Jumat, 24 Oktober 2014

cerpen: MADUN

cerpen ini ditulis pada saat gue kelas 10 SMA,dan seperti inilah pemikiran gue sewaktu kelas 10 SMA.

MADUN
ALLAHU AKBAR…….ALLAHU AKBAR……”, suara muazin di mesjid membangunkanku dari tidur nyenyak.
Aku akhirnya bangun juga setelah beberapa saat melawan keinginan untuk tidur kembali. Segera setelah sholat, aku langsung mandi dan tidak lupa menggosok gigi, habis itu ku tolong ibu membersihkan tempat tidurku (eh….kok kayak lagu).
Setelah mengenakan seragam sekolah, seperti biasa aku menikmati suasana pagi di luar. Kulihat  rintik-rintik hujan masih turun setelah hujan lebat semalam. Matahari tak kunjung menampakkan sinarnya walau hari sudah menunjukkan pukul 7. Tunggu dulu...Pukul 7?? Oh tidak, sekolah di mulai 10 menit lagi. Kenapa waktu berlalu begitu cepat (tanda-tanda kiamat kali…..). Aku segera mengambil roti dan memakannya sambil berjalan.
      “Tas, uang, sepatu, ikat pinggang, dasi, topi, okay semuanya sudah siap, waktunya berangkat sekolah. Oh…..tunggu-tunggu, helm. Sebagai pengendara motor yang baik kita harus memakai helm.” Kataku dalam hati sambil mengambil helm dan kunci motor.
       “Ma, pa, kakek, nenek, adik-adikku, aku pamit dulu ya, Assalamu’alaikum.” Kataku.
Aku segera memacu motorku agar tak terlambat, tapi tiba-tiba di pinggir jalan aku melihat seorang cewek yang sedang gelisah. Dilengannya aku melihat merek “SMPN 1 BUKIT SUNDI”. Oh, ternyata dia satu sekolah denganku.
       Karena penasaran, aku berhenti dan dan bertanya,
       “Kamu kenapa? Kok belum pergi sekolah? Udah mau telat nih!”
        Dia sedikit terkejut ketika aku bertanya, lalu di jawabnya dengan sedikit terbata-bata.
        “A….aku mau pergi sekolah, tapi ojek gak nongol-nongol sejak tadi” jawabnya.
        “Kalau gitu ayo naik.”
         “Gak apa-apa nih?”
         “Cepetan, udah mau telat nih, kamu mau kena denda 5 buah batako?”
          dan akhirnya kami pun sampai tepat waktu ke sekolah.
Tanpa mengucapkan terima kasih cewek tersebut langsung lari dan meninggalkanku. Aku pun tak terlalu peduli karena hari ini merupakan hari pertama sekolah sejak libur semester  1 jadi aku harus segera ke kelas agar tak terlambat.


Oh ya, aku belum memperkenalkan diri, namaku……. Ada yang tau gak namaku? (mendadak amnesia). Tentu saja gak ada yang tau namaku, karena yang nulis cerpen ini kan aku. Hei….hei…..apa-apan nih? Kenapa aku bicara dengan diriku sendiri? ANEH.
Namaku terdiri dari 5 huruf, tapi namaku bukan penyakit 5 huruf (C.I.N.T.A) seperti yang di katakan  bu Nurmaini guru B.Indonesia ku di kelas 2 ini.
Okay, langsung saja namaku, jreenngg…….jreennngg……jreeennnggg….. “MADUN”. Yah, Madun, cuma itu aja, gak ada nama belakangnya. Kata papa and mama sih Madun itu artinya “Matahari Dunia”. Wissshhh……SESUATU BANGET. Cuma aku bingung, emangnya dunia belum ada matahari ya. Rasa-rasanya udah ada kok.
Aku tinggal di Muara Panas, sebuah negeri yang kata orang-orang panas. Tapi rasanya gak juga tuh. Saat ini aku duduk di kelas 2 SMP dan aku sekolah di SMPN 1 BUKIT SUNDI.
            “Pagi Madun!!” kata sebuah suara yang langsung merangkul lenganku.
