Assalamu’alaikum
gengs…
Hari ini aku sedikit mau flashback ke saat pendakian ke gunung Talang. Udah agak
lama sih sebenernya, tanggal 6-7 Agustus 2016. Tapi sayang rasanya kalo kisah
perjalanan aku dan teman-teman ketika itu dilewatkan. Sejujurnya, memoriku
tidak cukup baik. Aku berusaha mengingat secara detail anteseden, behavior
hingga consequence petualangan tersebut. Semoga ga ada yang kelupaan.
Ini
semua berawal dari libur semester genap. Libur semester genap selalu
dimanfaatkan oleh teman-teman SMA ku untuk pulang kampung. Sebenernya, libur
semester ganjilpun mereka pulang. Tapi karena libur semester genap selalu
diiringi dengan libur hari raya maka lebih banyak yang pulang.
Liburan
kali ini tak ada niatan untuk mendaki gunung. Rasanya pengen istirahat sejenak
dari kegiatan mendaki. Aku dan teman-teman sudah cukup menikmati liburan yang
seru dengan mengunjungi pantai, menyeberang ke pulau, dan menjelajah bukit.
Sampai menjelang akhir masa liburan, saat teman-teman SMA ku satu persatu balik
ke perantauannya, hanya tinggal beberapa orang yang masih bertahan di kampung
halaman. Kegabutan sudah mulai terasa, kami sudah bosan bermain werewolf hampir
setiap malam dan pulang selalu dini hari. Jumlah pemainpun semakin berkurang
karena satu persatu pemainnya sudah balik ke kampus masing-masing.
Sampai
pada suatu ketika, Agung mengajak kami yang tersisa untuk camping di perbukitan
pinggiran kota. Dia menemukan tempat yang bagus disana. Aku, Zakhwan, Rezki
menyanggupi ide tersebut. Seengganya kami bisa santai sambil menikmati alam
barang sebentar menjelang kuliah. Pada hari Jum’at aku dan Agung pergi
ngesurvei lokasi camping. Setelah tanya ibuk-ibuk, bapak-bapak yang punya anak,
akhirnya kami menemukan lokasinya. Lokasinya ternyata berada di tempat
paralayang, dengan sedikit tempat datar dan selebihnya tebing landai berujung
curam. Salah posisi dikit ketika tidur maka akan berakhir dengan
berguling-guling menuju jurang. Tapi kami menemukan tempat yang bagus di dekat
sana yang cocok untuk jadi lokasi camping. Kemudian kami kembali ke rumah dan
mulai mempersiapkan barang-barang buat camping. Keesokan harinya, Sabtu 6
Agustus, kami berkumpul di rumah Agung. Ketika sedang mempersiapkan beberapa
peralatan lainnya, Bintang, adik Agung memberitahu bahwa malam ini milky way atau gugusan Bima Sakti akan terlihat jelas. Aku segera
teringat pada berita yang aku lihat di Instagram yang juga menceritakan hal
yang sama. Kemudian Agung mengusulkan agar tempat camping kami berubah. Kita
akan mendaki gunung Gunung Talang untuk melihat milky way yang lagi bagus-bagusnya malam ini. Tanpa pikir panjang,
Aku, Zakhwan dan Rezki mengiyakan. Cepat sekali pikiran kami berubah. Akhirnya
rencana camping kami yang semula di daerah perbukitan pinggiran kota berubah
menjadi di Gunung Talang.
Gunung
Talang merupakan gunung berapi aktif dengan ketinggian 2597 mdpl yang terletak
di Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Lokasinya sekitar 9 km dari Arosuka,
ibukota Kabupaten Solok atau sekitar 40 km dari kota Padang. Gunung Talang
merupakan satu dari 3 gunung di Sumatera Barat yang diminati pendaki selain
Gunung Marapi dan Gunung Singgalang. Apalagi dengan dibukanya rute baru melalui
“Air Batumbuk” pada akhir tahun 2013 kemaren membuat jumlah pendaki semakin
meningkat. Melalui rute Air Batumbuk inilah kami berempat akan mendaki.
Selepas
sholat maghrib kami segera berangkat menuju pos pendakian. Sepanjang perjalanan
aku tetap mengawasi keadaaan langit mengantisipasi jika cuaca mendadak berubah.
