Ditulis tahun 2013....
Genre: history, fantasi,
tragedi.
Hutan di gunung mahameru 2013,
SEMERU, gunung
tertinggi di pulau jawa dengan keindahan alamnya, bunga beraneka warna semerbak bermekaran, hutan
pinus dengan baunya yg khas, danau indah nan jernih yang sekarang dikenal
dengan nama danau ranu kumbolo seakan menjadi pelepas lelah, tebing-tebing yang
menjulang tinggi ibarat dinding pelindung, diseberangnya hamparan bukit pasir
yang luas membentang serta udara pegunungan yg bersih dan segar kian menambah
kesempurnaan gunung ini.
namun kisah
ini tidak terjadi di zaman sekarang melainkan sekitar 700 tahun kebelakang
disaat Indonesia belum ada, yang ada hanyalah kerajaan-kerajaan kecil yang
muncul silih berganti, peperangan antar kerajaan tak pernah usai, perebutan
kekuasaan dikalangan keluarga kerajaan menambah polemik yang tengah terjadi.
Pada zaman ini kerajaan singasari dengan raja terakhirnya kertanegara telah
musnah menyusul pemberontakan yang dilakukan keturunan raja kediri yaitu jayakatwang,
namun tak lama kemudian kediri mengalami nasib yang sama setelah dikalahkan
oleh raden wijaya dengan bantuan pasukan kerajaan mongol. Raden wijaya kemudian
mendirikan kerajaan majapahit setelah mengusir pasukan mongol dari jawadwipa.
hutan di gunung Semeru,
1298 Masehi.
Matahari
sudah mulai turun menuju peraduannya di ufuk barat, angin sepoi-sepoi berhembus
menggoyang dedaunan, namun hutan disebelah utara danau ranu kumbolo tetap tak
bergeming, seperti ada sebuah kekuatan Maha dahsyat yang membuat hutan ini
tetap tenang, suara raungan beberapa hewan buas terdengar dari kejauhan,
pohon-pohon pinus menjulang tinggi seakan menambah kesan angker hutan ini,
memang semenjak dahulu kala gunung semeru dianggap sebagai tempat paling mistis
di jawadwipa (pulau jawa), tempat bersemayam para dewa.
Tiba-tiba
entah darimana asalnya sebuah panah muncul membelah udara dan memecah kesunyian
hutan ini dengan bunyi desingannya,panah itu berhenti setelah mengenai sasaran
dan kini diujung panah tersebut telah tertancap seekor kelinci. dari arah
datangnya panah tersebut muncul seorang pemuda gagah berusia sekitar 25 tahun
sambil menenteng busur panah, dipunggungnya masih terdapat 4 buah anak panah
lainnya yang siap ditembakkan kapan saja, dari pakaian yang dipakainya jelaslah
kalau ia bukan orang sembarangan, mungkin dari keluarga bangsawan atau ksatria,
sulit membedakannya namun setiap orang yang menatap matanya pasti akan setuju
kalau pemuda ini pastilah sudah melewati hidup yang berat.
Pemuda itu kemudian berjalan menuju
buruannya yang sudah terkapar ditanah sambil menyeruak diantara semak-semak
yang rimbun menutupi hutan ini.dicabutnya anak panah pada kelinci tersebut dan
setelah dibersihkannya ia gabungkan kembali bersama 4 anak panah lainnya.
“maafkan aku sobat, tapi aku juga harus makan agar bisa
bertahan hidup” ujarnya. Suaranya berat namun menyiratkan ketegasan.
“suuuiiiitttt...... suuiiitttttt” pemuda itu bersiul, dari
kejauhan terdengar suara derap kaki kuda yang lama kelamaan makin dekat. Kini
dihadapan pemuda itu telah berdiri dengan gagah seekor kuda jantan bewarna
putih. Pemuda itu yang ternyata bernama jayanegara kemudian melompat ke
punggung kuda tersebut dan memacunya meninggalkan hutan menuju danau ranu
kumbolo. Ia hanya sendiri, tak terlihat pengawal atau orang lain yang
bersamanya dan jika dilihat dari caranya yang lihai dalam mengendarai kuda
melewati hutan, sepertinya ia sudah tinggal cukup lama di gunung Mahameru
sehingga tau mana jalur yg cukup aman untuk dilewati.
Di tepi danau tersebut di dekat sebuah
tanjakan, terlihat sebuah rumah atau lebih tepat disebut sebagai pondok. Disana
ia berhenti dan menambatkan kudanya. Pondok itu jika tidak bisa dibilang jelek
maka cukuplah sederhana kata yg tepat untuk menggambarkannya, pondoknya sangat
kecil, dengan atap dari dedaunan dan ijuk kelapa, dinding dari kayu seadanya yg
bisa ditemukan di sekitar danau, sangat jauh dari kata layak. Di sebelah pondok
terdapat ladang jagung yang siap dipanen. Jayanegara masuk dan menggantungkan
panahnya di dinding di dekat pedang dengan ukiran relif naga yg menghiasi
sarung pedangnya.
Sinar
matahari senja benar-benar indah sore ini.cahaya orangennya memantul di
permukaan danau ranu kumbolo, memancarkan keindahan tersendiri yg sulit
diungkapkan. kini jayanegara telah duduk di depan api unggun yang ia gunakan
untuk memanggang kelinci hasil buruannya, kelinci tersebut telah berpindah dari
atas api ke genggaman tangannya. suhu dingin wilayah sekitar ranu kumbolo
membuat daging kelinci itu tak perlu menunggu waktu lama untuk dimakan, alam
telah mendinginkannya secara alami. Hal itu wajar saja karena ranu kumbolo
terletak sekitar 2400 m dari permukaan laut yang suhunya pada malam hari bisa
mencapai 9 derajat celcius, belum lagi suhu di puncaknya.
“terima kasih atas makanannya” ucap jayanegara.
“pawana, habiskan rumputmu. Kita tidak akan pernah tau apa
yang akan terjadi” sambungnya sambil melihat ke arah kuda putihnya. Pawana,
demikian nama kuda itu, meringkik pelan lalu kembali memakan makanannya.
Matahari kini
telah benar-benar hilang digantikan bulan purnama. Langit sangat cerah malam
ini, bintang-bintang terlihat jelas, angin sepoi-sepoi berhembus dan di
kejauhan terdengar beberapa suara hewan malam. Kini jayanegara telah duduk di
sebuah gundukan kecil yang agak tinggi dari tanah sekitarnya menyerupai bukit
kecil dan bersandar pada sebuah pohon besar. Ditangannya tergenggam seruling
kecil dari bambu, ia meniupnya dan memainkan alunan melodi indah yang
menentramkan hati, iramanya sangat menyayat hati bagi siapapun yang mendengar,
seperti menggambarkan perasaan pemainnya, seolah-olah menggambarkan perjalanan
panjang penuh rintangan namun diujung perjalanan bertemu dengan oase nan subur.
Jayanegara memainkannya dengan kesungguhan hati, walaupun sorot matanya tetap
sama, sayu. Namun alisnya yg tajam seakan mengisyaratkan kalau ia punya tekad
yang kuat hingga mampu bertahan selama ini.
Angin yang tadi
berhembus sepoi-sepoi perlahan lenyap, dedaunan berhenti bergoyang, riak danau
mulai hilang dan suara hewan malam pun mendadak senyap seperti larut dalam
irama sendu yang keluar dari seruling jayanegara, ikut memahami kesedihan sang
pemain hidup sendirian di alam liar selama ini, Jayanegara, serigala
penyendiri. Bahkan pawana kini ikut meringkuk di samping tuannya.
(BACKSOUND: KITARO-SILK ROAD)
Matahari pagi
bersinar terang membangunkan jayanegara dari tidurnya, setelah mandi dan
berpakaian ia mengambil pedangnya yang tergantung di dinding pondok dan
membawanya keluar. awalnya jayanegara hanya melakukan latihan pernafasan
berulang kali, menyesuaikan irama pernafasannya dengan angin, menyatukan
dirinya dengan alam. Lalu ia mengambil ancang-ancang, kedua kakinya sedikit
ditekuk membentuk kuda-kuda,dan dalam satu tarikan nafas ia mengeluarkan
pedangnya dari sarung dengan kecepatan yg sulit diikuti mata dan menyabetkannya
di udara, pedangnya seolah memotong udara,
gerakan tersebut dilakukannya berulang kali dengan kecepatan yang luar
biasa, entah berapa kali sudah ia lakukan, 800?900? atau 1000 kali? jayanegara
terus melakukannya hingga tangannya benar-benar pegal dan tidak sanggup lagi
untuk diangkat.
Setelah
dirasa cukup ia pun berhenti dan menuju pohon di bukit kecil dekat pondokannya.
Jayanegara berbaring dengan kedua tangannya direntangkan, memandang langit nan
biru, merasakan semilir angin melewatinya. Kemudian ia memejamkan mata,
merasakan bumi dengan kulitnya, mendengar suara-suara alam, melihat dengan mata
yg lain, mata batinnya. Lama jayanegara hanya berdiam seperti itu. Lalu setelah
tangannya agak bertenaga lagi ia duduk dan mengeluarkan serulingnya. Kembali ia
lantunkan instrumen yg biasa ia mainkan, tenang dan mengalir lembut merasuki
jiwa, membuat kekuatannya kembali.
Matahari mulai
tergelincir ketika jayanegara bangun dari tidur siangnya, ia segera menuju pondok dan mengambil
peralatan memancing, lalu duduk di tepi danau berharap agar ada yg memakan
umpannya supaya ia tak kelaparan hari ini.
Hari telah
benar-benar sore ketika jayanegara sedang memanjat tebing untuk mengumpulkan
rempah-rempah guna dijadikan bumbu dan obat-obatan. Ketika ia melihat ke arah
selatan, ke hamparan gurun pasir, jayanegara melihat badai pasir sangat besar
sedang melanda wilayah tersebut. Setidaknya ini badai pasir paling besar yg pernah ia lihat selama
tinggal di pegunungan ini.
Setelah selesai
mengumpulkan tanaman yg ia butuhkan jayanegara turun menuju pondok. Hari telah
malam ketika ia sampai. Malam begitu gelap dan angin sangat kencang.
Berdasarkan pengalamannya selama ini, hujan badai akan datang sebentar lagi.
Benar saja, ketika ia telah memasukkan pawana ke kandangnya hujan lebat segera
turun, disusl kilat dan petir tak henti-hentinya. Langit seakan mau runtuh dan
mengeluarkan semua isinya. Jayanegara hanya bisa meringkuk di pondoknya sambil
berharap pondoknya tak hancur diterjang badai.
Matahari pagi
menembus masuk ke pondok membangunkan jayanegara. Setelah badai semalam ia
merasa beruntung karena pondoknya tak terbawa angin seperti yg dialaminya
beberapa bulan lalu. Setidaknya ia tak perlu bersusah payah membangunnya
kembali.
Jayanegara baru
bersiap latihan pedang ketika dia mendengar suara dari arah berlawanan. Hidup
lama di alam liar membuat telinganya terlatih mendengar suara sekecil apapun
walaupun dalam jarak yg lumayan jauh. Ia segera merubah arah badannya searah
dengan datangnya suara lalu mengambil ancang-ancang utk menyerang. Suaranya
makin dekat walaupun bergerak perlahan. 125 meter... 100 meter.... 75 meter...
50 meter.... 25 meter... dan dia tepat dihadapan jayanegara. Semak-semak
dihadapan jayanegara bergerak, tangan jayanegara mengeras bersiap menghunus
pedangnya, pedangnya telah keluar sebagian namun disaat terakhir ia
menghentikannya dan memasukkan kembali pedangnya ke dalam sarung (sarung
pedang) ketika ia menyadari bahwa yg muncul bukan musuh. Dihadapannya kini
berdiri seorang gadis, mungkin umurnya sekitar 21 tahun yg berjalan denga
gontai kearahnya. Wajahnya kusam dan penuh debu, namun mata dan garis wajahnya
tidak dapat menyembunyikan kalau ia adalah wanita yg sangat cantik. Pakaiannya
menyiratkan bahwa ia dari golongan bangsawan, dengan kain sutra halus yg
sepertinya diimpor dari Cina, gelang emas
dan kalung khas keluarga kerajaan menghiasi lehernya. gadis itu berjalan
tertatih menuju jayanegara namun tak sampai bebeapa lagkah dia pingsan tapi
jayanegara telah siap menyambutnya. Jayanegara segera membawanya ke pondok dan
membaringkannya di tempat yg ia sebut dipan. Ia menaruh tangannya dikening
gadis tersebut. Panas. Sangat panas. gadis ini terserang demam hebat.
Jayanegara mengompresnya dengan kain basah. Lalu ia mengambil rempah-rempah dan
segera meramunya untuk dijadikan obat.
Selama beberapa hari gadis itu tetap belum
sadar dan selama itu pula jayanegara selalu merawatnya, setiap hari ia
memasukkan ramuan obatnya ke mulut gadis tersebut, melap wajahnya dan menunda
kegiatan berburunya dengan hanya memakan jagung yg telah dipanen.
Akhirnya pada suatu pagi gadis itu sadar dan kata yg pertama
kali terlontar dari mulutnya adalah,
“dimana aku?”. Dia kemudian duduk, di sampingnya tak ada
seorangpun. Dia mendapati dirinya di sebuah pondok kumuh. Dia mencoba mengingat
apa yg telah terjadi, namun kepalanya terasa sangat sakit. Lalu dia mencoba
berdiri walaupun dengan susah payah dan berjalan keluar. Diluar dia terkejut
melihat seorang pemuda yang sedang menenteng karung berisi rumput menuju
kearahnya. Ketka jayanegara melihat si gadis berdiri dihadapannya dia berhenti
dan menurunkan karungnya.
“syukurlah kamu sudah sadar” ucap jayanegara datar.
“siapa kamu? Dan kenapa aku bisa ada disini?” Jawab si gadis.
“justru aku yg harus bertanya, apa yg membuatmu cukup berani
hingga sampai di gunung mahameru?”
“mahameru?” mendengar kata mahameru ini kepala gadis itu
terasa sakit, lalu bayangan-bayangan melintas di kepala gadis tersebut,
ingatannya kembali! Dia terduduk.
“sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri?” sambung sang
gadis.
“4 hari, dan selama itu kamu terus menggigau”
“apa ada orang yg datang ke sini setelah aku?”
“tidak ada. Apa sekarang kamu bisa menceritakan alasan kenapa
kamu bisa berada disini?”
“tidak. Aku tidak bisa menceritakannya kepada orang yg belum
kupercaya.” Jawab gadis itu ketus.
“hoho, jawaban yg cukup kejam. apalagi diucapkan kepada orang
yg telah menyelamatkanmu. Sejujurnya aku tidak begitu peduli dengan masa
lalumu, aku hanya ingin tau kamu ini ancaman atau bukan. Kalau kamu sudah
merasa sehat silahkan pergi.” jawab jayanegara santai.
“tunggu, biarkan aku tinggal disini. Akan aku ceritakan alasan
aku berada disini. Aku benar-benar membutuhkan pertolonganmu.” Sergah si gadis.
“mulailah bercerita” kata jayanegara sambil duduk disamping
gadis itu menghadap ke danau.
“namaku dewi kumala, aku berasal dari majapahit. Karena
melakukan suatu kesalahan besar aku harus melarikan diri meninggalkan
majapahit. Namun upaya ku untuk melarikan diri tidak semulus itu. Aku dikejar
oleh prajurit kerajaan. Mereka ada banyak. Aku beruntung karena kuda yg
kutunggangi sangat cepat. Aku terus memacu kudaku menjauhi majapahit hingga
akhirnya aku sampai di kaki gunung Mahameru ini. aku mendengar kabar bahwa
gunung ini sangat keramat, tidak seorangpun yg berani mendaki kepuncaknya. Tapi
aku tak punya pilihan lain. Lalu aku turun dari kuda dan memukul kudaku agar
terus berlari ke arah yg berlawanan dari mahameru. Aku harap itu bisa mengecoh
mereka beberapa hari. Namun belum cukup sampai disitu, seakan para dewa marah
akibat aku masuk tempat keramat, tiba-tiba badai pasir mucul. Aku berjuang
sekuat tenaga melewatinya karena untuk kembali lagi sudah tidak mungkin.
Walaupun aku sudah menutup wajahku dengan selempang tapi debu tetap masuk ke
mata, mulut, telinga dan hidungku. Aku kesulitan bernafas. Rasa letih dan lelah
akibat perjalanan membuatku linglung. Kuputuskan untuk tidak menyerah. Aku
harus tetap hidup. Hingga akhirnya aku selamat dan ditolong olehmu. Jadi
kumohon izinkan aku tinggal bersamamu. Aku tidak punya sanak saudara lagi
diluar sana.” Ucapnya mengakhiri cerita.
“dia melewati badai pasir sendirian” batin jayanegara.
Lama jayanegara terdiam, lalu dia
berkata,
“baikah. Tapi jangan harap kamu akan hidup nyaman. Kamu harus
bekerja”
“terima kasih....... hmmm, kalau boleh tau siapa namamu?”
“apa pentingnya namaku buatmu?”
“aku hanya malas memanggilmu dengan sebutan “pemuda” setiap saat.”
“namaku jayanegara”
“ rasanya aku pernah mendengarnya di suatu tempat” batin dewi
kumala.
“kalau begitu kau bisa mulai pekerjaan pertamamu dengan
memanen jagung-jagung itu. Aku belum sempat memanen semuanya karena merawatmu”
“apa? Langsung disuruh kerja?” dewi kumala tak terima.
“lalu apa? Kau pikir aku akan membiarkanmu berbaring
seharian?”
“issshhh... apa sifatmu memang selalu dingin seperti ini?
pantas saja kamu hidup sendirian” ucap kumala sambl berlalu pergi menuju ladang
jagung.
“kamu tidak tau apa-apa tentangku” kata jayanegara ketika dewi
kumala telah berlalu. Ia lalu mengambil karung rumput dan membawanya menuju
kandang pawana.
Mereka berduapun sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
Hampir tengah hari ketika dewi kumala datang menemui jayanegara.
“aku ingin mandi, badanku sudah gerah dan dekil” kata dewi
kumala.
“Lalu apa? Apa kau ingin aku menemanimu?” jawab jayanegara
sinis.
“bukan begitu, mesum. Setidaknya kau bisa menunjukkanku tempat
yg tertutup dan aman dari binatang buas.”
“kau bisa pergi sedikit ke ujung sana. Disana lumayan rimbun
dan pemandangannya indah. Jika kau beruntung kau hanya akan bertemu dengan
beberapa ekor tupai dan katak yg akan
mengintipmu” jayanegara menunjuk ke tempat yg dimaksud.
“ku harap kataknya tidak beracun” kata dewi kumala sambil
beranjak pergi.
Dewi kumala sampai ke tempat yg dikatakan jayanegara.
Jayanegara benar, tempat itu sangat indah dengan tebing-tebing tinggi yang
melindunginya, ladang bunga di sebelah timur, pepohonan pinus dan puncak gunung
yg terlihat menawan dari sini. Dewi kumala segera melepaskan pakaiannya dan
turun ke air. Dingin dan menyegarkan. sudah lama sekali rasanya ia tidak
menyentuh air. Dewi kumala membersihkan kotoran disekujur tubuhnya. Danau yg jernih membuat Ia bisa melihat dasar danau. Di pepohonan
terlihat burung berwarna biru yg ia tak
tahu namanya. Burung itu berkicau atau lebih tepatnya terdengar seperti
menyanyi. Tak lama kemudian teman burung itu datang. Mereka saling sahut
menyahut membentuk irama. Ditambah suara katak dan riak danau, makin membuat
danau ini jadi sempurna. Tiba-tiba ia mendengar suara gemerisik dari pohon
dibelakangnya, ketika dewi kumala menoleh ke belakang ia
terpekik...............
“KYAAAAAAAAA..............”
Jayanegara yg mendengar suara teriakan dewi kumala segera
berkata,
“uppssss.... sepertinya aku lupa memberi tahunya kalau disana
juga tempat favorit kera untuk minum” kata jayanegara tanpa rasa bersalah.
Tak beberapa lama kemudian, dewi kumala datang. Kini dia telah menjelma dari gadis kumuh
menjadi gadis cantik. Jayanegara yg melihatnya terpana.
“apa kamu sengaja tidak memberitahuku mengenai kera-kera itu?”
tanya dewi kumala menyadarkan jayanegara.
“aku ingin pergi berburu, jika kamu terlalu lapar makanlah
jagung sambil menunggu aku kembali” jayanegara mengalihkan pembicaraan.
“seumur hidup aku belum pernah makan jagung. jagung hanyalah
makanan untuk kelas bawah. Aku ingin daging. Lagi pula aku tidak akan tinggal
disini sendirian. Pengejar itu bisa datang kapan saja, belum lagi binatang buas
yg bisa memangsaku setiap saat. Kumohon bawa aku” pinta kumala.
“Tapi aku tidak mau menyiksa pawana dengan beban 2 orang”
“kalau begitu kamu bisa jalan kaki”
“apa? Kupikir perjalanan panjang bisa merubah sikap manja anak
bangsawanmu, ternyata tidak.” Balas jayanegara sambil menggelengkan kepala.
Setelah mengambil busur dan mengisi kendi air mereka berdua berangkat.
Jayanegara berjalan kaki sambil memegang tali kekang pawana. Dewi kumala
bernyanyi di sepanjang perjalanan.
Sesampainya di hutan jayanegara menambatkan kudanya. Mereka
melanjutkan perburuan dengan berjalan kaki.
“hutan yg gelap. Apa disini ada babi hutan?” tanya dewi
kumala.
“tidak, tapi disini ada harimau.”
“itu lebih buruk tau...”
“ssttt... suaramu bisa membuat buruan kita lari” cegah
jayanegara.
Selang beberapa lama kemudian mereka melihat kelinci. disaat
jayanegara sudah bersiap memanah, “kreek”. Kumala menginjak ranting patah dan
sukses membuat kelinci itu kabur.
“terima kasih” sindir jayanegara.
“uppsss.. maaf”
Tak lama kemudian buruan yg lain datang. Mereka melihat seekor
burung yg terbang lalu hinggap disebuah pohon. Disaat jayanegara hendak
memanahnya dewi kumala mencegahnya. Ternyata burung itu membawa cacing
diparuhnya untuk diberikan pada anak-anaknya.
“aku mau makan jagung saja” kata dewi kumala. Merekapun
kembali.
Malamnya mereka duduk di bukit kecil. Jayanegara mengeluarkan
serulingnya dan memainkan lagi favoritnya. Dewi kumala mendengarkannya.
(BACKSOUND: KITARO-SILK ROAD)
“apa kamu yg membuat lagu itu?” tanya kumala begitu lagunya
berakhir.
“ya, begitulah.”
“Sangat indah sekaligus menyayat hati. Alampun terdiam
mendengarkannya. Oh ya, mengenai harimau
tadi apa kamu pernah melihatnya?”
“pernah satu kali, ketika aku mengambil air di sungai saat
berburu”
“benarkah? Apa dia menyerangmu?”
“tidak, sepertinya dia tidak melihatku sebagai ancaman. Aku
rasa harimau itu bukan harimau sembarangan, mungkin dia yg menjaga gunung ini.
selama kita tidak membuat onar di gunung ini maka kita akan aman.”
Mereka berdua lalu diam dan memandang ke langit. Bulan terlihat
lebih besar. Mungkin karena mereka berada di tempat yg tinggi maka bulan
terlihat seperti itu. Hampir tak ada satu ruang kosong dilangit yg tanpa
bintang.
“aku ingin selamanya begini, hidup denganmu di gunung ini
hingga kita tua dan aku akan merasa aman karena kamu selalu melindungiku” Dewi
kumala merebahkan kepalanya di pundak jayanegara. Begitulah percakapan malam
itu berakhir.
Keesokan harinya sebelum matahari terbit jayanegara membangunkan dewi kumala. Dewi
kumala segera berdiri dan mengambil sikap siaga,
“ada apa? Apa mereka datang?”
“tidak, aku ingin membawamu ke suatu tempat.”
Jayanegara menggandeng tangan dew kumala. Mereka berjalan
menjauhi danau menuju puncak, hingga tiba disebuah tanjakan jayanegara berkata
sambil tetap berjalan,
“jika kamu bisa sampai diujung
tanjakan ini tanpa melihat kebelakang maka kamu akan bisa bersama orang
yang kamu cintai dan cintamu tidak akan bisa dipisahkan.”
“benarkah? Siapa yg mengatakannya?” tanya dewi kumala heran.
“aku. Aku yang mengarangnya dan aku harap akan menjadi
kenyataan”
“kalau begitu aku tidak akan melihat kebelakang”
Mereka berhasil melewatinya tanpa melihat kebelakang. Setelah
sampai dipuncak tanjakan mereka jalan
beberapa ratus meter lagi hingga tiba di tepi jurang. Jayanegara berhenti dan berkata,
“lihatlah keagungan tuhan. Telu... loro... siji.......”
Matahari pelan-pelan muncul dari balik gunung dan awan terasa
di bawah mata kita. Bagaikan mengawang di atas gunung.
“aku ingin waktu berhenti sekarang juga. Aku takut kita tidak
bisa seperti ini lagi” kata dewi kumala lirih.
Paginya mereka beraktifitas seperti biasa, dewi kumala sudah
tidak terlalu manja lagi. Jayanegara berlatih pedang, dewi kumala membersihkan
pondok. Setelah itu mereka pergi memancing, dewi kumala mendorong jayanegara
hingga tercebur ke danau, lalu mereka memberi makan pawana dilanjutkan dengan
memetik bunga untuk ditanam di dekat pondok, setelah itu mereka duduk di bukit
sambil mendengarkan alunan musik dari seruling jayanegara.
Menjelang sore jayanegara berkata,
“kau mau ikut mengambil rempah-rempah ke tebing sana?” ajak
jayanegara.
“baiklah.”
Mereka mendaki tebing yg terjal. Akhirnya mereka sampai ke
tempat yg dituju. Ketika jayanegara mengumpulkan rempah-rempah, dia melihat ke
arah gurun pasir lalu dia berkata kepada dewi kumala,
“sepertinya kita harus turun.”
“kenapa?” tanya kumala.
“itu.... mereka datang!” jawab jayanegara datar sambil
menunjuk kearah gurun pasir.
Di gurun pasir telah berdiri beberapa tenda.
“kenapa mereka berkemah disana?” tanya kumala.
“kurasa mereka terlalu lelah untuk mendaki keatas. Tapi
menurut perkiraanku, mereka akan tiba paling lambat besok pagi di pondok kita.”
Malamnya mereka berdua duduk dibukit dalam diam. Tidak ada yg
mau berbicara. Hingga akhirnya hening dipecahkan oleh dewi kumala,
“aku menyukaimu” katanya sambil memandang wajah jayanegara.
“kenapa kamu menyukaiku? Padahal kita baru bertemu”
“apa cinta butuh alasan?” dewi kumala menanya balik.
“huh, kamu memang pintar memainkan kata-kata”
“satu hal lagi, sebenarnya belum semuanya aku ceritakan
padamu. Alasan aku kabur adalah karena
ayahku raden wijaya memaksaku menikah dengan seorang pangeran dari cina untuk
memperbaiki hubungan kerajaan kami. Padahal aku tidak menyukainya. Benar. Aku
adalah putri dari kerajaan majapahit. Putri dari raden wijaya. Aku sudah
mengatakan semuanya padamu. Maukah kamu menceritakan asal usulmu hingga tiba di
semeru ini? ” ujar dewi kumala terus terang.
Jayanegara menghela nafas, kemudian berkata,
“aku anak jayakatwang, orang yang dibunuh ayahmu.”