            Suara yang tak  asing lagi kudengar. Namanya Widi, dia cewek paling genit dan manja yang pernah aku kenal.
            “Pagi!!!” jawabku cuek, sambil melepaskan tangannya dari lenganku.
            “Kemana liburannya Dun?”
             “Gak kemana-mana” jawabku lagi dengan dingin.
             “Dun, kamu kok dingin gitu ma aku?”
             “Trus kamu mau aku panas ke kamu?  Siram aja sekalian dengan air panas “ jawabku ketus.
              “Bukan gitu, tapi………”
              Pembicaraan kami terhenti ketika Bu Nurmaini wali kelas kami masuk.
              “Selamat pagi anak-anak!!”
              “Pagi bu…..!!”
              “Di semester 2 ini ibu ingin kalian belajar lebih giat lagi, kalian harus mengawali semester 2 ini dengan semangat baru. Gimana liburan kalian? Asik gak? Dega, Kamu kemana liburannya?”
“Aku ngabisin waktu buat ngalahin rekor si Madun gak tidur sampai jam 5 pagi, dan aku berhasil bertahan sampai pukul 05.01, yes….yes” katanya dengan bangga sambil melirikku.
Nah, kalau yang ini nih namanya Dega. Dia rival terbesar gue sekaligus sahabat karib gue (sengaja makai kata Gue biar terkesan gaul). Dia terobsesi untuk biasa ngalahin gue dalam hal apapun. Terakhir kali gue ingat dia coba nantang gue dalam lomba berjalan dengan mata tertutup. Alhasil, dia libur sekolah 3 hari karena kepalanya bengkak nabrak tiang listrik. Tapi kalau soal kesenian, aku kalah banget ama dia. Kalau dia udah nyanyi tuh, orang-orang pada berdatangan pengen lihat dia nyanyi. Sementara kalau gue yang nyanyi, orang-orang malah pada pulang dan langsung pergi ke dokter THT (kasihan).  Tapi walau bagaimanapun dia tetap sahabat terbaik gue.
“Kalau kamu Riadh, kemana liburnya?”
“Gak kemana-mana bu, cuma pergi mancing ikan terus tidur-tiduran” jawabnya.
Kalau yang ini namanya Riadh, juga sahabat baik ku. Orangnya baik, polos, simple-simple aja, sedikit cool. Motto hidupnya “hidup itu seperti air yang mengalir, jalani aja hidup apa adanya.”
“Di semester 2 ini, kita kedatangan murid baru. Namanya Dewi, ayo masuk Dewi” kata bu guru.
Dewi pun masuk ke kelas dan ternyata…………
Ini kan cewek yang aku antar ke sekolah tadi pagi, pantesan aja aku belum pernah lihat wajahnya sebelumnya. Dia anak baru toh.
“Mulai sekarang Dewi akan sekolah di sini. Dia murid pindahan dari Padang. Dewi, kamu duduk di belakang si Madun” kata bu guru sambil menunjuk ke arah bangku di belakangku.
“Baik bu…..”jawabnya sambil berjalan ke bangku di belakangku.
“Baiklah, sekarang kita akan belajar menulis cerpen, buka buku kalian” ujar bu guru.
“Astagfirullah…..kok tas kosong begini, jadi dari tadi aku nyandang-nyandang tas tapi gak ada bukunya, duh….gimana nih!!” kataku.
“Nih, aku pinjamin buku, tadi aku belum sempat ucapin terima kasih, anggap aja ini sebagai ucapin terima kasihku.” Kata Dewi tiba-tiba. Kalau tadi pagi dia yang terkejut, sekarang  giliran aku yang terkejut.
“Be…be…benaran nih?” kataku. Duh kok gagap tiba-tiba nih, pikirku.
“Iya, ambil aja, silahkan.” Jawabnya sambil tersenyum.
“Terima kasih ya”
          Saat kami serah terima buku, mata kami saling bertatapan dan rasanya ada getaran-getaran halus menusuk hatiku (emangnya sate).
“Oh, jadi nama kamu Madun ya?”
“Ya, kenapa? Namaku aneh ya?”