Walaupun keinginan mendaki begitu besar tapi kami tetap harus berpikiran logis
dan tidak menentang alam karena kami ingin pendakian ini menjadi perjalanan
yang menyenangkan dan bukannya menyiksa diri. Beruntung cuaca malam itu bagus
walaupun langit tidak begitu jelas karena ditutupi sedikit awan. Di perjalanan
kami mampir ke beberapa toko untuk membeli beberapa biskuit, mie instan, telur,
tali rafia dan perlengkapan yang masih kurang untuk keperluan pendakian. Butuh waktu
sekitar 1 jam dari rumah Agung untuk sampai ke pos pendakian di Air Batumbuk. Pos
pendakian ditandai oleh sebuah plang Masjid Muhajirin di sebelah kiri jalan,
masuk ke simpang tersebut kira-kira sekitar 100 m untuk menemukan pos
pendakian. Lokasi pos ini berada di dekat kebun teh yang setiap liburan
semester biasa kami kunjungi dan sudah menjadi tradisi liburan.
Sesampainya
disana, kami segera memarkirkan sepeda motor dan melakukan registrasi. Biaya registrasi
Rp 10.000,00 per orang dan biaya parkir Rp 10.000,00 untuk satu unit sepeda
motor. Kami juga diberi selembar kertas yang berisi peraturan pendakian dan
nomor HP yang bisa dihubungi jika terjadi sesuatu. Selepas registrasi kami
segera menuju pos 1 pendakian yang sesungguhnya. Yup benar, pos yang tadi
hanyalah pos pendaftaran. Pos 1 pendakian yang sesungguhnya masih sekitar 3-4
km lagi yang harus kami tempuh dengan jalan kaki. Sebenarnya ada sih, ojek yang
menyewakan jasanya untuk mengantar sampai pos 1 pendakian dengan tarif Rp
25.000,00 sekali antar. Tetapi kami lebih memilih untuk berjalan kaki menembus
malam yang mulai semakin gelap.
Perjalanan
menuju pos 1 pendakian melewati hamparan kebun teh yang jika siang hari akan
keliatan indah. Di beberapa persimpangan kami sempat merasa bingung jalan mana
yang harus diambil. Beruntung ada plat besi yang disebut rambu bertuliskan R04
menjadi petunjuk jalan. Agung mengatakan rambu ini akan ada sepanjang pendakian
hingga puncak dengan rambu terakhir bertuliskan R54. Kami juga bertemu dengan
beberapa pendaki yang baru turun. Rombongan ini terdiri dari beberapa pendaki laki-laki
dan perempuan. Panggilan khas pendaki keluar dari mulut kami, “Bapak… Ibu”,
begitu panggilan kami kepada mereka sebagai bentuk keramah tamahan diantara
pendaki. Panggilan “Bapak” untuk laki-laki dan “Ibu” untuk perempuan tanpa
memandang umur mereka lumrah dijumpai diantara pendaki gunung yang ada di ranah
minang sebagai bentuk penghargaan dan persaudaraan antar pendaki.
Sekitar
pukul 21.30 WIB kami sampai di pos 1 pendakian yang terletak di R06. Disana
berdiri sebuah warung milik warga yang menjual beberapa makanan dan minuman. Di
sampingnya juga terdapat camping ground yang
bisa digunakan pendaki sebagai tempat untuk berkemah. Dan yang paling
membahagiakan adalah terdapat pancuran air yang melimpah yang bisa digunakan
pendaki sebagai tempat menambah persediaan air maupun membersihkan diri. Kami memutuskan
untuk beristirahat sebentar disana.
Pukul
22.00 WIB kami berangkat menuju pendakian yang sebenarnya. Aku yang hanya
mengenakan sandal jepit karena tidak sempat pulang untuk mengganti sepatu,
berjalan paling belakang. Selain itu, dari segi perlengkapan, dibanding
pendakian sebelumnya, pendakian ke Talang ini merupakan pendakian dengan
perlengkapan terminim karena niat kami awalnya hanya berkemah di bukit pinggir
kota. Beberapa perlengkapan lainnya yang kami rasa benar-benar perlu, baru kami
beli setelah di perjalanan menuju pos registrasi. Saat itu aku hanya mengenakan
baju kaos dilapisi jaket dengan celana training dan alas kaki sandal jepit.
