeka menulis kata pendahuluan untuk tahun baru, kata-kata yang berikut keluar dari pena-nya: ‘Indonesia Merdeka’ menjadi suara mahasiswa muda Indonesia, suara yang barangkali belum diperhatikan oleh yang berkuasa, tetapi suatu kali akan didengarnya. Tidak dengan tidak ada kesalahan suara itu diabaikan saja sebab di belakang suara itu ada kemauan yang tegas untuk terus mencapai hak-hak yang cepat atau lambat akan menegakkan dalam dunia ini suatu Indonesia Merdeka.
“Sedikit mereka menduga bahwa masa itu begitu cepat ada balasannya, terutama dalam lingkungan yang memerintah. Lebih kurang diduga bahwa suara itu begitu cepat dibawa ke muka pengadilan. Aku sekarang berdiri di muka Tuan-Tuan yang mulia, Presiden dan Hakim, untuk mempertanggungjawabkan tujuan dan perjuangan Perhimpunan Indonesia dan membenarkan tujuan dan perjuangan itu dari pandanganku”.
“Yang mulia Tuan-tuan Presiden dan para Hakim.”
“Hanya satu yang hendak kuterangkan dengan ringkas, yaitu bagaimana pendirian Perhimpunan Indonesia terhadap kekerasan, perkosaan. Baik dalam statutanya maupun dalam keterangan dasarnya, tidak ada anasir kekerasan. Belum pernah dikehendakinya tindakan kekerasan. Belum pernah ia berkata untuk tindakan kekerasan. Tetapi, yang pernah ada ialah bahwa ia bicara tentang kekerasan.
Dengan menganalisa perhubungan kolonial, Perhimpunan Indonesia memperoleh suatu kenyataan bahwa perhubungan itu dikuasai oleh dua tenaga yang bertentangan tujuannya, yaitu pendirian Nederland yang mau mempertahankan penjajahannya apapun yang akan terjadi dan tujuan Indonesia ke jurusan merdeka sama sekali. Dan ini menimbulkan keyakinan padanya bahwa kemerdekaan Indonesia hanya dapat diperoleh dengan kekerasan. Tetapi, hal ini bukanlah suatu pendapat yang luar biasa. Karena juga pendeta-pendeta dan anggota-anggota Perwakilan Rakyat Negeri Belanda mempunyai pendapat seperti itu, sebagaimana Mr. Duys (pembela Hatta) kemarin menunjukkan dengan berbagai kutipan. Itu adalah hukum sejarah bahwa ahirnya suatu bangsa selalu sejalan dengan penumpahan darah dan air mata.
Indonesia Merdeka menulis tentang itu dalam tahun 1924, halaman 1, sebagai berikut:
“cepat atau lambat pada suatu ketika bangsa yang terjajah mengambil kembali kemerdekaannya, itu adalah hokum besi sejarah dunia. Cuma suasana dan keadaan betaap gerakan kemerdekaan itu terjadi ikut ditentukan oleh mereka yang berkuasa. Sebagian besar bergantung kepada mereka, apakah lahirnya kemerdekaan itu sejalan dengan penumpahana darah dan air mata atau berjalan dengan proses perdamaian.”
Negeri Belanda menguasai sepenuhnya, bagaimana Indonesia akan merdeka, dengan jalan kekerasan atau dengan jalan damai. Tetapi, dengan memperhatikan sikap sebagian besar rakyat Belanda, seperti yang terjadi pada debat dalam Tweede Kamer (Majelis Rendah) pada tahun 1925 tentang undang-undang yang akan mengatur susunan pemerintahan Hindia Belanda, aku khawatir bahwa jalan yang pertama akan ditempuh.
Bahwa penjajahan Belanda akan berakhir, bagiku itu pasti. Itu hanya soal waktu dan bukan soal ya atau tidak. Janganlah Nederland menyugesti dirinya sendiri bahwa penjajahannya akan tetap sampai akhir zaman.
Ada satu hal lagi, Tuan Presiden, yang akan aku singgung, yaitu penahanan preventif kami. Kami berdiri disini bukan sebagai penjahat, melainkan kami orang-orang yang jujur, yang membela keyakinan kami. Tuan dapat menerima apa yang aku kemukakan.
