Minggu, 26 Oktober 2014

SILK ROAD

Ditulis tahun 2013....

Genre: history, fantasi, tragedi.
Hutan di gunung mahameru 2013,
          SEMERU, gunung tertinggi di pulau jawa dengan keindahan alamnya,  bunga beraneka warna semerbak bermekaran, hutan pinus dengan baunya yg khas, danau indah nan jernih yang sekarang dikenal dengan nama danau ranu kumbolo seakan menjadi pelepas lelah, tebing-tebing yang menjulang tinggi ibarat dinding pelindung, diseberangnya hamparan bukit pasir yang luas membentang serta udara pegunungan yg bersih dan segar kian menambah kesempurnaan gunung ini.
             namun kisah ini tidak terjadi di zaman sekarang melainkan sekitar 700 tahun kebelakang disaat Indonesia belum ada, yang ada hanyalah kerajaan-kerajaan kecil yang muncul silih berganti, peperangan antar kerajaan tak pernah usai, perebutan kekuasaan dikalangan keluarga kerajaan menambah polemik yang tengah terjadi. Pada zaman ini kerajaan singasari dengan raja terakhirnya kertanegara telah musnah menyusul pemberontakan yang dilakukan keturunan raja kediri yaitu jayakatwang, namun tak lama kemudian kediri mengalami nasib yang sama setelah dikalahkan oleh raden wijaya dengan bantuan pasukan kerajaan mongol. Raden wijaya kemudian mendirikan kerajaan majapahit setelah mengusir pasukan mongol dari jawadwipa.
hutan di gunung Semeru, 1298 Masehi.
            Matahari sudah mulai turun menuju peraduannya di ufuk barat, angin sepoi-sepoi berhembus menggoyang dedaunan, namun hutan disebelah utara danau ranu kumbolo tetap tak bergeming, seperti ada sebuah kekuatan Maha dahsyat yang membuat hutan ini tetap tenang, suara raungan beberapa hewan buas terdengar dari kejauhan, pohon-pohon pinus menjulang tinggi seakan menambah kesan angker hutan ini, memang semenjak dahulu kala gunung semeru dianggap sebagai tempat paling mistis di jawadwipa (pulau jawa), tempat bersemayam para dewa.
            Tiba-tiba entah darimana asalnya sebuah panah muncul membelah udara dan memecah kesunyian hutan ini dengan bunyi desingannya,panah itu berhenti setelah mengenai sasaran dan kini diujung panah tersebut telah tertancap seekor kelinci. dari arah datangnya panah tersebut muncul seorang pemuda gagah berusia sekitar 25 tahun sambil menenteng busur panah, dipunggungnya masih terdapat 4 buah anak panah lainnya yang siap ditembakkan kapan saja, dari pakaian yang dipakainya jelaslah kalau ia bukan orang sembarangan, mungkin dari keluarga bangsawan atau ksatria, sulit membedakannya namun setiap orang yang menatap matanya pasti akan setuju kalau pemuda ini pastilah sudah melewati hidup yang berat.
         Pemuda itu kemudian berjalan menuju buruannya yang sudah terkapar ditanah sambil menyeruak diantara semak-semak yang rimbun menutupi hutan ini.dicabutnya anak panah pada kelinci tersebut dan setelah dibersihkannya ia gabungkan kembali bersama 4 anak panah lainnya.
“maafkan aku sobat, tapi aku juga harus makan agar bisa bertahan hidup” ujarnya. Suaranya berat namun menyiratkan ketegasan.
“suuuiiiitttt...... suuiiitttttt” pemuda itu bersiul, dari kejauhan terdengar suara derap kaki kuda yang lama kelamaan makin dekat. Kini dihadapan pemuda itu telah berdiri dengan gagah seekor kuda jantan bewarna putih. Pemuda itu yang ternyata bernama jayanegara kemudian melompat ke punggung kuda tersebut dan memacunya meninggalkan hutan menuju danau ranu kumbolo. Ia hanya sendiri, tak terlihat pengawal atau orang lain yang bersamanya dan jika dilihat dari caranya yang lihai dalam mengendarai kuda melewati hutan, sepertinya ia sudah tinggal cukup lama di gunung Mahameru sehingga tau mana jalur yg cukup aman untuk dilewati.
            Di tepi danau tersebut di dekat sebuah tanjakan, terlihat sebuah rumah atau lebih tepat disebut sebagai pondok. Disana ia berhenti dan menambatkan kudanya. Pondok itu jika tidak bisa dibilang jelek maka cukuplah sederhana kata yg tepat untuk menggambarkannya, pondoknya sangat kecil, dengan atap dari dedaunan dan ijuk kelapa, dinding dari kayu seadanya yg bisa ditemukan di sekitar danau, sangat jauh dari kata layak. Di sebelah pondok terdapat ladang jagung yang siap dipanen. Jayanegara masuk dan menggantungkan panahnya di dinding di dekat pedang dengan ukiran relif naga yg menghiasi sarung pedangnya.
            Sinar matahari senja benar-benar indah sore ini.cahaya orangennya memantul di permukaan danau ranu kumbolo, memancarkan keindahan tersendiri yg sulit diungkapkan. kini jayanegara telah duduk di depan api unggun yang ia gunakan untuk memanggang kelinci hasil buruannya, kelinci tersebut telah berpindah dari atas api ke genggaman tangannya. suhu dingin wilayah sekitar ranu kumbolo membuat daging kelinci itu tak perlu menunggu waktu lama untuk dimakan, alam telah mendinginkannya secara alami. Hal itu wajar saja karena ranu kumbolo terletak sekitar 2400 m dari permukaan laut yang suhunya pada malam hari bisa mencapai 9 derajat celcius, belum lagi suhu di puncaknya.
