Hari itu Sabtu. Udara Sijunjung terasa lengket seperti lem UHU yang menempel di kulit baju. Aku dan Gita istriku datang karena pekerjaan, bukan untuk jalan-jalan. Tapi jauh di lubuk hati yang kadang terlalu kaku mengikuti jadwal, ada satu wacana kecil yang sejak pagi terus mengintip: “Bagaimana kalau sekalian singgah ke Sawahlunto ya nanti pulangnya?”
Itu
bukan rencana pasti. Hanya sepotong wacana sambil lalu, dilempar seperti orang
iseng melempar batu ke danau. Tapi setelah urusan pekerjaan selesai sore
harinya dan kami mulai berkendara pulang, wacana itu berubah jadi keputusan.
Dengan semangat seperti baru menang undian, kami memantapkan diri untuk tidak langsung kembali ke Padang, tapi
menginap satu malam di Sawahlunto,
sekalian jalan-jalan.
Langsung
saja Gita membuka aplikasi Traveloka. Jemarinya lincah, seperti seorang
detektif yang sedang memburu penginapan ideal. “Murah, tapi jangan murahan ya,”
katanya.
“Yang penting bersih,” tambahku, sambil mengingat-ingat tempat menginap horor
yang pernah istriku alami, sprei dengan kotoran cicak, puntung rokok di kamar
mandi dan udara pengap.
Kami berdiskusi lama. Bukan karena terlalu memilih, tapi karena kami ini termasuk
saklek dalam urusan penginapan. Salah pilih penginapan, bisa rusak satu
perjalanan.
Akhirnya,
setelah menimbang ulasan dan foto kamar, kami sepakat memilih Dara Kembar
Homestay. Namanya sederhana, harganya masuk akal, ulasannya menjanjikan
kenyamanan. Kami simpan nomornya, lalu melanjutkan perjalanan ke kota tua yang
semakin dekat.
Menjelang
pukul setengah sembilan malam, sekitar 20 menit dari simpang Muaro Kalaban, aku
melihat kerlap-kerlip cahaya dari kejauhan. Awalnya kupikir itu panggung
hajatan atau lampu mobil parkir. Tapi semakin dekat, aku bisa melihat dua
bianglala raksasa dan suara musik samar-samar.
“Eh,
itu pasar malam! Yuk mampir dulu!” kataku sambil menunjuk ke arah keramaian.
Gita
menoleh cepat. Matanya langsung berbinar. “Serius? Mau!”
Kami
membelok ke arah lampu. Dan benar saja, bukan pasar malam kecil-kecilan, tapi
seperti carnival versi lokal. Ada dua bianglala, dua
kora-kora, motor gila, komidi putar, rumah hantu (yang pastinya tidak akan aku datangi) dan berbagai
permainan anak-anak.
Kami
naik kora-kora karena istriku ingin dan karena aku… sayang istri. Saat perahu
ayun itu mulai melambung tinggi, aku menyesali keputusan itu sejenak. Tapi saat
kami berteriak bersama, rasa takut dan tawa seperti aduk jadi satu.
Setelah
permainan usai dan kaki sedikit gemetar, kami membeli corndog dan sosis bakar. Makan sambil
berjalan menyusuri arena, tangan kanan pegang camilan, tangan kiri menggandeng.
Kami seperti remaja tanggung yang baru pertama kali pacaran.
Keluar dari pasar malam, kami langsung menghubungi pihak homestay. Aku menjelaskan bahwa kami baru selesai dari pasar malam dan akan tiba sekitar setengah sebelas malam, setelah makan malam dulu di pusat kota.
“Iya Pak, tidak apa-apa. Kami tunggu,” jawab suara ramah di ujung telepon.
Jawaban itu saja sudah membuat hati lega.
Kami
pun meluncur ke pusat kota Sawahlunto. Setelah melewati jalan yang menanjak dan
berkelok, kami tiba di bentangan kota yang seolah disembunyikan lembah-lembah
dan dipeluk bukit-bukit curam. Bangunan-bangunan tua berdiri anggun di sisi
kiri-kanan jalan, seperti tidak ingin mengganggu tapi juga tak bisa diabaikan.
Cahaya lampu dari rumah-rumah di lereng bukit menyala kuning hangat,
menciptakan pola seperti bintang jatuh yang tertahan di tengah dinding hijau.
Jalanan bersih, suasananya tenang tapi tetap hidup. Meski sudah pukul sepuluh
malam, kota ini belum benar-benar tidur. Di beberapa sudut, kafe-kafe kecil
masih terang, dan anak-anak muda duduk bergerombol. Kota ini kecil, tapi rapi.
Seperti seseorang yang tidak banyak bicara, namun jika kau perhatikan
baik-baik, ada banyak hal yang ingin dia ceritakan dalam diamnya.
Dalam
perjalanan mencari makan malam, kami menyempatkan diri berkeliling. Pertama,
kami melewati Stasiun Kereta Api
Sawahlunto, kini menjadi Museum Kereta Api. Bangunannya bergaya kolonial
Belanda, dengan atap genteng merah tua, dinding bata polos, dan ruang tunggu
luas di bawah naungan atap panjang, tempat lokomotif Mak Itam beristirahat setelah
kerja keras membawa batu bara puluhan tahun lalu.
Tak
jauh dari situ, kami berjalan melewati gereja
Belanda tua yang berdiri kokoh, arsitekturnya sederhana namun tegas,
tampak seperti bangunan gereja gereja kolonial pada umumnya dinding putih dan
jendela tinggi melengkung. Kemudian kami melihat bekas pabrik batu bara dan bangunan administratif mesin tambang,
yang kini menjadi bagian dari warisan UNESCO Ombilin Coal Mining Heritage.
Kami
juga melewati sungai kecil Batang
Ombilin yang mengalir melalui kota, diapit bendungan kecil, jembatan
batu rendah, dan rumah-rumah tua di tepinya. Sepanjang perjalanan tampak rumah
penduduk yang rapi, dengan lorong-lorong menanjak dan mendaki, memberi bayangan
kota di tengah lembah yang hidup dengan sejarah.
Setelah
itu kami sempat berhenti di Lapangan
Segitiga yang bersih tapi sepi pedagang, sebelum akhirnya pindah ke arah
terminal. Di sana, barisan
penjual makanan masih hidup. Aku mencari sate Padang, tapi tak kutemukan. Istriku justru dengan semangat
memilih pecel ayam, bukan karena
nasinya, tapi karena cabainya
yang merah menyala, pedasnya sudah terasa sejak dipandangi. Makanannya tidak
luar biasa, tapi rasanya pas sekali, mungkin karena perut lapar, kami
menikmatinya dengan hati yang tidak terburu-buru.
Dan
malam itu, sebelum benar-benar sampai ke homestay, aku tahu bahwa kami tidak
hanya memutuskan untuk bermalam. Kami sedang belajar tentang menyempatkan diri
untuk pelan, untuk menoleh, dan untuk sekadar mampir ke tempat yang ternyata
sangat pantas untuk dituju.
Setelah
muter sekitar 200 meter dari pusat kota, kami sempat kelewatan belokan kecil
menuju homestay. Jalan sempit itu membuat kami harus mundur pelan–pelan.
Untungnya tidak ada kendaraan di belakang. Jalan kemudian melewati jembatan
kecil dan mulai menanjak. Setelah bertanya ke warga lokal, kami diberitahu
untuk terus saja dan sekitar 200 meter setelah jembatan, Dara Kembar Homestay muncul di sisi kanan
jalan. Kami tiba tepat pukul setengah
sebelas malam, sesuai janji dengan pemilik homestay.
Seorang
Bapak sekitar 60-an tahun keluar
menyambut. Ia bercerita bahwa ia sempat berpikir akan menjemput kami dari pusat
kota, takut kami kesasar. Tak lama kemudian istrinya pun menyambut dengan senyum hangat. Dari luar, rumah ini
terlihat biasa, tetapi begitu masuk, kami menyadari rumah ini memanjang ke belakang, dengan enam kamar tamu tertata rapi.
Kami
ditempatkan di kamar nomor 6,
fasilitas lengkap mulai dari AC, selimut bersih, handuk, toilet duduk, shower
(tanpa air hangat), gantungan baju, sabun, sampo, odol serta kabel olor/cok
raun. Saat membuka tirai jendela menghadap ke balik rumah, kami disambut
panorama lampu-lampu rumah warga di lereng bukit yang seperti bintang.
Pagi
harinya, sekitar pukul setengah tujuh,
kami keluar berjalan kaki menuju Lapangan
Segitiga. Kami memang tidak mengambil paket sarapan di Homestay karena
ingin mencari sarapan di luar sekalian olahraga. Beruntungnya lokasi Homestay kami sangat strategis, cukup 1 km ke pusat
kota, bisa ditempuh dengan jalan kaki sambil menikmati udara pagi. Keluar
rumah, kami bertemu ibu pemilik
homestay, yang langsung menanyakan apakah kami tidur dengan nyaman. Ia
juga dengan sopan meminta tolong untuk memberikan ulasan di Traveloka dan Google Maps.
Dalam
perjalanan ke lapangan, kami melewati Museum
Ransum dan Museum Lubang Tambang. Kami masuk ke area Museum Ransum dan di
dalamnya berdiri dua buah tungku uap raksasa buatan Jerman tahun 1894. Tingginya
hampir lima meter, seukuran dua mobil disusun menumpuk, dengan cerobong besar,
lubang-lubang hitam tempat bara membakar, dan tangga besi di sampingnya.
Plat-plat hitam bulat yang terpasang di atasnya kira-kira sebesar meja bundar
untuk enam orang, atau mungkin ban truk proyek. Melihatnya dari dekat membuat
kami merasa seperti semut di dapur raksasa. Sulit membayangkan betapa banyak
nasi, lauk, dan sayur yang dimasak di dalam tungku ini, info yang kami dapat
mereka memasak hingga 3.900 kg beras per hari untuk para pekerja tambang dan
rumah sakit pada zamannya.
Setelah
puas melihat-lihat kami lanjut ke Lapangan Segitiga. Di perjalanan kami
tertegun dengan mural indah di dinding bangunan, penataan rumah yang rapi juga
membuat kami kagum. Ditambah dengan cahaya mentari pagi membuat semuanya sangat
indah. Sampai di Lapangan Segitiga suasananya meriah. Banyak ibu-ibu sedang senam pagi, lengkap
dengan instruktur yang bersemangat. Kami pun ikut bergabung. Setelah itu, kami
sarapan soto Padang.
Kami
kembali ke homestay sekitar pukul delapan. Kami istirahat sebentar, mandi, lalu mulai bersiap-siap untuk checkout karena
sudah merencanakan untuk singgah ke
Batu Runciang, objek wisata alam berupa formasi batu yang menyerupai
tugu runcing, berdiri tegak di tebing dengan pemandangan menakjubkan di
sekitarnya.
Sekitar
pukul sepuluh, kami memasukkan barang ke mobil. Tapi sebelum pamit, aku merasa
perlu untuk mengobrol lebih lama dengan
pemilik homestay. Semalam kami datang terlalu larut, dan pagi tadi hanya
sempat basa-basi.
Kami
duduk di ruang tamu. Bapak dan ibu itu menemani. Awalnya obrolan hanya seputar usaha homestay, alasan dibuka,
bagaimana pengalaman menerima tamu. Ternyata anak-anak mereka semua sudah merantau, dan mereka membuka homestay
agar punya kesibukan di masa pensiun. Sang bapak adalah pensiunan pegawai PT Pos Indonesia, sedangkan sang ibu adalah ibu rumah tangga. Kami
mengutarakan kepuasan pada kebersihan dan kenyamanan kamarnya, dan memberi tahu
mereka bahwa kami memilih homestay ini karena melihat foto-foto di Google. Sang
ibu menjelaskan bahwa nama Dara Kembar
Homestay diambil dari dua anak perempuannya yang kembar, yang kini
merantau dan sudah berkeluarga. Anak tertua mereka adalah seorang dokter dan
tinggal di kota lain.
Tapi
lama-lama, obrolan berbelok menjadi lebih pribadi. Sang ibu berbagi tentang
perjuangan membesarkan empat anak bersama suaminya yang bekerja sebagai pegawai
Pos Indonesia dengan penghasilan pas-pasan. Setiap pagi ia menyuapi makan suami
dan anak-anaknya dengan tanganya sendiri agar tidak terlambat berangkat kerja
dan sekolah, karena kalau tidak, anak-anak dan suaminya pasti tidak sempat
sarapan.
“Semuanya
terasa tidak mungkin saat itu,” katanya. “Tapi Allah memudahkan, dan keberkahan
selalu datang meski kami hidup pas-pasan.”
Suaminya,
lebih sering mendengar dan sesekali menimpali dengan senyum. Dari obrolan itu,
aku dan istriku mendapat inspirasi bahwa kerja keras yang sederhana bisa
menjadi berkah, bahwa meski berawal dari keterbatasan, sebuah layanan tulus
bisa menjadi pengaruh positif bagi banyak orang.
Setelah obrolan ringan tentang usaha homestay dan
kesan kami selama menginap, kami pun berfoto bersama di depan rumah.
Kupikir, setelah itu kami akan langsung pamit. Tapi ternyata, sang ibu mengajak kami duduk
kembali. Ada sesuatu yang belum selesai. Dan kami pun ikut
duduk lagi, kali ini lebih santai, seperti anak yang sedang menerima cerita
lama dari ibunya.
Obrolan mengalir ke cerita keluarga mereka.
Dengan mata berbinar karena semangat dan senyum tak pernah lepas, sang ibu
bercerita bahwa ia dan suaminya hanya lulusan SMA. Tapi sejak dulu,
mereka punya tekad bulat “pendidikan anak-anak harus setinggi mungkin.”
Tak ada warisan tanah luas, tak ada bisnis besar, yang mereka wariskan adalah
semangat dan keyakinan.
Anak pertama mereka, seorang laki-laki, sejak
kecil memang dikenal cerdas. “Selalu juara umum,” kata sang ibu, dengan nada
bangga tapi tetap rendah hati. Ia lalu bercerita tentang nasihatnya kepada anak
itu “Kalau ilmu cuma disimpan, nanti nggak berkah. Bagi ke orang lain.” Dan
anaknya benar-benar mengamalkan. Ia memberikan les kepada anak-anak tetangga,
hanya dibayar Rp3.000, sekadar pembeli minuman gelas, katanya sambil
tertawa kecil.
Ketika anak itu diterima di Fakultas Kedokteran di sebuah Universitas Negeri di provinsi lain, sang ibu ikut ke mengantarkan untuk mengurus daftar ulang. Sementara sang Bapak stand by di kantor untuk berjaga-jaga kalau harus mencari pinjaman uang jika uang yang dibawa tidak cukup. Di antara
antrean orang tua lain yang memakai baju mahal, kacamata hitam bermerek, dan
perhiasan berkilau, mereka sempat merasa kecil dan takut tak mampu. “Tapi Allah
itu adil,” katanya pelan. Anaknya dapat beasiswa. Uang kuliahnya hanya Rp500.000 per semester.
Air mataku menetes tanpa disuruh. Bukan karena
kisah sedih, tapi karena kisah perjuangan yang tidak minta dikasihani, tapi cukup untuk diteladani.
Sang ibu juga bercerita bahwa meskipun hanya
lulusan SMA, ia aktif di PKK, sering diminta menjadi pemateri dan
penyuluh oleh ibu-ibu di kampung. “Saya belajar sendiri saja, baca sana-sini.