Penahanan kami selalu diberi alasan ‘takut akan lari’. Lari, Tuan Presiden? Kami terlalu jantan untuk lari. Kami berjuang untuk suatu cita-cita tinggi dan lari hanya merusak tujuan kami sendiri. Keyakinan kami barangkali bukan keyakinan Tuan, tetapi suatu hal yang dapat menyamakan pendapat kita karena kita bukan penjahat, yaitu menghargai pendapat masing-masing. Penghargaan itu akan menginsafkan Tuan bahwa lari adalah suatu perbuatan pengecut yang tak mungkin akan kami lakukan.
      Tetapi, baiklah aku bicara tidak dalam abstrakto saja, akan aku sebutkan bukti yang nyata untuk menginsafkan Tuan bahwa alasan ‘Taku akan lari’ tidak ada dasarnya sama sekali. Apabila sekitarnya ada niatku untuk lari, justru Nederland tak akan pernah dapat menangkapku. Aku sedang berada di Swiss, waktu penuntutan terhadap kami bermula dengan penggeledahan di rumah-rumah kami. Dan aku akan tetap tinggal disana apabila ada kiranya padaku rasa takut akan dituntut berdasarkan hukum pidana. Sebaliknya! Justru, berhubung dengan kemungkinan perkara kami akan dimajukan ke muka mahkamah yang aku duga akan terjadi pada akhir September, aku persingkat masa liburku di luar negeri dan aku kembali ke Nederland. Juga teman-temanku yang tiga orang ini waktu masa libur berada di luar negeri. Apabila sekiranya ada pada mereka niat akan lari, mereka akan tetap saja ada disana. Tetapi, Tuan Presiden, kejujuran kami melarang kami dibayar dengan mengurung kami lima setengah bulan dalam penjara.
Alasan ‘takut akan lari’ sama sekali tidak dapat dipertahankan. Sebab itu aku mendesak kepada Tuan, sambil menunggu keputusan Tuan tentang perkara kami, tahanan preventif kami segera dicabut. Aku percaya bahwa Tuan dalam hal ini juga akan melaksanakan hukum.
     Yang terhormat Tuan-tuan presiden dan Hakim!
     Aku sampai sekarang pada akhir pembelaanku, inginlah aku mempergunakan kedudukanku sebagai orang yang tertuduh menjadi penuduh terhadap kezaliman yang diderita terus menerus oleh bangsaku. Kepada Tuan-tuan, pendukung hukum dan keadilan, aku majukan pertanyaan, apakah sesuai dengan jabatan Tuan-tuan untuk menyetujui perbuatan Pemerintah Belanda yang bertentangan dengan hukum terhadap pemuda Indonesia yang tidak berdaya. Bertahun-tahun hiudp kami di negeri ini dipersukar dengan berbagai macam cara. Kami kira bahwa kami disini dalam Negara Grotius, dimana hak asasi manusia dijunjung tinggi, merasai juga hak-hak elementer itu. Tetapi, tidak! Karena orang tidak dapat berbuat apa-apa terhadap kami, selain daripada perantaraan mahkamah, diambil cara imoril untuk menikam kami. Orang tua kami di Indonesia dengan ancaman keluar dari jabatan pemerintah atau dengan cara lain, dilarang mengirimkan uang untuk anaknya di negeri Belanda selama ia masih menjadi anggota Perhimpunan Indonesia. Tindakan itu serua dengan sebilah pedang bermata dua yang menyayat timbal balik. Pada satu pihak anaknya ditelantarkan di negeri orang dan menderita kesukaran, pada pihak lain ditimbulkan pertentangan antara bapak dan anak, antara generasi tua dan generasi muda. Juga dengan tiada ancaman itu ada hubungan yang tegang antara angkatan tua dan muda. Juga denga tiada tindakan pemerintah, ayah dan anak hidup dalam suasana terpisah. Orang tua yang hidupnya terkait kepada tradisi lama dan merasai hidupnya sudah dekat pada lobang kubur, ingin mempertahankan apa yang ada, berhadapan dengan amgkatan muda yang menyongsong sinar merah pagi dan jiwanya penuh dengan cahaya baru yang datang. Keyakinannya begitu kuat dan kepercayaannya hidup dalam hatinya yang muda, sehingga tidak dapat dibunuh. Cinta dan semangat begitu duduk dalam jiwanya sehingga anak muda, seklai pun dengan jiwa yang luka, bersedia memutuskan hubungan keluarga untuk membela kepercayaannya.
