Sabtu, 18 Juni 2016

Kehilangan Terhebat


Aku merasa harus menuliskan ini, kehilangan terhebat pertamaku.
Siang tadi sekitar pukul 14:30 aku mendapat telpon dari keluargaku di Solok, Sumatera Barat. ketika kuangkat, di ujung telpon telah ada papa.
"Nak, opa masuk rumah sakit, kadar gulanya naik. fokus aja ujian ya, jangan lupa doakan beliau ya."
Aku tau keadaan opaku tidak baik-baik saja saat itu. Sebelum ramadhan opa juga memang sudah masuk rumah sakit karena masalah yang sama.
"Ya pa.. " aku hanya mampu menjawab itu. Kemudian telpon dimatikan oleh papaku.
Aku selalu takut ketika mendapat telpon dari rumah yang mengabarkan kondisi opa, dan kali ini telpon itu datang. Aku tak bisa berhenti memikirkan kondisi opaku.
kemudian 5 menit kemudian papa nelpon lagi.
"Lagi ujian nak?"
"Engga pa, ujian selanjutnya hari Senin"
"Oo.. kalo gitu bicara sama opa nak. ini..." kata papaku dengan suara tercekat.
aku membayangkan papa mengarahkan hape ke opa.
"opa.. opa..."
tidak ada jawaban.
"langsung aja bicara sama opa, Rey" sambung papa.
Dari situ aku tau opa sudah tak sadarkan diri.
"Opa.. cepet sembuh ya pa.. jangan lupa makan.. cepet sembuh ya pa"
aku benar-benar ga tau harus ngomong apa saat itu, pikiranku buntu, hanya kalimat itu yang terucap dari mulutku.
"minta maaf sama opa Rey" sambung papa ditelpon.
"Opa, maafkan Reyhan ya opa. maafkan kesalahan Reyhan" ucapku sambil tercekat. kemudian hening.
"Udah ya nak. sekarang Opa lagi diinfus dan belum sadar, doakan beliau ya. kalo terjadi apa-apa Reyhan harus siap ya. Sekarang Reyhan Sholat, doakan opa. fokus ujian ya nak." kata papaku dengan terbata-bata dan berusaha menguatkanku. kemudian telpon dimatikan.

Dari dulu aku sudah tau, ketika seseorang dalam kondisi koma, harapan untuk kembali sadarnya itu kecil. Dalam hati aku berpikir, apakah ini sudah waktunya untuk beliau?
Air mataku mulai mengalir. Aku selalu berpikir bahwa nanti ketika anggota keluargaku meninggal aku tak akan menangis, atau paling tidak air mataku hanya akan keluar sedikit saja karena akhir-akhir ini entah kenapa afeksi ku mulai berkurang. aku sudah terbiasa melihat kekecewaan, kehilangan, perpisahan dan keputusasaan. Tapi bagaimana mungkin aku tidak menangis jika yang akan pergi meninggalkanku adalah orang yang telah hidup satu rumah denganku selama 18 tahun? orang yang bahkan secara emosional aku lebih dekat dengannya dibanding dengan orang tuaku, orang yang bahkan menangis ketika melepas kepergianku untuk belajar di Surabaya, orang yang selalu menyisihkan uang yang didapatnya untuk jajanku di Surabaya padahal aku tau dengan sangat beliau sangat membutuhkannya, Orang yang selalu aku pegang tangannya dan kemudian berjalan kaki menuju mesjid untuk Shalat Jum'at dari aku masih TK hingga aku SMA, Orang yang mengajakku ke kebun ketika liburan untuk memetik Kakao dan menjualnya di pasar, Orang yang selalu menjadi temanku menonton piala dunia tengah malam disaat yang lain tidur dan membuatkan mie untuk menemani kami nonton? Bagaimana mungkin aku tidak akan berlinang air mata ketika mengingat semua itu. Bahkan ketika aku menuliskan ini pun tanpa sadar air mataku kembali mengalir.

Aku harus menuliskan ini. Aku takut suatu saat ketika ingatanku tak lagi sebaik sekarang ini, Aku bisa kembali membaca tulisan ini dan mengingatnya. Aku benar-benar takut kalau aku harus kehilangan semua memori tentang beliau. Opa memang bukan orang yang sempurna, beliau juga bukan orang paling alim sedunia. Tapi aku belajar banyak dari beliau tentang nilai-nilai kemanusiaan. Bahwa kita tidak harus menjadi sempurna untuk dicintai orang lain, bahwa ketika salah yang terpenting bukan permintaan maafnya, tetapi usaha kita untuk membuktikan dengan perbuatan ucapan maaf itu, bahwa cinta yang sesungguhnya tidak hanya sebatas kata tetapi yang lebih penting lagi bagaimana sikap dan perbuatan kita menunjukkan itu semua.

