Sabtu, 17 Agustus 2019

Review Film Bumi Manusia

Assalamu'alaikum.

Tanggal 15 Agustus kemaren gue baru saja menonton film Bumi Manusia. Film yang diangkat dari karya legendaris Pramoedya Ananta Toer yang juga pernah masuk nominasi nobel sastra ini telah ditunggu oleh banyak orang. Baik yang merupakan pecinta novelnya maupun yang bukan. Banyak yang meragukan kalo film ini akan sebagus novelnya. Dan menurut gue itu wajar. Ga mungkin ada film yang sama persis dengan novelnya dan mampu memenuhi ekspektasi pembaca novelnya. Jadi berikut ini akan gue ulas filmnya tanpa spoiler. Ulasan ini gue ambil dari tweet gue di twitter jadi mungkin antar kalimat agak gak berhubungan.

Secara keseluruhan film ini bagus dan ga mengecewakan. Gue suka sama pembawaan karakter nyai Ontosoroh dan minke oleh tante Ine dan Iqbal. Semangat perlawanan terhadap ketidakadilan juga terasa ke penonton sampe gue ikutan geram. Dulu banyak yang meragukan Iqbal sebagai pemeran Minke. Namun sekarang menurut gue, jika Minke ga diperankan oleh Iqbal maka film ini akan flop dan jadi film berlatar kolonial biasa seperti film-film lainnya serta ga akan diminati oleh generasi milenial. Pemilihan Iqbal sendiri sebagai pemeran Minke juga ga lepas dari kepentingan produksi agar film ini juga ditonton oleh orang yang ga baca novelnya dan merupakan fans Iqbal.

Nyai Ontosoroh berhasil mencuri perhatian dengan kekuatan karakter yang dia tampilkan. Seorang nyai yang berbeda dengan nyai kebanyakan, mengelola perkebunan, namun haknya dirampas oleh hukum kolonial dan dipaksa berpisah dengan anaknya. Untuk pemeran Annalies juga bagus, dan aktiknya di akhir film juga sangat bagus sehingga menggugah penonton. Setelah filmnya selesai, ada mbak-mbak di depanku yang bilang kalo seharusnya dia menonton film ini bersama mamanya (karena keharuan adegan nyai Ontosoroh dan Annalies). Gue pun juga ikut terharu dan berusaha menahan air mata. Gue heran kenapa bisa nangis untuk film ini. Padahal film ini bukan khusus sedih0sedihan. Namun karena akting yang bagus dari pemeran, adegannya bisa sampai ke penonton hingga membuat mereka terharu.

Untuk latar tempat dan suasana kolonialnya terbaik emang (walaupun pakaian tentara Belandanya agak aneh untuk zaman itu). Bahasa yang digunakanpun sangat beragam, mulai dari bahasa Belanda, Prancis, Jepang, Jawa, hingga Indonesia baku. Kenapa bukan bahasa Melayu? Karena mungkin Hanung Bramantyo (sutradara) berkaca dari film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk yang menggunakan bahasa Melayu namun malah terdenagr lucu.

Minusnya Bumi Manusia menurut gue, terlalu banyak adegan ciuman yang ga perlu, gombalin Minke yang cringe, konflik di rumah pelacuran yang kurang jelas, pemikiran Minke yang kurang ditonjolkan, dan kurangnya adegan bersama Jean. Khusus adegan Minke dan Jean yang sedikit, mungkin karena pertimbangan durasi film yang telah 3 jam. Lalu kekurangan lainnya, kurang diperlihatkannya kemampuan nyai Ontosoroh dalam mengelola perkebunan/pertanian sehingga kesannya hanya sebagai tukang check kerjaan anak buahnya saja.

Bagi penonton yang belum membaca novelnya, mungkin heran kenapa filmnya sad ending. Karena memang seperti itulah yang terjadi di novelnya. Bahkan 3 novel lainnya yang merupakan kelanjutan Bumi Manusia juga sad ending. Karena inti ceritanya itu bukan kayak cerita mainstream lainnya dimana yang benar akan selalu menang. Tapi ini adalah cerita yang dekat dengan realita kehidupan. Adakalanya yang benar akan kalah oleh penguasa dan ketidakadilan. Cerita yang disampaikan Pram itu ingin menggugah kesadaran kita dalam menjadi manusia dan bangsa.

Secara keseluruhan film ini cukup bagus, walaupun ga sempurna. Layak untuk ditonton. Terima kasih Falcon Pictures. Terima kasih Hanung Bramantyo. Semoga filmnya lanjut ke Anak Semua Bangsa.

Selasa, 06 Agustus 2019

Merenung Sejenak 2

       Ketika liburan kemaren, aku dan teman-teman melakukan jalan-jalan ke pantai Pariaman. Dalam perjalanan pulang kami mampir ke masjid Raya Sumatera Barat untuk sholat Maghrib. Setelah sholat saat menuju parkiran, mata tertuju pada lampu-lampu taman yang banyak serta taman yang luas. Seketika terlintas pikiran betapa hebatnya pengurus masjid Raya Sumatera Barat yang bisa merawat masjid seluas ini berikut dengan taman dan dekorasi indah lainnya. Listrik juga mengaliri seluruh ruangan sehingga memberi penerangan. Air juga tercukupi untuk kebutuhan bersuci ribuan orang. Kebersihannya pun terjaga. Lalu pikiran kembali melalang buana. 
       Jika masjid yang luas ini saja ada yang mengurusnya sehingga tertata baik, maka alam semesta ini juga pasti ada yang menguasainya sehingga semua seimbang dan berjalan dengan posinya masing-masing. Lampu-lampu taman ibarat bintang di alam semesta, ada yang memberinya cahaya sehingga bisa berpijar. Kebersihan dan ketersediaan air ibarat rezeki yang Allah berikan kepada manusia. Allah tidak akan membiarkan hambanya terlunta-lunta menghadapi kehidupan dunia. Ukiran di dinding masjid yang begitu detail ibarat penciptaan makhluk. Tidak mungkin makhluk begitu saja hadir di dunia dengan segala detail instrumen penopang kehidupan, pasti ada yang menciptakannya. 
       Jika masjid Raya Sumatera Barat yang menurut ukuran manusia saja sudah demikian luas ada yang mengurusnya, maka sudah pasti alam semesta yang jauh lebih luas juga ada yang menciptakan dan mengurusnya.
         Seketika lamunanku berakhir karena aku telah berada di parkiran.


       
  *foto diambil pada kesempatan lain. 