Sesungguhpun begitu, Tuan Presiden, cara mengadakan provokasi, cara menekan beberapa pelajar Indonesia disini supaya hidup sengsara dan menderita, bertentangan dengan hukum dan berdosa!
Kepada Tuan-tuan para Hakim, pengasuh hukum, aku bertanya dengan penuh kepercayaan, apakah car ini bukan suatu jalan yang tidak langsung untuk menghalangi kami di negeri ini bergerak bebas, yang bertentangan dengan hukum Undang-Undang Dasar? Kepada Tuan-tuan aku bernai bertanya dengan kepercayaan: apakah tindakan itu tidak melanggar kebebasan yang diakui oleh Undang-Undang Dasar?
   Apakah tidak akan menimbulkan kejengkelan yang lebih besar kepada kami, apabila orang dengan jalan yang sewenang-wenang saja menyuruh rasakan kepada kami, juga dengan jalan yang bertentangan dengan hukum yang berlaku, betapa sedihnya nasib menjadi bagian daripada bangsa yang tidak merdeka? Sangat jelas bahwa jaminan hukum bagi kami, putra-putra suatu bangsa yang terjajah, tidak ada dimana-mana.
    Tetapi, pemuda Perhimpunan Indonesia tahu menderita, sebagaimana tiap-tiap pemuda bangsa yang terjajah harus menderita. Masa mudanya bukan bulan terang seperti masa mudanya putra bangsa yang merdeka. Pada masa mudanya mereka menderita dan memberikan berbagai pengorbanan. Tetapi, semuanya ini membina pikirannya dan karakternya dalam perjuangan untuk cita-cita yang mengubik dan memanggil. Panggilan suara rakyat Indonesia yang banyak serasa terdengar dan menggembirakan mereka, dan bersama dengan rakyat banyak itu mereka mau berjuang.
“kami percaya masa datang bangsa kami dan kami percaya atas kekuatan yang ada dalam jiwanya. Kami tahu bahwa neraca kekuatan di Indonesia senantiasa berkisar ke arah keuntungan kami. “orang katakan- kata Indonesia Merdeka- bahwa bangsa kami, yang besar di masa yang lampau tidak lagi mampu untuk mendukung kebesaran di masa datang bahwa tidak mungkin lagi mengatasi garis yang menurun. Kami tidak akan mengadili bangsa kami, sejarah akan menentukannya.
“sinar merah masa datang sudah mulai menyingsing sekarang. Kami menghormati itu sebagai datangnya hari baru. Pemuda Indonesia harus menolong kami mengemudi ke jurusan yang benar. Tugasnya ialah mempercepat datangnya hari baru itu. Ia harus mengajar rakyat kami kegembiraan; bukan sengsara saja yang harus menjadi bagiannya. Mudah-mudahan rakyat Indonesia merasa merdeka di bawah langitnya dan mudah-mudahan mereka merasa menjadi Tuan sendiri dalam Negara yang dikaruniakan Tuhan kepada mereka.
“Yang Mulia Tuan-tuan Hakim!”
“sekarang aku sedang siap menunggu keputusan Tuan-tuan tentang pergerakan kami. Kata-kata Rene de Clerq, yang dipilih pemuda Indonesia sebagai petunjuk, hinggap di bibirku:
Hanya satu tanah yang dapat disebut Tanah Airku, Ia berkembang dengan usaha, dan usaha itu ialah usahaku.


Sumber: Hatta, Muhammad. (2011). “Untuk Negeriku: sebuah otobiografi jilid 1”. Jakarta: Kompas.

2 komentar:

  1. Makasih banget penulis yang udah nulis ulang isi pidato "Indonesia Vrij" karena susah banget nyari pidato lengkapnya, sekali lagi makasih.

    BalasHapus