Nggak sekolah tinggi, tapi saya mau tahu,” ucapnya ringan, seolah itu hal
biasa.
Ia juga bilang, tidak pernah iri pada kehidupan orang lain.
Ia tidak ingin terlalu terikat pada kelompok tertentu. Semua dianggap teman.
Yang penting, katanya, kita tetap baik dan tidak menyusahkan. Dan yang membuat
kami paling tersentuh ia selalu berusaha memberi kepada orang tua dan mertua,
walau sedikit, walau pas-pasan.
“Saya percaya rezeki itu bukan soal angka. Tapi
soal keberkahan,” katanya sambil melirik suaminya yang hanya tersenyum tenang.
Obrolan itu berlangsung dua jam lebih, dan selama itu, aku merasa seperti
sedang dinasehati
oleh ibuku sendiri. Tidak
menggurui. Tidak merendahkan. Hanya cerita-cerita jujur, tanpa topeng, yang
mengalir dari hati seorang perempuan yang telah melalui banyak musim dalam
hidupnya.
Mataku berkaca. Bahkan istriku pun sempat diam
lama, hanya mengangguk. Kami tak menyangka, perjalanan singgah yang awalnya
iseng, membawa kami pada pertemuan yang terasa ditakdirkan, sebuah
ruang kecil untuk menjawab keresahan, keraguan, dan ketakutan kami sebagai
pasangan muda.
Saat kami akhirnya benar-benar berpamitan, sang
ibu berkata, “Lain kali kalau ke Sawahlunto, singgah sini lagi ya.”
Aku mengangguk. Dalam hati, aku tahu, jika nanti
ada kegiatan atau urusan apa pun di kota ini, aku ingin kembali ke tempat ini.
Bukan hanya karena tempat tidurnya nyaman, atau pemandangannya indah. Tapi
karena di rumah kecil itu, kami menemukan pelajaran besar tentang hidup.
Dari
ruang tamu homestay itu, kami pulang dengan sesuatu yang tak ada di itinerary
yaitu keyakinan baru, bahwa
hidup bisa dijalani dengan tenang, selama kita tahu apa yang penting dan bisa
saling mendengarkan.
Sekitar 5 km setelah simpang Muaro
Kalaban, kami berbelok ke kiri memasuki jalan kecil yang menanjak
tajam. Jalan ini sangat ekstrem, curam walau
sudah diaspal, tetapi di beberapa tempat hanya muat satu mobil. Aku agak cemas, tapi istriku dengan sabar membantu mengarahkan,
memanduku menanjak perlahan.
Kurang lebih 15 menit kemudian, kami tiba di puncak bukit, di hadapan kami menjulang formasi
bebatuan raksasa yang tajam seperti ujung tombak, itulah Batu Runciang, kumpulan batu kapur (karst) yang terbentuk secara alami selama
±299 juta tahun. Geosite ini adalah bagian dari 22 situs Geopark Sawahlunto
yang resmi diakui oleh pemerintah. Setelah membayar
tiket masuk Rp8.000 per orang dan biaya parkir Rp5.000, kami melangkah masuk
menuju gugusan batu puncak yang dibatasi undakan dan tangga berpagar hijau.
Sebelum mata kami tertuju
sepenuhnya pada formasi batuan, pandangan terhenti sejenak pada panorama
sekeliling, hamparan bukit hijau, rumah penduduk kecil yang tersebar di lembah,
dan sesekali awan tipis siang hari menyelimuti puncak lainnya, semua terpadu
dalam simfoni warna dan cahaya.
Dari papan informasi yang kami baca, formasi Batu Runciang
terdiri dari bebatuan karst dan andesit yang menjulang mencapai ±30 meter. Permukaannya
tidak rata, meninggalkan lekukan-lekukan yang tampak dramatis akibat erosi
ribuan tahun. Setiap sudut tampak instagrammable, menyimpan fotogenik alami
yang tidak perlu diedit.
Kami berdiri di depan salah
satu batu paling tinggi, lalu berfoto dan merekam video. Berdiri di antara
batu-batu ini membuatku membayangkan bahwa dulunya kawasan ini adalah dasar laut kuno. Bayangkan, selama
ratusan juta tahun lautan menutupi wilayah yang kini menjadi bukit.
Di kaki puncak, aku duduk di
atas papan kayu, istriku berdiri dengan latar langit biru bersih. Waktu terasa
melambat. Aku berbicara pelan pada istriku, “Bayangkan,
ini bukan hanya batu. Ini adalah cerita bumi yang berjalan jutaan tahun,
sekarang kita menjadi bagian kecil dari kisahnya.”
Istriku tersenyum, mengambil
video pendek, lalu memotong celah suara angin dengan tawa pelan. Kami
menyadari, perjalanan ini bukan sekadar destinasi. Ini adalah ruang untuk
memahami bahwa segala hal bergerak, berubah, dan menyatu, bahkan bukit yang
dulu berdiri tegak di dasar laut bisa menjadi tempat kami berdiri dan merasakan
hidup.
Setelah puas berkeliling,
kami kembali menuju mobil dengan langkah ringan. Hati kami penuh, bukan hanya
oleh keindahan batu, tapi juga oleh keheningan yang membukakan semesta kecil di
pusat Sawahlunto.
Hari mulai beranjak sore saat kami memutuskan
kembali ke Padang. Mobil melaju perlahan menuruni bukit Batu Runciang, melewati
jalan sempit yang tadi sempat membuatku khawatir. Tapi kali ini, rasa waswas
itu nyaris tak ada. Entah karena indahnya pemandangan tadi, atau karena hati
yang terasa lebih ringan.
Sepanjang perjalanan pulang, kami tidak banyak
bicara. Tapi keheningan itu bukan karena lelah. Kami sedang mencerna. Mencerna
pengalaman dua hari yang begitu padat, bukan hanya karena tempat-tempat yang
kami kunjungi, tapi karena pesan-pesan yang kami temui di tengah perjalanan.
Kami datang ke Sawahlunto hanya untuk “singgah.” Tanpa
rencana, tanpa ekspektasi, hanya karena dorongan spontan di tengah perjalanan
pulang dari Sijunjung. Tapi kota kecil ini, dengan pasar malamnya yang ramai,
lampu-lampu di lereng bukit, bangunan kolonial yang bersahaja, dan sepasang
suami istri pemilik homestay yang sederhana namun penuh ketulusan, telah
memberikan sesuatu yang tidak kami temukan di tempat lain.
Kami bukan sekadar menginap. Kami dipinggirkan dari
rutinitas dan diajak masuk ke ruang perenungan, tentang arti perjuangan, tentang
mendidik anak dengan cinta dan keberanian, tentang hidup dengan tulus meski
dalam keterbatasan, dan tentang bagaimana keberkahan itu selalu mendatangi
orang-orang yang memberi lebih dari yang mereka punya.
Dan puncaknya adalah saat berdiri di Batu
Runciang, dikelilingi bebatuan runcing yang lahir dari dasar laut ratusan juta
tahun silam, kami tersadar bahwa semua hal butuh waktu untuk membentuk dirinya
menjadi sesuatu yang bermakna. Ketika kami kembali memasuki batas kota Padang,
aku menoleh ke istriku. Dan aku tahu, perjalanan ini telah mengubah sesuatu
dalam diri kami. Mungkin bukan perubahan besar. Tapi cukup untuk membuat kami lebih percaya pada arah,
meski tanpa peta.
Bahwa tak semua tujuan harus direncanakan. Tak
semua kebahagiaan harus dicari keras-keras. Kadang, cukup berani untuk belok sejenak, lalu biarkan dunia mempertemukan kita
dengan yang seharusnya.
Dan jika nanti ada yang bertanya, apa yang paling
berkesan dari Sawahlunto? Maka aku akan jawab, "Kejujuran tempat ini untuk tetap sederhana, dan
kemampuannya menyentuh tanpa harus mencoba keras menjadi istimewa."