Selasa, 05 Agustus 2025

Singgah yang Mengubah Arah: Cerita dari Kota Tambang dan Bukit Kapur

Hari itu Sabtu. Udara Sijunjung terasa lengket seperti lem UHU yang menempel di kulit baju. Aku dan Gita istriku datang karena pekerjaan, bukan untuk jalan-jalan. Tapi jauh di lubuk hati yang kadang terlalu kaku mengikuti jadwal, ada satu wacana kecil yang sejak pagi terus mengintip: “Bagaimana kalau sekalian singgah ke Sawahlunto ya nanti pulangnya?”

Itu bukan rencana pasti. Hanya sepotong wacana sambil lalu, dilempar seperti orang iseng melempar batu ke danau. Tapi setelah urusan pekerjaan selesai sore harinya dan kami mulai berkendara pulang, wacana itu berubah jadi keputusan. Dengan semangat seperti baru menang undian, kami memantapkan diri untuk tidak langsung kembali ke Padang, tapi menginap satu malam di Sawahlunto, sekalian jalan-jalan.

Langsung saja Gita membuka aplikasi Traveloka. Jemarinya lincah, seperti seorang detektif yang sedang memburu penginapan ideal. “Murah, tapi jangan murahan ya,” katanya.
“Yang penting bersih,” tambahku, sambil mengingat-ingat tempat menginap horor yang pernah istriku alami, sprei dengan kotoran cicak, puntung rokok di kamar mandi dan udara pengap.
Kami berdiskusi lama. Bukan karena terlalu memilih, tapi karena kami ini termasuk saklek dalam urusan penginapan. Salah pilih penginapan, bisa rusak satu perjalanan.

Akhirnya, setelah menimbang ulasan dan foto kamar, kami sepakat memilih Dara Kembar Homestay. Namanya sederhana, harganya masuk akal, ulasannya menjanjikan kenyamanan. Kami simpan nomornya, lalu melanjutkan perjalanan ke kota tua yang semakin dekat.

Menjelang pukul setengah sembilan malam, sekitar 20 menit dari simpang Muaro Kalaban, aku melihat kerlap-kerlip cahaya dari kejauhan. Awalnya kupikir itu panggung hajatan atau lampu mobil parkir. Tapi semakin dekat, aku bisa melihat dua bianglala raksasa dan suara musik samar-samar.

“Eh, itu pasar malam! Yuk mampir dulu!” kataku sambil menunjuk ke arah keramaian.

Gita menoleh cepat. Matanya langsung berbinar. “Serius? Mau!”

Kami membelok ke arah lampu. Dan benar saja, bukan pasar malam kecil-kecilan, tapi seperti carnival versi lokal. Ada dua bianglala, dua kora-kora, motor gila, komidi putar, rumah hantu (yang pastinya tidak akan aku datangi) dan berbagai permainan anak-anak.

Kami naik kora-kora karena istriku ingin dan karena aku… sayang istri. Saat perahu ayun itu mulai melambung tinggi, aku menyesali keputusan itu sejenak. Tapi saat kami berteriak bersama, rasa takut dan tawa seperti aduk jadi satu.

Setelah permainan usai dan kaki sedikit gemetar, kami membeli corndog dan sosis bakar. Makan sambil berjalan menyusuri arena, tangan kanan pegang camilan, tangan kiri menggandeng. Kami seperti remaja tanggung yang baru pertama kali pacaran.

Keluar dari pasar malam, kami langsung menghubungi pihak homestay. Aku menjelaskan bahwa kami baru selesai dari pasar malam dan akan tiba sekitar setengah sebelas malam, setelah makan malam dulu di pusat kota.

“Iya Pak, tidak apa-apa. Kami tunggu,” jawab suara ramah di ujung telepon.
Jawaban itu saja sudah membuat hati lega.