3 Hari 3 Malam

Pra keberangkatan
     Masa liburan belum selesai, tapi aku memutuskan kembali lebih cepat ke ujung timur pulau Jawa. Karena apa lagi kalo bukan untuk kembali mengerjakan skripsi agar lulus secepatnya. Perjalanan ke tanah Jawa kali ini aku lakukan dengan melalui jalur darat menggunakan Bus. Tiket pesawat paling murah harganya 1,7 Juta. Sementara jika menggunakan bus hanya 500k untuk perjalanan dari Solok-Solo. Kemudian dilanjut dengan bus lainnya menuju Surabaya dengan biaya 90k. anggaplah untuk biaya makan sebesar 100k, maka jika di total biayanya hanya 690k. Selisih sekitar 1 juta-an dibanding menggunakan pesawat. Selisih 1 juta ini bisa aku gunakan untuk biaya kos selama 2 bulan yang belum aku bayar karena sedang berada di kampung halaman.
     Ide menggunakan bus ini dicetuskan oleh om Iwan, anak angkat Oma yang berasal dari Jawa. Dia sudah terbiasa pulang balik Solok-Cikuning dengan menggunakan bus dan dia mendapat info bahwa bus Family Raya melayani rute Solok-Solo. Family Raya merupakan bus asal Jambi (atau mungkin Padang) yang kantor pusatnya ada di Jambi. Dibanding bus ANS atau NPM yang juga melayani rute Sumatera-Jawa, nama bus Family Raya bagiku cukup asing didengar. Awalnya papa enggan aku naik Bus. Mama pun begitu, Mengingat jauhnya perjalanan dan kondisi Bus yang mungkin tidak layak. Mama memberitahu bahwa beberapa waktu yang lalu di depan kantornya ada bus Family Raya jurusan Padang-Jakarta yang mogok. Namun om Iwan meyakinkan bahwa kondisi bus Family Raya bagus dan nyaman. Aku pribadi cenderung ingin menggunakan Bus untuk kembali ke Surabaya. Alasan utamanya karena biayanya yang jauh lebih murah. Alasan lainnya karena aku bisa melalui kota-kota di sepanjang Sumatera hingga ujung Jawa. Setelah aku meyakinkan orang tuaku bahwa aku tidak apa-apa jika naik Bus, maka orang tuaku pun membolehkan. Walaupun sampai mendekati hari keberangkatan mereka masih terus memintaku untuk memantau harga tiket pesawat, barangkali telah turun.
     Setelah sepakat menggunakan bus maka aku dan orang tuaku menuju PO bus Family Raya di Solok. Kepada kami pegawainya memberitahu bahwa harga tiket sebesar 650k. lebih mahal dari dugaan kami. Kami memutuskan untuk tidak memesan dulu dan hanya memastikan bahwa untuk tanggal 14 Juli ada bus yang tersedia menuju Solo. Karena PO bus Family Raya yang di Solok ini bukan agen resmi, maka mereka tidak bisa menjual tiket. Mereka harus memastikan terlebih dahulu kepada agen resmi di Padang. Hari selanjutnya pun kami masih sempat kembali ke PO Solok untuk melihat kondisi bus Family Raya. Namun karena busnya tidak kunjung lewat, kami memutuskan untuk langsung ke PO bus Family Raya di Padang pada keesokan harinya.
     Di PO bus Family Raya Padang kami diberitahu bahwa harga tiket hanya 500k, berbeda dari harga tiket di PO Solok. Setelah melihat kondisi bus rute Padang-Jambi kami memutuskan untuk memesan tiket untuk keberangkatanku. Katanya kondisi bus rute Padang-Solo tidak jauh beda dengan rute Padang-Jambi. Rute Padang-Solo ini nanti juga akan lewat Solok, jadi aku memutuskan untuk naik di Solok saja. Pihak bus menyampaikan bahwa aku akan tiba di Solo pada hari Selasa pukul 9 malam. Aku mendapat tempat duduk di nomor 6, kursi kedua dari depan bagian sebelah kiri. Terlalu ke depan menurutku. Kata mereka itu satu-satunya kusi yang tersisa.

Hari 1
     Hari Minggu tanggal 14 Juli pukul 13:30 bus tiba di Solok dan aku segera naik. Ternyata kondisi bus tidak sebagus yang aku bayangkan. Bus yang terlihat tua, jarak antar kursi yang sempit, tidak ada bantal dan selimut, dan yang paling parah tidak ada tempat untuk mengisi ulang baterai hp bahkan di kursi sopir sekalipun. Tapi ya sudahlah aku sudah terlanjur berada diatas bus dan kondisi busnya juga tidak terlalu buruk untuk membuatku enggan menggunakannya. Sebenarnya jika bus ANS atau NPM melayani rute Solok-Solo maka aku akan memilih bus mereka. Namun karena hanya bus Family Raya yang melayani rute tersebut maka aku memutuskan menggunakan jasa mereka.
     Pemberhentian atau istirahat bus pertama belum jauh dari kota Solok. Disana sopir bus meminta penumpang untuk sholat dan menjamaknya sekalian. Atau jika ada yang ingin membeli oleh-oleh silakan. Oh ya, yang aku salut di tape bus yang diputar adalah ceramah agama. Kalau tidak salah dengar penceramahnya adalah Zainuddin MZ. Jarang-jarang aku lihat ada bus yang memutar ceramah agama. Nilai plus tersendiri bagiku. Aku memutuskan untuk menunggu di bus karena telah menjamak sholat sebelumnya. Tak lama bus kembali berjalan. Rasa kagumku berakhir ketika tape memutar lagu Minang. Ternyata ceramah agama hanya diawal saja.
     Teman sebangkuku adalah Bapak paruh baya dengan rambut yang mulai memutih. Dia awalnya duduk di kursiku. Begitu aku naik dia pindah ke kursinya yang berada di sebelahku. Ternyata alasannya pindah karena sandaran kursi penumpang di depannya (kita sebut penumpang A) terlalu diturunkan sehingga menghalangi kaki beliau. Jika aku masih seorang idealis seperti dulu maka aku akan langsung menegur ibu-ibu di depan agar menaikkan sandaran kursinya. Namun sekarang aku adalah seorang opportunis. Aku belum terlalu mengenal si bapak dan aku juga tidak punya kepentingan untuk membela beliau. Aku lihat ibu di depan juga membawa bayi, mungkin itu alasan sandaran kursinya diturunkan supaya lebih mudah menggendong si bayi. Ternyata tak lama kemudian sopir memberitahu bahwa sandaran kurisnya rusak makanya turun begitu. Tapi dari yang kulihat masih bisa dinaikkan walaupun akan turun lagi. Jika ibu di depan punya rasa belas kasihan pasti dia akan menaikkan sandaran kursinya setiap sandaran kursi itu turun terlalu jauh. Si ibu ini pergi bersama suaminya yang duduk disebelahnya. Si suami juga terkadang merasa kasihan dengan si bapak yang di sebelahku dan berinisiatif menaikkan sandaran kursi sesekali.