Diantara
kami berempat, hanya aku yang belum pernah mendaki Gunung Talang. Agung, Rezki
dan Zakhwan telah pernah mendaki Gunung Talang sebelumnya. Namun pada saat itu
perjalanan mereka tidak berjalan dengan baik karena cuaca yang buruk dan
mengakibatkan jalan yang mereka lalui begitu berlumpur. Kami berdoa semoga
perjalanan kali ini berjalan dengan baik. Medan treking awal yang kami tempuh
masih berupa jalan lebar dengan perkebunan warga di samping jalan. Tapi medan
ini cukup memberatkan karena sangat menanjak. Di akhir tanjakan aku minta break karena kepalaku terasa pusing. Teman-teman
menyemangatiku agar santai saja karena kita tidak perlu tergesa-gesa untuk
sampai puncak. Kami duduk dibawah pohon besar dengan dedaunan yang menaungi
kami. Ketika kami melihat keatas, pemandangan menakjubkan terpampang di hadapan
kami. Taburan bintang yang begitu banyak dan terlihat jelas karena jauh dari
polusi cahaya. Kami membayangkan bagaimana pemandangan ketika di puncak nanti
jika dari bawah saja sudah sangat indah. Aku kembali bersemangat mengingat
tujuan kami untuk melihat milky way yang
akan sangat jelas terlihat pada malam ini.
Kamipun
melanjutkan perjalanan dan mulai memasuki area semak-semak dengan jalan yang mulai
menyempit. Di sebelah kiri terdapat shelter
1 berupa gubug reyot yang hampir roboh. Di dalamnya terdapat beberapa orang
yang mengajak kami mampir tapi kami tolak dengan halus karena kami masih harus
melanjutkan perjalanan. Setelah shelter 1 pendaki akan mulai memasuki hutan rimba
dengan jalan yang semakin menanjak, licin dan udara yang lembab. Di sepanjang
jalan terdapat akar dan beberapa pohon tumbang. Menjelang cadas, vegetasi mulai
berubah dengan mulai banyaknya bebatuan. Setelah 3 jam perjalanan Agung
memberitahu tempat kami akan mendirikan tenda sudah dekat. Suara para pendaki
yang telah berada di camping ground mulai
terdengar. Berbeda dengan sebelumnya, kami melanjutkan perjalanan dengan
memutar ke kanan menuruni tanjakan. Setelah itu kami kembali mendaki bebatuan
terjal. Sejujurnya disaat itu aku sudah mulai lelah, aku berkata kepada yang
lain agar selepas tanjakan ini kita break
dulu sebentar. Setelah diujung tanjakan aku duduk di sebuah batu sambil
melihat teman-teman dibelakangku yang masih berusaha untuk mencapai tempatku
berada.
Agung
yang lebih dahulu sampai ke tempatku berada berkata “Ya, kita memang akan
beristirahat disini karena kita telah sampai di tempat yang kita tuju.” Sambil tersenyum
dia mendahuluiku. Aku kemudian menoleh ke depan dan jalan beberapa langkah
menyusul Agung. Ternyata kami telah sampai di sebuah lapangan rumput luas
tempat para pendaki berkemah sebelum summit
attack. Aku mengucap syukur sebagai tanda bahagia. Di hadapanku telah
berdiri puluhan tenda pendaki lainnya. Ketika menengadah ke langit, aku melihat
ribuan bintang terhampar dihadapanku membentuk satu gugusan. Milky way. Rasi bintang-rasi bintang
lainnya yang aku tidak tau namanya juga terlihat dengan jelas. Aku selalu suka
dengan langit malam, sangat indah dan menakjubkan. Membuat diri kita terasa
kecil dibanding luasnya jagat raya. Menyadarkan kalau kita tidak ada apa-apanya
dibanding alam semesta.
Mereview
kembali perjalanan kami tadi, menurut pendapat pribadiku trek Talang cukup
mudah dibandingkan dengan trek Marapi. Trek Talang memiliki cukup banyak “bonus”
(jalan mendatar). Tidak ada juga jalan tikus atau merangkak di selokan air yang
harus kami lewati. Jalurnya cukup jelas dengan rambu-rambu di setiap jalan dan
waktu tempuh yang hanya sekitar 3 jam dibanding Marapi yang bisa sampai 5 jam. Untuk
pendaki yang tidak mau ribet, Gunung Talang bisa jadi pilihan. Salah satu
keunggulan Gunung Talang adalah adanya lapangan rumput luas dengan latar
belakang puncak Gunung Talang. Jadi pendaki bisa mendirikan tenda tanpa harus
takut tidak kebagian tempat. Di tengah-tengah lapangan ini juga terdapat sungai
kecil yang membelah lapangan. Airnya jernih dan bisa digunakan pendaki untuk
mengisi persediaan air mereka. Hanya saja di bagian yang dekat dengan kemah
pendaki airnya sudah keruh, bercampur minyak dan sisa makanan pendaki. Untuk mendapatkan
air yang bersih pendaki harus berjalan sedikit ke hulu sungai, ke arah sebelah
kiri lapangan.
Pukul
02.00 WIB dinihari tenda selesai didirikan. Rezki dan Zakhwan mengambil air di
sungai yang telah diceritakan tadi. Aku dan Agung mencari kayu-kayu kering yang
bisa kami bakar. Sejenak kemudian api unggun telah menyala di depan tenda kami.
Rezki dan Agung kemudian mulai merebus mie dan membuat kopi. Zakhwan mengeluarkan
nasi dan sedikit lauk yang ia bawa dari rumah. Selanjutnya mie kuah tersebut
telah berpindah ke piring-piring kami dan dengan tambahan nasi dari zakhwan
kami mulai makan. Makanan terenak di dunia. Setelah perjalanan yang melelahkan
dan dinginnya malam, apapun yang kami makan terasa nikmat. Kami makan ditemani
oleh suara gitar pendaki lain yang menyanyikan lagu-lagu minang dengan
semangat. Kami menawarkan makanan kepada pendaki lainnya, dan pendaki lainnya
pun menawarkan makanan kepada kami.
Saat
kami makan dua orang pria paruh baya dengan senter di tangannya datang dan
mengarahkan senternya ke dalam tenda kami. Mereka menanyakan jumlah tim kami
dan kemudian berlalu pergi. Agung mengatakan mereka tengah merazia pendaki yang
berpasang-pasangan di dalam satu tenda. Mendengar itu kami merasa antara
bahagia dan sedih. Bahagia karena tim kami diisi oleh 4 orang cowok, jadi aman
dari razia. Dan sedih karena itu semakin menegaskan kejombloan kami. Selepas makan
kamipun memadamkan unggun dan memutuskan untuk tidur memulihkan tenaga
menjelang summit attack yang direncanakan
pukul 04.30 WIB. Rencana hanya tinggal rencana. Pukul 05.15 WIB saat adzan
shubuh telah berkumandang 15 menit lalu, Zakhwan baru membangunkan kami untuk
sholat Shubuh. Inilah bagian yang paling berat sebenarnya dari pendakian,
bangun untuk sholat Shubuh di tengah dinginnya udara pegunungan. Air yang kami
sentuh terasa sedingin es. Dengan bergantian dan dalam posisi duduk kami sholat
di dalam tenda. Arah kiblat kami perkirakan dengan berpatokan pada arah terbitnya
matahari.
Selepas
sholat kami putuskan untuk keluar tenda dengan menahan dingin. Kami sempatkan
mengambil beberapa foto. Di pagi hari, pemandangan menjadi lebih jelas. Kami berkemah
di sisi sebelah kanan gunung dengan di belakang kami ada tebing kecil. Diatas tebing
tersebut terdapat beberapa pohon tanpa daun yang aku tidak tau namanya dan bunga
Edelweis yang dilarang untuk dipetik. Bagi yang ketahuan membawa turun bunga
tersebut maka akan dikenai denda Rp 100.000,00 dan diminta untuk mengembalikan
ke puncak gunung. Kami sengaja memilih tempat di dekat tebing agar terhindar
dari angin yang dapat memadamkan api unggun kami. Di hadapan kami terlihat
puncak Gunung Talang dan kawah yang masih mengeluarkan asap belerang. Sementara
jalur menuju puncak berada di sebelah kiri lapangan.
