Kamis, 04 Oktober 2018

Azab, ujian, atau alamiah?


Assalamu’alaikum. Selamat malam.
Sudah lama tidak menulis, dan Alhamdulillah pada kesempatan kali ini bisa menulis kembali.
Baru-baru ini Indonesia dikejutkan dengan gempa dan tsunami yang terjadi di Donggala & Palu, Sulawesi. Gempa tersebut terjadi pada tanggal 28 September 2018 pukul 18:02 WITA atau 17:02 WIB. Gempa dengan kekuatan 7,4 SR (ada yang menyebut 7.7 SR) ini diikuti oleh tsunami yang meluluhlantakkan kota Palu dan Donggala. Tak cukup sampai disitu, tak lama setelah gempa dan tsunami, terjadi fenomena Likuifaksi atau tanah bergerak yang menelan satu kompleks perumahan kedalam tanah. Sampai saat ini, 2000 orang telah dinyatakan sebagai korban dan jumlahnya terus bertambah. Kita bersedih dan berduka atas peristiwa ini. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan untuk menghadapi ini.
Yang menarik, banyak yang berkomentar mengenai peristiwa ini di media sosial. Ada yang beranggapan ini adalah ujian, ada yang mengatakan ini azab, dan ada yang berpendapat ini adalah kejadian alam biasa yang tida perlu disangkutpautkan dengan kehendak Tuhan. Netizen di media sosial, ramai membincangkan ini. Manakah pendapat yang benar? Menurut saya, ketika terjadi bencana alam di suatu tempat, maka yang harus diinterospeksi pertama kali adalah diri sendiri. Jadikan bencana tersebut sebagai kesempatan untuk melihat kembali apa yang telah kita perbuat selama ini. Apakah yang kita lakukan telah sesuai dengan perintah Allah dan kita tidak melakukan yang dilarangnya? Apakah kita telah benar-benar memurnikan ketaatan kepada Allah dan tidak menyekutukannya? Itulah yang harus kita lakukan pertama kali saat mendengar bencana terjadi di suatu tempat.
Jangan sibuk menghakimi orang lain dengan menuduh bencana yang terjadi di tempat tersebut sebagai azab atas dosa penduduknya. Tapi berkacalah kepada diri sendiri atas apa yang telah diperbuat selama ini. Bencana tidak terjadi di tempat kalian bukan berarti kalian lebih baik dibanding penduduk yang tertimpa bencana. Bisa jadi tidak terjadinya bencana di tempat kalian adalah karena Allah sudah tidak peduli dengan kalian. Atau Allah sengaja menangguhkan bencana di tempat kalian sampai kalian terlena dengan dosa-dosa kalian. Dan bisa saja bencana yang menimpa saudara kalian di tempat lain adalah karena Allah masih sayang dengan mereka. Allah ingin mereka kembali mengingat Allah dengan memberinya bencana tesebut. Siapa tau setelah bencana itu, penduduk di daerah tersebut menjadi lebih ta’at kepada Allah. Sementara kita yang sibuk menghakimi malah tidak mendapat pelajaran dari peristiwa tersebut dan semakin jauh dari Allah. Semoga kita dijauhkan dari hal tersebut.
Sekarang pertanyaan selanjutnya? Apakah gempa dan tsunami yang terjadi atas campur tangan Allah atau hanya kejadian alamiah biasa? Saya sepakat bahwa gempa dan tsunami tersebut terjadi atas kehendak Allah. Karena bahkan satu helai daun yang gugurpun terjadi atas kehendak Allah. Apakah Allah jahat? Tidak karena bisa saja ada hikmah dibalik persitiwa tersebut yang kita tidak tau.
Apakah setiap bencana diartikan sebagai azab dari Allah? Menurut saya tidak. Bisa saja bencana tersebut terjadi karena Allah menginginkannya seperti itu, Bisa saja bencana itu memang sesuatu yang harus terjadi dan telah dituliskan di lauhul mahfudz jauh sebelum manusia tercipta. Atau bisa juga bencana itu merupakan cara Allah agar bumi kembali menemukan titik keseimbangannya. Wallahu'alam, kita tidak selalu tau apa hikmah dibalik suatu peristiwa, namun yang harus kita lakukan adalah berhusnudzan kepada Allah dan orang yang sedang ditimpa bencana serta melakukan introspeksi kepada diri sendiri.
 Demikian opini saya untuk peristiwa ini. Semoga Sulawesi cepat pulih.

Kamis, 23 Agustus 2018

Apa yang kamu cari di Psikologi?


“Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali" - Tan Malaka ”.
Saat pertemuan dengan dosen wali untuk persetujuan Kartu Rencana Studi, dosen wali saya menanyakan pertanyaan “Apa yang kamu cari di Psikologi?”. Ingatan saya kembali di tahun 2015 saat saya mendaftar di fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Niat awal saya hanya ingin lolos dan diterima di jurusan psikologi dan di salah satu universitas terbaik di Indonesia. Setelah dinyatakan diterima, niat itu berubah menjadi saya ingin setelah lulus bekerja sebagai dosen psikologi.
Kemudian setelah saya menjalani beberapa semester di Fakultas Psikologi, saya kembali memikirkan alasan saya berada di Fakultas Psikologi. Dengan bertambahnya mata kuliah yang telah saya ambil membuat saya melihat manusia dari sudut pandang lain. Jika selama ini saya mudah sekali “menghakimi” manusia jika melakukan kesalahan, maka setelah saya belajar di psikologi saya menjadi lebih berusaha untuk tidak tergesa-gesa menghakimi seseorang atas kesalahan yang dilakukannya. Saya belajar untuk mencari tau terlebih dahulu apa yang melatarbelakangi perilaku seseorang. Karena sejatinya perilaku manusia tidak muncul begitu saja, namun dilatarbelakangi oleh pengalaman dan nilai yang dianutnya semenjak dia lahir.
Psikologi membuat saya lebih bijak. Mungkin bisa dikatakan seperti itu. Saya mulai memahami bahwa setiap manusia itu unik. Setiap manusia itu istimewa. Setiap manusia itu berharga. Tinggal bagaimana caranya mengoptimalkan keistimewaan yang dimiliki manusia. Beranjak ke semester 5 membuat saya lebih sering berjumpa dengan mata kuliah berbau PIO. Saya kemudian berpikir setelah lulus untuk bekerja sebagai HRD di sebuah perusahaan. Karena dari yang saya baca karir di dunia psikologi industri dan organisasi juga bervariasi dan alumni psikologi sangat amat terbuka untuk hampir dalam berbagai jenis pekerjaan di dunia industri. Tau kenapa? Karena belajar psikologi sebenernya amat sangat simple, bahwa kita sebenarnya mempelajari alam pikiran manusia dan kebiasaannya dalam kehidupan sehari-hari.
Apa yang kamu cari di Psikologi? Di mata kuliah metode penelitian kuantitatif dan kualitatif saya belajar berbagai metode penelitian karena psikologi juga identik dengan data statistik. Selain itu di psikologi saya juga belajar untuk bekerjasama dalam tim. Bagaimana kamu mengelola tim, goal yang ingin kamu capai, dan bagaimana setiap anggota tim kamu bersedia untuk bekerja sama dengan kamu kurang lebih belajar seperti itu.
Apa yang kamu cari di Psikologi? Seiring lamanya saya di psikologi, jawaban dari pertanyaan tersebut selalu berubah-ubah. Namun untuk saat ini yang saya yakini, yang saya cari di psikologi adalah ilmu psikologi itu sendiri. Dengan ilmu, harkat dan martabat manusia akan terangkat. Dan dengan ilmu dia akan bisa berkontribusi di masyarakat. Ilmu psikologi akan sangat dibutuhkan oleh masyarakat kita. Karena dimana ada manusia, disitu ada persoalan yang bisa diselesaikan dengan ilmu psikologi.
 - Reyhan Respati (Mahasiswa Psikologi Universitas Airlangga)
 - Prof. Dr. Cholichul Hadi, Drs., M.Si., Psikolog (Guru Besar Universitas Airlangga)



Jumat, 23 Juni 2017

Catatan Keabadian: sebuah prolog

Bismillahirrahmanirrahiim..
Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh...

Saat ini saya sedang mencoba membuat sebuah seri khusus berjudul "Catatan Keabadian" yang berisi pemikiran-pemikiran, gagasan, atau ide yang berkecamuk di dalam pikiran saya dalam bentuk sebuah tulisan. Nantinya kumpulan tulisan ini akan berisi kegelisahan-kegelisahan yang saya rasakan baik dari segi politik, agama, kemanusiaan ataupun hal-hal ringan seputar kampus dan percintaan. Setiap judul tulisan yang bertuliskan "Catatan Keabadian" maka pembahasannya akan seputar hal-hal yang saya sebutkan diatas. Kenapa saya beri nama "Catatan Keabadian"? Karena saya ingin tulisan ini akan tetap dibaca dari zaman ke zaman, menembus generasi ke generasi, menjadi pembelajaran untuk semua orang yang membacanya.

Karena tulisan ini berisi curahan hati dan kegelisahan saya yang paling dalam maka bisa jadi tulisan ini akan sedikit "radikal" dan menyimpang dari standar "normal" yang dianut masyarakat. Saat kalian membaca tulisan ini saya harap kalian membacanya dengan pikiran dan hati yang jernih dan tidak cepat menghakimi seseorang hanya karena berbeda gagasan dari yang kalian anut. Saat kalian menemukan hal-hal yang tidak sesuai dengan ideologi yang kalian pegang, maka saya harap kalian tidak akan langsung berburuk sangka. Kalian bebas untuk tidak mempercayai apa yang saya tulis. Terakhir, semoga kalian bisa mengambil sisi baik dari tulisan ini nantinya.

Tunggu tulisan "Catatan Keabadian" selanjutnya.

Sabtu, 04 Maret 2017

Surau, Silat, dan Merantau.



Soekarno pernah berkata, Bekerjalah seperti orang Jawa, Berbicaralah seperti orang Batak dan Berpikirlah seperti orang Minang.

Dari dulu suku Minang dikenal turut menyumbangkan sederet tokoh-tokoh nasional yg turut andil dalam perjalanan bangsa Indonesia. Sebut saja Bung Hatta, Sutan Syahrir, Tan Malaka, Syafruddin Prawiranegara, M. Natsir, K.H. Agus Salim, Buya Hamka, Rasuna Said, Mohammad Yamin, Rohana Kudus dan masih banyak yg lainnya.

Kalo ditanya apa alasan dulu banyak orang Minang yg bisa berbicara di tingkat nasional hingga internasional mungkin bisa diungkapkan dalam 3 kata, yaitu: Surau, Silat, Merantau.

Surau atau Langgar merupakan tempat anak-anak minang belajar ilmu agama dan pengetahuan dasar. Sejak kecil anak-anak dibekali dasar agama yg kuat supaya dia tau untuk apa dia diciptakan dan apa yg harus dia lakukan selama di dunia. Surau juga menjadi tempat tidur bagi anak laki-laki Minang yg telah baligh karena mereka tidak mempunyai kamar sendiri di rumahnya. Mereka hanya akan pulang ke rumah pada pagi harinya utk membantu keluarga dan kembali pada sorenya. Hal ini dimaksudkan agar si anak tidak manja dan terus mengekor kepada orang tuanya.

Silat merupakan bela diri yg menjadi ciri khas suku Minang selain beberapa suku lainnya. Anak-anak Minang diajarkan silat supaya dia bisa menjaga kehormatan keluarga dan dirinya. Belajar silat bukan untuk menjadi yg terkuat, tapi diharapkan semakin berisi ilmunya semakin arif bijaksana dia dalam kehidupannya. Belajar silat biasanya dilakukan pada malam hari di halaman Surau atau Langgar dibawah bimbingan seorang guru.

Merantau, dengan merantau diharapkan anak muda Minang bisa belajar apa-apa yg belum dipelajarinya di kampung halaman. Disamping itu juga bisa menghargai adat istiadat dan budaya orang lain. Seperti kata pepatah, dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung. Maknanya, dimanapun kamu berada bisa menyesuaikan diri dengan norma ataupun budaya di daerah tersebut.