     Pemberhentian atau istirahat kedua adalah menjelang maghrib di daerah Gunung Medan. Entah kenapa namanya Gunung Medan padahal letaknya bukan di Medan. Disini aku memakan nasi bungkus pertamaku yang aku bawa dari rumah. Ikan bilih dan sambel pedasnya enak. Padahal aku mengira nasi yang dibungkus dari rumah tidak akan enak. Ternyata si Bapak disebelahku juga makan nasi bungkus dan dia tidak sendiri. Dia pergi bersama keluarganya. Beliau mendaftarkan anak perempuannya yang diterima di UGM jurusan Fisika melalui jalur undangan. Ikut bersamanya sang istri dan satu anak lelakinya yang duduk di kelas 5 SD. Si anak bolos dan ikut menemani kakaknya. Keluarganya terpisah duduk di bangku bagian belakang.
     Sekitar pukul 18:45 bus kembali melaju. Si bapak disebelahku (sampai akhir aku tdiak tau namanya karena sangat jarang yang bertanya nama di dalam perjalanan dengan orang asing untuk menghindari informasi pribadi tersebar) pindah ke bagian belakang. Kebetulan masih ada kursi yang kosong tak jauh dari keluarganya. Alhasil, aku bisa selonjoran dan tidur cukup nyaman karena  bangku di sebelahku kosong. Karena aku tidak tau kapan dan dimana bus ini akan berhenti lagi, aku memutuskan sholat maghrib di bus. Debu di kursi penumpang aku jadikan alat untuk tayamum. Setelah itu aku mengecek HP. Masih ada signal dan aku memutuskan mendengar beberapa track lagu Hanin Dhiya untuk mengusir bosan. Kemudian aku memutuskan untuk tidur.
     Tak lama aku terbangun karena bus berhenti di suatu tempat yang ternyata adalah PO Family Raya. Aku mengecek HP, kalau tidak salah ingat waktu menunjukkan pukul 10 malam. Lalu aku mengecek google map, tempat yang muncul di peta adalah Bangko, tak jauh dari kota Jambi. Aku teringat Bangko adalah tempat tinggal temanku yang berkuliah di psikologi UNP. Aku tak tau apakah PO Bangko adalah kantor pusat Family Raya atau bukan. Tempatnya lumayan luas dan ada minimarket sendiri dengan merek Family Raya. Di seberang jalan aku melihat Indomaret. Yah, kita telah berada di luar Sumbar. Karena di Sumbar tidak ada Indomaret ataupun Alfamart disebabkan larangan oleh pemerintah provinsi supaya tidak merugikan usaha kecil anak negeri. Aku kemudian membeli minyak rambut yang lupa aku bawa. Lalu menuju musholla untuk menjamak sholat maghrib dan isya.
     Aku tak tau pukul berapa tepatnya, tapi kemudian bus berangkat. Aku kembali tidur sampai kemudian terbangun karena ada penumpang yang naik. Disana timbul perselisihan karena bapak yang disebelahku tidak mau pindah kembali ke tempat duduknya. Pak sopir kemudian meminta aku bertukar tempat dengan penumpang yang baru naik, namun aku menolaknya. Aku menyarankan si penumpang baru untuk duduk di sebelahku, namun akhirnya pak sopir kembali meminta si bapak untuk kembali duduk di sebelahku. Si bapak akhirnya menerima dan perjalanan dilanjutkan kembali. Ternyata alasan si Bapak ingin pindah ke belakang adalah karena tidak kuat dengan bau parfum bus yang ditempatkan di bagian depan dan kemudian kursi di depannya yang bermasalah sehingga menghalangi kakinya. aku melihat ke belakang dan masih ada 2 kursi lagi yang kosong. Aku menyarankan si bapak untuk pindah ke kursi yang kosong tersebut. Si Bapak terlihat ingin pindah namun tidak pindah saat itu juga. Bus kemudian masuk tempat pemeriksaan di kantor dinas perhubungan. Si Bapak mengatakan izin ke toilet bus yang di bagian belakang. Namun si Bapak tidak kembali dan aku berasumsi dia telah pindah ke tempat duduk yang aku sarankan. Asumsiku benar. Aku kembali dapat berselonjoran dan tidur dengan nyaman.
     Sekitar pukul 1 bus berhenti di tempat yang seperti terminal. Ternyata bannya harus diganti. Butuh 2 jam untuk menggantinya. Selama itu aku memutuskan untuk tidur di atas bus. Lalu bus kembali berjalan dan kembali berhenti di rumah makan kecil sekitar pukul 4. Ternyata ada penumpang yang naik. Jumlah mereka banyak. setelah diselidiki, mereka adalah penumpang bus Family Raya yang busnya mengalami kerusakan sehingga pindah ke bus kami. Bus kami hanya dapat menampung sekitar 8 orang, itu pun ada yang tidak kebagian kursi. Aku bersyukur bus kami tidak rusak. Bangku di sebelahku diisi seorang nenek yang pergi bersama anaknya. Tujuan mereka adalah Muara Enim. Si nenek memberitahu bahwa biasanya beliau naik travel karena lebih murah, 100k saja. Sementara jika naik bus biayanya 250k padahal jaraknya tidak terlalu jauh. Namun karena travelnya tidak sedang beroperasi dia memutuskan untuk naik bus.
     Ketika memasuki waktu shubuh, bus berhenti di rumah makan. Lalu bus jalan lagi dan sekitar pukul 10 bus berhenti di rumah makan yang lain. Aku turun, menuju toilet, sikat gigi dan membersihkan wajah. Setelah itu aku kembali ke bus dan makan nasi bungkus keduaku di luar bus. Di rumah makan itu naik seorang perempuan yang ternyata adalah isteri si supir. Supir busnya ada 2 orang. Satu orang Minang/Jambi yang berperangai dan bermulut kasar. Satu lagi orang Jawa (tepatnya Tegal) yang berperilaku baik namun tetap mencoba berkata kasar ketika marah (walaupun jadinya kelihatan lucu karena ucapan kasarnya dipaksakan). Selain 2 supir, ada satu orang kernet juga. Perempuan tadi adalah isteri supir Minang. Aku cukup bingung kenapa isterinya naik di daerah ini. atau mungkin sejak di Jambi isterinya telah naik namun aku tidak sadar.

Hari 2
     Saat akan berangkat lagi, si nenek (sejujurnya aku ragu beliau lebih pantas dipanggil nenek atau ibu, usianya sekitar 57 tahun) meminta bertukar tempat duduk denganku karena sekitar 1 jam lagi dia akan tiba di tempat tujuan. Aku menolak karena kakiku yang panjang membuatku akan tersiksa jika harus berada di belakang kursi yang rusak. Sekitar 15 menit dari rumah makan tadi di daerah sebelum Muara Enim, kami berhenti di pom bensin untuk mengisi bensin. Ternyata kata petugasnya solar habis. Sopir Minang kami menggerutu dan mengatakan sepanjang jalan dari selepas Bangko hingga hamper memasuki Muara Enim ini bensin habis. Dia takut jika memaksakan sampai ke Muara Enim maka mobil akan mogok. Akhirnya petugas mengatakan bahwa masih ada sedikit sisa Solar yang bisa kami gunakan. Hampir saja kami berhenti lebih lama untuk menunggu truk pertamina datang. Di pom bensin ini juga naik mbak-mbak Jawa dengan bayinya yang akan mudik ke Tegal. Dia terpaksa duduk di depan karena tidak ada kursi yang kosong.
     Sesampainya di Muara Enim, nenek di sebelahku turun. Kursinya digantikan mbak yang membawa bayi tadi. Karena penumpang A di depanku juga membawa bayi, maka mulailah interaksi menggemaskan antar bayi. Namun jika sudah menangis maka mereka akan menjadi sosok yang menjengkelkan sekali. Di kursi sebelah kananku juga ada sepasang penumpang yang membawa anak berusia 4 atau 5 tahun (kita sebut penumpang B). Dan di belakang penumpang tersebut ada juga sepasang penumpang lainnya yang membawa anak berusia sama (kita sebut penumpang C). Mereka pun juga sibuk bermain dan bercanda. Pada saat kehabisan bensin tadi, si bapak penumpang B berkata kepadaku bahwa sopir Minang tidak punya sopan santun. Aku hanya tertawa kecil karena aku tidak mau mencari masalah dengan si supir.
     Dengan tibanya kami di Muara Enim, berarti kami telah memasuki provinsi Sumatera Selatan. Disini ada satu lagu yang diputar tape bus, judulnya takkan pisah, dinyanyikan oleh band Wali. Lagu lama yang membuat aku ingin memutarnya berulang-ulang setiba di Surabaya. Selepas Ashar kami berhenti kembali di rumah makan. Aku menjamak sholat zuhur dan ashar. Penumpang lain ada yang makan. Aku ragu apakah akan ikut makan nasi bungkus terakhirku sekarang atau nanti saja di atas kapal penyeberangan. Aku pikir jarak antara Sumatera Selatan dan Lampung tidak terlalu jauh namun nyatanya sampai tengah malam kami belum juga tiba di pelabuhan Bakauheni, Kab. Lampung Selatan. Penumpang C berpindah ke depan dekat supir untuk merokok (penumpang yang ingin merokok akan pergi ke depan dekat supir karena di depan jendelanya dibuka). Kepada supir Jawa penumpang C bercerita tentang dia yang pernah kerja di Malaysia dan betapa berbedanya kondisi Malaysia dan Indonesia. Dia bercerita tentang Malaysia yang berani tegas kepada pemerintah China dan berharap pemerintah Indonesia tidak terlalu tunduk kepada China. Dia juga menyoroti mahalnya tiket pesawat. Supir Jawa juga sesekali menimpali.
     Sekitar pukul 23:00 kami melewati keramaian yang disebabkan oleh kecelakaan antara bus dan sepeda motor. 2 orang penumpang sepeda motor tergeletak tak bergerak di pinggir jalan. Sepeda motornya hancur. Sopir Jawa mengatakan bahwa sepertinya korban telah tewas. Sepertinya bus pelaku ingin menyalip bus lainnya dan kemudian menabrak sepeda motor. Tidak jelas apakah bus pelaku kabur atau tidak. Yang jelas ada satu bus berhenti disana. Penumpang bus kami yang sebelumnya tertidur ramai bangun untuk melihat. Bus berjalan pelan di lokasi. Tak beberapa memasuki provinsi Lampung seluruh bus yang melintas di kawasan tersebut diminta untuk masuk area kantor dinas perhubungan (sebenarnya bukan kantor dinas tapi lebih ke tempat pemeriksaan kelayakan bus dan penerbitan surat jalan). Supir Jawa menduga ini ada kaitannya dengan kasus tabrakan tadi karena sebelumnya tidak pernah ada pemeriksaan seperti itu di wilayah ini. Setelah 10 menit, bus diperbolehkan melaju kembali.
      Menjelang masuk pelabuhan Bakauheni kami berhenti dahulu di PO Family Raya yang juga mempunyai rumah makan. Selepas sholat isya aku ditanya oleh si Bapak (mantan teman sebangkuku) apakah tidak makan. Aku pun memutuskan makan nasi bungkus terakhirku karena sedari tadi sudah menahan lapar. Ketika makan di sebuah kursi di luar bus, di sebelahku duduk seorang pemuda berusia sekitar 27 tahun. Ternyata dia juga akan ke Solo. Aku bersyukur ada teman seperjalanan ke Solo. Dia asli Solo dan saat ini akan akan mudik ke Solo. Dia bekerja di Pariaman semenjak tahun 2007. Kepadaku dia memberitahu bahwa ada bus EKA tujuan Surabaya dari Solo. Sebelumnya aku juga telah mencari tau tentang bus tujuan Surabaya dan aku tertarik naik bus EKA kelas eksekutif.
     Saat antri masuk kapal feri di pelabuhan Bakauheni, bus kami disalip oleh bus lain sehingga kami harus naik kapal lain karena kapal tersebut telah penuh. Supir Minang kami marah dan memaki-maki petugas pelabuhan. Pukul setengah 5 pagi kami menyeberang. Aku masuk ke bagian penumpang di kapal dan mencas HP karena di bus tidak ada tempat cas HP. Rencananya aku mau mencas powerbank juga namun kepala casnya tertinggal di bus. Sembari menunggu waktu shubuh aku tiduran di kursi kapal. Kemudian selepas Shubuh aku mencuci wajah dan sikat gigi. Sebenarnya pukul 6 kami telah bisa merapat ke pelabuhan. Namun karena antri kami menunggu dulu di laut. Aku mengambil kesempatan tersebut dengan mengabadikan sunrise di dek depan kapal. Sangat indah pemandangannya.
     Pukul 7 kami keluar dari kapal. Hari Selasa, tanggal 16 Juli secara resmi kami telah menginjak tanah Jawa. Saat keluar kapal terjadi macet parah kendaraan yang akan keluar dari pelabuhan Merak. Supir bus kami yang tidak mau busnya tersalip lagi memaksa maju ke depan. Akibatnya truk yang di sebelah kami tidak bisa bergerak karena terlalu mepet. Supir kami marah dan memaki-maki supir truk tersebut karena menganggap supir truk tersebut tidak mau mengalah. Hampir terjadi perkelahian, untungnya tidak jadi. Akhirnya kami berhasil keluar dari pelabuhan Merak. Aku tidur kembali.
     Menjelang masuk tol, kami istirahat makan dulu. Makanan pertama yang aku coba di tanah Jawa adalah soto ayam seharga 36k lengkap dengan teh botol. Aku kaget begitu akan membayar. Tapi ya sudahlah. Kernet bus meminta kami naik ke bus karena bus akan berangkat. Diatas telah duduk penumpang B dan penumpang C. mereka saling bercerita bahwa anak mereka menangis karena tidak dibelikan mainan yang dijajakan oleh penjual mainan di depan rumah makan. Penjual mainan mengatakan “sayang anak, sayang anak”. Namun menurut ibu penumpang B, jika sayang anak maka seharusnya orang tua mendidik anak dengan baik, mengajari akhlak yang baik, sehingga si anak akan menyayangi orang tuanya kelak yang telah merawat mereka di waktu kecil. Tambahnya lagi lebih baik uang disimpan dan digunakan untuk keperluan pendidikan anak. Sambil menyebutkan bahwa saat ini pendidikan pesantren sedang trend dan jika ada rezeki maka kelak si anak akan dikuliahkan. Si ibu penumpang C juga menambahkan bahwa dia pernah membeli mainan mobil transformer seharga 35k namun setelah 3 hari mainan tersebut langsung rusak. Mendengar pembicaraan mereka aku jadi terharu mengingat bahwa orang tua ingin yang terbaik untuk anak mereka. Orang tua berharap anaknya bisa menjadi pribadi yang baik dan berakhlak mulia serta berpendidikan. Menjadi ironi apakah ketika dewasa kelak si anak dapat menjadi anak yang diharapkan oleh orang tuanya atau tidak.
     Bus lanjut lagi dan supir Jawa mengambil alih. Supir Minang yang telah selesai mandi dan mengganti pakaian kini duduk di bangku belakang supir yang kosong. Dia kemudian ikut bercanda dengan ibu penumpang B. Entah maksudnya untuk mencairkan suasana setelah keributan di pelabuhan atau emang dia ingin menjahili is ibu B ini. Si supir Minang mengatakan bahwa bus tidak akan berhenti di Bekasi. Suami penumpang B hanya tertawa saja dan ikut-ikutan bercanda karena tau si supir bercanda degan mengatakan itu. Namun si ibu penumpang B merasa kesal dan mengatakan kalau tidak akan diturunkan di Bekasi kenapa mereka dinaikkan ke bus yang ini. si supir Minang menjawab, salah sendiri naik bus ini. Dia kemudian bertanya kepada ibu penumpang B asalnya darimana. Si bapak penumpang B memberitahu bahwa isterinya dari Pariaman. Supir Minang menggoda ibu penumpang B dengan mengatakan bahwa ibu penumpang B merupakan pribadi yang bersuara keras karena tinggal di pinggir laut. Merasa kesal, ibu penumpang B kemudian memegang kepala supir minang sebanyak 2 kali. Supir Minang marah dan mengatakan bahwa dia bercanda hanya dengan mulut saja, jangan dengan fisik apalagi kepala. Lanjutnya lagi, kepala adalah hal yang dia lindungi karena dia telah di aqiqah oleh orang tuanya. Aku hanya tertawa dalam hait. Tipikal orang Indonesia banget yang sangat anti dipegang kepalanya. Si suami penumpang B hanya tersenyum tipis saja dan tidak ikut membela isterinya. Setelah itu suasana jadi sedikit canggung. Si supir Minang kemudian bercanda dengan penumpang yang lain dan bapak penumpang B juga ikut. Suasana canggung sedikit reda.
       Aku kemudian tidur lagi dan kami tiba di kebon jeruk (tempat aku naik bus dulu saat akan pulang ke Solok). Disini ada 2 orang penumpang yang turun. Di perjalanan dari kebon jeruk ke Bekasi aku mendengar Bapak penumpang C bercerita kepada penumpang D bahwa dia akan turun di Bandung sama seperti penumpang D. Dia menduga mereka akan dipindahkan ke bus lainnya di Bekasi. Penumpang C juga bercerita bahwa dia ke Bandung dengan maksud membuka rumah makan Padang. Dia telah menggeluti berbagai profesi semenjak berusia 17 tahun, mulai dari menggergaji kayu, menjadi TKI secara Ilegal di Malaysia, berjualan bumbu masakan, dan kini dia mencoba membuka rumah makan Padang di Bandung. Menurutnya yang membedakan rumah makannya dengan rumah makan lain adalah bumbu dan kuahnya. Aku salut mendengar bahwa beliau telah melalang buana semenjak usia 17 tahun dan telah berpenghasilan. Saat ini usianya sekitar 35 tahun. Aku juga ingin secepatnya lulus dan bekerja. Oh ya, penumpang C sempat meminjam powerbankku karena baterai hpnya habis padahal dia harus menghubungi keluarga di Bandung.

Hari 3
       Sekitar pukul 12 siang kami tiba di Bekasi, bus kami menuju terminal Bekasi. Banyak orang yang turun disini sehingga bus menjadi lebih longgar. Ternyata penumpang C dan D tidak diturunkan disini melainkan dibawa terus menuju Solo. Setelah memasuki tol, kernet kami menghubungi pihak PO Family Raya Padang untuk menanyakan kenapa penumpang tujuan Bandung bisa ada di bus ini. Ternyata diketahui bahwa agen Padang menulis tujuan Bekasi di kertas tiket penumpang tersebut walaupun penumpang C dan D telah mengatakan kepada agen Padang bahwa mereka akan turun di Bandung. Aku cukup kecewa mendengar hal tersebut. Agen Padang rela menipu penumpang demi memenuhi kuota kursi. Padahal apa salahnya jika mereka dinaikkan bus tujuan Bandung sejak awal. Akhirnya penumpang C dan D diturunkan di pinggir jalan tol dan untungnya tak lama kemudian bus tujuan Bandung lewat. Mereka bergegas naik bus tersebut. Penumpang C sempat  bersalaman denganku dan mengatakan terima kasih. Aku membalasnya dengan ucapan hati-hati di jalan.
       Dari Bekasi hingga Tegal kami menggunakan jalan tol. Karena tempat duduk telah banyak yang kosong aku pindah ke kursi bagian kanan tempat penumpang B dulu. Di Tegal mbak Jawa yang membawa bayi dan seorang perempuan lagi yang duduk di belakang turun. Ternyata bayinya mengompol di kursi L. Kemudian dari belakang pindah ke tempat duduk sebelahku seorang pak tua yang akan menuju Salatiga. Dia naik di Bekasi. Aku dan dia banyak becerita tentang masa penjajahan hingga kemerdekaan yang intinya bahwa sisi baik dari oenjajahan adalah Indonesia bisa bersatu. Kalau tidak mungkin kita masih menjadi kerajaan-kerajaan yang tersebar di nusantara.
      Kota Solo yang aku perkirakan bisa ditempuh 8 jam dari Bekasi ternyata hingga pukul 9 malam kami masih berada di Tegal. Menjelang Semarang, bus kami beristirahat di depan rumah makan. Selepas sholat, aku duduk di luar bus. Bapak mantan teman bangkuku yang baru selesai makan duduk di sebelahku. Dia mengeluhkan harga makanan yang terlewat mahal. Aku juga menyampaikan bahwa selepas Bakauheni tadi aku makan soto ayam seharga 36k. kemudian kami bercerita banyak. Si Bapak dulunya pernah merantau ke Jakarta. Pekerjaan pertamanya adalah menjadi satpam bank. Baru 3 bulan bekerja, krisis 98 pecah dan dia memilih menjaga toko kakaknya daripada menjaga bank tempat dia bekerja karena kerusuhan massa tidak bisa dihentikan. Dia bercerita ada yang membawa tiang listrik untuk mendobrak teroli besi mall. Dan dia juga menyampaikan ada orang yang membakar mall dari bawah padahal di lantai atasnya sedang banyak massa yang menjarah. Selepas itu dia mendaftar di kepolisian namun gagal pada tes akhir. Temannya ada yang lolos setelah menjual sawah orangtuanya untuk menyuap panitia dan kini dia bertugas di Solok. Kemudian dia bekerja di bagian labor perusahaan lem. Dia pernah diancam dengan golok oleh petugas truk yang membawa bahan baku lem karena tidak meloloskan truk tersebut yang ternyata mengandung bahan campuran lainnya. Setelah bosan disana dia pergi ke Jakarta untuk berjualan baju. Dia cukup menyesal karena tidak serius berjualan baju.
     Kemudian datang Bapak penumpang A. Bapak mantan teman bangkuku bercerita bahwa supir Minang sangat kasar. Penumpang A menyetujui, tapi dia tidak punya kuasa. Mereka hanya penumpang katanya. Si Bapak menambahkan bahwa supir tidak memperlakukan manusia secara manusiawi. Lalu si Bapak bertanya-tanya dimanakah mereka akan dipindahkan (penumpang A juga akan ke Jogja). Aku mengatakan bahwa mungkin selepas Solo bus ini akan terus ke Jogja. Namun kemudian kernet memberitahu bahwa mereka akan dipindahkan ke bus lain di Solo.
     Sekitar pukul 10 malam bus berangkat. Di Semarang turun lagi sekeluarga besar. Lalu di Salatiga turun pak tua dan cucunya. Sekarang di bus tinggal penumpang A, si Bapak dan keluarga, lalu aku dan mas Solo. Pukul 1 kami tiba di Solo. Baru memasuki kota Solo, di persimpangan lampu merah, bus berhenti. Penumpang A dan si Bapak beserta keluarga turun dan dipindahkan ke bus lain. Aku membantu menurunkan koper lalu naik lagi menunggu di bus. Setelah sopir Minang dan kernet kembali ke bus aku baru tau ternyata mereka cekcok dengan si Bapak. Pihak bus tidak mau membayar tiket mereka ke Jogja padahal perjanjian awal mereka membayar untuk ke Jogja. Lagi-lagi aku kecewa dengan bus ini. Tapi untunglah selama perjalanan aku tidak pernah dikasari oleh supir Minang.
     Supir bus bertanya kepadaku apakah akan dibantu dioper ke bus lain. Aku menolak dan meminta diturunkan di terminal Solo saja. Supir Minang hanya berani mengantarkan aku sampai jarak yang tidak cukup jauh dari terminal karena bus ini tidak boleh masuk terminal Solo. Aku bersama mas Solo berjalan menuju terminal. Hanya tinggal menyeberang dan berjalan sedikit. Aku  berencana naik bus EKA. Mas Solo memberitahu bahwa tujuan timur ada di sisi lain pintu yang aku masuki. Aku sempat miskom dengan mas Solo dan menunggu di tempat yang salah. Akhirnya setelah bertanya ke penjual pulsa aku menemukan ruang tunggu bus tujuan Surabaya.
     Pukul 3 pagi aku naik bus EKA kelas eksekutif tujuan Surabaya. Biayanya 90k lengkap dengan voucher makanan. Pukul 4.15 kami tiba di Ngawi dan aku sholat Shubuh dahulu. Lalu aku memesan nasi goreng. Aku takut nasi gorengku belum habis ketika bus berangkat. Tapi ternyata aku bisa makan hingga hampir habis. Kernet bus mengingatkanku bahwa bus akan berangkat. Aku kemudian bergegas menuju bus. Aku tidur hingga sampai Surabaya. Bus memasuki kota Surabaya pukul 8 pagi. Menjelang terminal Bungurasih Surabaya (Sidoarjo?), ternyata ada penumpang yang salah naik bus, padahal harusnya dia akan ke Gresik. Penumpang lain menyarankan untuk pindah ke bus lain nanti. Aku turun di depan terminal dan memesan Go-car. Cukup capek membawa tas dan koper menuju alfamart terdekat karena Go-car tidak boleh mengambil penumpang di terminal. Aku tiba di kos sekitar pukul 9 pagi. Di kos aku baru menyadari bahwa peralatan mandi dan satu buah kolorku hilang. Jika di total perjalananku kurang lebih 68 jam. Menurutku pengalaman naik bus menyusuri Sumatera dan Jawa merupakan pengalaman yang harus dicoba sekali seumur hidup. Alhamdulillah.

Jumat, 21 Desember 2018

Dibalik Aksi represif RRC terhadap Uighur

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh...

Akhir-akhir ini rame pembahasan tentang penindasan pemerintah China terhadap muslim Uighur. Sebagian besar dari laki-laki dewasa muslim uighur dimasukkan ke dalam kamp dan dipaksa menghilangkan identitas mereka.

Saat berita tersebut viral di dunia, muncul banyak aksi protes dari masyarakat dunia. Negara-negara barat dan PBB mengecam tindakan tersebut. Sementara di Jepang, dilakukan aksi long march untuk membela muslim Uighur. Umat Islam Indonesiapun tidak ketinggalan, mereka mengadakan aksi protes di depan kedubes China di Jakarta.

Banyak yang mengutuk aksi pemerintah China tersebut dan menuduh pemerintah China anti Islam. Namun, saya pribadi melihatnya ini bukan murni karena persoalan agama, tapi ada faktor lain yang menyebabkan pemerintah China berperilaku represif terhadap muslim Uighur.

Kenapa saya mengatakan kalo ini bukan murni persoalan agama? karena di China sendiri, muslim dari suku Hui (sukunya Laksamana Cheng Ho) dapat hidup aman dengan menjalankan keyakinannya serta menjalankan perekonomian seperti rakyat China lainnya. Perlu diketahui, pemerintah China bukannya tidak membolehkan rakyatnya untuk memeluk agama, mereka bahkan tidak membatasi rakyatnya untuk memeluk agama apapun (di Indonesia dibatasi hanya 6 agama yang diakui), dan juga tidak melarang rakyatnya jika tidak ingin memeluk agama apapun, dalam artian menjadi atheis atau menjadi agnostik. Mereka bahkan tidak peduli dengan semua itu. Yang mereka larang adalah rakyat yang membawa-bawa urusan agama dalam pemerintahan dan kehidupan bernegara.

Walaupun bagi kita sebagai seorang muslim, pandangan ini salah, karena agama bukan hanya tentang diri kita sendiri dan ritual ibadah semata, tetapi didalamnya mencakup segala aspek kehidupan kita mulai dari politik, ekonomi, sosial, dan lainnya yang tidak bisa dipisahkan. Tapi pandangan pemerintah China ini didasari oleh pengalaman traumatis mereka ketika masa kerajaan yang mempunyai keyakinan bahwa raja adalah "anak langit" yang kekuasaannya di bumi merupakan perwakilan dewa-dewa di langit sehingga mutlak dipatuhi. Akibatnya raja dapat berlaku sewenang-wenang kepada rakyatnya. Hal ini yang tidak mau dialami pemerintah China lagi.
Peristiwa yang terjadi di China juga mengingatkan saya dengan apa yang terjadi di Indonesia, tepatnya di Papua. Jangan-jangan apa yang dilakukan pemerintah China terhadap muslim Uighur juga dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap rakyat Papua. Loh kok bisa? Ayo kita analisis.

Pada muslim Uighur, ada keinginan untuk merdeka dan mendirikan negara sendiri yaitu Turkistan Timur. Di Papua juga begitu, ingin mendirikan negara West Papua.
Pada muslim Uighur, banyak dari mereka yang dilakukan penahanan paksa tanpa proses hukum yang jelas. Di Papua juga terjadi demikian. Walaupun tidak sebanyak yang di Uighur.
Selanjutnya, banyak suku Han (mayoritas) yang bermigrasi ke wilayah Uighur sehingga rakyat Uighur yang pada mulanya mayoritas namun kini hampir menjadi minoritas dengan perbandingan 40% suku Han dan 60% suku Uighur. Di Papua juga demikian, banyaknya suku jawa yang difasilitasi oleh pemerintah bertransmigrasi ke Papua.

Kemudian, adanya upaya penghilangan identitas dan cara hidup muslim Uighur. Mereka dipaksa hidup dengan cara ala pemerintah China sehingga perekonomian mereka tergantung kepada suku Han. Hal ini juga terjadi di Papua, suku Papua yang makanan pokoknya sagu, dipaksa beralih kepada beras. Pemerintah membangun 1,2 juta hektar sawah (dan masih akan ditambah 3 juta hektar sawah lagi walaupun proyeknya masih mangkrak). Sehingga yang awalnya masyarakat Papua tidak perlu bercocok tanam, merawat bibit padi hingga tumbuh, memberi pupuk, bekerja untuk sawah milik orang lain, kini dipaksa untuk melakukan itu semua. Perekonomian mereka juga dijajah oleh pemilik pabrik khususnya sawit. Mereka terpaksa menjual tanah mereka kepada pemilik pabrik, jika tidak mau maka mereka akan dikriminalisasi, dan setelah dijual pun mereka dipaksa bekerja di tanah mereka sendiri sebagai buruh sewa. Sumber daya alam mereka, emas, tembaga, nikel, habis dikeruk sementara yang mereka dapat tidak sebanding.

Hal ini juga yang mungkin membuat pemerintah Indonesia belum mengeluarkan pernyataan sikap terkait yang terjadi di Uighur, karena mereka juga melakukan hal yang sama di negeri mereka sendiri. Di satu sisi, rakyat Uighur dan rakyat Papua menganggap mereka bukan bagian dari China dan Indonesia sehingga ingin merdeka. Bagi mereka tindakan mereka ini benar. Sementara di sisi lain, pemerintah China dan Indonesia juga menganggap tindakan mereka yang melakukan represi terhadap Uighur dan Papua benar karena mereka ingin mencegah tindakan separatis.

Yah memang begitulah pertikaian. Pertikaian memang akan terjadi jika kedua pihak merasa sama-sama paling benar. Maka dari itu tindakan yang tepat untuk mengatasi ini adalah dengan duduk dimeja perundingan. Karena jika tindakan represi ini semakin gencar maka tidak mungkin akan menyulut kemarahan rakyat yang dianiaya sehingga tindakan mereka akan semakin brutal. Namun baik tindakan perundingan maupun represi sama-sama mempunyai kerugian. Jika melakukan perundingan, maka pihak pemerintah secara otomatis mengakui eksistensi pihak musuh. Sedangkan jika dilakukan represi maka pemerintah akan dianggap sebagai pelanggar HAM. Saya rasa dilema inilah yang sedang dialami oleh TNI di Papua.

Terlepas dari itu semua, kita sepakat, upaya penangkapan, penganiayaan, penghilangan identitas secara paksa yang dilakukan pada masyarakat Uighur adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan. Aksi protes oleh umat Islam menunjukkan bahwa mereka telah memiliki kesadaran bahwa yang di Uighur sana juga saudara mereka, karena muslim itu bersaudara. Semoga semangat persatuan di kalangan umat Islam ini semakin kuat sehingga nantinya sekat-sekat yang lain akan hilang dan kita hanya akan disatukan oleh satu entitas yaitu entitas keIslaman.

Kamis, 18 Oktober 2018

Mengenal Psikologi Islam


Asosiasi Psikologi Islam (API) merupakan satu dari 13 asosiasi atau ikatan yang ada di Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI). Selain API, di HIMPSI juga terdapat asosiasi atau ikatan lainnya seperti Asosiasi Psikologi Kristiani (APK), Asosiasi Psikologi Forensik (APSIFOR), Ikatan Psikologi Olahraga (IPO), Ikatan Psikoterapis Indonesia, dan lainnya dengan total 13 asosiasi atau ikatan.
Salah satu tujuan dari API adalah sebagai sarana perkembangan Psikologi Islam di Indonesia dan sekaligus memberikan banyak kemanfaatan bagi masyarakat luas. Psikologi Islam sendiri berangkat dari kenyataan bahwa psikologi kontemporer dalam perkembangannya dianggap mengalami distorsi yang fundamental, psikologi yang seharusnya membicarakan konsep jiwa, namun ternyata tidak mau tahu dengan hakikat jiwa. Serta keberatan akan praktek melandaskan kajian perilaku manusia pada hasil penelitian terhadap perilaku hewan, sehingga seolah-olah psikologi mempelajari yang “tidak berjiwa” (Mudjib & Muzakir, 2002). Kemudian psikologi kontemporer juga cenderung mengabaikan latar belakang kebudayaan dan karakteristik masyarakat. Karena teori yang dikembangkan di suatu daerah dengan budaya serta karakteristik masyarakat tertentu belum tentu sesuai untuk diaplikasikan di daerah lain dengan karakteristik masyarakat dan budaya yang berbeda.
Konsep ini juga didukung oleh seorang psikolog asal Amerika yang bernama Erich Fromm. Dia menyatakan bahwa kebutuhan utama manusia untuk hidup secara bermakna yang berwujud aktivitas menyembah Sang Pencipta, belum dipenuhi oleh peradaban Barat (Amerika). Para psikolog lain seperti P. Scott Richards dan Allen E. Bergin dari American Psychological Association (APA) juga menyatakan bahwa pentingnya memasukkan nilai religius dan spiritual dalam intervensi psikologi.
Di Indonesia, momentum Psikologi Islam diawali dengan terbitnya sebuah buku hasil karya Djamaluddin Ancok & Fuad Nasahari Suroso dengan judul Psikologi Islami, Solusi Islam  atas  Problem-problem Psikologi (1994). Kemunculan buku ini berbarengan dengan berlangsungnya kegiatan Simposium Nasional Psikologi Islam I. Psikologi Islami didefinisikan sebagai ilmu yang berbicara tentang manusia, terutama masalah kepribadian manusia, yang berisi filsafat, teori, metodologi dan pendekatan problem dengan didasari sumber-sumber formal Islam, akal, indera dan intuisi (Ancok & Suroso, 2005). Sedang menurut Baharuddin (2005), Psikologi Islam adalah sebuah aliran baru dalam dunia psikologi yang mendasarkan seluruh bangunan teori-teori dan konsep-konsepnya kepada Islam. Dapat disimpulkan, Psikologi Islam adalah ilmu tentang jiwa dan perilaku manusia berdasarkan sumber utama Islam, yaitu Al-qur’an dan Hadis.
Ada perbedaan pendapat untuk menamai konsep psikologi baru ini dengan “Psikologi Islami” (dengan i) atau “Psikologi Islam” (tanpa i). “Psikologi Islami” mewakili pilihan para ahli untuk menonjolkan ilmu psikologi yang dilatari oleh konsep Islam, sedang “Psikologi Islam” dimaksudkan “sebagai bagian” dari studi Islam untuk menjelaskan berbagai fenomena psikologi. Semenjak berdirinya Asosiasi Psikologi Islami pada tahun 2002, nama resmi yang diakui untuk konsep psikologi baru ini adalah “Psikologi Islami” (dengan i). Namun setelah konferensi API pada tahun 2015, nama yang disepakati adalah “Psikologi Islam” (tanpa i). 
Mengenai ruang lingkup Psikologi Islam, jika ruang lingkup psikologi kontemporer terbatas pada tiga dimensi, yaitu: dimensi fisik-biologi, dimensi kejiwaan dan sosiokultural. Maka Psikologi Islam juga mencakup dimensi kerohanian (spiritual). Selain itu, terdapat beberapa alternatif metode yang bisa digunakan untuk membangun Psikologi Islam yaitu Metode Pragmatis dan Metode Idealistik (Mujib & Mudzakir, 2002). Metode Pragmatis adalah metode pengkajian dan pengembangan psikologi Islam yang mengadopsi kerangka teori-teori psikologi kontemporer yang telah mapan. Teori-teori tersebut kemudian dicarikan legalisasi dan justifikasinya dari Al-Qur’an dan Hadis. Sementara Metode Idealistik yaitu metode yang lebih mengutamakan penggalian Psikologi Islam dari ajaran Islam sendiri. Metode ini menggunakan pola deduktif dengan cara menggali premis mayor (sebagai postulasi) yang digali dari Al-Qur’an dan Hadis.
Jika tujuan Psikologi Barat hanya tiga; menguraikan, meramalkan dan mengendalikan tingkah laku, maka Psikologi Islam menambah dua poin; yaitu membangun perilaku yang baik dan mendorong orang hingga merasa dekat dengan Allah SWT. Konseling Psikologi Islam tidak hanya fokus pada sekitar masalah sehat dan tidak sehat secara psikologis saja, namun juga menembus hingga bagaimana orang merasa hidupnya bermakna.
Namun perlu diingat bahwa meskipun Psikologi Islam tidak dapat terpisahkan dari agama Islam, Psikologi Islam adalah ilmu pengetahuan yang harus dikembangkan secara ilmiah. Artinya, integrasi antara psikologi dan agama tidaklah dilakukan secara ngawur atau mereduksi fenomena keagamaan menjadi semata-mata fenomena psikologi. Psikologi Islam juga tidak untuk disakralkan atau menggantikan peran agama dalam upaya mengatasi permasalahan kejiwaan.
Diatas semua itu, Psikologi Islam sebagai disiplin ilmu yang relatif muda masih memiliki beberapa kendala sendiri saat ini seperti integrasi psikologi dengan Islam yang masih bertaraf teoritik dan belum pada tataran aplikatif serta belum adanya alat tes dalam mengukur kriteria-kriteria tertentu. Dengan semakin dikenalnya Psikologi Islam, harapannya kalangan ilmuan psikologi, praktisi, peneliti dan siapapun yang tertarik dengan Psikologi Islam dapat menemukan solusi atas permasalahan ini sehingga membuat Psikologi Islam menjadi disiplin ilmu yang kokoh.

Referensi:
Ancok, Jamaluddin Ancok & Fuad Nashori. 2005. Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Badri, M. B. 1993. Dilema Psikolog Muslim. Yogyakarta: Pustaka Firdaus.
Baharuddin. 2005. Aktualisasi Psikologi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bastaman, Hanna Djumhana. 1997. Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jamaluddin, Dadan dkk. 2006. Psikologi Islami, alternatif pendekatan lewat kacamata Islam, diskusi reguler jurusan Tasawuf Psikoterapi. Fakutas Ushuluddin.
Mujib, Abdul &  Mudzakir. 2001. Nuansa-nuansa Psikologi Islam. Jakarta: Raja Grafindo.
Purwoko, Saktiyono B. 2012. Psikologi Islami: Teori dan Penelitian (cetakan kedua). Saktiyono Wordpress.

Kamis, 04 Oktober 2018

Azab, ujian, atau alamiah?


Assalamu’alaikum. Selamat malam.
Sudah lama tidak menulis, dan Alhamdulillah pada kesempatan kali ini bisa menulis kembali.
Baru-baru ini Indonesia dikejutkan dengan gempa dan tsunami yang terjadi di Donggala & Palu, Sulawesi. Gempa tersebut terjadi pada tanggal 28 September 2018 pukul 18:02 WITA atau 17:02 WIB. Gempa dengan kekuatan 7,4 SR (ada yang menyebut 7.7 SR) ini diikuti oleh tsunami yang meluluhlantakkan kota Palu dan Donggala. Tak cukup sampai disitu, tak lama setelah gempa dan tsunami, terjadi fenomena Likuifaksi atau tanah bergerak yang menelan satu kompleks perumahan kedalam tanah. Sampai saat ini, 2000 orang telah dinyatakan sebagai korban dan jumlahnya terus bertambah. Kita bersedih dan berduka atas peristiwa ini. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan untuk menghadapi ini.
Yang menarik, banyak yang berkomentar mengenai peristiwa ini di media sosial. Ada yang beranggapan ini adalah ujian, ada yang mengatakan ini azab, dan ada yang berpendapat ini adalah kejadian alam biasa yang tida perlu disangkutpautkan dengan kehendak Tuhan. Netizen di media sosial, ramai membincangkan ini. Manakah pendapat yang benar? Menurut saya, ketika terjadi bencana alam di suatu tempat, maka yang harus diinterospeksi pertama kali adalah diri sendiri. Jadikan bencana tersebut sebagai kesempatan untuk melihat kembali apa yang telah kita perbuat selama ini. Apakah yang kita lakukan telah sesuai dengan perintah Allah dan kita tidak melakukan yang dilarangnya? Apakah kita telah benar-benar memurnikan ketaatan kepada Allah dan tidak menyekutukannya? Itulah yang harus kita lakukan pertama kali saat mendengar bencana terjadi di suatu tempat.
Jangan sibuk menghakimi orang lain dengan menuduh bencana yang terjadi di tempat tersebut sebagai azab atas dosa penduduknya. Tapi berkacalah kepada diri sendiri atas apa yang telah diperbuat selama ini. Bencana tidak terjadi di tempat kalian bukan berarti kalian lebih baik dibanding penduduk yang tertimpa bencana. Bisa jadi tidak terjadinya bencana di tempat kalian adalah karena Allah sudah tidak peduli dengan kalian. Atau Allah sengaja menangguhkan bencana di tempat kalian sampai kalian terlena dengan dosa-dosa kalian. Dan bisa saja bencana yang menimpa saudara kalian di tempat lain adalah karena Allah masih sayang dengan mereka. Allah ingin mereka kembali mengingat Allah dengan memberinya bencana tesebut. Siapa tau setelah bencana itu, penduduk di daerah tersebut menjadi lebih ta’at kepada Allah. Sementara kita yang sibuk menghakimi malah tidak mendapat pelajaran dari peristiwa tersebut dan semakin jauh dari Allah. Semoga kita dijauhkan dari hal tersebut.
Sekarang pertanyaan selanjutnya? Apakah gempa dan tsunami yang terjadi atas campur tangan Allah atau hanya kejadian alamiah biasa? Saya sepakat bahwa gempa dan tsunami tersebut terjadi atas kehendak Allah. Karena bahkan satu helai daun yang gugurpun terjadi atas kehendak Allah. Apakah Allah jahat? Tidak karena bisa saja ada hikmah dibalik persitiwa tersebut yang kita tidak tau.
Apakah setiap bencana diartikan sebagai azab dari Allah? Menurut saya tidak. Bisa saja bencana tersebut terjadi karena Allah menginginkannya seperti itu, Bisa saja bencana itu memang sesuatu yang harus terjadi dan telah dituliskan di lauhul mahfudz jauh sebelum manusia tercipta. Atau bisa juga bencana itu merupakan cara Allah agar bumi kembali menemukan titik keseimbangannya. Wallahu'alam, kita tidak selalu tau apa hikmah dibalik suatu peristiwa, namun yang harus kita lakukan adalah berhusnudzan kepada Allah dan orang yang sedang ditimpa bencana serta melakukan introspeksi kepada diri sendiri.
 Demikian opini saya untuk peristiwa ini. Semoga Sulawesi cepat pulih.

Kamis, 23 Agustus 2018

Apa yang kamu cari di Psikologi?


“Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali" - Tan Malaka ”.
Saat pertemuan dengan dosen wali untuk persetujuan Kartu Rencana Studi, dosen wali saya menanyakan pertanyaan “Apa yang kamu cari di Psikologi?”. Ingatan saya kembali di tahun 2015 saat saya mendaftar di fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Niat awal saya hanya ingin lolos dan diterima di jurusan psikologi dan di salah satu universitas terbaik di Indonesia. Setelah dinyatakan diterima, niat itu berubah menjadi saya ingin setelah lulus bekerja sebagai dosen psikologi.
Kemudian setelah saya menjalani beberapa semester di Fakultas Psikologi, saya kembali memikirkan alasan saya berada di Fakultas Psikologi. Dengan bertambahnya mata kuliah yang telah saya ambil membuat saya melihat manusia dari sudut pandang lain. Jika selama ini saya mudah sekali “menghakimi” manusia jika melakukan kesalahan, maka setelah saya belajar di psikologi saya menjadi lebih berusaha untuk tidak tergesa-gesa menghakimi seseorang atas kesalahan yang dilakukannya. Saya belajar untuk mencari tau terlebih dahulu apa yang melatarbelakangi perilaku seseorang. Karena sejatinya perilaku manusia tidak muncul begitu saja, namun dilatarbelakangi oleh pengalaman dan nilai yang dianutnya semenjak dia lahir.
Psikologi membuat saya lebih bijak. Mungkin bisa dikatakan seperti itu. Saya mulai memahami bahwa setiap manusia itu unik. Setiap manusia itu istimewa. Setiap manusia itu berharga. Tinggal bagaimana caranya mengoptimalkan keistimewaan yang dimiliki manusia. Beranjak ke semester 5 membuat saya lebih sering berjumpa dengan mata kuliah berbau PIO. Saya kemudian berpikir setelah lulus untuk bekerja sebagai HRD di sebuah perusahaan. Karena dari yang saya baca karir di dunia psikologi industri dan organisasi juga bervariasi dan alumni psikologi sangat amat terbuka untuk hampir dalam berbagai jenis pekerjaan di dunia industri. Tau kenapa? Karena belajar psikologi sebenernya amat sangat simple, bahwa kita sebenarnya mempelajari alam pikiran manusia dan kebiasaannya dalam kehidupan sehari-hari.
Apa yang kamu cari di Psikologi? Di mata kuliah metode penelitian kuantitatif dan kualitatif saya belajar berbagai metode penelitian karena psikologi juga identik dengan data statistik. Selain itu di psikologi saya juga belajar untuk bekerjasama dalam tim. Bagaimana kamu mengelola tim, goal yang ingin kamu capai, dan bagaimana setiap anggota tim kamu bersedia untuk bekerja sama dengan kamu kurang lebih belajar seperti itu.
Apa yang kamu cari di Psikologi? Seiring lamanya saya di psikologi, jawaban dari pertanyaan tersebut selalu berubah-ubah. Namun untuk saat ini yang saya yakini, yang saya cari di psikologi adalah ilmu psikologi itu sendiri. Dengan ilmu, harkat dan martabat manusia akan terangkat. Dan dengan ilmu dia akan bisa berkontribusi di masyarakat. Ilmu psikologi akan sangat dibutuhkan oleh masyarakat kita. Karena dimana ada manusia, disitu ada persoalan yang bisa diselesaikan dengan ilmu psikologi.
 - Reyhan Respati (Mahasiswa Psikologi Universitas Airlangga)
 - Prof. Dr. Cholichul Hadi, Drs., M.Si., Psikolog (Guru Besar Universitas Airlangga)