“Gak aneh kok, tapi keren”
Hati ku berbunga-bunga mendengar dia memuji namaku. Aku kembali bertanya untuk meyakinkan,
“Yang benar nih? Jujur aja, aku gak bakalan marah kok!”
“Ya sedikit aneh sih”
Bunga-bunga yang ada di hatiku tadi berguguran.
             
   Hari Minggu aku, Riadh dan Dega pergi marathon.
“Dun, kita berhenti dulu ya, capek nih” ujar Riadh.
“Ya Dun, aku mau beli air dulu” kata Dega.
“Aku mau lanjut aja dulu, tapi aku nitip air ya, nanti kalian aku tunggu di Bukit 07, okay.”
“Yoi…..yoi…..”
Buat yang belum tau, Bukit 07 merupakan salah satu bukit terindah di negeriku. Dari sana kita bisa melihat seluruh negeri di bawahnya sekaligus melihat matahari terbit. Di namakan Bukit 07 karena kalau di lihat dari bawah seperti angka 07. Eh kok kayak promosi ya. Kembali ke cerpen!!
Mereka pun pergi, dan aku kembali marathon.
Beberapa saat kemudian, aku dikagetkan oleh sebuah suara.
“Hei Dun, sendiri aja?
“Oh, kamu Wi. Iya nih, tadi teman-teman mau beli air dulu, kamu juga sendirian?” jawabku sambil terus berlari-lari kecil.
“Ya maklumlah aku masih anak baru di sini, jadi belum punya teman.” Jawabnya.
“Aku mau kok jadi teman kamu,itu sih kalau kamu juga mau jadi temanku!”
“Ya mau lah. Okay, mulai sekarang kita teman.”
Entah kenapa dengan kehadiran Dewi aku merasa senang. Selang beberapa lama kami berdua terdiam tak tau harus berkata apa. Untuk memecah keheningan aku bertanya,
“Dewi, kamu punya cita-cita gak?”
“Punya dong, aku ingin jadi wartawan terkenal, karena dengan menjadi wartawan aku bisa berkeliling dunia untuk mencari berita sekaligus jalan-jalan. Kalau kamu Dun?” ujarnya
“Aku ingin jadi detektif no 1. Di dunia, mengalahkan ketenaran Sherlock Holmes.”
“Kenapa kamu ingin jadi detektif?”
“Karena detektif itu pekerjaan yang keren, aku paling suka dengan hal-hal yang berbau misteri.”
“Emangnya kamu pernah mecahin kasus?”
“Pernah sih, waktu kelas 3 SD kasus pencurian uang Rp 100.000,00. Tapi itu belum seberapa kalau di dunia internasional.”
Tanpa terasa kami pun telah sampai di bukit 07…….
“Wi, aku mau berhenti dulu di sini, sambil nunggu teman-teman.”
“Oh ya, gak apa-apa, aku duluan ya.” Katanya sambil berlalu dari hadapan ku.
Aku pun duduk sendiri menikmati  matahari yang mulai terbit.
“Cieehhh….cieeehhh…..ngapain tadi dua-dua an, kami lihat kok dari tadi.” Kata Riadh.
“Dun, kayaknya kamu suka ke Dewi, udah tembak aja” Dega ikut-ikut an meledekku.
“Mungkin” jawabku.
“Tapi aku gak bakalan biarin kamu mendapatkannya dengan mudah, ayo kita bersaing untuk mendapatkannya” tantang Dega.
“Okay, mulai sekarang kita rival” jawabku.
“Okay, siapa takut. Dun, tadi aku beli gorengan tapi Cuma 4 buah. Kita kan bertiga nih, yang 1 lagi buat aku ya.”
“Oh tidak bisa” kataku.
“Gak, gorengan yang lebih ini tetap buat aku.”
Suasana tiba-tiba memanas. Riadh mencoba memberi solusi dengan cara membagi 2. Tapi kami tetap tidak terima.
“Dun, kalau gitu kita selesaikan secara jantan” kata Dega sambil menyisingkan lengan bajunya.
“Baik” aku sangat mengerti kalau Dega sudah menyisingkan lengan bajunya pertanda apa.