Kami pun meluncur ke pusat kota Sawahlunto. Setelah melewati jalan yang menanjak dan berkelok, kami tiba di bentangan kota yang seolah disembunyikan lembah-lembah dan dipeluk bukit-bukit curam. Bangunan-bangunan tua berdiri anggun di sisi kiri-kanan jalan, seperti tidak ingin mengganggu tapi juga tak bisa diabaikan. Cahaya lampu dari rumah-rumah di lereng bukit menyala kuning hangat, menciptakan pola seperti bintang jatuh yang tertahan di tengah dinding hijau. Jalanan bersih, suasananya tenang tapi tetap hidup. Meski sudah pukul sepuluh malam, kota ini belum benar-benar tidur. Di beberapa sudut, kafe-kafe kecil masih terang, dan anak-anak muda duduk bergerombol. Kota ini kecil, tapi rapi. Seperti seseorang yang tidak banyak bicara, namun jika kau perhatikan baik-baik, ada banyak hal yang ingin dia ceritakan dalam diamnya.

Dalam perjalanan mencari makan malam, kami menyempatkan diri berkeliling. Pertama, kami melewati Stasiun Kereta Api Sawahlunto, kini menjadi Museum Kereta Api. Bangunannya bergaya kolonial Belanda, dengan atap genteng merah tua, dinding bata polos, dan ruang tunggu luas di bawah naungan atap panjang, tempat lokomotif Mak Itam beristirahat setelah kerja keras membawa batu bara puluhan tahun lalu.

Tak jauh dari situ, kami berjalan melewati gereja Belanda tua yang berdiri kokoh, arsitekturnya sederhana namun tegas, tampak seperti bangunan gereja gereja kolonial pada umumnya dinding putih dan jendela tinggi melengkung. Kemudian kami melihat bekas pabrik batu bara dan bangunan administratif mesin tambang, yang kini menjadi bagian dari warisan UNESCO Ombilin Coal Mining Heritage.

Kami juga melewati sungai kecil Batang Ombilin yang mengalir melalui kota, diapit bendungan kecil, jembatan batu rendah, dan rumah-rumah tua di tepinya. Sepanjang perjalanan tampak rumah penduduk yang rapi, dengan lorong-lorong menanjak dan mendaki, memberi bayangan kota di tengah lembah yang hidup dengan sejarah.

Setelah itu kami sempat berhenti di Lapangan Segitiga yang bersih tapi sepi pedagang, sebelum akhirnya pindah ke arah terminal. Di sana, barisan penjual makanan masih hidup. Aku mencari sate Padang, tapi tak kutemukan. Istriku justru dengan semangat memilih pecel ayam, bukan karena nasinya, tapi karena cabainya yang merah menyala, pedasnya sudah terasa sejak dipandangi. Makanannya tidak luar biasa, tapi rasanya pas sekali, mungkin karena perut lapar, kami menikmatinya dengan hati yang tidak terburu-buru.

Dan malam itu, sebelum benar-benar sampai ke homestay, aku tahu bahwa kami tidak hanya memutuskan untuk bermalam. Kami sedang belajar tentang menyempatkan diri untuk pelan, untuk menoleh, dan untuk sekadar mampir ke tempat yang ternyata sangat pantas untuk dituju.

Setelah muter sekitar 200 meter dari pusat kota, kami sempat kelewatan belokan kecil menuju homestay. Jalan sempit itu membuat kami harus mundur pelan–pelan. Untungnya tidak ada kendaraan di belakang. Jalan kemudian melewati jembatan kecil dan mulai menanjak. Setelah bertanya ke warga lokal, kami diberitahu untuk terus saja dan sekitar 200 meter setelah jembatan, Dara Kembar Homestay muncul di sisi kanan jalan. Kami tiba tepat pukul setengah sebelas malam, sesuai janji dengan pemilik homestay.

