Selasa, 05 Agustus 2025

Singgah yang Mengubah Arah: Cerita dari Kota Tambang dan Bukit Kapur

Hari itu Sabtu. Udara Sijunjung terasa lengket seperti lem UHU yang menempel di kulit baju. Aku dan Gita istriku datang karena pekerjaan, bukan untuk jalan-jalan. Tapi jauh di lubuk hati yang kadang terlalu kaku mengikuti jadwal, ada satu wacana kecil yang sejak pagi terus mengintip: “Bagaimana kalau sekalian singgah ke Sawahlunto ya nanti pulangnya?”

Itu bukan rencana pasti. Hanya sepotong wacana sambil lalu, dilempar seperti orang iseng melempar batu ke danau. Tapi setelah urusan pekerjaan selesai sore harinya dan kami mulai berkendara pulang, wacana itu berubah jadi keputusan. Dengan semangat seperti baru menang undian, kami memantapkan diri untuk tidak langsung kembali ke Padang, tapi menginap satu malam di Sawahlunto, sekalian jalan-jalan.

Langsung saja Gita membuka aplikasi Traveloka. Jemarinya lincah, seperti seorang detektif yang sedang memburu penginapan ideal. “Murah, tapi jangan murahan ya,” katanya.
“Yang penting bersih,” tambahku, sambil mengingat-ingat tempat menginap horor yang pernah istriku alami, sprei dengan kotoran cicak, puntung rokok di kamar mandi dan udara pengap.
Kami berdiskusi lama. Bukan karena terlalu memilih, tapi karena kami ini termasuk saklek dalam urusan penginapan. Salah pilih penginapan, bisa rusak satu perjalanan.

Akhirnya, setelah menimbang ulasan dan foto kamar, kami sepakat memilih Dara Kembar Homestay. Namanya sederhana, harganya masuk akal, ulasannya menjanjikan kenyamanan. Kami simpan nomornya, lalu melanjutkan perjalanan ke kota tua yang semakin dekat.

Menjelang pukul setengah sembilan malam, sekitar 20 menit dari simpang Muaro Kalaban, aku melihat kerlap-kerlip cahaya dari kejauhan. Awalnya kupikir itu panggung hajatan atau lampu mobil parkir. Tapi semakin dekat, aku bisa melihat dua bianglala raksasa dan suara musik samar-samar.

“Eh, itu pasar malam! Yuk mampir dulu!” kataku sambil menunjuk ke arah keramaian.

Gita menoleh cepat. Matanya langsung berbinar. “Serius? Mau!”

Kami membelok ke arah lampu. Dan benar saja, bukan pasar malam kecil-kecilan, tapi seperti carnival versi lokal. Ada dua bianglala, dua kora-kora, motor gila, komidi putar, rumah hantu (yang pastinya tidak akan aku datangi) dan berbagai permainan anak-anak.

Kami naik kora-kora karena istriku ingin dan karena aku… sayang istri. Saat perahu ayun itu mulai melambung tinggi, aku menyesali keputusan itu sejenak. Tapi saat kami berteriak bersama, rasa takut dan tawa seperti aduk jadi satu.

Setelah permainan usai dan kaki sedikit gemetar, kami membeli corndog dan sosis bakar. Makan sambil berjalan menyusuri arena, tangan kanan pegang camilan, tangan kiri menggandeng. Kami seperti remaja tanggung yang baru pertama kali pacaran.

Keluar dari pasar malam, kami langsung menghubungi pihak homestay. Aku menjelaskan bahwa kami baru selesai dari pasar malam dan akan tiba sekitar setengah sebelas malam, setelah makan malam dulu di pusat kota.

“Iya Pak, tidak apa-apa. Kami tunggu,” jawab suara ramah di ujung telepon.
Jawaban itu saja sudah membuat hati lega.

Kami pun meluncur ke pusat kota Sawahlunto. Setelah melewati jalan yang menanjak dan berkelok, kami tiba di bentangan kota yang seolah disembunyikan lembah-lembah dan dipeluk bukit-bukit curam. Bangunan-bangunan tua berdiri anggun di sisi kiri-kanan jalan, seperti tidak ingin mengganggu tapi juga tak bisa diabaikan. Cahaya lampu dari rumah-rumah di lereng bukit menyala kuning hangat, menciptakan pola seperti bintang jatuh yang tertahan di tengah dinding hijau. Jalanan bersih, suasananya tenang tapi tetap hidup. Meski sudah pukul sepuluh malam, kota ini belum benar-benar tidur. Di beberapa sudut, kafe-kafe kecil masih terang, dan anak-anak muda duduk bergerombol. Kota ini kecil, tapi rapi. Seperti seseorang yang tidak banyak bicara, namun jika kau perhatikan baik-baik, ada banyak hal yang ingin dia ceritakan dalam diamnya.

Dalam perjalanan mencari makan malam, kami menyempatkan diri berkeliling. Pertama, kami melewati Stasiun Kereta Api Sawahlunto, kini menjadi Museum Kereta Api. Bangunannya bergaya kolonial Belanda, dengan atap genteng merah tua, dinding bata polos, dan ruang tunggu luas di bawah naungan atap panjang, tempat lokomotif Mak Itam beristirahat setelah kerja keras membawa batu bara puluhan tahun lalu.

Tak jauh dari situ, kami berjalan melewati gereja Belanda tua yang berdiri kokoh, arsitekturnya sederhana namun tegas, tampak seperti bangunan gereja gereja kolonial pada umumnya dinding putih dan jendela tinggi melengkung. Kemudian kami melihat bekas pabrik batu bara dan bangunan administratif mesin tambang, yang kini menjadi bagian dari warisan UNESCO Ombilin Coal Mining Heritage.

Kami juga melewati sungai kecil Batang Ombilin yang mengalir melalui kota, diapit bendungan kecil, jembatan batu rendah, dan rumah-rumah tua di tepinya. Sepanjang perjalanan tampak rumah penduduk yang rapi, dengan lorong-lorong menanjak dan mendaki, memberi bayangan kota di tengah lembah yang hidup dengan sejarah.

Setelah itu kami sempat berhenti di Lapangan Segitiga yang bersih tapi sepi pedagang, sebelum akhirnya pindah ke arah terminal. Di sana, barisan penjual makanan masih hidup. Aku mencari sate Padang, tapi tak kutemukan. Istriku justru dengan semangat memilih pecel ayam, bukan karena nasinya, tapi karena cabainya yang merah menyala, pedasnya sudah terasa sejak dipandangi. Makanannya tidak luar biasa, tapi rasanya pas sekali, mungkin karena perut lapar, kami menikmatinya dengan hati yang tidak terburu-buru.

Dan malam itu, sebelum benar-benar sampai ke homestay, aku tahu bahwa kami tidak hanya memutuskan untuk bermalam. Kami sedang belajar tentang menyempatkan diri untuk pelan, untuk menoleh, dan untuk sekadar mampir ke tempat yang ternyata sangat pantas untuk dituju.

Setelah muter sekitar 200 meter dari pusat kota, kami sempat kelewatan belokan kecil menuju homestay. Jalan sempit itu membuat kami harus mundur pelan–pelan. Untungnya tidak ada kendaraan di belakang. Jalan kemudian melewati jembatan kecil dan mulai menanjak. Setelah bertanya ke warga lokal, kami diberitahu untuk terus saja dan sekitar 200 meter setelah jembatan, Dara Kembar Homestay muncul di sisi kanan jalan. Kami tiba tepat pukul setengah sebelas malam, sesuai janji dengan pemilik homestay.

Seorang Bapak sekitar 60-an tahun keluar menyambut. Ia bercerita bahwa ia sempat berpikir akan menjemput kami dari pusat kota, takut kami kesasar. Tak lama kemudian istrinya pun menyambut dengan senyum hangat. Dari luar, rumah ini terlihat biasa, tetapi begitu masuk, kami menyadari rumah ini memanjang ke belakang, dengan enam kamar tamu tertata rapi.

Kami ditempatkan di kamar nomor 6, fasilitas lengkap mulai dari AC, selimut bersih, handuk, toilet duduk, shower (tanpa air hangat), gantungan baju, sabun, sampo, odol serta kabel olor/cok raun. Saat membuka tirai jendela menghadap ke balik rumah, kami disambut panorama lampu-lampu rumah warga di lereng bukit yang seperti bintang.

Pagi harinya, sekitar pukul setengah tujuh, kami keluar berjalan kaki menuju Lapangan Segitiga. Kami memang tidak mengambil paket sarapan di Homestay karena ingin mencari sarapan di luar sekalian olahraga. Beruntungnya lokasi Homestay kami sangat strategis, cukup 1 km ke pusat kota, bisa ditempuh dengan jalan kaki sambil menikmati udara pagi. Keluar rumah, kami bertemu ibu pemilik homestay, yang langsung menanyakan apakah kami tidur dengan nyaman. Ia juga dengan sopan meminta tolong untuk memberikan ulasan di Traveloka dan Google Maps.

Dalam perjalanan ke lapangan, kami melewati Museum Ransum dan Museum Lubang Tambang. Kami masuk ke area Museum Ransum dan di dalamnya berdiri dua buah tungku uap raksasa buatan Jerman tahun 1894. Tingginya hampir lima meter, seukuran dua mobil disusun menumpuk, dengan cerobong besar, lubang-lubang hitam tempat bara membakar, dan tangga besi di sampingnya. Plat-plat hitam bulat yang terpasang di atasnya kira-kira sebesar meja bundar untuk enam orang, atau mungkin ban truk proyek. Melihatnya dari dekat membuat kami merasa seperti semut di dapur raksasa. Sulit membayangkan betapa banyak nasi, lauk, dan sayur yang dimasak di dalam tungku ini, info yang kami dapat mereka memasak hingga 3.900 kg beras per hari untuk para pekerja tambang dan rumah sakit pada zamannya.

Setelah puas melihat-lihat kami lanjut ke Lapangan Segitiga. Di perjalanan kami tertegun dengan mural indah di dinding bangunan, penataan rumah yang rapi juga membuat kami kagum. Ditambah dengan cahaya mentari pagi membuat semuanya sangat indah. Sampai di Lapangan Segitiga suasananya meriah. Banyak ibu-ibu sedang senam pagi, lengkap dengan instruktur yang bersemangat. Kami pun ikut bergabung. Setelah itu, kami sarapan soto Padang.

Kami kembali ke homestay sekitar pukul delapan. Kami istirahat sebentar, mandi, lalu mulai bersiap-siap untuk checkout karena sudah merencanakan untuk singgah ke Batu Runciang, objek wisata alam berupa formasi batu yang menyerupai tugu runcing, berdiri tegak di tebing dengan pemandangan menakjubkan di sekitarnya.

Sekitar pukul sepuluh, kami memasukkan barang ke mobil. Tapi sebelum pamit, aku merasa perlu untuk mengobrol lebih lama dengan pemilik homestay. Semalam kami datang terlalu larut, dan pagi tadi hanya sempat basa-basi.

Kami duduk di ruang tamu. Bapak dan ibu itu menemani. Awalnya obrolan hanya seputar usaha homestay, alasan dibuka, bagaimana pengalaman menerima tamu. Ternyata anak-anak mereka semua sudah merantau, dan mereka membuka homestay agar punya kesibukan di masa pensiun. Sang bapak adalah pensiunan pegawai PT Pos Indonesia, sedangkan sang ibu adalah ibu rumah tangga. Kami mengutarakan kepuasan pada kebersihan dan kenyamanan kamarnya, dan memberi tahu mereka bahwa kami memilih homestay ini karena melihat foto-foto di Google. Sang ibu menjelaskan bahwa nama Dara Kembar Homestay diambil dari dua anak perempuannya yang kembar, yang kini merantau dan sudah berkeluarga. Anak tertua mereka adalah seorang dokter dan tinggal di kota lain.

Tapi lama-lama, obrolan berbelok menjadi lebih pribadi. Sang ibu berbagi tentang perjuangan membesarkan empat anak bersama suaminya yang bekerja sebagai pegawai Pos Indonesia dengan penghasilan pas-pasan. Setiap pagi ia menyuapi makan suami dan anak-anaknya dengan tanganya sendiri agar tidak terlambat berangkat kerja dan sekolah, karena kalau tidak, anak-anak dan suaminya pasti tidak sempat sarapan.

“Semuanya terasa tidak mungkin saat itu,” katanya. “Tapi Allah memudahkan, dan keberkahan selalu datang meski kami hidup pas-pasan.”

Suaminya, lebih sering mendengar dan sesekali menimpali dengan senyum. Dari obrolan itu, aku dan istriku mendapat inspirasi bahwa kerja keras yang sederhana bisa menjadi berkah, bahwa meski berawal dari keterbatasan, sebuah layanan tulus bisa menjadi pengaruh positif bagi banyak orang.

Setelah obrolan ringan tentang usaha homestay dan kesan kami selama menginap, kami pun berfoto bersama di depan rumah. Kupikir, setelah itu kami akan langsung pamit. Tapi ternyata, sang ibu mengajak kami duduk kembali. Ada sesuatu yang belum selesai. Dan kami pun ikut duduk lagi, kali ini lebih santai, seperti anak yang sedang menerima cerita lama dari ibunya.

Obrolan mengalir ke cerita keluarga mereka. Dengan mata berbinar karena semangat dan senyum tak pernah lepas, sang ibu bercerita bahwa ia dan suaminya hanya lulusan SMA. Tapi sejak dulu, mereka punya tekad bulat “pendidikan anak-anak harus setinggi mungkin.”
Tak ada warisan tanah luas, tak ada bisnis besar, yang mereka wariskan adalah semangat dan keyakinan.

Anak pertama mereka, seorang laki-laki, sejak kecil memang dikenal cerdas. “Selalu juara umum,” kata sang ibu, dengan nada bangga tapi tetap rendah hati. Ia lalu bercerita tentang nasihatnya kepada anak itu “Kalau ilmu cuma disimpan, nanti nggak berkah. Bagi ke orang lain.” Dan anaknya benar-benar mengamalkan. Ia memberikan les kepada anak-anak tetangga, hanya dibayar Rp3.000, sekadar pembeli minuman gelas, katanya sambil tertawa kecil.

Ketika anak itu diterima di Fakultas Kedokteran di sebuah Universitas Negeri di provinsi lain, sang ibu ikut ke mengantarkan untuk mengurus daftar ulang. Sementara sang Bapak stand by di kantor untuk berjaga-jaga kalau harus mencari pinjaman uang jika uang yang dibawa tidak cukup. Di antara antrean orang tua lain yang memakai baju mahal, kacamata hitam bermerek, dan perhiasan berkilau, mereka sempat merasa kecil dan takut tak mampu. “Tapi Allah itu adil,” katanya pelan. Anaknya dapat beasiswa. Uang kuliahnya hanya Rp500.000 per semester.

Air mataku menetes tanpa disuruh. Bukan karena kisah sedih, tapi karena kisah perjuangan yang tidak minta dikasihani, tapi cukup untuk diteladani.

Sang ibu juga bercerita bahwa meskipun hanya lulusan SMA, ia aktif di PKK, sering diminta menjadi pemateri dan penyuluh oleh ibu-ibu di kampung. “Saya belajar sendiri saja, baca sana-sini. Nggak sekolah tinggi, tapi saya mau tahu,” ucapnya ringan, seolah itu hal biasa.

Ia juga bilang, tidak pernah iri pada kehidupan orang lain. Ia tidak ingin terlalu terikat pada kelompok tertentu. Semua dianggap teman. Yang penting, katanya, kita tetap baik dan tidak menyusahkan. Dan yang membuat kami paling tersentuh ia selalu berusaha memberi kepada orang tua dan mertua, walau sedikit, walau pas-pasan.

“Saya percaya rezeki itu bukan soal angka. Tapi soal keberkahan,” katanya sambil melirik suaminya yang hanya tersenyum tenang.

Obrolan itu berlangsung dua jam lebih, dan selama itu, aku merasa seperti sedang dinasehati oleh ibuku sendiri. Tidak menggurui. Tidak merendahkan. Hanya cerita-cerita jujur, tanpa topeng, yang mengalir dari hati seorang perempuan yang telah melalui banyak musim dalam hidupnya.

Mataku berkaca. Bahkan istriku pun sempat diam lama, hanya mengangguk. Kami tak menyangka, perjalanan singgah yang awalnya iseng, membawa kami pada pertemuan yang terasa ditakdirkan, sebuah ruang kecil untuk menjawab keresahan, keraguan, dan ketakutan kami sebagai pasangan muda.

Saat kami akhirnya benar-benar berpamitan, sang ibu berkata, “Lain kali kalau ke Sawahlunto, singgah sini lagi ya.”

Aku mengangguk. Dalam hati, aku tahu, jika nanti ada kegiatan atau urusan apa pun di kota ini, aku ingin kembali ke tempat ini. Bukan hanya karena tempat tidurnya nyaman, atau pemandangannya indah. Tapi karena di rumah kecil itu, kami menemukan pelajaran besar tentang hidup.

Dari ruang tamu homestay itu, kami pulang dengan sesuatu yang tak ada di itinerary yaitu keyakinan baru, bahwa hidup bisa dijalani dengan tenang, selama kita tahu apa yang penting dan bisa saling mendengarkan.


Sekitar 5 km setelah simpang Muaro Kalaban, kami berbelok ke kiri memasuki jalan kecil yang menanjak tajam. Jalan ini sangat ekstrem, curam walau sudah diaspal, tetapi di beberapa tempat hanya muat satu mobil. Aku agak cemas, tapi istriku dengan sabar membantu mengarahkan, memanduku menanjak perlahan.

Kurang lebih 15 menit kemudian, kami tiba di puncak bukit, di hadapan kami menjulang formasi bebatuan raksasa yang tajam seperti ujung tombak, itulah Batu Runciang, kumpulan batu kapur (karst) yang terbentuk secara alami selama ±299 juta tahun. Geosite ini adalah bagian dari 22 situs Geopark Sawahlunto yang resmi diakui oleh pemerintah. Setelah membayar tiket masuk Rp8.000 per orang dan biaya parkir Rp5.000, kami melangkah masuk menuju gugusan batu puncak yang dibatasi undakan dan tangga berpagar hijau.

Sebelum mata kami tertuju sepenuhnya pada formasi batuan, pandangan terhenti sejenak pada panorama sekeliling, hamparan bukit hijau, rumah penduduk kecil yang tersebar di lembah, dan sesekali awan tipis siang hari menyelimuti puncak lainnya, semua terpadu dalam simfoni warna dan cahaya.

Dari papan informasi yang kami baca, formasi Batu Runciang terdiri dari bebatuan karst dan andesit yang menjulang mencapai ±30 meter. Permukaannya tidak rata, meninggalkan lekukan-lekukan yang tampak dramatis akibat erosi ribuan tahun. Setiap sudut tampak instagrammable, menyimpan fotogenik alami yang tidak perlu diedit.


Kami berdiri di depan salah satu batu paling tinggi, lalu berfoto dan merekam video. Berdiri di antara batu-batu ini membuatku membayangkan bahwa dulunya kawasan ini adalah dasar laut kuno. Bayangkan, selama ratusan juta tahun lautan menutupi wilayah yang kini menjadi bukit.

Di kaki puncak, aku duduk di atas papan kayu, istriku berdiri dengan latar langit biru bersih. Waktu terasa melambat. Aku berbicara pelan pada istriku, “Bayangkan, ini bukan hanya batu. Ini adalah cerita bumi yang berjalan jutaan tahun, sekarang kita menjadi bagian kecil dari kisahnya.”

Istriku tersenyum, mengambil video pendek, lalu memotong celah suara angin dengan tawa pelan. Kami menyadari, perjalanan ini bukan sekadar destinasi. Ini adalah ruang untuk memahami bahwa segala hal bergerak, berubah, dan menyatu, bahkan bukit yang dulu berdiri tegak di dasar laut bisa menjadi tempat kami berdiri dan merasakan hidup.

                                         

Setelah puas berkeliling, kami kembali menuju mobil dengan langkah ringan. Hati kami penuh, bukan hanya oleh keindahan batu, tapi juga oleh keheningan yang membukakan semesta kecil di pusat Sawahlunto.

Hari mulai beranjak sore saat kami memutuskan kembali ke Padang. Mobil melaju perlahan menuruni bukit Batu Runciang, melewati jalan sempit yang tadi sempat membuatku khawatir. Tapi kali ini, rasa waswas itu nyaris tak ada. Entah karena indahnya pemandangan tadi, atau karena hati yang terasa lebih ringan.

Sepanjang perjalanan pulang, kami tidak banyak bicara. Tapi keheningan itu bukan karena lelah. Kami sedang mencerna. Mencerna pengalaman dua hari yang begitu padat, bukan hanya karena tempat-tempat yang kami kunjungi, tapi karena pesan-pesan yang kami temui di tengah perjalanan.

Kami datang ke Sawahlunto hanya untuk “singgah.” Tanpa rencana, tanpa ekspektasi, hanya karena dorongan spontan di tengah perjalanan pulang dari Sijunjung. Tapi kota kecil ini, dengan pasar malamnya yang ramai, lampu-lampu di lereng bukit, bangunan kolonial yang bersahaja, dan sepasang suami istri pemilik homestay yang sederhana namun penuh ketulusan, telah memberikan sesuatu yang tidak kami temukan di tempat lain.

Kami bukan sekadar menginap. Kami dipinggirkan dari rutinitas dan diajak masuk ke ruang perenungan, tentang arti perjuangan, tentang mendidik anak dengan cinta dan keberanian, tentang hidup dengan tulus meski dalam keterbatasan, dan tentang bagaimana keberkahan itu selalu mendatangi orang-orang yang memberi lebih dari yang mereka punya.

Dan puncaknya adalah saat berdiri di Batu Runciang, dikelilingi bebatuan runcing yang lahir dari dasar laut ratusan juta tahun silam, kami tersadar bahwa semua hal butuh waktu untuk membentuk dirinya menjadi sesuatu yang bermakna. Ketika kami kembali memasuki batas kota Padang, aku menoleh ke istriku. Dan aku tahu, perjalanan ini telah mengubah sesuatu dalam diri kami. Mungkin bukan perubahan besar. Tapi cukup untuk membuat kami lebih percaya pada arah, meski tanpa peta.

Bahwa tak semua tujuan harus direncanakan. Tak semua kebahagiaan harus dicari keras-keras. Kadang, cukup berani untuk belok sejenak, lalu biarkan dunia mempertemukan kita dengan yang seharusnya.

Dan jika nanti ada yang bertanya, apa yang paling berkesan dari Sawahlunto? Maka aku akan jawab, "Kejujuran tempat ini untuk tetap sederhana, dan kemampuannya menyentuh tanpa harus mencoba keras menjadi istimewa."

 


Minggu, 09 Maret 2025

Review Novel Animal Farm: Ketika Revolusi Berakhir dengan Kekecewaan

 

Pernah nggak sih, kamu ngerasa kalau dunia ini lucu? Orang-orang yang dulu teriak tentang keadilan, begitu punya kuasa malah jadi lebih nyebelin dari yang mereka lawan. Nah, kira-kira itulah yang diceritakan di Animal Farm, novel klasik karya George Orwell. Jangan tertipu sama judulnya, ini bukan cerita tentang hewan-hewan lucu di peternakan, tapi sindiran tajam soal kekuasaan, politik, dan bagaimana ambisi bisa mengubah segalanya.

Ceritanya dimulai di sebuah peternakan, di mana hewan-hewan udah muak sama perlakuan majikannya, seorang manusia yang pemalas dan semena-mena. Mereka akhirnya memberontak, ngusir si manusia, dan mendirikan sistem sendiri di mana semua hewan punya hak yang sama. Ini ibarat Indonesia dulu ketika melawan penjajah Belanda dan Jepang. Kedengarannya keren, kan? Tapi ya namanya juga cerita politik, nggak ada yang berjalan semulus itu. Perlahan-lahan, babi-babi, yang katanya hewan paling pintar di peternakan, mulai mengambil alih kepemimpinan. Salah satu babi, Napoleon, pelan tapi pasti berubah dari pemimpin revolusi menjadi penguasa yang lebih buruk dari manusia yang mereka gulingkan dulu.

Salah satu bagian yang bikin Animal Farm ngena banget adalah momen pembangunan kincir angin. Napoleon ngejual ide ini sebagai proyek besar yang bakal bikin hidup hewan-hewan lebih sejahtera. Tapi pada kenyataannya? Hewan-hewan kerja rodi tanpa imbalan yang layak, sementara para babi hidup makin nyaman. Ini semacam janji-janji pembangunan yang sering kita dengar, tapi akhirnya rakyat yang harus nanggung beban terberatnya.