tenda para pendaki dengan latar belakang puncak Gunung Talang |
Pukul
08.00 WIB setelah makan pagi, kami berangkat menuju puncak. Dari yang kami
ketahui trek menuju puncak akan melewati “cadas”, “hutan mati”, yaitu
sekumpulan pohon dan tanah yang telah menghitam karena panasnya kawah dan “jembatan
neraka”, yaitu jalur sempit yang di kanan kirinya terdapat jurang sedalam 50
meter. Trek yang kami lewati lebih menanjak lagi dan lebih sempit. Kami hanya
membawa air mineral sebagai persiapan bila haus. Perlengkapan lainnya kami
tinggalkan di tenda karena hanya akan mempersulit pendakian jika kami bawa. Dari
cadas kami bisa melihat dengan jelas Danau Diatas, Danau Dibawah, dan Danau Talang.
Darisana juga terlihat Gunung Kerinci di provinsi Jambi yang tertutup kabut
tipis. Kemudian sederatan Bukit Barisan, Gunung Marapi dan Gunung Singgalang
juga keliatan dari sini. Dan lebih membuat takjub lagi kami bisa melihat sebuah
pulau di Samudera Hindia yang kami tidak tau namanya. Ranah Minang patut
bersyukur dianugerahi alam sedemikian indah.
Danau Diatas, Danau Dibawah dan Danau Talang serta Gunung Kerinci di kejauhan. Terlihat tenda para pendaki yang berukuran kecil dibagian atas sebelah kanan lapangan rumput |
Di
perjalanan, kami diberitahu pendaki yang baru dari puncak bahwa diatas sedang
ada badai. Angin bertiup sangat kencang dan bisa membahayakan perjalanan. Setelah
berembuk, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak. Mendekati
hutan mati, kami merasakan angin yang sangat kencang bertiup tanpa henti. Sangat
sulit melangkah karena debu-debu beterbangan mengenai mata kami. Kami harus
berlindung dibalik batu besar untuk menghindari angin atau bahkan batu yang
jatuh dari atas. Akhirnya dengan perasaan kecewa kami memutuskan untuk kembali
ke tenda. Tapi kami tetap bersyukur disuguhi pemandangan yang begitu indah. Pukul
15.00 WIB cuaca semakin buruk dan awan hujan mulai keliatan. Kami segera berkemas
dan turun sebelum hujan lebat mengguyur kami. Pukul 17.30 WIB kami sampai di
pos 1 pendakian. Kami membersihkan diri di pancuran yang telah tersedia. Hujan gerimis
mulai turun dan kami memutuskan untuk beristirahat sebentar di warung yang ada
disana. Setelah gerimis reda perjalanan dilanjutkan menuju pos registrasi. Kembali
kami melewati hamparan kebun teh yang kali ini terlihat jelas. Saat jalan
menurun, sandal jepitku putus dan membuatku berjalan dengan terseok-seok. Sesampainya
di pos registrasi kami melapor ke petugas disana dan kemudian pulang. Di perjalanan
kami menyempatkan makan jagung bakar terlebih dahulu. Kami sampai di rumah
sekitar pukul 20.00 WIB.
DI
Pendakian kali ini kami memang tidak mencapai puncak, tetapi ada yang lebih
penting dari puncak yaitu rumah. Kami juga belajar banyak dari perjalanan kali
ini, belajar untuk tidak bersifat sombong karena kita hanyalah makhluk kecil
dibanding alam semesta yang luas, belajar untuk bersyukur kepada Allah yang
memudahkan perjalanan ini, belajar mencintai alam yang telah dikaruniakan Allah
kepada ranah Minang ini dan menjaganya agar generasi selanjutnya dapat
merasakan keindahan yang sama.
“Tidak penting seberapa banyak gunung yang
telah kamu daki, tetapi seberapa banyak pelajaran yang bisa kamu dapatkan
setelah mendaki gunung.”
Terima
kasih telah membaca ~
👍
BalasHapus