“1….2…..3…..HOMPIMPA” kata kami serentak
“Yes, aku yang menang”  ujarku sambil mengambil gorengan dan langsung menyantapnya.
Hari-hari berlalu seperti biasa.  Aku dan Dega masih bersaing untuk mendapatkan Dewi. Riadh sibuk dengan novel-novel yang baru di belinya. Widi masih tetap mengejar-ngejarku. Dewi juga sudah mempunyai banyak teman.

3 minggu kemudian………….

Langit mendung ku lihat di langit, aku baru saja akan pulang dari sekolah ketika widi menghampiriku.
“Madun, ada yang mau aku bilang ke kamu”
“Mau bilang apa?”
“Aku….aku….aku tu suka ama kamu. Sebenarnya aku nunggu kamu untuk mengatakan ini, tapi aku udah bosan menunggu Dun.”
Hujan mulai turun membasahi ku. Aku gak nyangka suasananya bakal seperti di film-film romantic. Sesaat aku terdiam tak bisa berkata apa-apa, aku tak menyangka dia akan berkata seperti ini. Lalu aku jawab,
“Widi…..maaf aku gak bisa menerima kamu, aku tu Cuma menganggap kamu sebagai sahabat. Dan terlebih lagi di hati ku ini sudah ada orang lain.”
Dia pun menjawab sambil menangis,
“Apa aku gak pantas dan gak boleh mencintai kamu. Kenapa harus ada orang lain di hati kamu, aku ingin kamu tu Cuma jadi milikku. Apa kamu tau rasa sakitnya mencintai tapi gak dicintai. Apa kamu mengerti dengan apa yang aku rasakan?”
“Aku tau wid, aku mengerti. Tapi kamu salah, setiap orang itu berhak untuk di cintai dan mencintai. Kalau kamu suka ama aku kamu gak perlu jadi pacar aku. Ada yang bilang cinta sejati itu senang melihat orang yang kita cintai bahagia walaupun hati kamu tu sakit banget sebenarnya.”
“Kamu sih mudah ngomong, tapi aku gak bisa menerima hal-hal seperti itu….”
“Wid, aku ingin kamu merubah sikap kamu terlebih dahulu, aku ingin kamu slalu ada di sampingku sebagai sahabat, karena Cuma kamu yang bisa mengerti aku…. Cuma kamu yang benar-benar mengenal dan memahamiku. Okay…….kamu mau kan jadi sahabat ku lagi?”
Dia pun mengangguk setuju.
Keesokan harinya di sekolah…………
“Madun, aku rela kalau kamu nembak Dewi, aku gak mau bersaing lagi. Melihat kedekatan kalian sebaiknya aku gak usah menganggu hubungan kalian. Lagi pula kita kan sahabat, gak pantas kalau seorang sahabat bersaing untuk memperebutkan orang yang di suka sahabatnya. Sekaranglah saatnya kamu nembak si Dewi.” Kata Dega.
Aku hanya bisa terdiam mendengar perkataanya itu. Dalam hati aku berfikir, pantas gak kalau aku mengungkapkan perasaan ini sekarang.
Tiba-tiba aku dapat ide. Aku harus menemui pakarnya dulu.
“Buk, sepertinya aku terkena penyakit 5 huruf, apa gak apa-apa kalau aku mengungkapkan perasaan ku ini padanya sekarang?”
“Kalau kamu mencintai seseorang ungkapkanlah perasaanmu secepatnya, jangan hanya menunggu dan melihat dia di ambil orang lain” kata buk Nurmaini dengan bijaksana.
Mendengar kata-kata buk Nurmaini,aku pun bertekad utuk mengungkapkannya sekarang juga. Aku pun segera mencari Dewi, dan aku menemukannya sedang duduk sendirian di bangku taman.
“Dewi……aku suka sama kamu. Aku ingin kamu ada di sisiku dan menemani hari-hariku. Tertawa bersama, bercanda, sedih, kita lalui bersama. Sejak bertemu kamu aku yakin kalau kamu itu tercipta untukku.