“APA? Pantas aku rasanya pernah mendengar namamu. Lalu... apa
kamu akan membunuhku untuk membalaskan dendam ayahmu?” dewi kumala tersontak
kaget.
“bodoh, mana mungkin aku menyakiti gadis yg aku cinta? Balas
dendam hanya akan melahirkan balas dendam yg baru. Ayahku pun dahulu membunuh
kertanegara karena balas dendam atas terbunuhnya tunggul ametung di kediri di
masa lalu. Lalu ayahmu membalas dendam atas kematian kertanegara. Lihat? Jika
diteruskan tidak akan pernah usai. Ibarat lingkaran setan yg tak akan pernah
berakhir. Satu-satunya hal yg aku sesali adalah karena lari dari pertempuran.
Aku terlalu takut untuk bertempur dan setidaknya mati secara terhormat. Bahkan
aku menyaksikan ayahku sendiri tewas dihadapanku. Lalu aku pergi ke semeru ini
berharap agar menjadi lebih kuat. Semenjak saat itu aku seperti kehilangan
semangat hidup, aku hanya menginginkan kekuatan agar jadi lebih kuat. Aku hanya
peduli pada diriku sendiri. Hingga akhirnya kau datang. Aku merasa kembali
hidup.”
“apa kamu yakin bisa mengalahkan mereka?”
“aku akan mencoba”
“kenapa kita tidak kabur saja? Kita bisa hidup berdua di
tempat lain. Kau bisa jadi petani dan aku akan menjual hasil panen di pasar.
Kita menikah lalu Mempunyai anak dan bersama hingga maut memisahkan kita.” Ucap
dewi kumala lirih.
“tidak, kita harus akhiri ini sekarang. Jika kita kabur,
mereka akan terus mengejar kita dan kita akan terus hidup dalam bayang-bayang
ketakutan. ” jawab jayanegara sambil berdiri.
Mereka kembali ke pondok untuk tidur, namun tak ada satupun
dari mereka yg bisa.
Matahari telah terbit dan jayanegara telah bersiap dengan baju
perangnya. Pedangnya telah ia asah dan panah telah ia siapkan.
“tinggallah di pondok ini sementara waktu, aku akan mengalihkan
mereka ke dalam hutan. Disini terlalu terbuka untuk melakukan peperangan.” Ucap
jayanegara.
“tidak, aku ikut bersamamu. Aku takut kau tidak akan kembali.”
“jangan. Terlalu berbahaya. Percayalah aku pasti kembali.”
(BAKSOUND: PASTO-AKU PASTI KEMBALI)
“mereka datang. Baiklah aku berangkat” sambung jayanegara
sambil naik ke atas pawana.
Walaupun jarak mereka masih jauh tapi jayanegara mampu
mendengarnya.
500meter...400... 300..200...100, di depan. Jayanegara memacu
kudanya. Dari derap kudanya dia dapat menghitung musuhnya berjumlah 10 orang.
Mereka muncul, tepat seperti perkiraan jayanegara. Mereka berjumlah 10 orang,
tapi kini menjadi 9 orang karena satu orang telah jatuh dipanah jayanegara.
“tangkaapp diaa...” teriak seseorang yg mungkin pemimpinnya.
Jayanegara
memacu pawana menjauhi pondok. Dia
merubah duduknya hingga menghadap kebelakang dan berhasil memanah satu orang lagi. 8 orang lagi. Kini
mereka telah jauh berada di dalam hutan. Jayanegara melompat dari kudanya dan membiarkan pawana
melaju hingga hilang dari pandangan. Dia lalu bersembunyi disalah satu semak-semak.
Sesaat kemudian,mereka muncul. Jayanegara tetap diam hingga pengejar terakhir
muncul dia segera melompat menuju musuh dan berhasil menjatuhkan lawannya.
Dengan sekali tebasan musuh tersebut sukses kehilangan kepalanya. Penyerang
lainnya yg berada dihadapan kawannya yg telah mati segera sadar dan memberi tau
temannya.
“dia dibelakang” teriaknya.
Namun itu
menjadi kata-kata terakhirnya karena setelah itu sebuah panah menancap
ditenggorokannya. Lawannya yg lain berbalik arah dan membentuk barisan lurus. 2
orang yg paling depan segera membidikkan panah mereka kearah jayanegara.
Jayanegara segera berlindung dibelakang tubuh orang yg ia panah tenggorokannya
sambil terus merangsek maju. Panah hanya menghujam tubuh mayat itu. Saat mereka bersiap memanah kembali
jayanegara berguling ke depan. Panah hanya lewat diatas kepala jayanegara.
Jayanegara langsung menyabetkan
pedangnya ke kaki kuda seorang pemanah. Kuda tersebut terperosok dan
menjatuhkan penunggangnya, disaat itu jayanegara langsung menghujamkan
pedangnya ke dada si penunggang. Penunggang berubah nama menjadi mayat. Pemanah
yg masih hidup kembali mencoba memanah, namun dia kalah cepat dengan
jayanegara. Jayanegara melempar pedangnya hingga tepat menancap diantara kedua
mata pemanah tersebut.
Tiga orang temannya yg hanya menyaksikan dari tadi segera
turun dari kudanya dan menghunus pedangnya, lalu mengelilingi jayanegara.
“tiga lawan satu? Ho ayolahh.. ini tidak adil” ucap
jayanegara.
Jayanegara mencabut pedangnya dan bersiap.
Serangan pertama datang dari kanan. Prajurit itu mengayunkan pedangnya kearah
leher jayanegara, jayanegara segera menangkisnya, tapi serangan kedua dari
depan segera menyusul, mengarah langsung
ke perutnya, kali ini jayanegara memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri dan memukul
punggung pedang lawan. Kalau jayanegara berhasil menghalau serangan pertama dan
kedua tapi tidak dengan serangan ketiga. Serangan ketiga berhasil menyabet
pinggangnya menembus baju perangnya. Darah sedikit keluar. Jayanegara dengan sigap
berguling ke belakang mengatur jarak.
Dia kini memejamkan mata dan menajamkan pendengarannya. Dia merasakan angin
dari sebelah kiri, dia mundur satu langkah dan memutarkan badannya lalu
mengayunkan pedangnya, ketika dia membuka matanya kepala lawannya telah hilang.
Jayanegara kembali mundur lalu dia bersiul. Tak lama kemudian datang pawana yg
segera menyerang prajurit kedua dari belakang. Alhasil prajurit kedua langsung
tewas dengan tengkorak remuk disepak kuda. Melihat kedua temannya mati prajurit
ketiga kehilangan konsentrasi, dia menyerang dengan membabi buta. Kedua pedang
mereka beradu, saling menangkis dan menyerang, hingga pada suatu kesempatan
prajurit itu berhasil menggores lengan jayanegara dan menendang perutnya hingga
terjatuh. Disaat prajurit itu akan menyudahi jayanegara, jayanegara segera
mengambil tanah dan melemparkannya ke mata prajurit tersebut. Prajurit itu
menutup matanya dan kesempatan yg sepersekian detik itu dimanfaatkan oleh
jayanegara untuk menyerang. Dia berguling ke depan dan menusuk perut prajurit
itu hingga tembus ke punggung. Prajurit itu menutup mata untuk selama-lamanya.
Semua musuh
telah tewas. Ini sudah berakhir. Tapi jayanegara merasa ada yg salah.
Intuisinya yg tajam mengatakan ini belum berakhir. Benar, dia melakukan
kesalahan. Dengan orang terakhir yg dia
bunuh tadi maka baru 9 orang yg telah tewas. Masih ada satu orang lagi.
Terlambat, tepat saat jayanegara membalikkan badan satu panah menancap
dipahanya. Dia berlutut dengan satu kaki. Penyerangnya yg merupakan komandan
musuh keluar dari tempat persembunyiannya.
“sepertinya pertempuran tadi membuatmu lelah sehingga tidak
menyadariku. Dimana dewi kumala? Serahkan kepada kami. ini titah raja. Kalau
kau menyerahkannya maka kau akan mendapat imbalan.” Kata komandan pongah.
“bukan cinta lagi namanya kalau sudah diperjualbelikan” ucap
jayanegara seraya bangkit dan menyerang musuh.
Pedang mereka beradu menimbulkan percikan api dan berdenting
sangat keras. Mereka saling menyudutkan tapi tak ada yg mau mengalah. Saling
mengincar kelemahan lawan. Kaki jayanegara yg luka membuat kecepatannya
menurun. Mereka sudah bertarung sangat lama. Komandan musuh memfokuskan
serangan ke bagian yg luka. Darah yg keluar dari luka panah semakin banyak.
Membuat gerakan jayanegara menjadi lamban dan mudah dibaca hingga akhirnya pada
satu kesempatan komandan musuh berhasil
menendang kaki jayanegara yg luka. Jayanegara mengerang kesakitan dan
terduduk. Pedangnya berhasil dijatuhkan.
“ayolahh... aku harus membawa gadis itu agar diperbolehkan
pulang. Jika tidak mendapatkannya aku akan dihukum mati.” Kata komandan.
“pertempuran bisa terjadi karena 2 pihak memperjuangkan
sesuatu yg ia anggap benar. Jadi jika kamu mati setidaknya kamu mati terhormat”
jawab jayanegara.
Jayanegara mencoba menggapai pedangnya namun pedang komandan
musuh menancap ditelapak tangannya. Sekali lagi dia mengerang kesakitan.
Komandan musuh mengeluarkan kerisnya dan menghunusnya ke arah jantung
jayanegara lalu berkata,
“kata-kata terakhir?”
Jayanegara telah pasrah. Namun disaat terakhir dari balik
semak-semak melompat seekor harimau kearah komandan musuh. Komandan musuh
berteriak histeris minta tolong, tapi percuma. Harimau itu telah mengoyak
tubuhnya dan menyeretnya kedalam rimba. Jayanegara merasa beruntung sekali. Dia mencabut pedang dari telapak tangannya
sambil menahan sakit, kemudian memanggil pawana dan segera pulang. Tapi dia
merasa pusing sekali, seluruh persendiannya terasa lumpuh. Padahal lukanya
tidak seberapa. Hanya ada satu kemungkinan, dia lalu mencabut panah dari
pahanya, melihat ujung panah dan benar sesuai dugaannya. Namun dia harus kuat,
dia telah berjanji untuk pulang. Ketika sampai di pondok dia terjatuh dari
kuda. Kumala yg telah menunggunya segera berlari ke arahnya.
“jayanegara bertahanlah. Aku akan mengambilkan obat-obatan
untukmu.”
“mereka telah tewas kumala. Kita menang. Namun aku terkena
panah beracun. Aku kenal racun ini, ini racun mematikan yg tidak ada
penawarnya. Racun dari daerah borneo”
“tidak... tidak mungkin, pasti ada yg bisa aku lakukan” kata
kumala yg mulai menangis.
“tidak apa kumala, aku punya permintaan padamu. Bawa aku ke
tanjakan yg waktu itu.”
Kumala kemudian memapah jayanegara mendaki tanjakan.
“aku pernah mendengar cerita dari saudagar arab ttg seorang
pria bernama achilles yg meninggal pada saat perang troya hanya karena tumitnya
terkena panah.” Kata jayanegara.
“sudahlah, jangan banyak bicara. Kau akan tetap hidup. Aku tak
bisa hidup sendiri tanpamu.” Kumala terisak.
Mereka berhasil sampai ke ujung tanjakan tanpa melihat
kebelakang. Lalu kumala mendudukkan jayengara.
“aku selalu merepotkanmu, tapi kamu tetap menolongku. Rela
jalan kaki dan aku naik kuda, rela mencarikan kapas ketika aku bilang tempat
tidurnya tidak nyaman, mau menemaniku memetik bunga, mengajariku memancing
sementara tidak ada yg bisa kuberikan padamu.”
Air mata kumala mengalir begitu deras.
“kau memberiku hidup. Itu lebih dari cukup.” Jayanegara
tersenyum untuk pertama kalinya semenjak kumala datang.
“aku tidak mau cinta kita berakhir seperti ini. jayanegara,
kau percaya reinkarnasi?”
“tidak, tapi aku
percaya cinta yg tulus akan tetap abadi walau melewati berbagai zaman.” Setelah
mengatakan itu jayanegara menutup matanya untuk selama-lamanya. Kumala
memeluknya. Air matanya terus keluar tak percaya bahwa mereka dipisahkan
seperti ini. satu-satunya alasan dia untuk hidup telah hilang. dia tak beranjak
dari tempat itu, dia tak makan dan tak minum. Selama itu dia tetap menangis.
Pada hari keempat kumala meninggal diakibatkan kesedihannya yg mendalam.
Waktu terus berlalu, selama itu tidak ada yg mendaki ke gunung
semeru, hingga akhirnya pada tahun 1830 diadakan ekspedisi oleh belanda ke
gunung semeru. Di tanjakan tersebut mereka menemukan 2 buah kerangka yg saling
berpelukan. Kemudian mereka dimakamkan secara layak dikawasan semeru. Mulai
dari situ maka dibuatlah mitos tentang “Tanjakan Cinta” yg populer dikalangan
pendaki semeru hingga kini.
EPILOG
Jalan menuju ranu kumbolo, semeru, 31 desember 2013,
“lo tau kan kalau gue malas banget mendaki gunung” kata
seorang cewek dengan wajah cemberut.
“kumala... jangan gitu dong. Ini kan baru pertama kalinya lo
mendaki, tunggu sampe lo liat pemandangan di ranu kumbolo. Satu lagi, kabarnya
pemandu kita untuk kepuncak nanti adalah cowok ganteng yg udah terkenal sebagai
pemandu di semeru ini.” Kata cewek di sebelahnya.
“aku tidak tertarik” jawab kumala ketus.
“makanya kamu sampai sekarang belum pernah punya pacar”
temannya ngeledek.
Sesampainya mereka di ranu kumbolo.........
“lihat indah kan?” kata teman kumala.
“tunggu... danau ini rasanya aku sudah pernah kesini. Aku
merasa sudah sangat kenal dengan danau ini” batin kumala.
“itu pemandu yg gue bilang ke lo kumala? Ganteng kan?”
Ketika kumala
melihat pemandu yg dimaksud dia terdiam. Agak jauh di hadapannya berdiri
seorang pemuda yg tengah menjelaskan
tentang rute yg akan ditempuh menuju puncak. Ditelapak tangannya ada bekas luka
melintang. Tepat pada saat yg sama, pemuda itu juga melihat kumala. Mata mereka
bertatapan. Tiba-tiba kumala merasakan sakit kepala yg hebat, dia memegang
kepalanya.
“kamu kenapa kumala? Kamu sakit, kalau sakit beristirahatlah
ditenda. Sebentar lagi pendakian akan dilanjutkan ke puncak. Kamu tunggu saja di tenda sampai
aku kembali” kata temannya sambil memapah kumala ke tenda.
Kumala berbaring
dan berusaha mengingat wajah pemuda itu. Wajah yg tidak asing rasanya walaupun
mereka belum pernah bertemu. Dan bekas luka itu...... ketika dia memejamkan
mata bayangan-bayangan melintas di pikirannya. Majapahit. Kuda. Pengejar.
Semeru. Badai pasir. Danau. Pondok. Tanjakan cinta. Pertempuran. Luka. Racun.
JAYANEGARA! Ingatan masa lalunya kembali. Dia segera bergegas keluar tenda,
rombongan kini sedang mendaki tanjakan cinta. Di depannya ada pemuda itu. Dia
mengejarnya. Air mata mengalir dipipinya. Tepat diujung tanjakan kumala
memegang tangan tersebut dan berkata,
“jayanegara?” dia tak kuasa menahan tangis.
Pemuda itu melihat wajah kumala lantas berkata,
“ya kumala. Ini aku..” suaranya masih tetap sama, datar dan
tegas.
“apa kau menungguku selama ini? “
“iya... butuh 700 tahun untuk kita bertemu. Dan aku
menemukanmu sekarang”
“terima kasih jayanegara.... terima kasih karena telah
menungguku.”
kau percaya reinkarnasi?” tanya jayanegara.
“tidak, tapi aku percaya cinta yg tulus akan tetap abadi walau
melewati berbagai zaman.”
Mereka berpelukan.
THE END.
Ini karyamu asli, Rey? Bagus dalam menyampaikan imajinasi sejarahnya. Jujur kalau mau konsisten menulis dengan tema-tema indigenous, mungkin lebih menarik. Bacanya sambil ngebayangin pas Jayanegara fight lawan banyak prajurit dan udah kayak film-film ala gending sriwijaya gitu. Pengulasan budaya jawanya agak kurang sih. Tapi so far so good ^^
BalasHapus