Sabtu, 04 Maret 2017

Surau, Silat, dan Merantau.



Soekarno pernah berkata, Bekerjalah seperti orang Jawa, Berbicaralah seperti orang Batak dan Berpikirlah seperti orang Minang.

Dari dulu suku Minang dikenal turut menyumbangkan sederet tokoh-tokoh nasional yg turut andil dalam perjalanan bangsa Indonesia. Sebut saja Bung Hatta, Sutan Syahrir, Tan Malaka, Syafruddin Prawiranegara, M. Natsir, K.H. Agus Salim, Buya Hamka, Rasuna Said, Mohammad Yamin, Rohana Kudus dan masih banyak yg lainnya.

Kalo ditanya apa alasan dulu banyak orang Minang yg bisa berbicara di tingkat nasional hingga internasional mungkin bisa diungkapkan dalam 3 kata, yaitu: Surau, Silat, Merantau.

Surau atau Langgar merupakan tempat anak-anak minang belajar ilmu agama dan pengetahuan dasar. Sejak kecil anak-anak dibekali dasar agama yg kuat supaya dia tau untuk apa dia diciptakan dan apa yg harus dia lakukan selama di dunia. Surau juga menjadi tempat tidur bagi anak laki-laki Minang yg telah baligh karena mereka tidak mempunyai kamar sendiri di rumahnya. Mereka hanya akan pulang ke rumah pada pagi harinya utk membantu keluarga dan kembali pada sorenya. Hal ini dimaksudkan agar si anak tidak manja dan terus mengekor kepada orang tuanya.

Silat merupakan bela diri yg menjadi ciri khas suku Minang selain beberapa suku lainnya. Anak-anak Minang diajarkan silat supaya dia bisa menjaga kehormatan keluarga dan dirinya. Belajar silat bukan untuk menjadi yg terkuat, tapi diharapkan semakin berisi ilmunya semakin arif bijaksana dia dalam kehidupannya. Belajar silat biasanya dilakukan pada malam hari di halaman Surau atau Langgar dibawah bimbingan seorang guru.

Merantau, dengan merantau diharapkan anak muda Minang bisa belajar apa-apa yg belum dipelajarinya di kampung halaman. Disamping itu juga bisa menghargai adat istiadat dan budaya orang lain. Seperti kata pepatah, dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung. Maknanya, dimanapun kamu berada bisa menyesuaikan diri dengan norma ataupun budaya di daerah tersebut.

3 hal ini yg sekarang tidak ditemui pada masyarakat Minang modern. Sehingga bisa kita lihat sekarang sedikit sekali tokoh Minang yg bisa berbicara di tingkat nasional (walaupun masih ada). Orang Minang sekarang hanya dikenal sebagai pedagang, padahal kalau kita melihat ke belakang masyarakat Minang juga pernah melahirkan pemikir-pemikir hebat yg turut andil dalam kemerdekaan Indonesia. Mungkin akan sangat sulit jika kita kembali menghidupkan gerakan surau, silat dan merantau ini. Tapi mungkin bisa kita carikan program sejenis yg sesuai dg kondisi zaman saat ini. Hal ini hendaknya menjadi pemikiran kita bersama sehingga ke depannya masyarakat Minang juga bisa kembali aktif berkontribusi di kancah nasional hingga internasional untuk kemajuan bangsa Indonesia.

Sabtu, 28 Januari 2017

Pendakian Gunung Talang





Assalamu’alaikum gengs…
Hari ini aku sedikit mau flashback ke saat pendakian ke gunung Talang. Udah agak lama sih sebenernya, tanggal 6-7 Agustus 2016. Tapi sayang rasanya kalo kisah perjalanan aku dan teman-teman ketika itu dilewatkan. Sejujurnya, memoriku tidak cukup baik. Aku berusaha mengingat secara detail anteseden, behavior hingga consequence petualangan tersebut. Semoga ga ada yang kelupaan.
Ini semua berawal dari libur semester genap. Libur semester genap selalu dimanfaatkan oleh teman-teman SMA ku untuk pulang kampung. Sebenernya, libur semester ganjilpun mereka pulang. Tapi karena libur semester genap selalu diiringi dengan libur hari raya maka lebih banyak yang pulang.
Liburan kali ini tak ada niatan untuk mendaki gunung. Rasanya pengen istirahat sejenak dari kegiatan mendaki. Aku dan teman-teman sudah cukup menikmati liburan yang seru dengan mengunjungi pantai, menyeberang ke pulau, dan menjelajah bukit. Sampai menjelang akhir masa liburan, saat teman-teman SMA ku satu persatu balik ke perantauannya, hanya tinggal beberapa orang yang masih bertahan di kampung halaman. Kegabutan sudah mulai terasa, kami sudah bosan bermain werewolf hampir setiap malam dan pulang selalu dini hari. Jumlah pemainpun semakin berkurang karena satu persatu pemainnya sudah balik ke kampus masing-masing.
Sampai pada suatu ketika, Agung mengajak kami yang tersisa untuk camping di perbukitan pinggiran kota. Dia menemukan tempat yang bagus disana. Aku, Zakhwan, Rezki menyanggupi ide tersebut. Seengganya kami bisa santai sambil menikmati alam barang sebentar menjelang kuliah. Pada hari Jum’at aku dan Agung pergi ngesurvei lokasi camping. Setelah tanya ibuk-ibuk, bapak-bapak yang punya anak, akhirnya kami menemukan lokasinya. Lokasinya ternyata berada di tempat paralayang, dengan sedikit tempat datar dan selebihnya tebing landai berujung curam. Salah posisi dikit ketika tidur maka akan berakhir dengan berguling-guling menuju jurang. Tapi kami menemukan tempat yang bagus di dekat sana yang cocok untuk jadi lokasi camping. Kemudian kami kembali ke rumah dan mulai mempersiapkan barang-barang buat camping. Keesokan harinya, Sabtu 6 Agustus, kami berkumpul di rumah Agung. Ketika sedang mempersiapkan beberapa peralatan lainnya, Bintang, adik Agung memberitahu bahwa malam ini milky way atau gugusan Bima Sakti akan terlihat jelas. Aku segera teringat pada berita yang aku lihat di Instagram yang juga menceritakan hal yang sama. Kemudian Agung mengusulkan agar tempat camping kami berubah. Kita akan mendaki gunung Gunung Talang untuk melihat milky way yang lagi bagus-bagusnya malam ini. Tanpa pikir panjang, Aku, Zakhwan dan Rezki mengiyakan. Cepat sekali pikiran kami berubah. Akhirnya rencana camping kami yang semula di daerah perbukitan pinggiran kota berubah menjadi di Gunung Talang.
Gunung Talang merupakan gunung berapi aktif dengan ketinggian 2597 mdpl yang terletak di Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Lokasinya sekitar 9 km dari Arosuka, ibukota Kabupaten Solok atau sekitar 40 km dari kota Padang. Gunung Talang merupakan satu dari 3 gunung di Sumatera Barat yang diminati pendaki selain Gunung Marapi dan Gunung Singgalang. Apalagi dengan dibukanya rute baru melalui “Air Batumbuk” pada akhir tahun 2013 kemaren membuat jumlah pendaki semakin meningkat. Melalui rute Air Batumbuk inilah kami berempat akan mendaki.
Selepas sholat maghrib kami segera berangkat menuju pos pendakian. Sepanjang perjalanan aku tetap mengawasi keadaaan langit mengantisipasi jika cuaca mendadak berubah. Walaupun keinginan mendaki begitu besar tapi kami tetap harus berpikiran logis dan tidak menentang alam karena kami ingin pendakian ini menjadi perjalanan yang menyenangkan dan bukannya menyiksa diri. Beruntung cuaca malam itu bagus walaupun langit tidak begitu jelas karena ditutupi sedikit awan. Di perjalanan kami mampir ke beberapa toko untuk membeli beberapa biskuit, mie instan, telur, tali rafia dan perlengkapan yang masih kurang untuk keperluan pendakian. Butuh waktu sekitar 1 jam dari rumah Agung untuk sampai ke pos pendakian di Air Batumbuk. Pos pendakian ditandai oleh sebuah plang Masjid Muhajirin di sebelah kiri jalan, masuk ke simpang tersebut kira-kira sekitar 100 m untuk menemukan pos pendakian. Lokasi pos ini berada di dekat kebun teh yang setiap liburan semester biasa kami kunjungi dan sudah menjadi tradisi liburan.
Sesampainya disana, kami segera memarkirkan sepeda motor dan melakukan registrasi. Biaya registrasi Rp 10.000,00 per orang dan biaya parkir Rp 10.000,00 untuk satu unit sepeda motor. Kami juga diberi selembar kertas yang berisi peraturan pendakian dan nomor HP yang bisa dihubungi jika terjadi sesuatu. Selepas registrasi kami segera menuju pos 1 pendakian yang sesungguhnya. Yup benar, pos yang tadi hanyalah pos pendaftaran. Pos 1 pendakian yang sesungguhnya masih sekitar 3-4 km lagi yang harus kami tempuh dengan jalan kaki. Sebenarnya ada sih, ojek yang menyewakan jasanya untuk mengantar sampai pos 1 pendakian dengan tarif Rp 25.000,00 sekali antar. Tetapi kami lebih memilih untuk berjalan kaki menembus malam yang mulai semakin gelap.
Perjalanan menuju pos 1 pendakian melewati hamparan kebun teh yang jika siang hari akan keliatan indah. Di beberapa persimpangan kami sempat merasa bingung jalan mana yang harus diambil. Beruntung ada plat besi yang disebut rambu bertuliskan R04 menjadi petunjuk jalan. Agung mengatakan rambu ini akan ada sepanjang pendakian hingga puncak dengan rambu terakhir bertuliskan R54. Kami juga bertemu dengan beberapa pendaki yang baru turun. Rombongan ini terdiri dari beberapa pendaki laki-laki dan perempuan. Panggilan khas pendaki keluar dari mulut kami, “Bapak… Ibu”, begitu panggilan kami kepada mereka sebagai bentuk keramah tamahan diantara pendaki. Panggilan “Bapak” untuk laki-laki dan “Ibu” untuk perempuan tanpa memandang umur mereka lumrah dijumpai diantara pendaki gunung yang ada di ranah minang sebagai bentuk penghargaan dan persaudaraan antar pendaki.
Sekitar pukul 21.30 WIB kami sampai di pos 1 pendakian yang terletak di R06. Disana berdiri sebuah warung milik warga yang menjual beberapa makanan dan minuman. Di sampingnya juga terdapat camping ground yang bisa digunakan pendaki sebagai tempat untuk berkemah. Dan yang paling membahagiakan adalah terdapat pancuran air yang melimpah yang bisa digunakan pendaki sebagai tempat menambah persediaan air maupun membersihkan diri. Kami memutuskan untuk beristirahat sebentar disana.
Pukul 22.00 WIB kami berangkat menuju pendakian yang sebenarnya. Aku yang hanya mengenakan sandal jepit karena tidak sempat pulang untuk mengganti sepatu, berjalan paling belakang. Selain itu, dari segi perlengkapan, dibanding pendakian sebelumnya, pendakian ke Talang ini merupakan pendakian dengan perlengkapan terminim karena niat kami awalnya hanya berkemah di bukit pinggir kota. Beberapa perlengkapan lainnya yang kami rasa benar-benar perlu, baru kami beli setelah di perjalanan menuju pos registrasi. Saat itu aku hanya mengenakan baju kaos dilapisi jaket dengan celana training dan alas kaki sandal jepit. 
Diantara kami berempat, hanya aku yang belum pernah mendaki Gunung Talang. Agung, Rezki dan Zakhwan telah pernah mendaki Gunung Talang sebelumnya. Namun pada saat itu perjalanan mereka tidak berjalan dengan baik karena cuaca yang buruk dan mengakibatkan jalan yang mereka lalui begitu berlumpur. Kami berdoa semoga perjalanan kali ini berjalan dengan baik. Medan treking awal yang kami tempuh masih berupa jalan lebar dengan perkebunan warga di samping jalan. Tapi medan ini cukup memberatkan karena sangat menanjak. Di akhir tanjakan aku minta break karena kepalaku terasa pusing. Teman-teman menyemangatiku agar santai saja karena kita tidak perlu tergesa-gesa untuk sampai puncak. Kami duduk dibawah pohon besar dengan dedaunan yang menaungi kami. Ketika kami melihat keatas, pemandangan menakjubkan terpampang di hadapan kami. Taburan bintang yang begitu banyak dan terlihat jelas karena jauh dari polusi cahaya. Kami membayangkan bagaimana pemandangan ketika di puncak nanti jika dari bawah saja sudah sangat indah. Aku kembali bersemangat mengingat tujuan kami untuk melihat milky way yang akan sangat jelas terlihat pada malam ini.
Kamipun melanjutkan perjalanan dan mulai memasuki area semak-semak dengan jalan yang mulai menyempit. Di sebelah kiri terdapat shelter 1 berupa gubug reyot yang hampir roboh. Di dalamnya terdapat beberapa orang yang mengajak kami mampir tapi kami tolak dengan halus karena kami masih harus melanjutkan perjalanan. Setelah shelter 1 pendaki akan mulai memasuki hutan rimba dengan jalan yang semakin menanjak, licin dan udara yang lembab. Di sepanjang jalan terdapat akar dan beberapa pohon tumbang. Menjelang cadas, vegetasi mulai berubah dengan mulai banyaknya bebatuan. Setelah 3 jam perjalanan Agung memberitahu tempat kami akan mendirikan tenda sudah dekat. Suara para pendaki yang telah berada di camping ground mulai terdengar. Berbeda dengan sebelumnya, kami melanjutkan perjalanan dengan memutar ke kanan menuruni tanjakan. Setelah itu kami kembali mendaki bebatuan terjal. Sejujurnya disaat itu aku sudah mulai lelah, aku berkata kepada yang lain agar selepas tanjakan ini kita break dulu sebentar. Setelah diujung tanjakan aku duduk di sebuah batu sambil melihat teman-teman dibelakangku yang masih berusaha untuk mencapai tempatku berada.
Agung yang lebih dahulu sampai ke tempatku berada berkata “Ya, kita memang akan beristirahat disini karena kita telah sampai di tempat yang kita tuju.” Sambil tersenyum dia mendahuluiku. Aku kemudian menoleh ke depan dan jalan beberapa langkah menyusul Agung. Ternyata kami telah sampai di sebuah lapangan rumput luas tempat para pendaki berkemah sebelum summit attack. Aku mengucap syukur sebagai tanda bahagia. Di hadapanku telah berdiri puluhan tenda pendaki lainnya. Ketika menengadah ke langit, aku melihat ribuan bintang terhampar dihadapanku membentuk satu gugusan. Milky way. Rasi bintang-rasi bintang lainnya yang aku tidak tau namanya juga terlihat dengan jelas. Aku selalu suka dengan langit malam, sangat indah dan menakjubkan. Membuat diri kita terasa kecil dibanding luasnya jagat raya. Menyadarkan kalau kita tidak ada apa-apanya dibanding alam semesta.
Mereview kembali perjalanan kami tadi, menurut pendapat pribadiku trek Talang cukup mudah dibandingkan dengan trek Marapi. Trek Talang memiliki cukup banyak “bonus” (jalan mendatar). Tidak ada juga jalan tikus atau merangkak di selokan air yang harus kami lewati. Jalurnya cukup jelas dengan rambu-rambu di setiap jalan dan waktu tempuh yang hanya sekitar 3 jam dibanding Marapi yang bisa sampai 5 jam. Untuk pendaki yang tidak mau ribet, Gunung Talang bisa jadi pilihan. Salah satu keunggulan Gunung Talang adalah adanya lapangan rumput luas dengan latar belakang puncak Gunung Talang. Jadi pendaki bisa mendirikan tenda tanpa harus takut tidak kebagian tempat. Di tengah-tengah lapangan ini juga terdapat sungai kecil yang membelah lapangan. Airnya jernih dan bisa digunakan pendaki untuk mengisi persediaan air mereka. Hanya saja di bagian yang dekat dengan kemah pendaki airnya sudah keruh, bercampur minyak dan sisa makanan pendaki. Untuk mendapatkan air yang bersih pendaki harus berjalan sedikit ke hulu sungai, ke arah sebelah kiri lapangan.

Pukul 02.00 WIB dinihari tenda selesai didirikan. Rezki dan Zakhwan mengambil air di sungai yang telah diceritakan tadi. Aku dan Agung mencari kayu-kayu kering yang bisa kami bakar. Sejenak kemudian api unggun telah menyala di depan tenda kami. Rezki dan Agung kemudian mulai merebus mie dan membuat kopi. Zakhwan mengeluarkan nasi dan sedikit lauk yang ia bawa dari rumah. Selanjutnya mie kuah tersebut telah berpindah ke piring-piring kami dan dengan tambahan nasi dari zakhwan kami mulai makan. Makanan terenak di dunia. Setelah perjalanan yang melelahkan dan dinginnya malam, apapun yang kami makan terasa nikmat. Kami makan ditemani oleh suara gitar pendaki lain yang menyanyikan lagu-lagu minang dengan semangat. Kami menawarkan makanan kepada pendaki lainnya, dan pendaki lainnya pun menawarkan makanan kepada kami.
Saat kami makan dua orang pria paruh baya dengan senter di tangannya datang dan mengarahkan senternya ke dalam tenda kami. Mereka menanyakan jumlah tim kami dan kemudian berlalu pergi. Agung mengatakan mereka tengah merazia pendaki yang berpasang-pasangan di dalam satu tenda. Mendengar itu kami merasa antara bahagia dan sedih. Bahagia karena tim kami diisi oleh 4 orang cowok, jadi aman dari razia. Dan sedih karena itu semakin menegaskan kejombloan kami. Selepas makan kamipun memadamkan unggun dan memutuskan untuk tidur memulihkan tenaga menjelang summit attack yang direncanakan pukul 04.30 WIB. Rencana hanya tinggal rencana. Pukul 05.15 WIB saat adzan shubuh telah berkumandang 15 menit lalu, Zakhwan baru membangunkan kami untuk sholat Shubuh. Inilah bagian yang paling berat sebenarnya dari pendakian, bangun untuk sholat Shubuh di tengah dinginnya udara pegunungan. Air yang kami sentuh terasa sedingin es. Dengan bergantian dan dalam posisi duduk kami sholat di dalam tenda. Arah kiblat kami perkirakan dengan berpatokan pada arah terbitnya matahari.
Selepas sholat kami putuskan untuk keluar tenda dengan menahan dingin. Kami sempatkan mengambil beberapa foto. Di pagi hari, pemandangan menjadi lebih jelas. Kami berkemah di sisi sebelah kanan gunung dengan di belakang kami ada tebing kecil. Diatas tebing tersebut terdapat beberapa pohon tanpa daun yang aku tidak tau namanya dan bunga Edelweis yang dilarang untuk dipetik. Bagi yang ketahuan membawa turun bunga tersebut maka akan dikenai denda Rp 100.000,00 dan diminta untuk mengembalikan ke puncak gunung. Kami sengaja memilih tempat di dekat tebing agar terhindar dari angin yang dapat memadamkan api unggun kami. Di hadapan kami terlihat puncak Gunung Talang dan kawah yang masih mengeluarkan asap belerang. Sementara jalur menuju puncak berada di sebelah kiri lapangan.
tenda para pendaki dengan latar belakang puncak Gunung Talang
Pukul 08.00 WIB setelah makan pagi, kami berangkat menuju puncak. Dari yang kami ketahui trek menuju puncak akan melewati “cadas”, “hutan mati”, yaitu sekumpulan pohon dan tanah yang telah menghitam karena panasnya kawah dan “jembatan neraka”, yaitu jalur sempit yang di kanan kirinya terdapat jurang sedalam 50 meter. Trek yang kami lewati lebih menanjak lagi dan lebih sempit. Kami hanya membawa air mineral sebagai persiapan bila haus. Perlengkapan lainnya kami tinggalkan di tenda karena hanya akan mempersulit pendakian jika kami bawa. Dari cadas kami bisa melihat dengan jelas Danau Diatas, Danau Dibawah, dan Danau Talang. Darisana juga terlihat Gunung Kerinci di provinsi Jambi yang tertutup kabut tipis. Kemudian sederatan Bukit Barisan, Gunung Marapi dan Gunung Singgalang juga keliatan dari sini. Dan lebih membuat takjub lagi kami bisa melihat sebuah pulau di Samudera Hindia yang kami tidak tau namanya. Ranah Minang patut bersyukur dianugerahi alam sedemikian indah.
Danau Diatas, Danau Dibawah dan Danau Talang serta Gunung Kerinci di kejauhan.
Terlihat tenda para pendaki yang berukuran kecil dibagian atas sebelah kanan lapangan rumput

Di perjalanan, kami diberitahu pendaki yang baru dari puncak bahwa diatas sedang ada badai. Angin bertiup sangat kencang dan bisa membahayakan perjalanan. Setelah berembuk, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak. Mendekati hutan mati, kami merasakan angin yang sangat kencang bertiup tanpa henti. Sangat sulit melangkah karena debu-debu beterbangan mengenai mata kami. Kami harus berlindung dibalik batu besar untuk menghindari angin atau bahkan batu yang jatuh dari atas. Akhirnya dengan perasaan kecewa kami memutuskan untuk kembali ke tenda. Tapi kami tetap bersyukur disuguhi pemandangan yang begitu indah. Pukul 15.00 WIB cuaca semakin buruk dan awan hujan mulai keliatan. Kami segera berkemas dan turun sebelum hujan lebat mengguyur kami. Pukul 17.30 WIB kami sampai di pos 1 pendakian. Kami membersihkan diri di pancuran yang telah tersedia. Hujan gerimis mulai turun dan kami memutuskan untuk beristirahat sebentar di warung yang ada disana. Setelah gerimis reda perjalanan dilanjutkan menuju pos registrasi. Kembali kami melewati hamparan kebun teh yang kali ini terlihat jelas. Saat jalan menurun, sandal jepitku putus dan membuatku berjalan dengan terseok-seok. Sesampainya di pos registrasi kami melapor ke petugas disana dan kemudian pulang. Di perjalanan kami menyempatkan makan jagung bakar terlebih dahulu. Kami sampai di rumah sekitar pukul 20.00 WIB.
DI Pendakian kali ini kami memang tidak mencapai puncak, tetapi ada yang lebih penting dari puncak yaitu rumah. Kami juga belajar banyak dari perjalanan kali ini, belajar untuk tidak bersifat sombong karena kita hanyalah makhluk kecil dibanding alam semesta yang luas, belajar untuk bersyukur kepada Allah yang memudahkan perjalanan ini, belajar mencintai alam yang telah dikaruniakan Allah kepada ranah Minang ini dan menjaganya agar generasi selanjutnya dapat merasakan keindahan yang sama.
Tidak penting seberapa banyak gunung yang telah kamu daki, tetapi seberapa banyak pelajaran yang bisa kamu dapatkan setelah mendaki gunung.

Terima kasih telah membaca ~

Minggu, 09 Oktober 2016

Sahur pertama di perantauan


Assalamu'alaikum..

Kali ini gue bakalan cerita tentang pengalaman sahur pertama di perantauan tanpa keluarga. Sebenarnya pengalaman ini bakalan gue post pada bulan Ramadhan yang lalu. Tapi karena saat itu Opa berpulang, makanya belum sempat gue lanjutin tulisannya.

Satu hari sebelum puasa pertama, gue sebenarnya lagi ada acara Upgrading Ormawa sama temen-temen BEM di Malang. Dan itu baru nyampe di Surabayanya beberapa menit sebelum adzan Isya. Nyampe di kampus, turun dari Bus langsung cus ke kos. Tapi di jalan inget kalo belum beli persiapan apa-apa buat sahur besok. Akhirnya gue berubah haluan menuju Indo*aret terdekat. Sampe disana langsung nyerbu satu kaleng biskuit, satu bungkus roti berikut selai nanas, satu kotak kurma, 2 buah susu sapi logo beruang iklan naga. Nyampe di kos adzan isya langsung berkumandang. Malamnya setelah selesai sholat, gue bersih-bersih kamar. Ternyata gue menemukan kecoa. Kecoanya langsung terbang dan gue tiarap. Kemudian kecoanya bersembunyi dibalik lemari. Kalo kejadian ini terjadi di depan umum, gue bakalan tetep tenang dan ga panik supaya keliatan macho. Tapi ini terjadi di kamar gue sendiri, serem aja ngebayanginnya kalo gue harus berbagi kamar dengan kecoa. Gue langsung keluar kamar ngambil sapu. Gue berusaha mukul kecoanya tapi sumpah geli. Setiap gue mukul, kecoanya kemudian kabur ke sudut lain kamar. Akhirnya gue mengeluarkan jurus pamungkas, Bay*gon. Gue semprotin ke seluruh bagian kamar. Dan akhirnya kecoanya keluar sendiri sambil jalan sempoyongan. Kecoanya keluar dari kamar. Mission Completed.

Ternyata belum selesai. Kamar jadi dipenuhi bau bay*gon. Karena takut keracunan bay*gon, gue membiarkan pintu kamar dan jendela tetap terbuka. Kipas Angin gue nyalain biar udaranya keluar. Kemudian gue minum 2 kaleng susu yang rencananya buat sahur karena takut keracunan.

Setelah perburuan yang melelahkan, gue tiduran di kasur. Hp gue kemudian berdering, telpon dari mama. Mama kemudian nanya kabar gue, gue ceritain kalo baru nyampe surabaya. Trus hp dialihkan ke oma. Oma bilang kalo Angku (kakak Oma) lagi mampir ke rumah. kemudian hp berada di tangan Opa, gue nanya gimana kabar Opa karena sebelumnya beliau sempat dirawat di rumah sakit. Beliau jawab kalo kondisi beliau sudah baik-baik saja walaupun kemaren sempat dirawat di rumah sakit. Gue menyarankan supaya Opa ga usah puasa dulu, cukup bayar fidyah aja sebagai pengganti puasa. Tapi beliau ga mau, emang dasarnya keras kepala. Kemudian hp dialihkan lagi ke tangan mama, setelah sedikit ngobrol dan meminta maaf karena akan memasuki bulan ramadhan akhirnya hp dimatikan.

Selanjutnya gue ketiduran dan tiba-tiba pas bangun udah setengah 5 pagi. Ga sempat sahur deh T.T
Mungkin efek perbruan kecoa yang bikin gue ga bangun buat sahur. Padahal gue udah pasang alarm buat sahur. Semua makanan yang gue siapin buat sahur menjadi percuma. Dari sini gue belajar, kalo apa-apa yang udah di tangan kita, belum tentu jadi milik kita. Bisa aja suatu saat lepas dari genggaman kita. Lalu, makanan itu belum tentu menjadi rezeki kita selagi belum masuk ke dalam perut. Makanan yang telah masuk ke dalam perut lah yang menjadi rezeki kita, seperti kisah gue tadi yang udah beli banyak makanan tapi ga satupun yang gue makan pas sahur. Gue juga belajar, sebanyak apapun saldo di rekening kita, belum tentu itu adalah rezeki kita. Saldo di rekening hanyalah sebuah angka yang belum tentu akan bisa kita pakai kecuali Allah mengizinkan itu menjadi rezeki kita. Rezeki kita adalah apa yang telah kita rasakan dan miliki saat ini. Maka dari itu, jangan lupa selalu bersyukur dan membagikan sebagian rezeki kita kepada orang lain agar menjadi berkah.

Minggu, 25 September 2016

Selamat Jalan


Assalamu'alaikum..

Seperti yang telah aku katakan pada postingan sebelumnya, aku akan meneruskan cerita tentang Opa. Bukan untuk terus menerus larut dalam kesedihan, tapi untuk sekedar melepaskan sesak di dada.

Aku sedang berada di kamar kos saat mendengar kabar tentang keadaan opa yang kritis. Sesaat setelah telepon dimatikan, aku mulai berdoa kepada Allah semoga Opa pulih kembali. Aku berdoa semoga kondisi beliau tidak separah seperti yang aku pikirkan. Aku berdoa semoga Opa sehat kembali dan aku bisa bertemu dengan beliau ketika aku pulang nanti saat liburan semester sekitar 19 hari lagi. Saat itu aku benar-benar memohon kepada Allah untuk kesembuhan beliau. Aku memposisikan diri menghadap kiblat, menengadahkan tanganku dan berdoa kepada Allah dengan sepenuh hati dan pengharapan yang luar biasa. Kemudian aku merapatkan kedua telapak tanganku dan memohon dengan sangat agar apa yang aku takutkan tidak terjadi. Rasanya belum pernah aku berdoa seserius itu, Kemudian aku berusaha menenangkan diriku. Percaya bahwa ini semua akan baik-baik saja. Aku berusaha berpikir positif, karena katanya jika kita berpikiran positif maka hal yang baik akan terjadi sesuai dengan yang kita pikirkan.

Kemudian waktu untuk sholat Ashar masuk, aku sholat dan kembali berdoa dengan memohon, sangat sangat memohon bahwa yang aku takutkan tidak akan terjadi. Lalu beberapa saat sebelum masuk waktu maghrib untuk daerah Surabaya datang telepon dari Papa. Sebelum mengangkat HP aku telah mempersiapkan kemungkinan untuk mendengar kabar buruk. Dan benar, yang aku takutkan terjadi. Opa telah pergi. Saat di telepon aku berusaha tegar, aku tidak menunjukkan kesedihan, aku bukan tipe orang yang suka menampilkan perasaanku yang sebenarnya kepada orang lain, sesakit apapun akan kutanggung sendiri.

Dan saat telepon dimatikan aku tak kuasa untuk menahan semuanya. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku memukul-mukul pahaku, aku memukul lantai kamarku, aku mengitari seluruh kamar dengan tak karuan, walaupun aku tau bahwa terlalu menangisi orang yang telah meninggal hingga histeris dan sampai memukul-mukul badan dalam Islam itu dilarang tapi pada saat itu seolah-olah aku lupa. Saat sholat Maghrib pun aku terbata-bata membaca ayat Al-qur'an, aku tak kuasa menahan tangis.

1 tahun yang lalu saat aku diterima di Psikologi Airlangga, Opa ku sebenarnya menyarankan agar aku kuliah di Padang saja, beliau takut kalo terjadi apa-apa sama dia aku tidak sempat melihatnya. Dan ketika akhirnya dia mengizinkanku untuk pergi ke Surabaya, dia menitipkan fotonya dan foto Oma. Dia mengatakan jika terjadi apa-apa sama mereka, cukup lihat foto ini dan doakan mereka. lalu saat liburan semester 1 kemaren beliau juga pernah bilang seolah-olah menyiratkan beliau tidak akan menemuiku lagi, "ahhhh :(( .. berarti nanti Reyhan ga bisa ikut menyolatkan Opa dong", lalu aku menjawab, "jangan bicara begitu opa, nanti kita akan bertemu lagi".

Aku juga masih ingat saat hari keberangkatanku kembali ke Surabaya setelah libur semester satu. Saat itu aku telah bersalaman dan mencium kening beliau di dalam rumah. kemudian aku pergi keluar rumah dan naik ke mobil. Opa kemudian pergi ke pintu belakang untuk menjemur pakaian, dan saat mobil akan keluar dari pekarangan rumah entah kenapa Opa tiba-tiba bergegas menyusulku ke depan rumah dan menatapku yang di dalam mobil, beliau kemudian berpesan agar hati-hati di Surabaya dan memberi kabar jika telah sampai disana. aku kemudian melambaikan tanganku kepadanya. Itulah saat terakhir aku melihatnya secara langsung.

Beberapa saat sebelum Ramadhan, beliau juga sempat sakit dan dirawat di rumah sakit. Namun kemudian telah pulih dan dibawa kembali ke rumah. Ketika ditelpon beliau mengatakan kalau kondisinya sudah pulih. Dan ternyata di pertengahan Ramadhan beliau kembali sakit dan berpulang untuk selama-lamanya. Aku banyak melihat kejadian seperti ini. Dimana orang yang akan meninggal sebelumnya sakit dan kemudian pulih lalu secara tiba-tiba pergi untuk selama-lamanya. Seperti cahaya lentera yang sebelum padam memberi penerangan seterang terangnya kemudian padam.

Hingga lima hari setelah beliau pergi meninggalkan dunia ini, aku masih sering menangis. Yang paling aku sesalkan adalah aku tidak bisa melihat beliau untuk yang terakhir kalinya dan kesedihan karena aku erasa masih kurang banyak berbicara dengan belliau, masih banyak hal yang ingin aku ceritakan dan bagi dengan beliau tetapi sudah tidak bisa. Walau aku berusaha menyibukkan diri dengan kegiatan lain, air mataku tetap keluar begitu saja ketika mengingat beliau. Mataku sembab karena air mata. lalu pada hari keenam seorang temanku mengatakan bahwa semua yang kita punya ini hanyalah pinjaman dari Allah, tidak ada yang benar-benar kita punyai. Bahkan tangan dan kaki kita hanyalah pinjaman dari Allah. Jika badan kita sendiri hanyalah pinjaman dan kepunyaan Allah, apalagi dengan orang-orang yang kita sayangi. itu semua hanyalah pinjaman dari Allah dan Dia berhak mengambilnya sewaktu-waktu.

Sesampainya di kos aku kembali merenungkan perkataannya. Selama ini aku sudah terlalu larut dalam kesedihan. Aku harus sadar bahwa setiap orang pada suatu saat pasti akan pergi. Aku akhirnya sadar bahwa kesedihanku yang terlalu lama ini karena aku belum bisa memaafkan diriku sendiri. Aku harus bisa memaafkan diriku sendiri dan menerima bahwa ini semua bukan salahku. Ini semua sudah kehendak Allah. Kenapa aku marah terhadap sesuatu yang telah ditakdirkan Allah. Aku bukan siapa-siapa di dunia ini. Aku hanyalah makhluk, hamba Allah. Aku harus sadar bahwa kepergian Opa tidak sia-sia.

Perlahan aku mulai bisa memaafkan diriku sendiri. Aku mulai bisa melihat kebaikan diantara kepedihan. Opa meninggal di bulan yang suci dan yang lebih membahagiakan lagi beliau sempat mengucapkan kalimat tahlil "Lailahaillallah" di hembusan nafas terakhirnya. Rasulullah pernah bersabda bahwa orang yang bisa mengucapkan kalimat tahlil di akhir hayatnya jaminannya adalah surga. Aku percaya dengan apa yang dikatakan Rasulullah. lalu setidaknya Opa tidak harus menderita berlama-lama karena sakit. Beliau hanya dirawat 2 hari di rumah sakit. Aku juga harus kuat karena kematian tidak hanya menimpa keluargaku, tetapi juga orang-orang di seluruh dunia. Betapa banyak anggota keluarga kami di Palestina, di Suriah, di Rohingya, yang dibantai setiap hari oleh musuh-musuh Islam. Tetapi mereka tetap tegar dan berjuang di jalan Allah. Temanku-temanku juga banyak yang kehilangan orang tuanya tapi mereka bisa menunjukkan ketegaran. Jadi aku tidak boleh terlalu larut dalam kesedihan. Opa juga tidak meninggal sendirian, banyak orang yang merasa kehilangan akan beliau, banyak yang menghadiri sholat jenazahnya. Aku juga sangat berterima kasih kepada ucapan belasungkawa dari teman-teman satu angkatanku, aku sangat menghargai itu. Meninggalnya opa juga memberikanku satu tujuan hidup yang baru. Yang sebelumnya aku belum terlalu jelas apa yang ingin aku capai dalam hidup ini tapi setelah ini aku punya sesuatu yang hendak aku capai. Tapi tidak akan aku sebutkan disini.

Aku kemudian mempercepat kepulanganku ke Solok (BUKAN SOLO), Sumatera Barat dari yang 19 hari menjadi 15 hari. Setelah Ujian Akhir Semester beres, besoknya aku langsung berangkat ke Solok. Sesampainya di Padang aku dijemput oleh keluargaku di bandara. Kami tidak membicarakan tentang opa, dan aku juga tidak mau membahasnya. Setibanya di rumah aku segera menuju kamar Opa. Aku tidak menemukan beliau disana, ternyata memang beliau telah tiada. Aku memeriksa lemari baju beliau dan menemukan baju lebaran yang rencananya akan dipake beliau. Awalnya aku berencana keesokan harinya akan pergi ke Lintau, Kabupaten Tanah Datar untuk melihat makam opa, karena memang Opa tidak dimakamkan di kotaku melainkan di tanah kelahirannya. Tapi orang tua ku menyarankan agar kita sama-sama berziarah pada saat lebaran saja. Aku juga baru tau kalau saat beliau sakit menjelang kepergiannya beliau sempat menolak dibawa ke rumah sakit. Beliau berkata, "Jika akan meninggal, biarlah meninggal di rumah saja." Tapi orangtuaku tidak mungkin membiarkan Opa begitu saja tanpa perawatan. Akhirnya beliau dipaksa untuk dibawa ke rumah sakit.

Pada saat lebaran hari kedua aku bersama keluarga berangkat ke Lintau, sekitar 2,5 jam dari Solok. Di pagi hari keberangkatan aku muntah-muntah, entah karena psikosomatis atau karena terlalu lama bermain werewolf hingga pulang kemalaman. Sesampainya di Lintau, kami pergi ke rumah orang tua Opa yang di belakang rumah tersebut Opa dimakamkan. Makam opa biasa saja, tidak ditembok, tidak diberi keramik. Hanya gundukan tanah yang dibagian kepalanya diberi batu tanpa nisan, karena memang di dalam Islam dilarang meninggikan dan mendirikan bangunan diatas kuburan. Aku teringat setiap tahun kami pergi berlebaran ke kampung halaman Opa saat beliau masih hidup, beliau selalu berpesan jika meninggal nanti ingin dimakamkan di kampung halamannya tersebut. Mama dan adik-adik kembali menangis di kuburan tersebut. Entahlah, setiap dari kami memang punya kenangan tersendiri yang membekas dengan opa.

Yang terpenting aku akan mewariskan dan menjaga nilai-nilai yang telah beliau ajarkan selama ini. Semangat beliau akan tetap hidup di dunia ini. Aku akan berdoa semoga kelak kami sekeluarga kembali dikumpulkan bersama di surga Allah.

Sabtu, 18 Juni 2016

Kehilangan Terhebat


Aku merasa harus menuliskan ini, kehilangan terhebat pertamaku.
Siang tadi sekitar pukul 14:30 aku mendapat telpon dari keluargaku di Solok, Sumatera Barat. ketika kuangkat, di ujung telpon telah ada papa.
"Nak, opa masuk rumah sakit, kadar gulanya naik. fokus aja ujian ya, jangan lupa doakan beliau ya."
Aku tau keadaan opaku tidak baik-baik saja saat itu. Sebelum ramadhan opa juga memang sudah masuk rumah sakit karena masalah yang sama.
"Ya pa.. " aku hanya mampu menjawab itu. Kemudian telpon dimatikan oleh papaku.
Aku selalu takut ketika mendapat telpon dari rumah yang mengabarkan kondisi opa, dan kali ini telpon itu datang. Aku tak bisa berhenti memikirkan kondisi opaku.
kemudian 5 menit kemudian papa nelpon lagi.
"Lagi ujian nak?"
"Engga pa, ujian selanjutnya hari Senin"
"Oo.. kalo gitu bicara sama opa nak. ini..." kata papaku dengan suara tercekat.
aku membayangkan papa mengarahkan hape ke opa.
"opa.. opa..."
tidak ada jawaban.
"langsung aja bicara sama opa, Rey" sambung papa.
Dari situ aku tau opa sudah tak sadarkan diri.
"Opa.. cepet sembuh ya pa.. jangan lupa makan.. cepet sembuh ya pa"
aku benar-benar ga tau harus ngomong apa saat itu, pikiranku buntu, hanya kalimat itu yang terucap dari mulutku.
"minta maaf sama opa Rey" sambung papa ditelpon.
"Opa, maafkan Reyhan ya opa. maafkan kesalahan Reyhan" ucapku sambil tercekat. kemudian hening.
"Udah ya nak. sekarang Opa lagi diinfus dan belum sadar, doakan beliau ya. kalo terjadi apa-apa Reyhan harus siap ya. Sekarang Reyhan Sholat, doakan opa. fokus ujian ya nak." kata papaku dengan terbata-bata dan berusaha menguatkanku. kemudian telpon dimatikan.

Dari dulu aku sudah tau, ketika seseorang dalam kondisi koma, harapan untuk kembali sadarnya itu kecil. Dalam hati aku berpikir, apakah ini sudah waktunya untuk beliau?
Air mataku mulai mengalir. Aku selalu berpikir bahwa nanti ketika anggota keluargaku meninggal aku tak akan menangis, atau paling tidak air mataku hanya akan keluar sedikit saja karena akhir-akhir ini entah kenapa afeksi ku mulai berkurang. aku sudah terbiasa melihat kekecewaan, kehilangan, perpisahan dan keputusasaan. Tapi bagaimana mungkin aku tidak menangis jika yang akan pergi meninggalkanku adalah orang yang telah hidup satu rumah denganku selama 18 tahun? orang yang bahkan secara emosional aku lebih dekat dengannya dibanding dengan orang tuaku, orang yang bahkan menangis ketika melepas kepergianku untuk belajar di Surabaya, orang yang selalu menyisihkan uang yang didapatnya untuk jajanku di Surabaya padahal aku tau dengan sangat beliau sangat membutuhkannya, Orang yang selalu aku pegang tangannya dan kemudian berjalan kaki menuju mesjid untuk Shalat Jum'at dari aku masih TK hingga aku SMA, Orang yang mengajakku ke kebun ketika liburan untuk memetik Kakao dan menjualnya di pasar, Orang yang selalu menjadi temanku menonton piala dunia tengah malam disaat yang lain tidur dan membuatkan mie untuk menemani kami nonton? Bagaimana mungkin aku tidak akan berlinang air mata ketika mengingat semua itu. Bahkan ketika aku menuliskan ini pun tanpa sadar air mataku kembali mengalir.

Aku harus menuliskan ini. Aku takut suatu saat ketika ingatanku tak lagi sebaik sekarang ini, Aku bisa kembali membaca tulisan ini dan mengingatnya. Aku benar-benar takut kalau aku harus kehilangan semua memori tentang beliau. Opa memang bukan orang yang sempurna, beliau juga bukan orang paling alim sedunia. Tapi aku belajar banyak dari beliau tentang nilai-nilai kemanusiaan. Bahwa kita tidak harus menjadi sempurna untuk dicintai orang lain, bahwa ketika salah yang terpenting bukan permintaan maafnya, tetapi usaha kita untuk membuktikan dengan perbuatan ucapan maaf itu, bahwa cinta yang sesungguhnya tidak hanya sebatas kata tetapi yang lebih penting lagi bagaimana sikap dan perbuatan kita menunjukkan itu semua.

Opa merupakan orang yang sangat keras. Beliau adalah orang yang suaranya paling keras di rumah dan kalau sudah marah suaranya akan mengagetkan seisi rumah. Tapi dibalik itu semua beliau adalah orang yang sangat lembut dan hatinya sangat mudah tersentuh. Disaat aku akan pergi belajar ke Surabaya beliaulah yang pertama kali menolak, beliau sangat takut kalau terjadi apa-apa padanya aku tidak sempat balik untuk melihatnya yang terakhir kali. ketika akhirnya hati beliau luluh untuk mengizinkan aku berangkat, beliaulah yang pertama kali menangis di hari keberangkatanku. padahal oma dan papa bersikap biasa saja, dan mama baru menangis ketika melepasku dibandara. Opa bahkan memeberikanku foto beliau dan oma sewaktu masih muda. Beliau berpesan, "kalo terjadi apa-apa dan Reyhan tidak bisa pulang, cukup lihat foto ini dan doakan opa ya Rey." Ini terjadi sewaktu keberangkatanku yang pertama di semester 1. ketika aku akan kembali ke Surabaya di semester 2 beliau juga kembali menangis. Menangis melepas seseorang yang akan pergi merantau ke tempat lain mungkin hal yang biasa, tetapi yang tidak bisa aku bayangkan yang menangis itu adalah opaku yang terkenal keras dan galak. Aku selalu tau beliau sebenarnya merupakan seorang yang penyayang.

Ingatan pertamaku tentang beliau adalah saat ulang tahunku yang ketiga. Saat itu ulang tahunku dirayakan dengan mengundang banyak anak-anak seumuranku. Aku sangat takut untuk keluar dari kamar dan menemui mereka. saat aku keluar dan melihat begitu banyak orang aku langsung menangis dan berlari ke kamar. saat itu Opa pergi ke kamar dan menggendongku, Kemudian membawaku keluar. beliau menemaniku duduk di kursi. Dan rasa takutku seketika hilang. kemudian aku juga pernah dibawanya untuk tinggal di Pekanbaru. Saat itu beliau masih menjadi Direktur di sebuah perusahaan kayu. Saat aku sudah TK, aku hanya tinggal di Pekanbaru sewaktu liburan. Aku selalu jajan di koperasi dan membuat tagihan untuk Opa yang harus dibayarnya setiap akhir bulan. Banyak pengalamanku bersama beliau di Pekanbaru.

Percakapan terakhir kami kira-kira seminggu yang lalu, saat itu beliau tidak berbicara banyak. Beliau hanya berpesan "jangan ikut aliran-aliran disana ya Rey". Beliau sangat takut aku ikut aliran-aliran kegamaan yang sesat dan berafiliasi dengan teroris.
Malam sebelum kepergian beliau aku sempat bermimpi tentang beliau. Opa datang menemuiku dengan pakaian batik biru yang sama dengan di fotonya yang terpajang di rumah. Saat itu beliau tidak mengatakan apa-apa. Paginya ketika aku bangun, aku takut. Takut ini merupakan sebuah pertanda. Dan ternyata sorenya aku mendapat kabar tentang beliau. Tepat saat adzan Maghrib, setelah aku minum beberapa teguk datang telpon dari Papa. yang berbicara adalah "Angku" (adik nenekku). beliau mengabarkan Opa telah berpulang. Aku diminta sabar dan mendoakan beliau. Aku berusaha tegar ketika ditelpon, dan ketika telpon telah ditutup aku tak kuasa menahan tangisku.

 Ini pertama kalinya aku kehilangan orang yang serumah denganku. Semua perasaan bercampur aduk, aku tak tau apa yang aku rasakan apakah sedih, kecewa atau senang karena beliau tidak tersiksa terlalu lama dan meninggal di bulan yang suci ini. yang aku tau saat itu air mataku mengalir deras, aku seakan masih tak percaya beliau telah tiada. ketika kulihat fotonya yang dikirimkan mama, beliau terlihat seperti tidur. sejujurnya yang membuat kesedihanku memuncak adalah karena aku belum bisa membalas semua yang beliau berikan kepadaku. aku belum bisa memberikan apa-apa untuk beliau. aku selalu berdoa umur beliau dipanjangkan hingga aku wisuda dan telah bekerja hingga bisa membalas kebaikan beliau dan juga bisa membuat beliau bangga. Aku menyesal karena selama ini belum bisa memberikan yang terbaik untuk beliau. Tapi kemudian aku menyadari bahwa untuk menebus kesalahan itu aku akan mewarisi semangat beliau, aku akan menjaga apa-apa yang telah beliau ajarkan dan perjuangkan, semangat beliau akan tetap hidup dan aku berdoa semoga beliau dikumpulkan bersama orang-orang beriman di Surga dan kami bsa bertemu kembali kelak di Surga. sebenarnya masih banyak yang ingin aku ceritakan, tapi aku sudah tak sanggup lagi untuk saat ini. aku takut kesedihanku semakin mendalam dan membuat beliau sedih melihat kondisiku seperti ini. aku akan sambung di lain waktu. Aku sayang Opa..

Sabtu, 14 Mei 2016

Filosofi Cinta

Cinta seharusnya menjadikan manusia sebagai makhluk yang diliputi kebahagiaan, tapi banyak yang sengsara karena cinta. Cinta seharusnya menimbulkan kedamaian bagi yang merasakannya. Namun mengapa ketika jatuh cinta hati menjadi gundah gulana. Dan cinta juga seharusnya bisa mempersatukan. Tapi mengapa banyak kita lihat kisah tragis dari cinta, seperti romeo-juliet, Cleopatra-antonius, ataupun laila-majnun. Lalu bagaimana dengan cinta yang katanya tak harus saling memiliki? Bagaimana mungkin kita merelakan orang yang kita cintai tak menjadi milik kita.
Cinta bisa jadi kata yang paling banyak dibicarakan banyak orang. Cinta bisa kepada berbagai hal. Cinta kepada harta, anak, istri, kekuasaan, kendaraan mewah dan lain sebagainya. Banyak yang telah merasakan cinta, namun banyak juga orang yang kesulitan ketika diminta menjelaskan, apa itu cinta? Ratusan pemikir dan ilmuwan mencoba mendefinisikan arti kata itu. Namun, tak ada yang sungguh bisa menjelaskannya. Atau, jangan-jangan cinta itu hanya bisa dirasa, tapi tak bisa dijelaskan dengan kata-kata? Bagaimana menurut anda?
Bagaimana sebenarnya hakikat cinta jika ditinjau dari segi filsafat?
Suatu hari, Plato bertanya pada gurunya, “Apa itu cinta? Bagaimana saya menemukannya? Gurunya menjawab, “Ada kebun mawar yang luas didepan sana. Berjalanlah kamu kesana dan tanpa boleh mundur kembali, ambillah satu tangkai bunga mawar yang paling indah. Jika kamu menemukan mawar yang kamu anggap paling menakjubkan, artinya kamu telah menemukan cinta”
Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan tangan kosong, tanpa membawa apapun.
Gurunya bertanya, “Mengapa kamu tidak membawa satu tangkaipun bunga mawar?” Plato menjawab, “Aku hanya boleh membawa satu saja dan saat berjalan tidak boleh mundur kembali (berbalik). Sebenarnya aku telah menemukan yang paling menakjubkan, tapi aku tak tahu apakah ada yang lebih menakjubkan lagi di depan sana, jadi tak kuambil mawar tersebut. Saat kumelanjutkan berjalan lebih jauh lagi, baru kusadari bahwa mawar-mawar yang kutemukan kemudian tak sebagus mawar yang pertama tadi, jadi tak kuambil setangkaipun pada akhirnya”
Gurunya kemudian menjawab ” Ya! itulah cinta”
Di hari yang lain, Plato bertanya lagi pada gurunya,”Apa itu perkawinan? Bagaimana saya bisa menemukannya?”
Gurunya pun menjawab “Ada hutan yang subur didepan sana. Berjalanlah tanpa boleh mundur kembali (menoleh) dan kamu hanya boleh menebang satu pohon saja. Dan tebanglah jika kamu menemukan pohon yang paling tinggi, karena artinya kamu telah menemukan apa itu perkawinan”
Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan membawa pohon.  Pohon tersebut bukanlah pohon yang segar/subur, dan tidak juga terlalu tinggi. Pohon itu biasa-biasa saja.
Gurunya bertanya, “Mengapa kamu memotong pohon yang seperti itu?” Plato pun menjawab, “sebab berdasarkan pengalamanku sebelumnya, setelah menjelajah kebun mawar, ternyata aku kembali dengan tangan kosong. Jadi dikesempatan ini, aku lihat pohon ini, dan kurasa tidaklah buruk-buruk amat, jadi kuputuskan untuk menebangnya dan membawanya kesini. Aku tidak mau menghilangkan kesempatan untuk mendapatkannya”
Gurunya pun kemudian menjawab, “Dan ya itulah perkawinan”
Dari kisah diatas kita dapat mengambil 2 hal. Pertama, seringkali kita berusaha menemukan cinta yang sempurna dan malah meninggalkan cinta yang telah ada. Dan hingga akhirnya ketika kita tiba diujung pencarian, kita baru menyadari bahwa yang kita miliki selama inilah yang merupakan cinta terbaik, Namun kita malah meninggalkannya dan berusaha mencari cinta yang lain yang kita rasa sempurna. Kedua, perkawinan itu ibarat kisah diatas, kita berusaha menjalani perkawinan dan berumah tangga yang terbaik, namun karena takut gagal seperti saat pencarian cinta, kita hanya melewatinya dengan biasa-biasa saja dan terkesan hambar.
Filsafat sendiri berasal dari kata philos yang artinya cinta dan shopia yang artinya kebijaksanaan. Jadi filsafat artinya cinta kebijaksanaan.
Berdasarkan filsafat Yunani, terdapat beberapa jenis cinta, diantaranya:

Eros. Eros adalah cinta secara fisik, dengan kerinduan yang sifatnya sebagian besar sensual. Eros adalah cinta yang didasarkan semata-mata pada emosi dan bukan pada logika.
 Philia, didefiniskan sebagai cinta yang sifatnya mental. Philia juga diasosiasikan sebagai cinta antar sahabat di dalam bahasa Yunani Kuno dan Modern. Cinta semacam ini sifatnya 'memberi dan menerima'. Philia menurut Aristoteles, adalah cinta yang sifatnya penuh kebajikan dan tidak bersifat agresif.
Agape, berarti cinta di dalam sifatnya yang spiritual, yang berarti "aku mencintaimu" di dalam bahasa Yunani Kuno, seringkali dikaitkan dengan 'cinta yang tak bersyarat'. Cinta semacam ini tidak mementingkan diri sendiri, cinta ini memberi dan tidak mengharapkan diberi.
Storge, berarti "rasa sayang" di dalam bahasa Yunani Kuno dan Modern. Storge adalah cinta yang sifatnya alamiah, seperti yang dirasakan orangtua kepada anak mereka. Kata ini jarang digunakan di dalam teks-teks kuno, dan hampir selalu digunakan untuk menggambarkan cinta diantara anggota keluarga.

Selain jenis cinta diatas adalagi jenis cinta yang lain menurut Plato, yaitu Cinta Platonis. Sesuai dengan Pemikiran Plato mengenai konsep ideal yang hanya ada dalam alam pikiran, maka “Cinta Platonis” merupakan pandangan plato tentang cinta yang paling ideal, atau cinta yang sempurna. Cinta Platonis ialah cinta yang hanya ada di dalam angan-angan atau cinta yang hanya ada dalam pikiran. Cinta yang tidak diungkapkan pada siapapun, menjadi cinta paling misterius, cinta dalam diam, yang tidak dikatakan pada orang lain, atau kepada orang yang dicintai itu.
Maka, berdasarkan konsep pemikiran Plato, sebuah cinta yang telah diungkapkan, maka cinta itu sudah tidak lagi menjadi cinta yang ideal atau sudah tidak lagi menjadi cinta sejati.
Sebenarnya apa sih yang membuat manusia jatuh cinta?
Menurut Jacques Lacan, manusia memiliki lubang di dalam jiwanya yang harus diisi. Ada ruang kosong di dalam jiwanya yang selalu mencari tambalan untuk menutupi lubang tersebut. Dalam konsep psikologi dikenal istilah Id, yaitu hasrat naluriah manusia yang dibawanya sejak lahir. Maka untuk menutupi lubang di dalam jiwa tadi dibutuhkan cinta. Cintalah yang mampu mengisi kekosongan itu.
Cinta tidak sebatas kepada lawan jenis. Cinta bisa kepada siapa saja atau apapun. Cinta bisa kepada Allah, kepada harta, ataupun kepada lawan jenis. Namun yang paling sesuai untuk mengisi kekosongan hati adalah cinta kepada Allah. Jika cinta kepada manusia maka suatu saat ketika dia pergi maka hati akan menjadi kosong kembali, namun jika cinta kepada Allah maka Allah kekal, Allah akan selalu bersama orang yang mencintainya. Pasangan hanyalah sarana agar kita bisa lebih mencintai Allah. Jika kita memilih cinta kepada harta, maka lubang dijiwa kita tidak akan pernah terisi. Jiwa akan selalu menuntut lebih dan tidak akan pernah merasa puas. Lain halnya jika kita mencinta Allah yang Maha Pemilik segala-galanya. Hanya dengan mengingat Allah lah hati kita akan menjadi tentram.
Apa yang membuat cinta berhenti di tengah jalan?
Seringkali cinta kandas ditengah jalan dan menyisakan luka. Padahal awalnya kita merasa semua akan baik-baik saja. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya komitmen. Atau komitmen yang telah dibuat diawal dilanggar. Maka dari itu dibutuhkan komitmen sejak awal menjalin hubungan dari masing-masing pihak. Dan komitmen yang telah dibuat itu hendaknya dijaga sampai akhir. Jangan sampai hanya sebatas janji kosong. Cinta bukanlah kata-kata, tetapi adalah tindakan konkrit yang diejawantahkan dalam kehidupan nyata.
Tapi bukan berarti komitmen menghalangi seseorang untuk berubah. Seringkali kita mendengar kata-kata “kamu jangan pernah berubah ya, tetap kayak gini terus”. Ini adalah hal yang mustahil. Mau tidak mau kita harus menerima bahwa seseorang itu pasti akan berubah. Senang atau tidak. Karena pada dasarnya manusia selalu menuju proses penyempurnaan. Jangan menghalangi pasangan anda untuk berubah, karena kalau dia tidak berubah selama bersama anda, berarti anda gagal sebagai pasangan. Bukankah hari ini harusnya lebih baik dibanding hari kemaren. Biarkan pasangan anda berubah jadi lebih baik, biarkan pasangan anda menjadi dewasa bersama anda. Anda juga harus dapat memahami dan menerima perubahan itu.
Tapi perlu diingat, jangan berubah hanya untuk menyenangkan pasanganmu. Karena itu akan melelahkan. Ketika kamu berubah mengikuti apa yang pasangan kamu suka, maka lama kelamaan pasanganmu akan bosan kepadamu, karena dia tidak melihat hal menarik lagi dari dirimu. Tetaplah menjadi apa yang kamu suka. Apabila ada hal yang buruk dari dirimu, pasangan yang baik pasti tidak akan memaksa kamu untuk berubah secara instan. Dia pasti akan menemanimu untuk berproses bersama menjadi lebih baik. Karena dia mencintai semua yang ada pada dirimu.
Kata orang cinta itu buta. Cinta sebenarnya tidak buta. Cinta adalah sesuatu yang murni, luhur dan diperlukan. Yang buta adalah bila cinta itu menguasai dirinya tanpa suatu pertimbangan. Seringkali kita lihat individu yang rela membelikan pasangannya ini itu padahal dia belum punya penghasilan sendiri. Lain halnya jika sudah punya penghasilan sendiri, terserah uangnya mau dipakai buat apa. Tapi akan terasa hambar jika cinta hanya terpatok pada materi. Materi itu perlu, tapi materi bukan segala-galanya.
Pernahkah anda bosan dalam menjalin sebuah hubungan? Ketika cinta hanya sebatas ucapan selamat pagi, selamat siang, selamat tidur. Ketika cinta hanya sebatas pertanyaan lagi ngapain, udah makan belum, udah mandi belum, udah bernafas belum. Ataupun cinta hanya sebatas ngasih surprise ulang tahun, cowok traktir ceweknya makan dan pergi nonton bareng. Membosankan sekali. Mungkin diawalnya emang terasa menyenangkan, tapi lama kelamaan pacaran akan kehilangan esensi.
Pernahkah terpikirkan untuk melakukan hal-hal bermanfaat bersama pasangan anda. Seperti melakukan kegiatan social, mengajar anak-anak yang tidak sempat mengenyam pendidikan, atau kalian berdua bisa iuran setiap minggunya buat bagiin nasi bungkus gratis kepada orang-orang yang membutuhkan, atau kalian bisa bikin usaha bareng. Pasti akan banyak keseruan disana. Memang refreshing sekali-kali juga dibutuhkan, tapi jangan sampai pacaran hanya sebatas ritual buang-buang uang dan menanyakan hal-hal ga penting. Kalian tidak perlu menanyakan pasangan kalian udah makan apa belum, karena ketika dia lapar pasti dia akan makan, kecuali kalian emang niat bawain dia makanan.
Pernahkah kalian merasa takut untuk mengungkapkan perasaanmu?
Jika kamu memang cinta maka ungkapkan saja. Cinta bisa disembunyikan tapi cinta tidak bisa dibungkam, maka katakanlah selagi masih ada kesempatan atau kau akan kehilangan dan menyesal. Tapi pastikan dulu perasaan kamu itu apakah hanya sebatas suka, kagum atau benar-benar cinta. Tanyakan dulu kepada hatimu. Jika itu memang cinta, maka katakanlah. Bilang cinta bukan berarti nembak atau memaksanya menjadi pacar kita. Setiap orang berhak jatuh cinta dan mengakuinya.
Dan buat orang yang diungkapin perasaannya, kamu harus bisa berpikir dewasa. Kenapa dia bisa mencintai kamu, pasti ada sesuatu yang dia suka dari kamu, pastilah ada hal menarik yang dilihatnya dari kamu. Anggaplah ungkapan cinta itu sebagai pujian. Tidak ada yang salah dari seorang anak manusia yang mengatakan isi hatinya. Cinta tidak bermain dengan logika, tapi rasa untuk selalu membuat bahagia, apapun bentuknya. Jangan salahkan perasaan cinta seseorang terhadapmu karena ia pun tidak pernah tau tentang rasa cinta yg tumbuh itu. Jangan kau benci karena cintanya padamu, ia pun tersiksa karena rasa cinta itu padamu.
Jika kamu memang tidak ada perasaan kepadanya, maka ucapkan saja terima kasih atas ungkapannya, lalu bilang maaf karena tidak merasakan hal yang serupa. Lalu jalani kehidupanmu seperti biasa, bukan dengan menjauhi orang yang mengungkapkan perasaannya kepadamu.
Mencintai memang mudah, untuk dicintai juga memang mudah. Tapi untuk dicintai oleh orang yang kita cintai itulah yang sukar diperoleh.


Source: Benthem, Andriaans. 2008. Handbook of the Philosophy of  Science Volume 8: Philosophy of Information. Belanda: Elsevier B.V.

Indonesia Merdeka

      Pada kesempatan kali ini penulis akan menyajikan atau menampilkan kembali isi pidato salah seorang proklamator kita yaitu Drs. Mohammad Hatta yang berjudul “Indonesia Vrij” (Indonesia Merdeka). Pidato ini disampaikannya di depan pengadilan Belanda tepatnya di Den Haag pada tahun 1927, sebagai pembelaan atas dirinya yang saat itu sedang diadili atas tuduhan menjadi anggota perhimpunan terlarang, terlibat dalam pemberontakan, dan menghasut untuk menentang Kerajaan Belanda. Berkat pidatonya yang menggilang ini, Muhammad Hatta pada akhirnya dibebaskan dari segala tuduhan.
Hal ini bisa juga kita jadikan perbandingan antara pengadilan di Belanda dengan di Hindia Belanda pada waktu itu. Soekarno juga pernah diadili di pengadilan Bandung dan membuat sebuah pidato pembelaan yang memukau dengan judul “Indonesia Menggugat”. Tetapi hasilnya, Soekarno dihukum 4 tahun penjara. Bisa dilihat bahwa pengadilan di Negara merdeka (Belanda) lebih memperlakukan semua orang sama di mata hukum, sedangkan di negara jajahan (Hindia Belanda), sehebat apapun pembelaannya, pegadilan tetap menjatuhkan vonis hukuman.
Penulis sengaja menyajikan kembali isi pidato Muhammad Hatta karena penulis sendiri merasa kesulitan menemukan pidato “Indonesia Vrij” ini di dunia maya. Berbeda dengan “Indonesia Mengunggat” Yang sudah banyak terdapat di dunia maya. Semoga tulisan ini dapat membantu teman-teman yang juga mengalami kesulitan yang sama dnegan penulis. Disamping itu penulis juga berharap kaum muda Indonesia dapat kembali menelaah pemikiran bung Hatta melalui pidatonya ini.
Artikel ini bersumber dari buku “Untuk Negeriku: sebuah otobiografi jilid 1” yang ditulis oleh Muhammad Hatta sendiri. Artikel ini juga hanya menyajikan pidato bung Hatta bagian awal dan akhirnya saja, karena jika dituliskan semuanya maka akan memakan waktu Tiga setengah jam untuk membacanya, seperti yang diungkapkan Muhammad Hatta sendiri. Mungkin akan terdapat perbedaan bahasa Indonesia yang digunakan pada masa dahulu dengan masa sekarang dan akan ada beberapa kalimat yang mungkin terdengar asing untuk pembaca di zaman sekarang, jadi dibutuhkan kecermatan untuk membacanya.



“INDONESIA VRIJ”
“yang Mulia Tuan-tuan Ketua dan Hakim!
“tatkala dalam tahun 1924 redaksi Indonesia Merdeka menulis kata pendahuluan untuk tahun baru, kata-kata yang berikut keluar dari pena-nya: ‘Indonesia Merdeka’ menjadi suara mahasiswa muda Indonesia, suara yang barangkali belum diperhatikan oleh yang berkuasa, tetapi suatu kali akan didengarnya. Tidak dengan tidak ada kesalahan suara itu diabaikan saja sebab di belakang suara itu ada kemauan yang tegas untuk terus mencapai hak-hak yang cepat atau lambat akan menegakkan dalam dunia ini suatu Indonesia Merdeka.
“Sedikit mereka menduga bahwa masa itu begitu cepat ada balasannya, terutama dalam lingkungan yang memerintah. Lebih kurang diduga bahwa suara itu begitu cepat dibawa ke muka pengadilan. Aku sekarang berdiri di muka Tuan-Tuan yang mulia, Presiden dan Hakim, untuk mempertanggungjawabkan tujuan dan perjuangan Perhimpunan Indonesia dan membenarkan tujuan dan perjuangan itu dari pandanganku”.
“Yang mulia Tuan-tuan Presiden dan para Hakim.”
“Hanya satu yang hendak kuterangkan dengan ringkas, yaitu bagaimana pendirian Perhimpunan Indonesia terhadap kekerasan, perkosaan. Baik dalam statutanya maupun dalam keterangan dasarnya, tidak ada anasir kekerasan. Belum pernah dikehendakinya tindakan kekerasan. Belum pernah ia berkata untuk tindakan kekerasan. Tetapi, yang pernah ada ialah bahwa ia bicara tentang kekerasan.
Dengan menganalisa perhubungan kolonial, Perhimpunan Indonesia memperoleh suatu kenyataan bahwa perhubungan itu dikuasai oleh dua tenaga yang bertentangan tujuannya, yaitu pendirian Nederland yang mau mempertahankan penjajahannya apapun yang akan terjadi dan tujuan Indonesia ke jurusan merdeka sama sekali. Dan ini menimbulkan keyakinan padanya bahwa kemerdekaan Indonesia hanya dapat diperoleh dengan kekerasan. Tetapi, hal ini bukanlah suatu pendapat yang luar biasa. Karena juga pendeta-pendeta dan anggota-anggota Perwakilan Rakyat Negeri Belanda mempunyai pendapat seperti itu, sebagaimana Mr. Duys (pembela Hatta) kemarin menunjukkan dengan berbagai kutipan. Itu adalah hukum sejarah bahwa ahirnya suatu bangsa selalu sejalan dengan penumpahan darah dan air mata.
Indonesia Merdeka menulis tentang itu dalam tahun 1924, halaman 1, sebagai berikut:
“cepat atau lambat pada suatu ketika bangsa yang terjajah mengambil kembali kemerdekaannya, itu adalah hokum besi sejarah dunia. Cuma suasana dan keadaan betaap gerakan kemerdekaan itu terjadi ikut ditentukan oleh mereka yang berkuasa. Sebagian besar bergantung kepada mereka, apakah lahirnya kemerdekaan itu sejalan dengan penumpahana darah dan air mata atau berjalan dengan proses perdamaian.”
Negeri Belanda menguasai sepenuhnya, bagaimana Indonesia akan merdeka, dengan jalan kekerasan atau dengan jalan damai. Tetapi, dengan memperhatikan sikap sebagian besar rakyat Belanda, seperti yang terjadi pada debat dalam Tweede Kamer (Majelis Rendah) pada tahun 1925 tentang undang-undang yang akan mengatur susunan pemerintahan Hindia Belanda, aku khawatir bahwa jalan yang pertama akan ditempuh.
Bahwa penjajahan Belanda akan berakhir, bagiku itu pasti. Itu hanya soal waktu dan bukan soal ya atau tidak. Janganlah Nederland menyugesti dirinya sendiri bahwa penjajahannya akan tetap sampai akhir zaman.
Ada satu hal lagi, Tuan Presiden, yang akan aku singgung, yaitu penahanan preventif kami. Kami berdiri disini bukan sebagai penjahat, melainkan kami orang-orang yang jujur, yang membela keyakinan kami. Tuan dapat menerima apa yang aku kemukakan.
Penahanan kami selalu diberi alasan ‘takut akan lari’. Lari, Tuan Presiden? Kami terlalu jantan untuk lari. Kami berjuang untuk suatu cita-cita tinggi dan lari hanya merusak tujuan kami sendiri. Keyakinan kami barangkali bukan keyakinan Tuan, tetapi suatu hal yang dapat menyamakan pendapat kita karena kita bukan penjahat, yaitu menghargai pendapat masing-masing. Penghargaan itu akan menginsafkan Tuan bahwa lari adalah suatu perbuatan pengecut yang tak mungkin akan kami lakukan.
      Tetapi, baiklah aku bicara tidak dalam abstrakto saja, akan aku sebutkan bukti yang nyata untuk menginsafkan Tuan bahwa alasan ‘Taku akan lari’ tidak ada dasarnya sama sekali. Apabila sekitarnya ada niatku untuk lari, justru Nederland tak akan pernah dapat menangkapku. Aku sedang berada di Swiss, waktu penuntutan terhadap kami bermula dengan penggeledahan di rumah-rumah kami. Dan aku akan tetap tinggal disana apabila ada kiranya padaku rasa takut akan dituntut berdasarkan hukum pidana. Sebaliknya! Justru, berhubung dengan kemungkinan perkara kami akan dimajukan ke muka mahkamah yang aku duga akan terjadi pada akhir September, aku persingkat masa liburku di luar negeri dan aku kembali ke Nederland. Juga teman-temanku yang tiga orang ini waktu masa libur berada di luar negeri. Apabila sekiranya ada pada mereka niat akan lari, mereka akan tetap saja ada disana. Tetapi, Tuan Presiden, kejujuran kami melarang kami dibayar dengan mengurung kami lima setengah bulan dalam penjara.
Alasan ‘takut akan lari’ sama sekali tidak dapat dipertahankan. Sebab itu aku mendesak kepada Tuan, sambil menunggu keputusan Tuan tentang perkara kami, tahanan preventif kami segera dicabut. Aku percaya bahwa Tuan dalam hal ini juga akan melaksanakan hukum.
     Yang terhormat Tuan-tuan presiden dan Hakim!
     Aku sampai sekarang pada akhir pembelaanku, inginlah aku mempergunakan kedudukanku sebagai orang yang tertuduh menjadi penuduh terhadap kezaliman yang diderita terus menerus oleh bangsaku. Kepada Tuan-tuan, pendukung hukum dan keadilan, aku majukan pertanyaan, apakah sesuai dengan jabatan Tuan-tuan untuk menyetujui perbuatan Pemerintah Belanda yang bertentangan dengan hukum terhadap pemuda Indonesia yang tidak berdaya. Bertahun-tahun hiudp kami di negeri ini dipersukar dengan berbagai macam cara. Kami kira bahwa kami disini dalam Negara Grotius, dimana hak asasi manusia dijunjung tinggi, merasai juga hak-hak elementer itu. Tetapi, tidak! Karena orang tidak dapat berbuat apa-apa terhadap kami, selain daripada perantaraan mahkamah, diambil cara imoril untuk menikam kami. Orang tua kami di Indonesia dengan ancaman keluar dari jabatan pemerintah atau dengan cara lain, dilarang mengirimkan uang untuk anaknya di negeri Belanda selama ia masih menjadi anggota Perhimpunan Indonesia. Tindakan itu serua dengan sebilah pedang bermata dua yang menyayat timbal balik. Pada satu pihak anaknya ditelantarkan di negeri orang dan menderita kesukaran, pada pihak lain ditimbulkan pertentangan antara bapak dan anak, antara generasi tua dan generasi muda. Juga dengan tiada ancaman itu ada hubungan yang tegang antara angkatan tua dan muda. Juga denga tiada tindakan pemerintah, ayah dan anak hidup dalam suasana terpisah. Orang tua yang hidupnya terkait kepada tradisi lama dan merasai hidupnya sudah dekat pada lobang kubur, ingin mempertahankan apa yang ada, berhadapan dengan amgkatan muda yang menyongsong sinar merah pagi dan jiwanya penuh dengan cahaya baru yang datang. Keyakinannya begitu kuat dan kepercayaannya hidup dalam hatinya yang muda, sehingga tidak dapat dibunuh. Cinta dan semangat begitu duduk dalam jiwanya sehingga anak muda, seklai pun dengan jiwa yang luka, bersedia memutuskan hubungan keluarga untuk membela kepercayaannya.
Sesungguhpun begitu, Tuan Presiden, cara mengadakan provokasi, cara menekan beberapa pelajar Indonesia disini supaya hidup sengsara dan menderita, bertentangan dengan hukum dan berdosa!
Kepada Tuan-tuan para Hakim, pengasuh hukum, aku bertanya dengan penuh kepercayaan, apakah car ini bukan suatu jalan yang tidak langsung untuk menghalangi kami di negeri ini bergerak bebas, yang bertentangan dengan hukum Undang-Undang Dasar? Kepada Tuan-tuan aku bernai bertanya dengan kepercayaan: apakah tindakan itu tidak melanggar kebebasan yang diakui oleh Undang-Undang Dasar?
   Apakah tidak akan menimbulkan kejengkelan yang lebih besar kepada kami, apabila orang dengan jalan yang sewenang-wenang saja menyuruh rasakan kepada kami, juga dengan jalan yang bertentangan dengan hukum yang berlaku, betapa sedihnya nasib menjadi bagian daripada bangsa yang tidak merdeka? Sangat jelas bahwa jaminan hukum bagi kami, putra-putra suatu bangsa yang terjajah, tidak ada dimana-mana.
    Tetapi, pemuda Perhimpunan Indonesia tahu menderita, sebagaimana tiap-tiap pemuda bangsa yang terjajah harus menderita. Masa mudanya bukan bulan terang seperti masa mudanya putra bangsa yang merdeka. Pada masa mudanya mereka menderita dan memberikan berbagai pengorbanan. Tetapi, semuanya ini membina pikirannya dan karakternya dalam perjuangan untuk cita-cita yang mengubik dan memanggil. Panggilan suara rakyat Indonesia yang banyak serasa terdengar dan menggembirakan mereka, dan bersama dengan rakyat banyak itu mereka mau berjuang.
“kami percaya masa datang bangsa kami dan kami percaya atas kekuatan yang ada dalam jiwanya. Kami tahu bahwa neraca kekuatan di Indonesia senantiasa berkisar ke arah keuntungan kami. “orang katakan- kata Indonesia Merdeka- bahwa bangsa kami, yang besar di masa yang lampau tidak lagi mampu untuk mendukung kebesaran di masa datang bahwa tidak mungkin lagi mengatasi garis yang menurun. Kami tidak akan mengadili bangsa kami, sejarah akan menentukannya.
“sinar merah masa datang sudah mulai menyingsing sekarang. Kami menghormati itu sebagai datangnya hari baru. Pemuda Indonesia harus menolong kami mengemudi ke jurusan yang benar. Tugasnya ialah mempercepat datangnya hari baru itu. Ia harus mengajar rakyat kami kegembiraan; bukan sengsara saja yang harus menjadi bagiannya. Mudah-mudahan rakyat Indonesia merasa merdeka di bawah langitnya dan mudah-mudahan mereka merasa menjadi Tuan sendiri dalam Negara yang dikaruniakan Tuhan kepada mereka.
“Yang Mulia Tuan-tuan Hakim!”
“sekarang aku sedang siap menunggu keputusan Tuan-tuan tentang pergerakan kami. Kata-kata Rene de Clerq, yang dipilih pemuda Indonesia sebagai petunjuk, hinggap di bibirku:
Hanya satu tanah yang dapat disebut Tanah Airku, Ia berkembang dengan usaha, dan usaha itu ialah usahaku.


Sumber: Hatta, Muhammad. (2011). “Untuk Negeriku: sebuah otobiografi jilid 1”. Jakarta: Kompas.