Tanpa di sangka, Dewi pun langsung lari meninggalkanku tanpa mengucapkan apa-apa. Yah, ditolak, pikirku.
Keesokan harinya Riadh menghampiriku dengan tiba-tiba.
“Dun, gawat!!! Ternyata Dewi mau pindah ke Jogya”katanya.
“Biarin aja” kataku.
“Dun, kamu gak boleh berkata seperti itu. Jika kamu mencintai seseorang, kejarlah dia dan jangan menyerah untuk mendapatkannya, kejarlah bintang sampai batas akhir. minimal kamu harus mengucapkan selamat tinggal padanya” kaat buk Nurmaini tiba-tiba. Aku gak nyadar kalau beliau sudah berdiri di sampingku.
Kata-kata bijak buk Nurmaini kembali menyadarkanku. Ya!! Aku harus pergi pikirku.
“Dega, Riadh ayo kita pergi” kataku.

Kami segera menuju rumahnya tapi ternyata Dewi baru saja berangkat ke terminal “Bareh Solok”. Kami pun memutuskan untuk menyusulnya dengan mobil angkot.
“Duh, gila. Ini sopir benar-benar cari penumpang. Mobilnya lambat amat. Aku lihat di samping kakek-kakek dengan tongkat lebih cepat jalannya dari mobil ini.” Kata dega.
“Pak, bisa cepat sedikit gak pak, kami buru-buru nih!!” ujarku.
“Wanni pirro? 2x lipat okay” kata sopir.
Wihh, gila. Ni sopir rasanya mau gue lempar dengan sepatu, pikirku.
“Udah Dun, kasih aja” kata Riadh.
“Tapi kita pulang dengan apa ntar, aku cuma bawa uang pas-pas an.”
“Ah udah, kasih aja, ntar dipikirin” ujarnya lagi.
Seperti biasa, Riadh selalu berpikir positif, dia menganggap semuanya akan berjalan dengan mudah.
“Okay-okay, nih” kataku sambil menyerahkan uang.
Sesampainya di terminal aku langsung mencari Dewi. Dan beruntungnya aku bisa langsung menemukannya.
“Dewi, aku belum mengucapkan selamat tinggal.”
“Madun, sebenarnya aku juga menyukaimu…..tapi, aku tak ingin buat kamu terluka dan kesepian sendiri. Aku harus pindah ke Jogya ikut papaku. Baru kali ini ada orang yang benar-benar mencintaiku dengan setulus hati karena papaku sering pindah tugas, jadi aku gak punya teman. Aku bahagia bisa mengenalmu walau hanya sebentar. Aku juga ingin selalu ada di sampingmu. Tapi aku harus pergi Dun, maafkan aku Dun………
Kami terdiam sejenak, berusaha saling memahami keadaan.
Lalu sambungnya lagi,
“Suatu saat nanti Dun…..suatu saat nanti, kita pasti bertemu lagi saat kamu sudah jadi detektif hebat dan aku sudah jadi wartawan terkenal, aku akan menunggu hari itu Dun……aku harus pergi Dun. Aku pasti akan merindukanmu”
“Dewi, jika kamu merindukanku, lihatlah langit. Aku pun juga akan melihat langit saat merindukanmu. Langit itu menghubungkan dunia, jadi ketika kita melihat langit, hati kita juga akan terhubung…..selamat jalan Dewi”.
Dia hanya tersenyum dan meneteskan air mata sambil berlalu pergi. Tak terasa mata ku juga perih dan mulai berair. Ketika aku lihat ke bawah ternyata ada semangkok bawang.
“Hei….hei….siapa nih yang meletakkan bawang, mataku jadi perih”
Akupun hanya bisa melihat dari jauh ketika bus tersebut telah berangkat.
“Dega, Riadh, banyak orang yang datang dan pergi dalam hidupku, tapi cuma kalian sahabatku yang slalu ada disampingku. Terima kasih”
“Curhat Dun??” kata Dega.
“Huh, gak bisa di ajak serius” kata Riadh.
“Dun, ngomong-ngomong kita pulang naik apa?”
“Heh??!!!”
===== THE END =====                                                                 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar