“surabaya.. Surabaya.. ohh Surabayaa..
Kota
kenangan.. kota kenangan.. tak kan terlupa
Disanalah,
disanalah, di Surabaya..
Pertama
lah, tuk yang pertama
Kami
berjumpaa…”
-Sepenggal lirik lagu Surabaya
Assalamu’alaikum..
Selamat malam para fakir asmara tapi
bukan pengemis cinta, lama tak jumpa.
“orang boleh pandai setinggi
langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan
dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” – Pramoedya Ananta Toer.
Itulah salah satu
alasan mengapa gue suka nulis. Dengan tulisan kita akan meninggalkan jejak
bahwa kita pernah hidup di dunia ini. Walaupun diri telah hancur di dalam
tanah, tapi pikiran kita masih tetap hidup di dunia. Dengan tulisan, 200 tahun
ke depan orang-orang masih dapat mengenal kita melalui jejak yang kita
tinggalkan.
Udah lama gue ga
aktif lagi di blog dan akhirnya liburan semester ini gue punya kesempatan buat
mulai nulis lagi. Sebelumnya, seperti biasa gue ngucapin terima kasih yang
sebanyak-banyaknya kepada kalian yang udah nyempatin mampir ke blog gue,
kalianlah salah satu alasan yang bikin gue semangat buat selalu nulis, Love you
(yang cowok ga usah senyum).
Merantau. Ada
pepatah di minang yang berbunyi, “marantau
bujang dahulu di rumah paguno balun” yang maksudnya adalah perintah kepada
anak lelaki minang untuk merantau terlebih dahulu ke negeri orang karena di
kampung halaman belum banyak berguna untuk masyarakat disebabkan masih
kurangnya pengalaman. Merantau bertujuan untuk mencari pengalaman baru, belajar
hal-hal baru, belajar mandiri, belajar beradaptasi dengan budaya baru, serta
belajar untuk menempa diri menjadi lebih baik.
Selama kurang
lebih 6 bulan gue berada di Surabaya banyak hal yang gue pelajari. Bukan
berarti dengan kita merantau lantas kita akan jadi lebih hebat dari orang-orang
yang berada di kampung halaman, tapi jujur aja banyak hal yang gue dapetin
selama disini yang jika di kampung halaman ga bakalan gue temuin. Gue jadi
mengerti gimana rasanya jadi minoritas, secara gue disini berasal dari suku
minang yang notabene mempunyai perbedaan dalam adat, budaya dan pola pikir
dengan masyarakat Jawa walaupun masih sama-sama bangsa Indonesia.
Dulu sewaktu gue kuliah di UNP (Universitas
Negeri Padang) gue juga punya temen yang berasal dari Bogor, waktu itu gue
memperlakukan dan menganggap dia sama aja kayak orang lain pada umumnya,
maksudnya gue ga terlalu empati sama dia. Tapi ketika gue kuliah di Surabaya
ini gue baru bisa ngerasain apa yang dia rasain dulu, dia yang dari Bogor harus
kuliah di Minang dengan bahasa yang berbeda, kebudayaan yang berbeda, makanan
yang pedes-pedes, tanpa sanak keluarga di Minang dan harus cepat beradaptasi
dengan lingkungan barunya, begitu juga dengan yang gue rasain ketika di
Surabaya. Dan akhirnya gue sadar, bahwa para perantau adalah orang yang rawan
akan kesepian, apalagi kalo dia jomblo, maka tingkat kerawanan akan perasaan
kesepiannya akan bertambah. Hal diatas membuat gue jadi lebih menghargai kaum
minoritas, gue jadi lebih menghargai orang dengan agama yang berbeda, warna
kulit yang berbeda dan suku bangsa yang berbeda. Karena ternyata yang
terpenting bukanlah apa yang terlihat dari luar tapi apa yang ada di dalam hati
kita.
Tapi gue bersyukur
banget karena di tempat gue kuliah ini bisa dapet temen-temen yang ramah,
pengertian dan juga gokil. Gue juga suka sama sikap anak-anaknya yang aktif dan
ga apatis sama kegiatan kampus. Ketika ada acara kampus mereka keliatan excited
dan terkesan perfeksionis. Tetapi berkat itu semua hasilnya jadi sangat
memuaskan. Setiap kegiatan yang diadain selalu menuai pujian. Semoga aja ini
bukan hanya sindrom maba dan kepedulian itu bisa terus ada, bukan hanya
terhadap acara kampus tetapi juga antar teman seangkatan. Menurut psikologi
Transpersonal, tidak ada kejadian yang terjadi hanya karena kebetulan semata,
semuanya telah diatur oleh suatu kekuatan kosmik di alam semesta, dan begitu
juga dengan pertemuan kita, ini bukan hanya kebetulan semata, melainkan telah
digariskan sebelumnya, kita dipertemukan karena suatu alasan, karena aku, kamu
dan kita adalah… PSYCH15!
Berikut ini beberapa hal yang gue
alamin di Surabaya yang belum sempet gue ceritain di tulisan sebelumnya:
1. Biasanya
pada pertemuan pertama mereka akan nyebut gue dengan sebutan “orang luar pulau”
karena gue berasal dari pulau Sumatera (walaupun hanya sebagian kecil yang
nyebut itu). Gue ga tau sebutan itu juga berlaku atau engga buat orang dari
pulau Kalimantan, pulau Sulawesi, pulau Papua dan lainnya. Gue ngerasa aneh aja
dengan sebutan “orang luar pulau”, seolah-olah gue hidup terapung di lautan.
Bukankah Sumatera juga sebuah pulau? Lain halnya kalo kalimat tersebut
dilengkapi jadi “orang luar pulau Jawa” nah itu baru bener, hehe…. Mereka bisa
langsung tau gue dari luar Jawa karena logat gue juga beda, terlihat jelas pada
cara pengucapan huruf “E”. kalo gue ngucapin “E” dengan jelas maka temen-temen
disini ngucapin “E” dengan sedikit penekanan. Memang agak susah dijelasin,
lebih gampang kalo dipraktekkin.
2. Disini matahari terbit lebih cepat.
Gue sempat kaget ketika kebangun jam 4
pagi dan tiba-tiba dengar suara azan. “orang macam apa yang azan pukul 4 dini
hari”, pikir gue waktu itu. Dan ternyata Shubuh emang jam segitu disini. Kalo di
Padang pukul 05.30 gue masih bisa sholat Shubuh, tapi kalo di Surabaya itu udah
terang banget. Ini cukup menyulitkan gue pada awalnya untuk bangun pukul 04.00.
3. Masalah panggilan.
Awalnya gue udah sempet searching kalo
panggilan di Surabaya dan Madura itu “cak”, contohnya Cak Nun, Cak Dur Asim. Tapi
awal-awal di Surabaya gue sempet heran ketika dengar kata “Cuk”. Saat itu gue
berkesimpulan kalo kata “Cuk” pastilah pasangan dari “Cak”, ada “Cak” ada juga “Cuk”,
“Cak” itu nama panggilan buat cowok yang dihormati, “Cuk” itu buat panggilan
perempuan yang lebih tua, begitulah kesimpulan yang gue ambil.
Maka gue mencoba nerapinnya ketika
bertransaksi ekonomi (baca: belanja) pecel lele. Saat itu yang jualan adalah
seorang ibu tua. Maka gue bilang, “Cuk, bungkus pecel lelenya satu”. Seketika ibu
yang jualan dan pembeli pada diam dan ngeliat gue. Gue langsung berpikiran kalo
kalimat yang gue ucapin kurang halus dan kurang lemah lembut. Akhirnya gue
ulang lagi dengan nada yang lebih sopan, “Cuuuukk… tolong bungkus pecel lelenya
satu”. Tanpa aba-aba ibu penjual pecel lelenya ngelempar sambel ke mata gue,
gue langsung lari dengan menutup mata dan akhirnya menabrak tiang listrik.
Itulah yang akan terjadi kalo sebelumnya
gue ga pernah searching kata-kata kotor Surabaya di Google. Untung sebelumnya
gue udah searching, jadi cerita diatas ga pernah terjadi. Hahaha XD
Menurut gue langkah pertama dalam
mempelajari bahasa baru adalah dengan mencari kata-kata kotornya agar kita
tidak mudah dikelabui sebagai pendatang.
4. Gue salut sama masyarakat disini yang
masih mau makan lesehan di trotoar jalan, soalnya gue belum pernah melihat hal
serupa di Padang. Itu menunjukkan kalo masyarakatnya gak gengsian, yang penting
bisa “cangkruk” bareng. Lalu gue juga kaget karena di Surabaya, becak masih
digunakan sebagai sarana transportasi, soalnya di Padang udah ga ada. Ini menjadi
wahana hiburan tersendiri buat gue ketika awal kedatangan disini.
5. Gue yakin seyakin-yakinnya kesan pertama
orang yang baru bertemu sama gue, gue adalah orang yang pendiam. Namun seiring
berjalannya waktu, gue sering mendengar orang lain bilang “waahh Reyhan
ternyata bisa heboh ya”, “Reyhan ternyata aslinya gini ya”, “loh.. reyhan?”. Oke,
gue mau jujur, gue ga sependiam yang kalian kira. Gue Cuma butuh waktu lebih
lama untuk mengenal orang-orang disekitar gue. Seiring berjalannya waktu
tingkat ke-absurd-an gue akan bertambah. Makanya banyak yang heran sama tulisan
gue yang katanya “meledak-ledak”. Dan satu hal lagi, gue bukan orang yang suka
formalitas dan kekakuan, jadi bersikap santai aja sama gue. Hehe ^_^
Oke, sekian dulu
buat kali ini. Tulisan ini murni pandagan subjektif gue, kalo ada kata-kata
yang salah mohon dimaafkan, ga ada maksud sedikitpun buat menyinggung dan ini murni
hanya ungkapan isi hati gue. Wassallam..
Hahahaha ngakak baca nomer 3, kirain beneran 😂
BalasHapuskonyol han.. Good article!
BalasHapusYang sabar di Surabaya yaa😇😇😇
BalasHapus