Assalamu’alaikum. Selamat berpuasa bagi yang
berpuasa, semoga bisa menjalankan sampai akhir ya dan ibadah puasa kita
diterima. Sambil menunggu waktu berbuka puasa, aku mau cerita beberapa hal
penting selama di Surabaya yang belum sempat diceritakan. Kenapa dijudulnya
tertulis part 2? Karena di bulan Februari tahun 2016 aku juga udah pernah
cerita tentang hal yang sama. Ini merupakan kelanjutan beberapa hal penting
yang belum sempat aku ceritakan di part 1.
Saat ini aku telah kembali ke kampung halaman
meninggalkan Surabaya untuk selamanya. Engga deh, becanda. Bukan untuk
selamanya, tapi sampai ada tawaran kerja atau hal penting lainnya yang harus
aku urus di Surabaya. Aku udah ga ngekos lagi di Surabaya, semua barang-barang udah
aku bawa pulang ke Solok (bukan Solo), Sumatera Barat. Kepulanganku yang
mendadak ini dikarenakan orang tuaku takut aku ga bisa pulang jika tiba-tiba
Surabaya di lockdown menyusul merebaknya virus Corona di Indonesia. Mengenai kepulanganku
ini bisa dibaca di tulisan sebelumnya.
Berada di kampung halaman membuatku kembali
memikirkan beberapa hal yang telah aku lalui selama di Surabaya. Banyak pengalaman
unik yang berbeda dari yang aku alami di Solok. Berikut ini akan aku ceritakan.
Oh ya, sebelum itu, aku kasi tau dulu kalo ini murni pengalaman pribadi. Mungkin
bisa berbeda dari yang dialami oleh orang lain. Dan mungkin pengalamanku ini tidak
berlaku khusus hanya untuk kota Surabaya saja, bisa saja di kota lain juga
mengalami hal yang serupa. Oke, langsung saja:
1. Penamaan Bakwan.
Di Surabaya dan beberapa daerah di Jawa Timur, bakwan disebut sebagai ote-ote. Di
Malang namanya berbeda lagi menjadi Weci/Heci. Padahal selama ini aku mengira “bakwan”
adalah satu-satunya sebutan di seluruh Indonesia untuk gorengan yang terbuat
dari sayuran dan tepung terigu ini. Awal berada di Surabaya, ketika aku membeli
gorengan, penjualnya sering kebingungan ketika aku bilang bakwan.
Aku: “mas, tahu sama bakwannya campur 5000 ya”
Penjual: “tahu sama apa mas?”
Aku: “tahu sama bakwan”
Penjual: “bakwan? Ga ada bakwan mas”
Aku: “lah, itu apa? (sambil menunjuk bakwan)”
Penjual: “oh itu ote-ote mas”
Aku: “ya udah, beli itu aja mas”
Itu trauma pertamaku membeli gorengan. Semenjak saat
itu ketika membeli gorengan aku selalu bilang “beli yang ini mas” sambil
menunjuk bakwan, karena aku kurang yakin dengan penamaan ote-ote, takut salah
sebut. Di kemudian hari aku baru dijelaskan mengenai penamaan ote-ote dan weci
oleh temanku.
2. Air minum di warung/rumah
makan. Jika kita berkunjung ke warung makan mulai dari yang kaki lima hingga
sekelas restoran di Solok atau Sumatera Barat umumnya di meja makan telah disediakan
satu teko berisi air putih/mineral dan beberapa gelas. Pengunjung bebas
mengambil minuman tersebut dan meminta tambah jika air di teko telah habis. Berbeda
dengan yang aku alami di Surabaya. Pemilik warung/restoran tidak menyediakan
hal tersebut di meja makan. Jika mau minum, kita harus memesan ke
pelayan/pemilik warung. Dan sangat jarang bahkan terkesan aneh jika seseorang
memesan air putih/mineral ke pelayan.
Ketika baru di Surabaya, aku makan di sebuah tempat.
Lalu pelayannya bertanya mau minum apa, aku jawab air putih (yang aku maksud
air mineral). Pelayannya tampak heran bercampur kaget dari raut wajahnya. Dan semakin
aku perhatikan, tidak ada pengunjung yang memesan air putih. Rata-rata memesan
es teh atau es jeruk. Dari situ aku tau kalo air putih bukanlah hal lumrah yang
dipesan ketika makan. Padahal bagi anak kos cukup mengeluarkan biaya juga kalo
harus memesan es teh atau es jeruk setiap makan. Dan bukan hal yang baik juga untuk
kesehatan kalo terus-terusan minum es teh atau es jeruk ketika makan. Tapi lama-lama
aku terbiasa juga memesan es teh atau es jeruk.