Seorang Bapak sekitar 60-an tahun keluar menyambut. Ia bercerita bahwa ia sempat berpikir akan menjemput kami dari pusat kota, takut kami kesasar. Tak lama kemudian istrinya pun menyambut dengan senyum hangat. Dari luar, rumah ini terlihat biasa, tetapi begitu masuk, kami menyadari rumah ini memanjang ke belakang, dengan enam kamar tamu tertata rapi.

Kami ditempatkan di kamar nomor 6, fasilitas lengkap mulai dari AC, selimut bersih, handuk, toilet duduk, shower (tanpa air hangat), gantungan baju, sabun, sampo, odol serta kabel olor/cok raun. Saat membuka tirai jendela menghadap ke balik rumah, kami disambut panorama lampu-lampu rumah warga di lereng bukit yang seperti bintang.

Pagi harinya, sekitar pukul setengah tujuh, kami keluar berjalan kaki menuju Lapangan Segitiga. Kami memang tidak mengambil paket sarapan di Homestay karena ingin mencari sarapan di luar sekalian olahraga. Beruntungnya lokasi Homestay kami sangat strategis, cukup 1 km ke pusat kota, bisa ditempuh dengan jalan kaki sambil menikmati udara pagi. Keluar rumah, kami bertemu ibu pemilik homestay, yang langsung menanyakan apakah kami tidur dengan nyaman. Ia juga dengan sopan meminta tolong untuk memberikan ulasan di Traveloka dan Google Maps.

Dalam perjalanan ke lapangan, kami melewati Museum Ransum dan Museum Lubang Tambang. Kami masuk ke area Museum Ransum dan di dalamnya berdiri dua buah tungku uap raksasa buatan Jerman tahun 1894. Tingginya hampir lima meter, seukuran dua mobil disusun menumpuk, dengan cerobong besar, lubang-lubang hitam tempat bara membakar, dan tangga besi di sampingnya. Plat-plat hitam bulat yang terpasang di atasnya kira-kira sebesar meja bundar untuk enam orang, atau mungkin ban truk proyek. Melihatnya dari dekat membuat kami merasa seperti semut di dapur raksasa. Sulit membayangkan betapa banyak nasi, lauk, dan sayur yang dimasak di dalam tungku ini, info yang kami dapat mereka memasak hingga 3.900 kg beras per hari untuk para pekerja tambang dan rumah sakit pada zamannya.

Setelah puas melihat-lihat kami lanjut ke Lapangan Segitiga. Di perjalanan kami tertegun dengan mural indah di dinding bangunan, penataan rumah yang rapi juga membuat kami kagum. Ditambah dengan cahaya mentari pagi membuat semuanya sangat indah. Sampai di Lapangan Segitiga suasananya meriah. Banyak ibu-ibu sedang senam pagi, lengkap dengan instruktur yang bersemangat. Kami pun ikut bergabung. Setelah itu, kami sarapan soto Padang.

Kami kembali ke homestay sekitar pukul delapan. Kami istirahat sebentar, mandi, lalu mulai bersiap-siap untuk checkout karena sudah merencanakan untuk singgah ke Batu Runciang, objek wisata alam berupa formasi batu yang menyerupai tugu runcing, berdiri tegak di tebing dengan pemandangan menakjubkan di sekitarnya.

Sekitar pukul sepuluh, kami memasukkan barang ke mobil. Tapi sebelum pamit, aku merasa perlu untuk mengobrol lebih lama dengan pemilik homestay. Semalam kami datang terlalu larut, dan pagi tadi hanya sempat basa-basi.

Kami duduk di ruang tamu. Bapak dan ibu itu menemani. Awalnya obrolan hanya seputar usaha homestay, alasan dibuka, bagaimana pengalaman menerima tamu. Ternyata anak-anak mereka semua sudah merantau, dan mereka membuka homestay agar punya kesibukan di masa pensiun. Sang bapak adalah pensiunan pegawai PT Pos Indonesia, sedangkan sang ibu adalah ibu rumah tangga. Kami mengutarakan kepuasan pada kebersihan dan kenyamanan kamarnya, dan memberi tahu mereka bahwa kami memilih homestay ini karena melihat foto-foto di Google. Sang ibu menjelaskan bahwa nama Dara Kembar Homestay diambil dari dua anak perempuannya yang kembar, yang kini merantau dan sudah berkeluarga. Anak tertua mereka adalah seorang dokter dan tinggal di kota lain.

Tapi lama-lama, obrolan berbelok menjadi lebih pribadi. Sang ibu berbagi tentang perjuangan membesarkan empat anak bersama suaminya yang bekerja sebagai pegawai Pos Indonesia dengan penghasilan pas-pasan. Setiap pagi ia menyuapi makan suami dan anak-anaknya dengan tanganya sendiri agar tidak terlambat berangkat kerja dan sekolah, karena kalau tidak, anak-anak dan suaminya pasti tidak sempat sarapan.

“Semuanya terasa tidak mungkin saat itu,” katanya. “Tapi Allah memudahkan, dan keberkahan selalu datang meski kami hidup pas-pasan.”

Suaminya, lebih sering mendengar dan sesekali menimpali dengan senyum. Dari obrolan itu, aku dan istriku mendapat inspirasi bahwa kerja keras yang sederhana bisa menjadi berkah, bahwa meski berawal dari keterbatasan, sebuah layanan tulus bisa menjadi pengaruh positif bagi banyak orang.

Setelah obrolan ringan tentang usaha homestay dan kesan kami selama menginap, kami pun berfoto bersama di depan rumah. Kupikir, setelah itu kami akan langsung pamit. Tapi ternyata, sang ibu mengajak kami duduk kembali. Ada sesuatu yang belum selesai. Dan kami pun ikut duduk lagi, kali ini lebih santai, seperti anak yang sedang menerima cerita lama dari ibunya.

Obrolan mengalir ke cerita keluarga mereka. Dengan mata berbinar karena semangat dan senyum tak pernah lepas, sang ibu bercerita bahwa ia dan suaminya hanya lulusan SMA. Tapi sejak dulu, mereka punya tekad bulat “pendidikan anak-anak harus setinggi mungkin.”
Tak ada warisan tanah luas, tak ada bisnis besar, yang mereka wariskan adalah semangat dan keyakinan.

Anak pertama mereka, seorang laki-laki, sejak kecil memang dikenal cerdas. “Selalu juara umum,” kata sang ibu, dengan nada bangga tapi tetap rendah hati. Ia lalu bercerita tentang nasihatnya kepada anak itu “Kalau ilmu cuma disimpan, nanti nggak berkah. Bagi ke orang lain.” Dan anaknya benar-benar mengamalkan. Ia memberikan les kepada anak-anak tetangga, hanya dibayar Rp3.000, sekadar pembeli minuman gelas, katanya sambil tertawa kecil.

Ketika anak itu diterima di Fakultas Kedokteran di sebuah Universitas Negeri di provinsi lain, sang ibu ikut ke mengantarkan untuk mengurus daftar ulang. Sementara sang Bapak stand by di kantor untuk berjaga-jaga kalau harus mencari pinjaman uang jika uang yang dibawa tidak cukup. Di antara antrean orang tua lain yang memakai baju mahal, kacamata hitam bermerek, dan perhiasan berkilau, mereka sempat merasa kecil dan takut tak mampu. “Tapi Allah itu adil,” katanya pelan. Anaknya dapat beasiswa. Uang kuliahnya hanya Rp500.000 per semester.

Air mataku menetes tanpa disuruh. Bukan karena kisah sedih, tapi karena kisah perjuangan yang tidak minta dikasihani, tapi cukup untuk diteladani.

Sang ibu juga bercerita bahwa meskipun hanya lulusan SMA, ia aktif di PKK, sering diminta menjadi pemateri dan penyuluh oleh ibu-ibu di kampung. “Saya belajar sendiri saja, baca sana-sini. Nggak sekolah tinggi, tapi saya mau tahu,” ucapnya ringan, seolah itu hal biasa.

Ia juga bilang, tidak pernah iri pada kehidupan orang lain. Ia tidak ingin terlalu terikat pada kelompok tertentu. Semua dianggap teman. Yang penting, katanya, kita tetap baik dan tidak menyusahkan. Dan yang membuat kami paling tersentuh ia selalu berusaha memberi kepada orang tua dan mertua, walau sedikit, walau pas-pasan.

“Saya percaya rezeki itu bukan soal angka. Tapi soal keberkahan,” katanya sambil melirik suaminya yang hanya tersenyum tenang.

Obrolan itu berlangsung dua jam lebih, dan selama itu, aku merasa seperti sedang dinasehati oleh ibuku sendiri. Tidak menggurui. Tidak merendahkan. Hanya cerita-cerita jujur, tanpa topeng, yang mengalir dari hati seorang perempuan yang telah melalui banyak musim dalam hidupnya.

Mataku berkaca. Bahkan istriku pun sempat diam lama, hanya mengangguk. Kami tak menyangka, perjalanan singgah yang awalnya iseng, membawa kami pada pertemuan yang terasa ditakdirkan, sebuah ruang kecil untuk menjawab keresahan, keraguan, dan ketakutan kami sebagai pasangan muda.

Saat kami akhirnya benar-benar berpamitan, sang ibu berkata, “Lain kali kalau ke Sawahlunto, singgah sini lagi ya.”

Aku mengangguk. Dalam hati, aku tahu, jika nanti ada kegiatan atau urusan apa pun di kota ini, aku ingin kembali ke tempat ini. Bukan hanya karena tempat tidurnya nyaman, atau pemandangannya indah. Tapi karena di rumah kecil itu, kami menemukan pelajaran besar tentang hidup.

Dari ruang tamu homestay itu, kami pulang dengan sesuatu yang tak ada di itinerary yaitu keyakinan baru, bahwa hidup bisa dijalani dengan tenang, selama kita tahu apa yang penting dan bisa saling mendengarkan.


Sekitar 5 km setelah simpang Muaro Kalaban, kami berbelok ke kiri memasuki jalan kecil yang menanjak tajam. Jalan ini sangat ekstrem, curam walau sudah diaspal, tetapi di beberapa tempat hanya muat satu mobil. Aku agak cemas, tapi istriku dengan sabar membantu mengarahkan, memanduku menanjak perlahan.

Kurang lebih 15 menit kemudian, kami tiba di puncak bukit, di hadapan kami menjulang formasi bebatuan raksasa yang tajam seperti ujung tombak, itulah Batu Runciang, kumpulan batu kapur (karst) yang terbentuk secara alami selama ±299 juta tahun. Geosite ini adalah bagian dari 22 situs Geopark Sawahlunto yang resmi diakui oleh pemerintah. Setelah membayar tiket masuk Rp8.000 per orang dan biaya parkir Rp5.000, kami melangkah masuk menuju gugusan batu puncak yang dibatasi undakan dan tangga berpagar hijau.

Sebelum mata kami tertuju sepenuhnya pada formasi batuan, pandangan terhenti sejenak pada panorama sekeliling, hamparan bukit hijau, rumah penduduk kecil yang tersebar di lembah, dan sesekali awan tipis siang hari menyelimuti puncak lainnya, semua terpadu dalam simfoni warna dan cahaya.

Dari papan informasi yang kami baca, formasi Batu Runciang terdiri dari bebatuan karst dan andesit yang menjulang mencapai ±30 meter. Permukaannya tidak rata, meninggalkan lekukan-lekukan yang tampak dramatis akibat erosi ribuan tahun. Setiap sudut tampak instagrammable, menyimpan fotogenik alami yang tidak perlu diedit.