Opa merupakan orang yang sangat keras. Beliau adalah orang yang suaranya paling keras di rumah dan kalau sudah marah suaranya akan mengagetkan seisi rumah. Tapi dibalik itu semua beliau adalah orang yang sangat lembut dan hatinya sangat mudah tersentuh. Disaat aku akan pergi belajar ke Surabaya beliaulah yang pertama kali menolak, beliau sangat takut kalau terjadi apa-apa padanya aku tidak sempat balik untuk melihatnya yang terakhir kali. ketika akhirnya hati beliau luluh untuk mengizinkan aku berangkat, beliaulah yang pertama kali menangis di hari keberangkatanku. padahal oma dan papa bersikap biasa saja, dan mama baru menangis ketika melepasku dibandara. Opa bahkan memeberikanku foto beliau dan oma sewaktu masih muda. Beliau berpesan, "kalo terjadi apa-apa dan Reyhan tidak bisa pulang, cukup lihat foto ini dan doakan opa ya Rey." Ini terjadi sewaktu keberangkatanku yang pertama di semester 1. ketika aku akan kembali ke Surabaya di semester 2 beliau juga kembali menangis. Menangis melepas seseorang yang akan pergi merantau ke tempat lain mungkin hal yang biasa, tetapi yang tidak bisa aku bayangkan yang menangis itu adalah opaku yang terkenal keras dan galak. Aku selalu tau beliau sebenarnya merupakan seorang yang penyayang.

Ingatan pertamaku tentang beliau adalah saat ulang tahunku yang ketiga. Saat itu ulang tahunku dirayakan dengan mengundang banyak anak-anak seumuranku. Aku sangat takut untuk keluar dari kamar dan menemui mereka. saat aku keluar dan melihat begitu banyak orang aku langsung menangis dan berlari ke kamar. saat itu Opa pergi ke kamar dan menggendongku, Kemudian membawaku keluar. beliau menemaniku duduk di kursi. Dan rasa takutku seketika hilang. kemudian aku juga pernah dibawanya untuk tinggal di Pekanbaru. Saat itu beliau masih menjadi Direktur di sebuah perusahaan kayu. Saat aku sudah TK, aku hanya tinggal di Pekanbaru sewaktu liburan. Aku selalu jajan di koperasi dan membuat tagihan untuk Opa yang harus dibayarnya setiap akhir bulan. Banyak pengalamanku bersama beliau di Pekanbaru.

Percakapan terakhir kami kira-kira seminggu yang lalu, saat itu beliau tidak berbicara banyak. Beliau hanya berpesan "jangan ikut aliran-aliran disana ya Rey". Beliau sangat takut aku ikut aliran-aliran kegamaan yang sesat dan berafiliasi dengan teroris.
Malam sebelum kepergian beliau aku sempat bermimpi tentang beliau. Opa datang menemuiku dengan pakaian batik biru yang sama dengan di fotonya yang terpajang di rumah. Saat itu beliau tidak mengatakan apa-apa. Paginya ketika aku bangun, aku takut. Takut ini merupakan sebuah pertanda. Dan ternyata sorenya aku mendapat kabar tentang beliau. Tepat saat adzan Maghrib, setelah aku minum beberapa teguk datang telpon dari Papa. yang berbicara adalah "Angku" (adik nenekku). beliau mengabarkan Opa telah berpulang. Aku diminta sabar dan mendoakan beliau. Aku berusaha tegar ketika ditelpon, dan ketika telpon telah ditutup aku tak kuasa menahan tangisku.

 Ini pertama kalinya aku kehilangan orang yang serumah denganku. Semua perasaan bercampur aduk, aku tak tau apa yang aku rasakan apakah sedih, kecewa atau senang karena beliau tidak tersiksa terlalu lama dan meninggal di bulan yang suci ini. yang aku tau saat itu air mataku mengalir deras, aku seakan masih tak percaya beliau telah tiada. ketika kulihat fotonya yang dikirimkan mama, beliau terlihat seperti tidur. sejujurnya yang membuat kesedihanku memuncak adalah karena aku belum bisa membalas semua yang beliau berikan kepadaku. aku belum bisa memberikan apa-apa untuk beliau. aku selalu berdoa umur beliau dipanjangkan hingga aku wisuda dan telah bekerja hingga bisa membalas kebaikan beliau dan juga bisa membuat beliau bangga. Aku menyesal karena selama ini belum bisa memberikan yang terbaik untuk beliau. Tapi kemudian aku menyadari bahwa untuk menebus kesalahan itu aku akan mewarisi semangat beliau, aku akan menjaga apa-apa yang telah beliau ajarkan dan perjuangkan, semangat beliau akan tetap hidup dan aku berdoa semoga beliau dikumpulkan bersama orang-orang beriman di Surga dan kami bsa bertemu kembali kelak di Surga. sebenarnya masih banyak yang ingin aku ceritakan, tapi aku sudah tak sanggup lagi untuk saat ini. aku takut kesedihanku semakin mendalam dan membuat beliau sedih melihat kondisiku seperti ini. aku akan sambung di lain waktu. Aku sayang Opa..