3 hal ini yg sekarang tidak ditemui pada masyarakat Minang modern. Sehingga bisa kita lihat sekarang sedikit sekali tokoh Minang yg bisa berbicara di tingkat nasional (walaupun masih ada). Orang Minang sekarang hanya dikenal sebagai pedagang, padahal kalau kita melihat ke belakang masyarakat Minang juga pernah melahirkan pemikir-pemikir hebat yg turut andil dalam kemerdekaan Indonesia. Mungkin akan sangat sulit jika kita kembali menghidupkan gerakan surau, silat dan merantau ini. Tapi mungkin bisa kita carikan program sejenis yg sesuai dg kondisi zaman saat ini. Hal ini hendaknya menjadi pemikiran kita bersama sehingga ke depannya masyarakat Minang juga bisa kembali aktif berkontribusi di kancah nasional hingga internasional untuk kemajuan bangsa Indonesia.

Sabtu, 28 Januari 2017

Pendakian Gunung Talang





Assalamu’alaikum gengs…
Hari ini aku sedikit mau flashback ke saat pendakian ke gunung Talang. Udah agak lama sih sebenernya, tanggal 6-7 Agustus 2016. Tapi sayang rasanya kalo kisah perjalanan aku dan teman-teman ketika itu dilewatkan. Sejujurnya, memoriku tidak cukup baik. Aku berusaha mengingat secara detail anteseden, behavior hingga consequence petualangan tersebut. Semoga ga ada yang kelupaan.
Ini semua berawal dari libur semester genap. Libur semester genap selalu dimanfaatkan oleh teman-teman SMA ku untuk pulang kampung. Sebenernya, libur semester ganjilpun mereka pulang. Tapi karena libur semester genap selalu diiringi dengan libur hari raya maka lebih banyak yang pulang.
Liburan kali ini tak ada niatan untuk mendaki gunung. Rasanya pengen istirahat sejenak dari kegiatan mendaki. Aku dan teman-teman sudah cukup menikmati liburan yang seru dengan mengunjungi pantai, menyeberang ke pulau, dan menjelajah bukit. Sampai menjelang akhir masa liburan, saat teman-teman SMA ku satu persatu balik ke perantauannya, hanya tinggal beberapa orang yang masih bertahan di kampung halaman. Kegabutan sudah mulai terasa, kami sudah bosan bermain werewolf hampir setiap malam dan pulang selalu dini hari. Jumlah pemainpun semakin berkurang karena satu persatu pemainnya sudah balik ke kampus masing-masing.
Sampai pada suatu ketika, Agung mengajak kami yang tersisa untuk camping di perbukitan pinggiran kota. Dia menemukan tempat yang bagus disana. Aku, Zakhwan, Rezki menyanggupi ide tersebut. Seengganya kami bisa santai sambil menikmati alam barang sebentar menjelang kuliah. Pada hari Jum’at aku dan Agung pergi ngesurvei lokasi camping. Setelah tanya ibuk-ibuk, bapak-bapak yang punya anak, akhirnya kami menemukan lokasinya. Lokasinya ternyata berada di tempat paralayang, dengan sedikit tempat datar dan selebihnya tebing landai berujung curam. Salah posisi dikit ketika tidur maka akan berakhir dengan berguling-guling menuju jurang. Tapi kami menemukan tempat yang bagus di dekat sana yang cocok untuk jadi lokasi camping. Kemudian kami kembali ke rumah dan mulai mempersiapkan barang-barang buat camping. Keesokan harinya, Sabtu 6 Agustus, kami berkumpul di rumah Agung. Ketika sedang mempersiapkan beberapa peralatan lainnya, Bintang, adik Agung memberitahu bahwa malam ini milky way atau gugusan Bima Sakti akan terlihat jelas. Aku segera teringat pada berita yang aku lihat di Instagram yang juga menceritakan hal yang sama. Kemudian Agung mengusulkan agar tempat camping kami berubah. Kita akan mendaki gunung Gunung Talang untuk melihat milky way yang lagi bagus-bagusnya malam ini. Tanpa pikir panjang, Aku, Zakhwan dan Rezki mengiyakan. Cepat sekali pikiran kami berubah. Akhirnya rencana camping kami yang semula di daerah perbukitan pinggiran kota berubah menjadi di Gunung Talang.
Gunung Talang merupakan gunung berapi aktif dengan ketinggian 2597 mdpl yang terletak di Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Lokasinya sekitar 9 km dari Arosuka, ibukota Kabupaten Solok atau sekitar 40 km dari kota Padang. Gunung Talang merupakan satu dari 3 gunung di Sumatera Barat yang diminati pendaki selain Gunung Marapi dan Gunung Singgalang. Apalagi dengan dibukanya rute baru melalui “Air Batumbuk” pada akhir tahun 2013 kemaren membuat jumlah pendaki semakin meningkat. Melalui rute Air Batumbuk inilah kami berempat akan mendaki.
Selepas sholat maghrib kami segera berangkat menuju pos pendakian. Sepanjang perjalanan aku tetap mengawasi keadaaan langit mengantisipasi jika cuaca mendadak berubah. Walaupun keinginan mendaki begitu besar tapi kami tetap harus berpikiran logis dan tidak menentang alam karena kami ingin pendakian ini menjadi perjalanan yang menyenangkan dan bukannya menyiksa diri. Beruntung cuaca malam itu bagus walaupun langit tidak begitu jelas karena ditutupi sedikit awan. Di perjalanan kami mampir ke beberapa toko untuk membeli beberapa biskuit, mie instan, telur, tali rafia dan perlengkapan yang masih kurang untuk keperluan pendakian. Butuh waktu sekitar 1 jam dari rumah Agung untuk sampai ke pos pendakian di Air Batumbuk. Pos pendakian ditandai oleh sebuah plang Masjid Muhajirin di sebelah kiri jalan, masuk ke simpang tersebut kira-kira sekitar 100 m untuk menemukan pos pendakian. Lokasi pos ini berada di dekat kebun teh yang setiap liburan semester biasa kami kunjungi dan sudah menjadi tradisi liburan.
Sesampainya disana, kami segera memarkirkan sepeda motor dan melakukan registrasi. Biaya registrasi Rp 10.000,00 per orang dan biaya parkir Rp 10.000,00 untuk satu unit sepeda motor. Kami juga diberi selembar kertas yang berisi peraturan pendakian dan nomor HP yang bisa dihubungi jika terjadi sesuatu. Selepas registrasi kami segera menuju pos 1 pendakian yang sesungguhnya. Yup benar, pos yang tadi hanyalah pos pendaftaran. Pos 1 pendakian yang sesungguhnya masih sekitar 3-4 km lagi yang harus kami tempuh dengan jalan kaki. Sebenarnya ada sih, ojek yang menyewakan jasanya untuk mengantar sampai pos 1 pendakian dengan tarif Rp 25.000,00 sekali antar. Tetapi kami lebih memilih untuk berjalan kaki menembus malam yang mulai semakin gelap.
Perjalanan menuju pos 1 pendakian melewati hamparan kebun teh yang jika siang hari akan keliatan indah. Di beberapa persimpangan kami sempat merasa bingung jalan mana yang harus diambil. Beruntung ada plat besi yang disebut rambu bertuliskan R04 menjadi petunjuk jalan. Agung mengatakan rambu ini akan ada sepanjang pendakian hingga puncak dengan rambu terakhir bertuliskan R54. Kami juga bertemu dengan beberapa pendaki yang baru turun. Rombongan ini terdiri dari beberapa pendaki laki-laki dan perempuan. Panggilan khas pendaki keluar dari mulut kami, “Bapak… Ibu”, begitu panggilan kami kepada mereka sebagai bentuk keramah tamahan diantara pendaki. Panggilan “Bapak” untuk laki-laki dan “Ibu” untuk perempuan tanpa memandang umur mereka lumrah dijumpai diantara pendaki gunung yang ada di ranah minang sebagai bentuk penghargaan dan persaudaraan antar pendaki.
Sekitar pukul 21.30 WIB kami sampai di pos 1 pendakian yang terletak di R06. Disana berdiri sebuah warung milik warga yang menjual beberapa makanan dan minuman. Di sampingnya juga terdapat camping ground yang bisa digunakan pendaki sebagai tempat untuk berkemah. Dan yang paling membahagiakan adalah terdapat pancuran air yang melimpah yang bisa digunakan pendaki sebagai tempat menambah persediaan air maupun membersihkan diri. Kami memutuskan untuk beristirahat sebentar disana.
Pukul 22.00 WIB kami berangkat menuju pendakian yang sebenarnya. Aku yang hanya mengenakan sandal jepit karena tidak sempat pulang untuk mengganti sepatu, berjalan paling belakang. Selain itu, dari segi perlengkapan, dibanding pendakian sebelumnya, pendakian ke Talang ini merupakan pendakian dengan perlengkapan terminim karena niat kami awalnya hanya berkemah di bukit pinggir kota. Beberapa perlengkapan lainnya yang kami rasa benar-benar perlu, baru kami beli setelah di perjalanan menuju pos registrasi. Saat itu aku hanya mengenakan baju kaos dilapisi jaket dengan celana training dan alas kaki sandal jepit. 
Diantara kami berempat, hanya aku yang belum pernah mendaki Gunung Talang. Agung, Rezki dan Zakhwan telah pernah mendaki Gunung Talang sebelumnya. Namun pada saat itu perjalanan mereka tidak berjalan dengan baik karena cuaca yang buruk dan mengakibatkan jalan yang mereka lalui begitu berlumpur. Kami berdoa semoga perjalanan kali ini berjalan dengan baik. Medan treking awal yang kami tempuh masih berupa jalan lebar dengan perkebunan warga di samping jalan. Tapi medan ini cukup memberatkan karena sangat menanjak. Di akhir tanjakan aku minta break karena kepalaku terasa pusing. Teman-teman menyemangatiku agar santai saja karena kita tidak perlu tergesa-gesa untuk sampai puncak. Kami duduk dibawah pohon besar dengan dedaunan yang menaungi kami. Ketika kami melihat keatas, pemandangan menakjubkan terpampang di hadapan kami. Taburan bintang yang begitu banyak dan terlihat jelas karena jauh dari polusi cahaya. Kami membayangkan bagaimana pemandangan ketika di puncak nanti jika dari bawah saja sudah sangat indah. Aku kembali bersemangat mengingat tujuan kami untuk melihat milky way yang akan sangat jelas terlihat pada malam ini.
Kamipun melanjutkan perjalanan dan mulai memasuki area semak-semak dengan jalan yang mulai menyempit. Di sebelah kiri terdapat shelter 1 berupa gubug reyot yang hampir roboh. Di dalamnya terdapat beberapa orang yang mengajak kami mampir tapi kami tolak dengan halus karena kami masih harus melanjutkan perjalanan. Setelah shelter 1 pendaki akan mulai memasuki hutan rimba dengan jalan yang semakin menanjak, licin dan udara yang lembab. Di sepanjang jalan terdapat akar dan beberapa pohon tumbang. Menjelang cadas, vegetasi mulai berubah dengan mulai banyaknya bebatuan. Setelah 3 jam perjalanan Agung memberitahu tempat kami akan mendirikan tenda sudah dekat. Suara para pendaki yang telah berada di camping ground mulai terdengar. Berbeda dengan sebelumnya, kami melanjutkan perjalanan dengan memutar ke kanan menuruni tanjakan. Setelah itu kami kembali mendaki bebatuan terjal. Sejujurnya disaat itu aku sudah mulai lelah, aku berkata kepada yang lain agar selepas tanjakan ini kita break dulu sebentar. Setelah diujung tanjakan aku duduk di sebuah batu sambil melihat teman-teman dibelakangku yang masih berusaha untuk mencapai tempatku berada.
Agung yang lebih dahulu sampai ke tempatku berada berkata “Ya, kita memang akan beristirahat disini karena kita telah sampai di tempat yang kita tuju.” Sambil tersenyum dia mendahuluiku. Aku kemudian menoleh ke depan dan jalan beberapa langkah menyusul Agung. Ternyata kami telah sampai di sebuah lapangan rumput luas tempat para pendaki berkemah sebelum summit attack. Aku mengucap syukur sebagai tanda bahagia. Di hadapanku telah berdiri puluhan tenda pendaki lainnya. Ketika menengadah ke langit, aku melihat ribuan bintang terhampar dihadapanku membentuk satu gugusan. Milky way. Rasi bintang-rasi bintang lainnya yang aku tidak tau namanya juga terlihat dengan jelas. Aku selalu suka dengan langit malam, sangat indah dan menakjubkan. Membuat diri kita terasa kecil dibanding luasnya jagat raya. Menyadarkan kalau kita tidak ada apa-apanya dibanding alam semesta.
Mereview kembali perjalanan kami tadi, menurut pendapat pribadiku trek Talang cukup mudah dibandingkan dengan trek Marapi. Trek Talang memiliki cukup banyak “bonus” (jalan mendatar). Tidak ada juga jalan tikus atau merangkak di selokan air yang harus kami lewati. Jalurnya cukup jelas dengan rambu-rambu di setiap jalan dan waktu tempuh yang hanya sekitar 3 jam dibanding Marapi yang bisa sampai 5 jam. Untuk pendaki yang tidak mau ribet, Gunung Talang bisa jadi pilihan. Salah satu keunggulan Gunung Talang adalah adanya lapangan rumput luas dengan latar belakang puncak Gunung Talang. Jadi pendaki bisa mendirikan tenda tanpa harus takut tidak kebagian tempat. Di tengah-tengah lapangan ini juga terdapat sungai kecil yang membelah lapangan. Airnya jernih dan bisa digunakan pendaki untuk mengisi persediaan air mereka. Hanya saja di bagian yang dekat dengan kemah pendaki airnya sudah keruh, bercampur minyak dan sisa makanan pendaki. Untuk mendapatkan air yang bersih pendaki harus berjalan sedikit ke hulu sungai, ke arah sebelah kiri lapangan.

Pukul 02.00 WIB dinihari tenda selesai didirikan. Rezki dan Zakhwan mengambil air di sungai yang telah diceritakan tadi. Aku dan Agung mencari kayu-kayu kering yang bisa kami bakar. Sejenak kemudian api unggun telah menyala di depan tenda kami. Rezki dan Agung kemudian mulai merebus mie dan membuat kopi. Zakhwan mengeluarkan nasi dan sedikit lauk yang ia bawa dari rumah. Selanjutnya mie kuah tersebut telah berpindah ke piring-piring kami dan dengan tambahan nasi dari zakhwan kami mulai makan. Makanan terenak di dunia. Setelah perjalanan yang melelahkan dan dinginnya malam, apapun yang kami makan terasa nikmat. Kami makan ditemani oleh suara gitar pendaki lain yang menyanyikan lagu-lagu minang dengan semangat. Kami menawarkan makanan kepada pendaki lainnya, dan pendaki lainnya pun menawarkan makanan kepada kami.
Saat kami makan dua orang pria paruh baya dengan senter di tangannya datang dan mengarahkan senternya ke dalam tenda kami. Mereka menanyakan jumlah tim kami dan kemudian berlalu pergi. Agung mengatakan mereka tengah merazia pendaki yang berpasang-pasangan di dalam satu tenda. Mendengar itu kami merasa antara bahagia dan sedih. Bahagia karena tim kami diisi oleh 4 orang cowok, jadi aman dari razia. Dan sedih karena itu semakin menegaskan kejombloan kami. Selepas makan kamipun memadamkan unggun dan memutuskan untuk tidur memulihkan tenaga menjelang summit attack yang direncanakan pukul 04.30 WIB. Rencana hanya tinggal rencana. Pukul 05.15 WIB saat adzan shubuh telah berkumandang 15 menit lalu, Zakhwan baru membangunkan kami untuk sholat Shubuh. Inilah bagian yang paling berat sebenarnya dari pendakian, bangun untuk sholat Shubuh di tengah dinginnya udara pegunungan. Air yang kami sentuh terasa sedingin es. Dengan bergantian dan dalam posisi duduk kami sholat di dalam tenda. Arah kiblat kami perkirakan dengan berpatokan pada arah terbitnya matahari.
Selepas sholat kami putuskan untuk keluar tenda dengan menahan dingin. Kami sempatkan mengambil beberapa foto. Di pagi hari, pemandangan menjadi lebih jelas. Kami berkemah di sisi sebelah kanan gunung dengan di belakang kami ada tebing kecil. Diatas tebing tersebut terdapat beberapa pohon tanpa daun yang aku tidak tau namanya dan bunga Edelweis yang dilarang untuk dipetik. Bagi yang ketahuan membawa turun bunga tersebut maka akan dikenai denda Rp 100.000,00 dan diminta untuk mengembalikan ke puncak gunung. Kami sengaja memilih tempat di dekat tebing agar terhindar dari angin yang dapat memadamkan api unggun kami. Di hadapan kami terlihat puncak Gunung Talang dan kawah yang masih mengeluarkan asap belerang. Sementara jalur menuju puncak berada di sebelah kiri lapangan.
tenda para pendaki dengan latar belakang puncak Gunung Talang
Pukul 08.00 WIB setelah makan pagi, kami berangkat menuju puncak. Dari yang kami ketahui trek menuju puncak akan melewati “cadas”, “hutan mati”, yaitu sekumpulan pohon dan tanah yang telah menghitam karena panasnya kawah dan “jembatan neraka”, yaitu jalur sempit yang di kanan kirinya terdapat jurang sedalam 50 meter. Trek yang kami lewati lebih menanjak lagi dan lebih sempit. Kami hanya membawa air mineral sebagai persiapan bila haus. Perlengkapan lainnya kami tinggalkan di tenda karena hanya akan mempersulit pendakian jika kami bawa. Dari cadas kami bisa melihat dengan jelas Danau Diatas, Danau Dibawah, dan Danau Talang. Darisana juga terlihat Gunung Kerinci di provinsi Jambi yang tertutup kabut tipis. Kemudian sederatan Bukit Barisan, Gunung Marapi dan Gunung Singgalang juga keliatan dari sini. Dan lebih membuat takjub lagi kami bisa melihat sebuah pulau di Samudera Hindia yang kami tidak tau namanya. Ranah Minang patut bersyukur dianugerahi alam sedemikian indah.
Danau Diatas, Danau Dibawah dan Danau Talang serta Gunung Kerinci di kejauhan.
Terlihat tenda para pendaki yang berukuran kecil dibagian atas sebelah kanan lapangan rumput

Di perjalanan, kami diberitahu pendaki yang baru dari puncak bahwa diatas sedang ada badai. Angin bertiup sangat kencang dan bisa membahayakan perjalanan. Setelah berembuk, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak. Mendekati hutan mati, kami merasakan angin yang sangat kencang bertiup tanpa henti. Sangat sulit melangkah karena debu-debu beterbangan mengenai mata kami. Kami harus berlindung dibalik batu besar untuk menghindari angin atau bahkan batu yang jatuh dari atas. Akhirnya dengan perasaan kecewa kami memutuskan untuk kembali ke tenda. Tapi kami tetap bersyukur disuguhi pemandangan yang begitu indah. Pukul 15.00 WIB cuaca semakin buruk dan awan hujan mulai keliatan. Kami segera berkemas dan turun sebelum hujan lebat mengguyur kami. Pukul 17.30 WIB kami sampai di pos 1 pendakian. Kami membersihkan diri di pancuran yang telah tersedia. Hujan gerimis mulai turun dan kami memutuskan untuk beristirahat sebentar di warung yang ada disana. Setelah gerimis reda perjalanan dilanjutkan menuju pos registrasi. Kembali kami melewati hamparan kebun teh yang kali ini terlihat jelas. Saat jalan menurun, sandal jepitku putus dan membuatku berjalan dengan terseok-seok. Sesampainya di pos registrasi kami melapor ke petugas disana dan kemudian pulang. Di perjalanan kami menyempatkan makan jagung bakar terlebih dahulu. Kami sampai di rumah sekitar pukul 20.00 WIB.
DI Pendakian kali ini kami memang tidak mencapai puncak, tetapi ada yang lebih penting dari puncak yaitu rumah. Kami juga belajar banyak dari perjalanan kali ini, belajar untuk tidak bersifat sombong karena kita hanyalah makhluk kecil dibanding alam semesta yang luas, belajar untuk bersyukur kepada Allah yang memudahkan perjalanan ini, belajar mencintai alam yang telah dikaruniakan Allah kepada ranah Minang ini dan menjaganya agar generasi selanjutnya dapat merasakan keindahan yang sama.
Tidak penting seberapa banyak gunung yang telah kamu daki, tetapi seberapa banyak pelajaran yang bisa kamu dapatkan setelah mendaki gunung.

Terima kasih telah membaca ~

Minggu, 09 Oktober 2016

Sahur pertama di perantauan


Assalamu'alaikum..

Kali ini gue bakalan cerita tentang pengalaman sahur pertama di perantauan tanpa keluarga. Sebenarnya pengalaman ini bakalan gue post pada bulan Ramadhan yang lalu. Tapi karena saat itu Opa berpulang, makanya belum sempat gue lanjutin tulisannya.

Satu hari sebelum puasa pertama, gue sebenarnya lagi ada acara Upgrading Ormawa sama temen-temen BEM di Malang. Dan itu baru nyampe di Surabayanya beberapa menit sebelum adzan Isya. Nyampe di kampus, turun dari Bus langsung cus ke kos. Tapi di jalan inget kalo belum beli persiapan apa-apa buat sahur besok. Akhirnya gue berubah haluan menuju Indo*aret terdekat. Sampe disana langsung nyerbu satu kaleng biskuit, satu bungkus roti berikut selai nanas, satu kotak kurma, 2 buah susu sapi logo beruang iklan naga. Nyampe di kos adzan isya langsung berkumandang. Malamnya setelah selesai sholat, gue bersih-bersih kamar. Ternyata gue menemukan kecoa. Kecoanya langsung terbang dan gue tiarap. Kemudian kecoanya bersembunyi dibalik lemari. Kalo kejadian ini terjadi di depan umum, gue bakalan tetep tenang dan ga panik supaya keliatan macho. Tapi ini terjadi di kamar gue sendiri, serem aja ngebayanginnya kalo gue harus berbagi kamar dengan kecoa. Gue langsung keluar kamar ngambil sapu. Gue berusaha mukul kecoanya tapi sumpah geli. Setiap gue mukul, kecoanya kemudian kabur ke sudut lain kamar. Akhirnya gue mengeluarkan jurus pamungkas, Bay*gon. Gue semprotin ke seluruh bagian kamar. Dan akhirnya kecoanya keluar sendiri sambil jalan sempoyongan. Kecoanya keluar dari kamar. Mission Completed.

Ternyata belum selesai. Kamar jadi dipenuhi bau bay*gon. Karena takut keracunan bay*gon, gue membiarkan pintu kamar dan jendela tetap terbuka. Kipas Angin gue nyalain biar udaranya keluar. Kemudian gue minum 2 kaleng susu yang rencananya buat sahur karena takut keracunan.

Setelah perburuan yang melelahkan, gue tiduran di kasur. Hp gue kemudian berdering, telpon dari mama. Mama kemudian nanya kabar gue, gue ceritain kalo baru nyampe surabaya. Trus hp dialihkan ke oma. Oma bilang kalo Angku (kakak Oma) lagi mampir ke rumah. kemudian hp berada di tangan Opa, gue nanya gimana kabar Opa karena sebelumnya beliau sempat dirawat di rumah sakit. Beliau jawab kalo kondisi beliau sudah baik-baik saja walaupun kemaren sempat dirawat di rumah sakit. Gue menyarankan supaya Opa ga usah puasa dulu, cukup bayar fidyah aja sebagai pengganti puasa. Tapi beliau ga mau, emang dasarnya keras kepala. Kemudian hp dialihkan lagi ke tangan mama, setelah sedikit ngobrol dan meminta maaf karena akan memasuki bulan ramadhan akhirnya hp dimatikan.

Selanjutnya gue ketiduran dan tiba-tiba pas bangun udah setengah 5 pagi. Ga sempat sahur deh T.T
Mungkin efek perbruan kecoa yang bikin gue ga bangun buat sahur. Padahal gue udah pasang alarm buat sahur. Semua makanan yang gue siapin buat sahur menjadi percuma. Dari sini gue belajar, kalo apa-apa yang udah di tangan kita, belum tentu jadi milik kita. Bisa aja suatu saat lepas dari genggaman kita. Lalu, makanan itu belum tentu menjadi rezeki kita selagi belum masuk ke dalam perut. Makanan yang telah masuk ke dalam perut lah yang menjadi rezeki kita, seperti kisah gue tadi yang udah beli banyak makanan tapi ga satupun yang gue makan pas sahur. Gue juga belajar, sebanyak apapun saldo di rekening kita, belum tentu itu adalah rezeki kita. Saldo di rekening hanyalah sebuah angka yang belum tentu akan bisa kita pakai kecuali Allah mengizinkan itu menjadi rezeki kita. Rezeki kita adalah apa yang telah kita rasakan dan miliki saat ini. Maka dari itu, jangan lupa selalu bersyukur dan membagikan sebagian rezeki kita kepada orang lain agar menjadi berkah.

Minggu, 25 September 2016

Selamat Jalan


Assalamu'alaikum..

Seperti yang telah aku katakan pada postingan sebelumnya, aku akan meneruskan cerita tentang Opa. Bukan untuk terus menerus larut dalam kesedihan, tapi untuk sekedar melepaskan sesak di dada.

Aku sedang berada di kamar kos saat mendengar kabar tentang keadaan opa yang kritis. Sesaat setelah telepon dimatikan, aku mulai berdoa kepada Allah semoga Opa pulih kembali. Aku berdoa semoga kondisi beliau tidak separah seperti yang aku pikirkan. Aku berdoa semoga Opa sehat kembali dan aku bisa bertemu dengan beliau ketika aku pulang nanti saat liburan semester sekitar 19 hari lagi. Saat itu aku benar-benar memohon kepada Allah untuk kesembuhan beliau. Aku memposisikan diri menghadap kiblat, menengadahkan tanganku dan berdoa kepada Allah dengan sepenuh hati dan pengharapan yang luar biasa. Kemudian aku merapatkan kedua telapak tanganku dan memohon dengan sangat agar apa yang aku takutkan tidak terjadi. Rasanya belum pernah aku berdoa seserius itu, Kemudian aku berusaha menenangkan diriku. Percaya bahwa ini semua akan baik-baik saja. Aku berusaha berpikir positif, karena katanya jika kita berpikiran positif maka hal yang baik akan terjadi sesuai dengan yang kita pikirkan.

Kemudian waktu untuk sholat Ashar masuk, aku sholat dan kembali berdoa dengan memohon, sangat sangat memohon bahwa yang aku takutkan tidak akan terjadi. Lalu beberapa saat sebelum masuk waktu maghrib untuk daerah Surabaya datang telepon dari Papa. Sebelum mengangkat HP aku telah mempersiapkan kemungkinan untuk mendengar kabar buruk. Dan benar, yang aku takutkan terjadi. Opa telah pergi. Saat di telepon aku berusaha tegar, aku tidak menunjukkan kesedihan, aku bukan tipe orang yang suka menampilkan perasaanku yang sebenarnya kepada orang lain, sesakit apapun akan kutanggung sendiri.

Dan saat telepon dimatikan aku tak kuasa untuk menahan semuanya. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku memukul-mukul pahaku, aku memukul lantai kamarku, aku mengitari seluruh kamar dengan tak karuan, walaupun aku tau bahwa terlalu menangisi orang yang telah meninggal hingga histeris dan sampai memukul-mukul badan dalam Islam itu dilarang tapi pada saat itu seolah-olah aku lupa. Saat sholat Maghrib pun aku terbata-bata membaca ayat Al-qur'an, aku tak kuasa menahan tangis.

1 tahun yang lalu saat aku diterima di Psikologi Airlangga, Opa ku sebenarnya menyarankan agar aku kuliah di Padang saja, beliau takut kalo terjadi apa-apa sama dia aku tidak sempat melihatnya. Dan ketika akhirnya dia mengizinkanku untuk pergi ke Surabaya, dia menitipkan fotonya dan foto Oma. Dia mengatakan jika terjadi apa-apa sama mereka, cukup lihat foto ini dan doakan mereka. lalu saat liburan semester 1 kemaren beliau juga pernah bilang seolah-olah menyiratkan beliau tidak akan menemuiku lagi, "ahhhh :(( .. berarti nanti Reyhan ga bisa ikut menyolatkan Opa dong", lalu aku menjawab, "jangan bicara begitu opa, nanti kita akan bertemu lagi".

Aku juga masih ingat saat hari keberangkatanku kembali ke Surabaya setelah libur semester satu. Saat itu aku telah bersalaman dan mencium kening beliau di dalam rumah. kemudian aku pergi keluar rumah dan naik ke mobil. Opa kemudian pergi ke pintu belakang untuk menjemur pakaian, dan saat mobil akan keluar dari pekarangan rumah entah kenapa Opa tiba-tiba bergegas menyusulku ke depan rumah dan menatapku yang di dalam mobil, beliau kemudian berpesan agar hati-hati di Surabaya dan memberi kabar jika telah sampai disana. aku kemudian melambaikan tanganku kepadanya. Itulah saat terakhir aku melihatnya secara langsung.

Beberapa saat sebelum Ramadhan, beliau juga sempat sakit dan dirawat di rumah sakit. Namun kemudian telah pulih dan dibawa kembali ke rumah. Ketika ditelpon beliau mengatakan kalau kondisinya sudah pulih. Dan ternyata di pertengahan Ramadhan beliau kembali sakit dan berpulang untuk selama-lamanya. Aku banyak melihat kejadian seperti ini. Dimana orang yang akan meninggal sebelumnya sakit dan kemudian pulih lalu secara tiba-tiba pergi untuk selama-lamanya. Seperti cahaya lentera yang sebelum padam memberi penerangan seterang terangnya kemudian padam.

Hingga lima hari setelah beliau pergi meninggalkan dunia ini, aku masih sering menangis. Yang paling aku sesalkan adalah aku tidak bisa melihat beliau untuk yang terakhir kalinya dan kesedihan karena aku erasa masih kurang banyak berbicara dengan belliau, masih banyak hal yang ingin aku ceritakan dan bagi dengan beliau tetapi sudah tidak bisa. Walau aku berusaha menyibukkan diri dengan kegiatan lain, air mataku tetap keluar begitu saja ketika mengingat beliau. Mataku sembab karena air mata. lalu pada hari keenam seorang temanku mengatakan bahwa semua yang kita punya ini hanyalah pinjaman dari Allah, tidak ada yang benar-benar kita punyai. Bahkan tangan dan kaki kita hanyalah pinjaman dari Allah. Jika badan kita sendiri hanyalah pinjaman dan kepunyaan Allah, apalagi dengan orang-orang yang kita sayangi. itu semua hanyalah pinjaman dari Allah dan Dia berhak mengambilnya sewaktu-waktu.

Sesampainya di kos aku kembali merenungkan perkataannya. Selama ini aku sudah terlalu larut dalam kesedihan. Aku harus sadar bahwa setiap orang pada suatu saat pasti akan pergi. Aku akhirnya sadar bahwa kesedihanku yang terlalu lama ini karena aku belum bisa memaafkan diriku sendiri. Aku harus bisa memaafkan diriku sendiri dan menerima bahwa ini semua bukan salahku. Ini semua sudah kehendak Allah. Kenapa aku marah terhadap sesuatu yang telah ditakdirkan Allah. Aku bukan siapa-siapa di dunia ini. Aku hanyalah makhluk, hamba Allah. Aku harus sadar bahwa kepergian Opa tidak sia-sia.

Perlahan aku mulai bisa memaafkan diriku sendiri. Aku mulai bisa melihat kebaikan diantara kepedihan. Opa meninggal di bulan yang suci dan yang lebih membahagiakan lagi beliau sempat mengucapkan kalimat tahlil "Lailahaillallah" di hembusan nafas terakhirnya. Rasulullah pernah bersabda bahwa orang yang bisa mengucapkan kalimat tahlil di akhir hayatnya jaminannya adalah surga. Aku percaya dengan apa yang dikatakan Rasulullah. lalu setidaknya Opa tidak harus menderita berlama-lama karena sakit. Beliau hanya dirawat 2 hari di rumah sakit. Aku juga harus kuat karena kematian tidak hanya menimpa keluargaku, tetapi juga orang-orang di seluruh dunia. Betapa banyak anggota keluarga kami di Palestina, di Suriah, di Rohingya, yang dibantai setiap hari oleh musuh-musuh Islam. Tetapi mereka tetap tegar dan berjuang di jalan Allah. Temanku-temanku juga banyak yang kehilangan orang tuanya tapi mereka bisa menunjukkan ketegaran. Jadi aku tidak boleh terlalu larut dalam kesedihan. Opa juga tidak meninggal sendirian, banyak orang yang merasa kehilangan akan beliau, banyak yang menghadiri sholat jenazahnya. Aku juga sangat berterima kasih kepada ucapan belasungkawa dari teman-teman satu angkatanku, aku sangat menghargai itu. Meninggalnya opa juga memberikanku satu tujuan hidup yang baru. Yang sebelumnya aku belum terlalu jelas apa yang ingin aku capai dalam hidup ini tapi setelah ini aku punya sesuatu yang hendak aku capai. Tapi tidak akan aku sebutkan disini.

Aku kemudian mempercepat kepulanganku ke Solok (BUKAN SOLO), Sumatera Barat dari yang 19 hari menjadi 15 hari. Setelah Ujian Akhir Semester beres, besoknya aku langsung berangkat ke Solok. Sesampainya di Padang aku dijemput oleh keluargaku di bandara. Kami tidak membicarakan tentang opa, dan aku juga tidak mau membahasnya. Setibanya di rumah aku segera menuju kamar Opa. Aku tidak menemukan beliau disana, ternyata memang beliau telah tiada. Aku memeriksa lemari baju beliau dan menemukan baju lebaran yang rencananya akan dipake beliau. Awalnya aku berencana keesokan harinya akan pergi ke Lintau, Kabupaten Tanah Datar untuk melihat makam opa, karena memang Opa tidak dimakamkan di kotaku melainkan di tanah kelahirannya. Tapi orang tua ku menyarankan agar kita sama-sama berziarah pada saat lebaran saja. Aku juga baru tau kalau saat beliau sakit menjelang kepergiannya beliau sempat menolak dibawa ke rumah sakit. Beliau berkata, "Jika akan meninggal, biarlah meninggal di rumah saja." Tapi orangtuaku tidak mungkin membiarkan Opa begitu saja tanpa perawatan. Akhirnya beliau dipaksa untuk dibawa ke rumah sakit.

Pada saat lebaran hari kedua aku bersama keluarga berangkat ke Lintau, sekitar 2,5 jam dari Solok. Di pagi hari keberangkatan aku muntah-muntah, entah karena psikosomatis atau karena terlalu lama bermain werewolf hingga pulang kemalaman. Sesampainya di Lintau, kami pergi ke rumah orang tua Opa yang di belakang rumah tersebut Opa dimakamkan. Makam opa biasa saja, tidak ditembok, tidak diberi keramik. Hanya gundukan tanah yang dibagian kepalanya diberi batu tanpa nisan, karena memang di dalam Islam dilarang meninggikan dan mendirikan bangunan diatas kuburan. Aku teringat setiap tahun kami pergi berlebaran ke kampung halaman Opa saat beliau masih hidup, beliau selalu berpesan jika meninggal nanti ingin dimakamkan di kampung halamannya tersebut. Mama dan adik-adik kembali menangis di kuburan tersebut. Entahlah, setiap dari kami memang punya kenangan tersendiri yang membekas dengan opa.

Yang terpenting aku akan mewariskan dan menjaga nilai-nilai yang telah beliau ajarkan selama ini. Semangat beliau akan tetap hidup di dunia ini. Aku akan berdoa semoga kelak kami sekeluarga kembali dikumpulkan bersama di surga Allah.