Kami berdiri di depan salah satu batu paling tinggi, lalu berfoto dan merekam video. Berdiri di antara batu-batu ini membuatku membayangkan bahwa dulunya kawasan ini adalah dasar laut kuno. Bayangkan, selama ratusan juta tahun lautan menutupi wilayah yang kini menjadi bukit.

Di kaki puncak, aku duduk di atas papan kayu, istriku berdiri dengan latar langit biru bersih. Waktu terasa melambat. Aku berbicara pelan pada istriku, “Bayangkan, ini bukan hanya batu. Ini adalah cerita bumi yang berjalan jutaan tahun, sekarang kita menjadi bagian kecil dari kisahnya.”

Istriku tersenyum, mengambil video pendek, lalu memotong celah suara angin dengan tawa pelan. Kami menyadari, perjalanan ini bukan sekadar destinasi. Ini adalah ruang untuk memahami bahwa segala hal bergerak, berubah, dan menyatu, bahkan bukit yang dulu berdiri tegak di dasar laut bisa menjadi tempat kami berdiri dan merasakan hidup.

                                         

Setelah puas berkeliling, kami kembali menuju mobil dengan langkah ringan. Hati kami penuh, bukan hanya oleh keindahan batu, tapi juga oleh keheningan yang membukakan semesta kecil di pusat Sawahlunto.

Hari mulai beranjak sore saat kami memutuskan kembali ke Padang. Mobil melaju perlahan menuruni bukit Batu Runciang, melewati jalan sempit yang tadi sempat membuatku khawatir. Tapi kali ini, rasa waswas itu nyaris tak ada. Entah karena indahnya pemandangan tadi, atau karena hati yang terasa lebih ringan.

Sepanjang perjalanan pulang, kami tidak banyak bicara. Tapi keheningan itu bukan karena lelah. Kami sedang mencerna. Mencerna pengalaman dua hari yang begitu padat, bukan hanya karena tempat-tempat yang kami kunjungi, tapi karena pesan-pesan yang kami temui di tengah perjalanan.

Kami datang ke Sawahlunto hanya untuk “singgah.” Tanpa rencana, tanpa ekspektasi, hanya karena dorongan spontan di tengah perjalanan pulang dari Sijunjung. Tapi kota kecil ini, dengan pasar malamnya yang ramai, lampu-lampu di lereng bukit, bangunan kolonial yang bersahaja, dan sepasang suami istri pemilik homestay yang sederhana namun penuh ketulusan, telah memberikan sesuatu yang tidak kami temukan di tempat lain.

Kami bukan sekadar menginap. Kami dipinggirkan dari rutinitas dan diajak masuk ke ruang perenungan, tentang arti perjuangan, tentang mendidik anak dengan cinta dan keberanian, tentang hidup dengan tulus meski dalam keterbatasan, dan tentang bagaimana keberkahan itu selalu mendatangi orang-orang yang memberi lebih dari yang mereka punya.

Dan puncaknya adalah saat berdiri di Batu Runciang, dikelilingi bebatuan runcing yang lahir dari dasar laut ratusan juta tahun silam, kami tersadar bahwa semua hal butuh waktu untuk membentuk dirinya menjadi sesuatu yang bermakna. Ketika kami kembali memasuki batas kota Padang, aku menoleh ke istriku. Dan aku tahu, perjalanan ini telah mengubah sesuatu dalam diri kami. Mungkin bukan perubahan besar. Tapi cukup untuk membuat kami lebih percaya pada arah, meski tanpa peta.

Bahwa tak semua tujuan harus direncanakan. Tak semua kebahagiaan harus dicari keras-keras. Kadang, cukup berani untuk belok sejenak, lalu biarkan dunia mempertemukan kita dengan yang seharusnya.

Dan jika nanti ada yang bertanya, apa yang paling berkesan dari Sawahlunto? Maka aku akan jawab, "Kejujuran tempat ini untuk tetap sederhana, dan kemampuannya menyentuh tanpa harus mencoba keras menjadi istimewa."