Pernah juga aku memaksa memesan air putih di suatu
tempat, dan saat membayar air putih yang aku pesan itu dikenai biaya seribu
rupiah. Tapi bagi pengunjung yang ingin air putih/mineral rata-rata di beberapa
warung menyediakan air mineral kemasan (yang tetap harus dibayar).
3. Tidak ada hujan
selama 6 bulan! Ini hal yang membuat aku sangat kaget ketika berada di
Surabaya. Di Solok, walaupun musim kemarau sekalipun, seengganya akan tetap
turun hujan sekali dalam 10 hari. Hujan tidak turun selama 1,5 bulan saja
orang-orang sudah melaksanakan sholat isitisqa (sholat minta hujan). Sementara di
Surabaya 6 bulan lebih tidak hujan dan orang-orangnya masih santai saja. Mungkin
karenaa faktor geografis juga ya. Aku masih ingat hujan pertamaku di Surabaya. Saat
itu awal bulan Desember. Aku dan angkatanku berlatih untuk penampilan angkatan.
Gerimis kecil turun dan aku membiarkan tubuhku dibasahi oleh rintik hujan. Temanku
memintaku untuk berteduh namun aku memilih untuk berdiri sedikit lebih lama
lagi dibawah tetesan air. Aku tidak menyangka nikmat hujan begitu indahnya.
4. Perbedaan arti
kata. Di Solok dan Sumatera pada umumnya kalo ngomong “siap” itu konteksnya
udah selesai. Tapi kalo di Surabaya “siap” itu artinya baru mau diselesaikan.
Temanku: “Rey, gimana tugas m
ind map Sejarah dan
Aliran Psikologimu?”
Aku: “iya, udah siap nih”
Temanku: “oh, baru mau dikerjakan? Okedeh”
Aku: “enggaa.. udah siap kok”
Temanku: “iya iya, baru mau dikerjakan kan? Paham kok”
Aku: “Bukann.. dibilangin udah siap!”
Akhirnya kami baku hantam.
Hal yang sama juga terjadi saat aku bilang ingin
beli bensin untuk sepeda motor.
Teman: “mau kemana?”
Aku: “beli minyak”
Teman: “hah minyak? Minyak goreng? Bensin kali”
Aku: terdiam…
Untuk yang satu ini aku akui kalo penyebutan orang
Solok itu salah. Bensin lebih tepat.
Untuk minuman, jika di Surabaya disebut es teh, maka
di tempatku disebut teh es. Mana yang lebih tepat kira-kira? Es yang dberi teh atau
teh yang diberi es?
Perbedaan lainnya adalah dalam penyebutan nama
barang. Jika ditempat asalku alat untuk penjepit kertas berisi logam berbentuk
huruf U disebut klip maka di Surabaya disebut staples. Akhirnya daripada rancu,
setiap meminta staples ke mas fotokopi aku langsung memperagakannya dengan
gerakan tangan. Di Surabaya klip itu adalah alat penjepit kertas lainnya
seperti gambar di bawah.
Barusan aku cek di kbbi penyebutan staples yang
benar adalah stapler. Sementara staples itu adalah isiannya.
5. Hal yang aku
sesalkan di Surabaya adalah sulit sekali menemukan martabak mesir. Jikapun ada
biasanya harganya lebih mahal daripada di Solok. Sepertinya semakin ke Timur Indonesia
semakin susah menemukan martabak mesir. Padahal martabak mesir menurutku adalah
martabak yang harus kalian coba minimal sekali seumur hidup karena rasanya yang
begitu enak. Aku bahkan mau menjadi duta martabak mesir supaya makanan ini
lebih dikenal lagi di wilayah timur :D
Bedanya apa dengan martabak telur? Untuk
bumbu daging martabak telur umumnya lebih sederhana, yakni bawang bombay,
bawang putih, dan garam-merica secukupnya. Sedangkan bumbu daging martabak
mesir adalah bawang merah, bawang putih, pala, lengkuas, jahe, jintan, bunga
lawang, daun atau bubuk kari, daun salam, dan bahkan santan. Salah satu
keunikan lain yang membedakan citarasa keduanya adalah bahan minyaknya.
Martabak telur umumnya menggunakan minyak kelapa untuk menggoreng martabak,
sedangkan martabak mesir pakai margarin atau minyak samin. Hal unik lainnya
dari martabak mesir yang bikin lezat adalah kuah cukonya yang terdiri dari
potongan bawang bombay, cabe rawit dan tomat. Di Surabaya aku baru menemukan
martabak mesir di restoran sederhana. Harganya kurang lebih 40 ribuan. Kalo kalian
tau tempat lain di Surabaya yang menyediakan martabak mesir silakan komen
dibawah yaa..