“terima kasih atas makanannya” ucap jayanegara.
“pawana, habiskan rumputmu. Kita tidak akan pernah tau apa yang akan terjadi” sambungnya sambil melihat ke arah kuda putihnya. Pawana, demikian nama kuda itu, meringkik pelan lalu kembali memakan makanannya.
         Matahari kini telah benar-benar hilang digantikan bulan purnama. Langit sangat cerah malam ini, bintang-bintang terlihat jelas, angin sepoi-sepoi berhembus dan di kejauhan terdengar beberapa suara hewan malam. Kini jayanegara telah duduk di sebuah gundukan kecil yang agak tinggi dari tanah sekitarnya menyerupai bukit kecil dan bersandar pada sebuah pohon besar. Ditangannya tergenggam seruling kecil dari bambu, ia meniupnya dan memainkan alunan melodi indah yang menentramkan hati, iramanya sangat menyayat hati bagi siapapun yang mendengar, seperti menggambarkan perasaan pemainnya, seolah-olah menggambarkan perjalanan panjang penuh rintangan namun diujung perjalanan bertemu dengan oase nan subur. Jayanegara memainkannya dengan kesungguhan hati, walaupun sorot matanya tetap sama, sayu. Namun alisnya yg tajam seakan mengisyaratkan kalau ia punya tekad yang kuat hingga mampu bertahan selama ini.   
      Angin yang tadi berhembus sepoi-sepoi perlahan lenyap, dedaunan berhenti bergoyang, riak danau mulai hilang dan suara hewan malam pun mendadak senyap seperti larut dalam irama sendu yang keluar dari seruling jayanegara, ikut memahami kesedihan sang pemain hidup sendirian di alam liar selama ini, Jayanegara, serigala penyendiri. Bahkan pawana kini ikut meringkuk di samping tuannya.
(BACKSOUND: KITARO-SILK ROAD)
         Matahari pagi bersinar terang membangunkan jayanegara dari tidurnya, setelah mandi dan berpakaian ia mengambil pedangnya yang tergantung di dinding pondok dan membawanya keluar. awalnya jayanegara hanya melakukan latihan pernafasan berulang kali, menyesuaikan irama pernafasannya dengan angin, menyatukan dirinya dengan alam. Lalu ia mengambil ancang-ancang, kedua kakinya sedikit ditekuk membentuk kuda-kuda,dan dalam satu tarikan nafas ia mengeluarkan pedangnya dari sarung dengan kecepatan yg sulit diikuti mata dan menyabetkannya di udara, pedangnya seolah memotong udara,  gerakan tersebut dilakukannya berulang kali dengan kecepatan yang luar biasa, entah berapa kali sudah ia lakukan, 800?900? atau 1000 kali? jayanegara terus melakukannya hingga tangannya benar-benar pegal dan tidak sanggup lagi untuk diangkat.
            Setelah dirasa cukup ia pun berhenti dan menuju pohon di bukit kecil dekat pondokannya. Jayanegara berbaring dengan kedua tangannya direntangkan, memandang langit nan biru, merasakan semilir angin melewatinya. Kemudian ia memejamkan mata, merasakan bumi dengan kulitnya, mendengar suara-suara alam, melihat dengan mata yg lain, mata batinnya. Lama jayanegara hanya berdiam seperti itu. Lalu setelah tangannya agak bertenaga lagi ia duduk dan mengeluarkan serulingnya. Kembali ia lantunkan instrumen yg biasa ia mainkan, tenang dan mengalir lembut merasuki jiwa, membuat kekuatannya kembali.
        Matahari mulai tergelincir ketika jayanegara bangun dari tidur siangnya,  ia segera menuju pondok dan mengambil peralatan memancing, lalu duduk di tepi danau berharap agar ada yg memakan umpannya supaya ia tak kelaparan hari ini.
       Hari telah benar-benar sore ketika jayanegara sedang memanjat tebing untuk mengumpulkan rempah-rempah guna dijadikan bumbu dan obat-obatan. Ketika ia melihat ke arah selatan, ke hamparan gurun pasir, jayanegara melihat badai pasir sangat besar sedang melanda wilayah tersebut. Setidaknya ini badai pasir  paling besar yg pernah ia lihat selama tinggal di pegunungan ini.
      Setelah selesai mengumpulkan tanaman yg ia butuhkan jayanegara turun menuju pondok. Hari telah malam ketika ia sampai. Malam begitu gelap dan angin sangat kencang. Berdasarkan pengalamannya selama ini, hujan badai akan datang sebentar lagi. Benar saja, ketika ia telah memasukkan pawana ke kandangnya hujan lebat segera turun, disusl kilat dan petir tak henti-hentinya. Langit seakan mau runtuh dan mengeluarkan semua isinya. Jayanegara hanya bisa meringkuk di pondoknya sambil berharap pondoknya tak hancur diterjang badai.
       Matahari pagi menembus masuk ke pondok membangunkan jayanegara. Setelah badai semalam ia merasa beruntung karena pondoknya tak terbawa angin seperti yg dialaminya beberapa bulan lalu. Setidaknya ia tak perlu bersusah payah membangunnya kembali.
       Jayanegara baru bersiap latihan pedang ketika dia mendengar suara dari arah berlawanan. Hidup lama di alam liar membuat telinganya terlatih mendengar suara sekecil apapun walaupun dalam jarak yg lumayan jauh. Ia segera merubah arah badannya searah dengan datangnya suara lalu mengambil ancang-ancang utk menyerang. Suaranya makin dekat walaupun bergerak perlahan. 125 meter... 100 meter.... 75 meter... 50 meter.... 25 meter... dan dia tepat dihadapan jayanegara. Semak-semak dihadapan jayanegara bergerak, tangan jayanegara mengeras bersiap menghunus pedangnya, pedangnya telah keluar sebagian namun disaat terakhir ia menghentikannya dan memasukkan kembali pedangnya ke dalam sarung (sarung pedang) ketika ia menyadari bahwa yg muncul bukan musuh. Dihadapannya kini berdiri seorang gadis, mungkin umurnya sekitar 21 tahun yg berjalan denga gontai kearahnya. Wajahnya kusam dan penuh debu, namun mata dan garis wajahnya tidak dapat menyembunyikan kalau ia adalah wanita yg sangat cantik. Pakaiannya menyiratkan bahwa ia dari golongan bangsawan, dengan kain sutra halus yg sepertinya diimpor dari Cina, gelang emas  dan kalung khas keluarga kerajaan menghiasi lehernya. gadis itu berjalan tertatih menuju jayanegara namun tak sampai bebeapa lagkah dia pingsan tapi jayanegara telah siap menyambutnya. Jayanegara segera membawanya ke pondok dan membaringkannya di tempat yg ia sebut dipan. Ia menaruh tangannya dikening gadis tersebut. Panas. Sangat panas. gadis ini terserang demam hebat. Jayanegara mengompresnya dengan kain basah. Lalu ia mengambil rempah-rempah dan segera meramunya untuk dijadikan obat.
         Selama beberapa hari gadis itu tetap belum sadar dan selama itu pula jayanegara selalu merawatnya, setiap hari ia memasukkan ramuan obatnya ke mulut gadis tersebut, melap wajahnya dan menunda kegiatan berburunya dengan hanya memakan jagung yg telah dipanen.
Akhirnya pada suatu pagi gadis itu sadar dan kata yg pertama kali terlontar dari mulutnya adalah,
“dimana aku?”. Dia kemudian duduk, di sampingnya tak ada seorangpun. Dia mendapati dirinya di sebuah pondok kumuh. Dia mencoba mengingat apa yg telah terjadi, namun kepalanya terasa sangat sakit. Lalu dia mencoba berdiri walaupun dengan susah payah dan berjalan keluar. Diluar dia terkejut melihat seorang pemuda yang sedang menenteng karung berisi rumput menuju kearahnya. Ketka jayanegara melihat si gadis berdiri dihadapannya dia berhenti dan menurunkan karungnya.
“syukurlah kamu sudah sadar” ucap jayanegara datar.
“siapa kamu? Dan kenapa aku bisa ada disini?” Jawab si gadis.
“justru aku yg harus bertanya, apa yg membuatmu cukup berani hingga sampai di gunung mahameru?”
“mahameru?” mendengar kata mahameru ini kepala gadis itu terasa sakit, lalu bayangan-bayangan melintas di kepala gadis tersebut, ingatannya kembali! Dia terduduk.
“sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri?” sambung sang gadis.
“4 hari, dan selama itu kamu terus menggigau”
“apa ada orang yg datang ke sini setelah aku?”
“tidak ada. Apa sekarang kamu bisa menceritakan alasan kenapa kamu bisa berada disini?”
“tidak. Aku tidak bisa menceritakannya kepada orang yg belum kupercaya.” Jawab gadis itu ketus.
“hoho, jawaban yg cukup kejam. apalagi diucapkan kepada orang yg telah menyelamatkanmu. Sejujurnya aku tidak begitu peduli dengan masa lalumu, aku hanya ingin tau kamu ini ancaman atau bukan. Kalau kamu sudah merasa sehat silahkan pergi.” jawab jayanegara santai.
“tunggu, biarkan aku tinggal disini. Akan aku ceritakan alasan aku berada disini. Aku benar-benar membutuhkan pertolonganmu.” Sergah si gadis.
“mulailah bercerita” kata jayanegara sambil duduk disamping gadis itu menghadap ke danau.
“namaku dewi kumala, aku berasal dari majapahit. Karena melakukan suatu kesalahan besar aku harus melarikan diri meninggalkan majapahit. Namun upaya ku untuk melarikan diri tidak semulus itu. Aku dikejar oleh prajurit kerajaan. Mereka ada banyak. Aku beruntung karena kuda yg kutunggangi sangat cepat. Aku terus memacu kudaku menjauhi majapahit hingga akhirnya aku sampai di kaki gunung Mahameru ini. aku mendengar kabar bahwa gunung ini sangat keramat, tidak seorangpun yg berani mendaki kepuncaknya. Tapi aku tak punya pilihan lain. Lalu aku turun dari kuda dan memukul kudaku agar terus berlari ke arah yg berlawanan dari mahameru. Aku harap itu bisa mengecoh mereka beberapa hari. Namun belum cukup sampai disitu, seakan para dewa marah akibat aku masuk tempat keramat, tiba-tiba badai pasir mucul. Aku berjuang sekuat tenaga melewatinya karena untuk kembali lagi sudah tidak mungkin. Walaupun aku sudah menutup wajahku dengan selempang tapi debu tetap masuk ke mata, mulut, telinga dan hidungku. Aku kesulitan bernafas. Rasa letih dan lelah akibat perjalanan membuatku linglung. Kuputuskan untuk tidak menyerah. Aku harus tetap hidup. Hingga akhirnya aku selamat dan ditolong olehmu. Jadi kumohon izinkan aku tinggal bersamamu. Aku tidak punya sanak saudara lagi diluar sana.” Ucapnya mengakhiri cerita.
“dia melewati badai pasir sendirian” batin jayanegara.
Lama jayanegara terdiam, lalu dia berkata,              
“baikah. Tapi jangan harap kamu akan hidup nyaman. Kamu harus bekerja”
“terima kasih....... hmmm, kalau boleh tau siapa namamu?”
“apa pentingnya namaku buatmu?”
“aku hanya malas memanggilmu dengan sebutan “pemuda” setiap saat.”
“namaku jayanegara”
“ rasanya aku pernah mendengarnya di suatu tempat” batin dewi kumala.
“kalau begitu kau bisa mulai pekerjaan pertamamu dengan memanen jagung-jagung itu. Aku belum sempat memanen semuanya karena merawatmu”
“apa? Langsung disuruh kerja?” dewi kumala tak terima.
“lalu apa? Kau pikir aku akan membiarkanmu berbaring seharian?”
“issshhh... apa sifatmu memang selalu dingin seperti ini? pantas saja kamu hidup sendirian” ucap kumala sambl berlalu pergi menuju ladang jagung.
“kamu tidak tau apa-apa tentangku” kata jayanegara ketika dewi kumala telah berlalu. Ia lalu mengambil karung rumput dan membawanya menuju kandang pawana.
Mereka berduapun sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
Hampir tengah hari ketika dewi kumala datang menemui jayanegara.
“aku ingin mandi, badanku sudah gerah dan dekil” kata dewi kumala.
“Lalu apa? Apa kau ingin aku menemanimu?” jawab jayanegara sinis.
“bukan begitu, mesum. Setidaknya kau bisa menunjukkanku tempat yg tertutup dan aman dari binatang buas.”
“kau bisa pergi sedikit ke ujung sana. Disana lumayan rimbun dan pemandangannya indah. Jika kau beruntung kau hanya akan bertemu dengan beberapa ekor  tupai dan katak yg akan mengintipmu” jayanegara menunjuk ke tempat yg dimaksud.
“ku harap kataknya tidak beracun” kata dewi kumala sambil beranjak pergi.
Dewi kumala sampai ke tempat yg dikatakan jayanegara. Jayanegara benar, tempat itu sangat indah dengan tebing-tebing tinggi yang melindunginya, ladang bunga di sebelah timur, pepohonan pinus dan puncak gunung yg terlihat menawan dari sini. Dewi kumala segera melepaskan pakaiannya dan turun ke air. Dingin dan menyegarkan. sudah lama sekali rasanya ia tidak menyentuh air. Dewi kumala membersihkan kotoran disekujur  tubuhnya. Danau yg jernih membuat  Ia bisa melihat dasar danau. Di pepohonan terlihat burung  berwarna biru yg ia tak tahu namanya. Burung itu berkicau atau lebih tepatnya terdengar seperti menyanyi. Tak lama kemudian teman burung itu datang. Mereka saling sahut menyahut membentuk irama. Ditambah suara katak dan riak danau, makin membuat danau ini jadi sempurna. Tiba-tiba ia mendengar suara gemerisik dari pohon dibelakangnya, ketika dewi kumala menoleh ke belakang ia terpekik...............
“KYAAAAAAAAA..............”
Jayanegara yg mendengar suara teriakan dewi kumala segera berkata,
“uppssss.... sepertinya aku lupa memberi tahunya kalau disana juga tempat favorit kera untuk minum” kata jayanegara tanpa rasa bersalah.
Tak beberapa lama kemudian, dewi kumala datang.  Kini dia telah menjelma dari gadis kumuh menjadi gadis cantik. Jayanegara yg melihatnya terpana.
“apa kamu sengaja tidak memberitahuku mengenai kera-kera itu?” tanya dewi kumala menyadarkan jayanegara.
“aku ingin pergi berburu, jika kamu terlalu lapar makanlah jagung sambil menunggu aku kembali” jayanegara mengalihkan pembicaraan.
“seumur hidup aku belum pernah makan jagung. jagung hanyalah makanan untuk kelas bawah. Aku ingin daging. Lagi pula aku tidak akan tinggal disini sendirian. Pengejar itu bisa datang kapan saja, belum lagi binatang buas yg bisa memangsaku setiap saat. Kumohon bawa aku” pinta kumala.
“Tapi aku tidak mau menyiksa pawana dengan beban 2 orang”
“kalau begitu kamu bisa jalan kaki”
“apa? Kupikir perjalanan panjang bisa merubah sikap manja anak bangsawanmu, ternyata tidak.” Balas jayanegara sambil menggelengkan kepala.

Setelah mengambil busur dan mengisi kendi air mereka berdua berangkat. Jayanegara berjalan kaki sambil memegang tali kekang pawana. Dewi kumala bernyanyi di sepanjang perjalanan.
Sesampainya di hutan jayanegara menambatkan kudanya. Mereka melanjutkan perburuan dengan berjalan kaki.
“hutan yg gelap. Apa disini ada babi hutan?” tanya dewi kumala.
“tidak, tapi disini ada harimau.”
“itu lebih buruk tau...”
“ssttt... suaramu bisa membuat buruan kita lari” cegah jayanegara.
Selang beberapa lama kemudian mereka melihat kelinci. disaat jayanegara sudah bersiap memanah, “kreek”. Kumala menginjak ranting patah dan sukses membuat kelinci itu kabur.
“terima kasih” sindir jayanegara.
“uppsss.. maaf”
Tak lama kemudian buruan yg lain datang. Mereka melihat seekor burung yg terbang lalu hinggap disebuah pohon. Disaat jayanegara hendak memanahnya dewi kumala mencegahnya. Ternyata burung itu membawa cacing diparuhnya untuk diberikan pada anak-anaknya.
“aku mau makan jagung saja” kata dewi kumala. Merekapun kembali.
Malamnya mereka duduk di bukit kecil. Jayanegara mengeluarkan serulingnya dan memainkan lagi favoritnya. Dewi kumala mendengarkannya. (BACKSOUND: KITARO-SILK ROAD)
“apa kamu yg membuat lagu itu?” tanya kumala begitu lagunya berakhir.
“ya, begitulah.”
“Sangat indah sekaligus menyayat hati. Alampun terdiam mendengarkannya.  Oh ya, mengenai harimau tadi apa kamu pernah melihatnya?”
“pernah satu kali, ketika aku mengambil air di sungai saat berburu”
“benarkah? Apa dia menyerangmu?”
“tidak, sepertinya dia tidak melihatku sebagai ancaman. Aku rasa harimau itu bukan harimau sembarangan, mungkin dia yg menjaga gunung ini. selama kita tidak membuat onar di gunung ini maka kita akan aman.”
Mereka berdua lalu diam dan memandang ke langit. Bulan terlihat lebih besar. Mungkin karena mereka berada di tempat yg tinggi maka bulan terlihat seperti itu. Hampir tak ada satu ruang kosong dilangit yg tanpa bintang.
“aku ingin selamanya begini, hidup denganmu di gunung ini hingga kita tua dan aku akan merasa aman karena kamu selalu melindungiku” Dewi kumala merebahkan kepalanya di pundak jayanegara. Begitulah percakapan malam itu berakhir.
Keesokan harinya sebelum matahari terbit  jayanegara membangunkan dewi kumala. Dewi kumala segera berdiri dan mengambil sikap siaga,
“ada apa? Apa mereka datang?”
“tidak, aku ingin membawamu ke suatu tempat.”
Jayanegara menggandeng tangan dew kumala. Mereka berjalan menjauhi danau menuju puncak, hingga tiba disebuah tanjakan jayanegara berkata sambil tetap berjalan,
“jika kamu bisa sampai diujung  tanjakan ini tanpa melihat kebelakang maka kamu akan bisa bersama orang yang kamu cintai dan cintamu tidak akan bisa dipisahkan.”
“benarkah? Siapa yg mengatakannya?” tanya dewi kumala heran.
“aku. Aku yang mengarangnya dan aku harap akan menjadi kenyataan”
“kalau begitu aku tidak akan melihat kebelakang”
Mereka berhasil melewatinya tanpa melihat kebelakang. Setelah sampai dipuncak  tanjakan mereka jalan beberapa ratus meter lagi hingga tiba di tepi jurang. Jayanegara berhenti dan berkata,
“lihatlah keagungan tuhan. Telu... loro... siji.......”
Matahari pelan-pelan muncul dari balik gunung dan awan terasa di bawah mata kita. Bagaikan mengawang di atas gunung.
“aku ingin waktu berhenti sekarang juga. Aku takut kita tidak bisa seperti ini lagi” kata dewi kumala lirih.
Paginya mereka beraktifitas seperti biasa, dewi kumala sudah tidak terlalu manja lagi. Jayanegara berlatih pedang, dewi kumala membersihkan pondok. Setelah itu mereka pergi memancing, dewi kumala mendorong jayanegara hingga tercebur ke danau, lalu mereka memberi makan pawana dilanjutkan dengan memetik bunga untuk ditanam di dekat pondok, setelah itu mereka duduk di bukit sambil mendengarkan alunan musik dari seruling jayanegara.
Menjelang sore jayanegara berkata,
“kau mau ikut mengambil rempah-rempah ke tebing sana?” ajak jayanegara.
“baiklah.”
Mereka mendaki tebing yg terjal. Akhirnya mereka sampai ke tempat yg dituju. Ketika jayanegara mengumpulkan rempah-rempah, dia melihat ke arah gurun pasir lalu dia berkata kepada dewi kumala,
“sepertinya kita harus turun.”
“kenapa?” tanya kumala.
“itu.... mereka datang!” jawab jayanegara datar sambil menunjuk kearah gurun pasir.
Di gurun pasir telah berdiri beberapa tenda.
“kenapa mereka berkemah disana?” tanya kumala.
“kurasa mereka terlalu lelah untuk mendaki keatas. Tapi menurut perkiraanku, mereka akan tiba paling lambat besok pagi di pondok kita.”
Malamnya mereka berdua duduk dibukit dalam diam. Tidak ada yg mau berbicara. Hingga akhirnya hening dipecahkan oleh dewi kumala,
“aku menyukaimu” katanya sambil memandang wajah jayanegara.
“kenapa kamu menyukaiku? Padahal kita baru bertemu”
“apa cinta butuh alasan?” dewi kumala menanya balik.
“huh, kamu memang pintar memainkan kata-kata”
“satu hal lagi, sebenarnya belum semuanya aku ceritakan padamu.  Alasan aku kabur adalah karena ayahku raden wijaya memaksaku menikah dengan seorang pangeran dari cina untuk memperbaiki hubungan kerajaan kami. Padahal aku tidak menyukainya. Benar. Aku adalah putri dari kerajaan majapahit. Putri dari raden wijaya. Aku sudah mengatakan semuanya padamu. Maukah kamu menceritakan asal usulmu hingga tiba di semeru ini? ” ujar dewi kumala terus terang.
Jayanegara menghela nafas, kemudian berkata,
“aku anak jayakatwang, orang yang dibunuh ayahmu.”
“APA? Pantas aku rasanya pernah mendengar namamu. Lalu... apa kamu akan membunuhku untuk membalaskan dendam ayahmu?” dewi kumala tersontak kaget.
“bodoh, mana mungkin aku menyakiti gadis yg aku cinta? Balas dendam hanya akan melahirkan balas dendam yg baru. Ayahku pun dahulu membunuh kertanegara karena balas dendam atas terbunuhnya tunggul ametung di kediri di masa lalu. Lalu ayahmu membalas dendam atas kematian kertanegara. Lihat? Jika diteruskan tidak akan pernah usai. Ibarat lingkaran setan yg tak akan pernah berakhir. Satu-satunya hal yg aku sesali adalah karena lari dari pertempuran. Aku terlalu takut untuk bertempur dan setidaknya mati secara terhormat. Bahkan aku menyaksikan ayahku sendiri tewas dihadapanku. Lalu aku pergi ke semeru ini berharap agar menjadi lebih kuat. Semenjak saat itu aku seperti kehilangan semangat hidup, aku hanya menginginkan kekuatan agar jadi lebih kuat. Aku hanya peduli pada diriku sendiri. Hingga akhirnya kau datang. Aku merasa kembali hidup.”
“apa kamu yakin bisa mengalahkan mereka?”
“aku akan mencoba”
“kenapa kita tidak kabur saja? Kita bisa hidup berdua di tempat lain. Kau bisa jadi petani dan aku akan menjual hasil panen di pasar. Kita menikah lalu Mempunyai anak dan bersama hingga maut memisahkan kita.” Ucap dewi kumala lirih.
“tidak, kita harus akhiri ini sekarang. Jika kita kabur, mereka akan terus mengejar kita dan kita akan terus hidup dalam bayang-bayang ketakutan. ” jawab jayanegara sambil berdiri.
Mereka kembali ke pondok untuk tidur, namun tak ada satupun dari mereka yg bisa.
Matahari telah terbit dan jayanegara telah bersiap dengan baju perangnya. Pedangnya telah ia asah dan panah telah ia siapkan.
“tinggallah di pondok ini sementara waktu, aku akan mengalihkan mereka ke dalam hutan. Disini terlalu terbuka untuk melakukan peperangan.” Ucap jayanegara.
“tidak, aku ikut bersamamu. Aku takut kau tidak akan kembali.”
“jangan. Terlalu berbahaya. Percayalah aku pasti kembali.”
(BAKSOUND: PASTO-AKU PASTI KEMBALI)
“mereka datang. Baiklah aku berangkat” sambung jayanegara sambil naik ke atas pawana.
Walaupun jarak mereka masih jauh tapi jayanegara mampu mendengarnya.
500meter...400... 300..200...100, di depan. Jayanegara memacu kudanya. Dari derap kudanya dia dapat menghitung musuhnya berjumlah 10 orang. Mereka muncul, tepat seperti perkiraan jayanegara. Mereka berjumlah 10 orang, tapi kini menjadi 9 orang karena satu orang telah jatuh dipanah jayanegara.
“tangkaapp diaa...” teriak seseorang yg mungkin pemimpinnya.
            Jayanegara memacu pawana  menjauhi pondok. Dia merubah duduknya hingga menghadap kebelakang dan berhasil  memanah satu orang lagi. 8 orang lagi. Kini mereka telah jauh berada di dalam hutan. Jayanegara  melompat dari kudanya dan membiarkan pawana melaju hingga hilang dari pandangan. Dia lalu bersembunyi disalah satu semak-semak. Sesaat kemudian,mereka muncul. Jayanegara tetap diam hingga pengejar terakhir muncul dia segera melompat menuju musuh dan berhasil menjatuhkan lawannya. Dengan sekali tebasan musuh tersebut sukses kehilangan kepalanya. Penyerang lainnya yg berada dihadapan kawannya yg telah mati segera sadar dan memberi tau temannya.
“dia dibelakang” teriaknya.
           Namun itu menjadi kata-kata terakhirnya karena setelah itu sebuah panah menancap ditenggorokannya. Lawannya yg lain berbalik arah dan membentuk barisan lurus. 2 orang yg paling depan segera membidikkan panah mereka kearah jayanegara. Jayanegara segera berlindung dibelakang tubuh orang yg ia panah tenggorokannya sambil terus merangsek maju. Panah hanya menghujam tubuh mayat itu.  Saat mereka bersiap memanah kembali jayanegara berguling ke depan. Panah hanya lewat diatas kepala jayanegara. Jayanegara langsung menyabetkan  pedangnya ke kaki kuda seorang pemanah. Kuda tersebut terperosok dan menjatuhkan penunggangnya, disaat itu jayanegara langsung menghujamkan pedangnya ke dada si penunggang. Penunggang berubah nama menjadi mayat. Pemanah yg masih hidup kembali mencoba memanah, namun dia kalah cepat dengan jayanegara. Jayanegara melempar pedangnya hingga tepat menancap diantara kedua mata pemanah tersebut.
Tiga orang temannya yg hanya menyaksikan dari tadi segera turun dari kudanya dan menghunus pedangnya, lalu mengelilingi jayanegara.
“tiga lawan satu? Ho ayolahh.. ini tidak adil” ucap jayanegara.
               Jayanegara mencabut pedangnya dan bersiap. Serangan pertama datang dari kanan. Prajurit itu mengayunkan pedangnya kearah leher jayanegara, jayanegara segera menangkisnya, tapi serangan kedua dari depan  segera menyusul, mengarah langsung ke perutnya, kali ini jayanegara memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri dan memukul punggung pedang lawan. Kalau jayanegara berhasil menghalau serangan pertama dan kedua tapi tidak dengan serangan ketiga. Serangan ketiga berhasil menyabet pinggangnya menembus baju perangnya. Darah sedikit keluar. Jayanegara dengan sigap berguling ke belakang  mengatur jarak. Dia kini memejamkan mata dan menajamkan pendengarannya. Dia merasakan angin dari sebelah kiri, dia mundur satu langkah dan memutarkan badannya lalu mengayunkan pedangnya, ketika dia membuka matanya kepala lawannya telah hilang. Jayanegara kembali mundur lalu dia bersiul. Tak lama kemudian datang pawana yg segera menyerang prajurit kedua dari belakang. Alhasil prajurit kedua langsung tewas dengan tengkorak remuk disepak kuda. Melihat kedua temannya mati prajurit ketiga kehilangan konsentrasi, dia menyerang dengan membabi buta. Kedua pedang mereka beradu, saling menangkis dan menyerang, hingga pada suatu kesempatan prajurit itu berhasil menggores lengan jayanegara dan menendang perutnya hingga terjatuh. Disaat prajurit itu akan menyudahi jayanegara, jayanegara segera mengambil tanah dan melemparkannya ke mata prajurit tersebut. Prajurit itu menutup matanya dan kesempatan yg sepersekian detik itu dimanfaatkan oleh jayanegara untuk menyerang. Dia berguling ke depan dan menusuk perut prajurit itu hingga tembus ke punggung. Prajurit itu menutup mata untuk selama-lamanya.
         Semua musuh telah tewas. Ini sudah berakhir. Tapi jayanegara merasa ada yg salah. Intuisinya yg tajam mengatakan ini belum berakhir. Benar, dia melakukan kesalahan. Dengan orang terakhir  yg dia bunuh tadi maka baru 9 orang yg telah tewas. Masih ada satu orang lagi. Terlambat, tepat saat jayanegara membalikkan badan satu panah menancap dipahanya. Dia berlutut dengan satu kaki. Penyerangnya yg merupakan komandan musuh keluar dari tempat persembunyiannya.
“sepertinya pertempuran tadi membuatmu lelah sehingga tidak menyadariku. Dimana dewi kumala? Serahkan kepada kami. ini titah raja. Kalau kau menyerahkannya maka kau akan mendapat imbalan.” Kata komandan pongah.
“bukan cinta lagi namanya kalau sudah diperjualbelikan” ucap jayanegara seraya bangkit dan menyerang musuh.
Pedang mereka beradu menimbulkan percikan api dan berdenting sangat keras. Mereka saling menyudutkan tapi tak ada yg mau mengalah. Saling mengincar kelemahan lawan. Kaki jayanegara yg luka membuat kecepatannya menurun. Mereka sudah bertarung sangat lama. Komandan musuh memfokuskan serangan ke bagian yg luka. Darah yg keluar dari luka panah semakin banyak. Membuat gerakan jayanegara menjadi lamban dan mudah dibaca hingga akhirnya pada satu kesempatan komandan musuh berhasil  menendang kaki jayanegara yg luka. Jayanegara mengerang kesakitan dan terduduk. Pedangnya berhasil dijatuhkan.
“ayolahh... aku harus membawa gadis itu agar diperbolehkan pulang. Jika tidak mendapatkannya aku akan dihukum mati.” Kata komandan.
“pertempuran bisa terjadi karena 2 pihak memperjuangkan sesuatu yg ia anggap benar. Jadi jika kamu mati setidaknya kamu mati terhormat” jawab jayanegara.
Jayanegara mencoba menggapai pedangnya namun pedang komandan musuh menancap ditelapak tangannya. Sekali lagi dia mengerang kesakitan. Komandan musuh mengeluarkan kerisnya dan menghunusnya ke arah jantung jayanegara lalu berkata,
“kata-kata terakhir?”
Jayanegara telah pasrah. Namun disaat terakhir dari balik semak-semak melompat seekor harimau kearah komandan musuh. Komandan musuh berteriak histeris minta tolong, tapi percuma. Harimau itu telah mengoyak tubuhnya dan menyeretnya kedalam rimba. Jayanegara merasa beruntung sekali.  Dia mencabut pedang dari telapak tangannya sambil menahan sakit, kemudian memanggil pawana dan segera pulang. Tapi dia merasa pusing sekali, seluruh persendiannya terasa lumpuh. Padahal lukanya tidak seberapa. Hanya ada satu kemungkinan, dia lalu mencabut panah dari pahanya, melihat ujung panah dan benar sesuai dugaannya. Namun dia harus kuat, dia telah berjanji untuk pulang. Ketika sampai di pondok dia terjatuh dari kuda. Kumala yg telah menunggunya segera berlari ke arahnya.
“jayanegara bertahanlah. Aku akan mengambilkan obat-obatan untukmu.”
“mereka telah tewas kumala. Kita menang. Namun aku terkena panah beracun. Aku kenal racun ini, ini racun mematikan yg tidak ada penawarnya. Racun dari daerah borneo”
“tidak... tidak mungkin, pasti ada yg bisa aku lakukan” kata kumala yg mulai menangis.
“tidak apa kumala, aku punya permintaan padamu. Bawa aku ke tanjakan yg waktu itu.”
Kumala kemudian memapah jayanegara mendaki tanjakan.
“aku pernah mendengar cerita dari saudagar arab ttg seorang pria bernama achilles yg meninggal pada saat perang troya hanya karena tumitnya terkena panah.” Kata jayanegara.
“sudahlah, jangan banyak bicara. Kau akan tetap hidup. Aku tak bisa hidup sendiri tanpamu.” Kumala terisak.
Mereka berhasil sampai ke ujung tanjakan tanpa melihat kebelakang. Lalu kumala mendudukkan jayengara.
“aku selalu merepotkanmu, tapi kamu tetap menolongku. Rela jalan kaki dan aku naik kuda, rela mencarikan kapas ketika aku bilang tempat tidurnya tidak nyaman, mau menemaniku memetik bunga, mengajariku memancing sementara tidak ada yg bisa kuberikan padamu.”  Air mata kumala mengalir begitu deras.
“kau memberiku hidup. Itu lebih dari cukup.” Jayanegara tersenyum untuk pertama kalinya semenjak kumala datang.
“aku tidak mau cinta kita berakhir seperti ini. jayanegara, kau percaya reinkarnasi?”
 “tidak, tapi aku percaya cinta yg tulus akan tetap abadi walau melewati berbagai zaman.” Setelah mengatakan itu jayanegara menutup matanya untuk selama-lamanya. Kumala memeluknya. Air matanya terus keluar tak percaya bahwa mereka dipisahkan seperti ini. satu-satunya alasan dia untuk hidup telah hilang. dia tak beranjak dari tempat itu, dia tak makan dan tak minum. Selama itu dia tetap menangis. Pada hari keempat kumala meninggal diakibatkan kesedihannya yg mendalam.
Waktu terus berlalu, selama itu tidak ada yg mendaki ke gunung semeru, hingga akhirnya pada tahun 1830 diadakan ekspedisi oleh belanda ke gunung semeru. Di tanjakan tersebut mereka menemukan 2 buah kerangka yg saling berpelukan. Kemudian mereka dimakamkan secara layak dikawasan semeru. Mulai dari situ maka dibuatlah mitos tentang “Tanjakan Cinta” yg populer dikalangan pendaki semeru hingga kini.
                                 EPILOG
Jalan menuju ranu kumbolo, semeru, 31 desember 2013,
“lo tau kan kalau gue malas banget mendaki gunung” kata seorang cewek dengan wajah cemberut.
“kumala... jangan gitu dong. Ini kan baru pertama kalinya lo mendaki, tunggu sampe lo liat pemandangan di ranu kumbolo. Satu lagi, kabarnya pemandu kita untuk kepuncak nanti adalah cowok ganteng yg udah terkenal sebagai pemandu di semeru ini.” Kata cewek di sebelahnya.
“aku tidak tertarik” jawab kumala ketus.
“makanya kamu sampai sekarang belum pernah punya pacar” temannya ngeledek.
Sesampainya mereka di ranu kumbolo.........
“lihat indah kan?” kata teman kumala.
“tunggu... danau ini rasanya aku sudah pernah kesini. Aku merasa sudah sangat kenal dengan danau ini” batin kumala.
“itu pemandu yg gue bilang ke lo kumala? Ganteng kan?”
        Ketika kumala melihat pemandu yg dimaksud dia terdiam. Agak jauh di hadapannya berdiri seorang   pemuda yg tengah menjelaskan tentang rute yg akan ditempuh menuju puncak. Ditelapak tangannya ada bekas luka melintang. Tepat pada saat yg sama, pemuda itu juga melihat kumala. Mata mereka bertatapan. Tiba-tiba kumala merasakan sakit kepala yg hebat, dia memegang kepalanya.
“kamu kenapa kumala? Kamu sakit, kalau sakit beristirahatlah ditenda. Sebentar lagi pendakian akan dilanjutkan  ke puncak. Kamu tunggu saja di tenda sampai aku kembali” kata temannya sambil memapah kumala ke tenda.
        Kumala berbaring dan berusaha mengingat wajah pemuda itu. Wajah yg tidak asing rasanya walaupun mereka belum pernah bertemu. Dan bekas luka itu...... ketika dia memejamkan mata bayangan-bayangan melintas di pikirannya. Majapahit. Kuda. Pengejar. Semeru. Badai pasir. Danau. Pondok. Tanjakan cinta. Pertempuran. Luka. Racun. JAYANEGARA! Ingatan masa lalunya kembali. Dia segera bergegas keluar tenda, rombongan kini sedang mendaki tanjakan cinta. Di depannya ada pemuda itu. Dia mengejarnya. Air mata mengalir dipipinya. Tepat diujung tanjakan kumala memegang tangan tersebut dan berkata,
“jayanegara?” dia tak kuasa menahan tangis.
Pemuda itu melihat wajah kumala lantas berkata,
“ya kumala. Ini aku..” suaranya masih tetap sama, datar dan tegas.
“apa kau menungguku selama ini? “
“iya... butuh 700 tahun untuk kita bertemu. Dan aku menemukanmu sekarang”
“terima kasih jayanegara.... terima kasih karena telah menungguku.”
kau percaya reinkarnasi?” tanya jayanegara.
“tidak, tapi aku percaya cinta yg tulus akan tetap abadi walau melewati berbagai zaman.”
Mereka berpelukan.
THE END.


1 komentar:

  1. Ini karyamu asli, Rey? Bagus dalam menyampaikan imajinasi sejarahnya. Jujur kalau mau konsisten menulis dengan tema-tema indigenous, mungkin lebih menarik. Bacanya sambil ngebayangin pas Jayanegara fight lawan banyak prajurit dan udah kayak film-film ala gending sriwijaya gitu. Pengulasan budaya jawanya agak kurang sih. Tapi so far so good ^^

    BalasHapus