Dan yang nggak kalah menarik, Napoleon juga memainkan strategi politik klasik: mencari musuh bersama. Dia menuduh Snowball, babi lain yang dulu juga berjuang dalam revolusi, sebagai pengkhianat dan penyebab semua masalah di peternakan. Setiap ada bencana, gagal panen, atau kincir angin roboh, semuanya langsung disalahkan ke Snowball. Padahal, Snowball udah diusir sejak lama dan nggak jelas keberadaannya. Ini mirip banget sama taktik di dunia nyata, di mana pemimpin sering cari kambing hitam buat nutupin kegagalan mereka sendiri. Musuhnya bisa siapa aja, oposisi, media, ideologi, kelompok tertentu, yang penting perhatian rakyat dialihkan dan mereka tetap bisa berkuasa tanpa banyak ditanya.

Tapi Napoleon nggak cuma jago main propaganda, dia juga tahu kalau kekuasaan butuh alat untuk menekan yang berani melawan. Makanya, dia sengaja memelihara sekelompok anjing sejak kecil, membesarkan mereka dengan loyalitas buta, dan menjadikannya pasukan pengaman pribadi. Anjing-anjing ini bertugas menakuti hewan lain, menyingkirkan yang berani bersuara, dan memastikan Napoleon tetap tak tersentuh. Kedengeran familiar? Yap, dalam dunia nyata, pemimpin sering punya alat kekuasaan sendiri, bisa berupa aparat yang setia, buzzer yang terus membela, atau kelompok tertentu yang siap membungkam kritik. Intinya, yang berkuasa nggak akan membiarkan rakyat punya suara yang terlalu keras.

Yang bikin lebih ngeselin lagi, peraturan yang awalnya dibuat buat memastikan kesetaraan malah mulai diubah seenaknya. Sampai akhirnya muncul kutipan yang paling legendaris dari buku ini: “All animals are equal, but some animals are more equal than others”. Kalau diterjemahin bebas, kira-kira artinya: “Semua hewan setara, tapi ada yang lebih setara dari yang lain.” Aneh? Banget! Tapi bukannya ini juga kejadian di dunia nyata?

Buku ini, walaupun ditulis tahun 1945, masih relate banget sama kondisi sekarang. Tentang bagaimana kekuasaan itu gampang bikin orang lupa diri, gimana janji-janji revolusi bisa berubah jadi omong kosong, dan gimana yang kuat selalu cari cara biar tetap berkuasa. Orwell nunjukin dengan cara yang sederhana tapi bikin mikir: apakah kita benar-benar belajar dari sejarah, atau cuma muter di lingkaran yang sama?

Kalau kamu belum baca Animal Farm, aku saranin banget buat coba. Bukunya nggak tebal, halamannya ga terlalu banyak, bahasanya juga nggak ribet, tapi pesannya dalem. Ini bukan sekadar cerita tentang hewan, tapi cermin yang bikin kita sadar, kadang dunia nyata nggak jauh beda dari peternakan yang dikuasai Napoleon dan kawan-kawannya. Kesimpulannya, jangan jadi BABI dan ANJING.

Jumat, 17 Januari 2025

Pengalaman Tes CPNS 2024 di Instansi K

Tahun 2024 menjadi salah satu tahun yang penuh harapan dan perjuangan bagi aku. Dengan berbagai pertimbangan, aku memilih untuk “banting stir” dari bekerja di sektor swasta menjadi berkarier di instansi pemerintahan. Untuk mewujudkan hal tersebut, aku mengikuti seleksi CPNS Tahun 2024. Aku ga akan menyebut instansi mana yang aku ambil, karena akan terdapat beberapa pembahasan sensitif di blog ini. Jadi aku akan memberi “clue” supaya kalian bisa menebak instansi yang aku pilih. Aku mendaftar di lembaga penegak hukum dengan inisial “K” dengan pilihan formasi Arsiparis Ahli Pertama yang menerima jurusan S-1 Psikologi dan beberapa jurusan lainnya seperti jurusan Pendidikan Agama Islam, Kearsipan, Perpustakaan, Pertanian, Sosiologi, dll. Alasan aku memilih instansi K adalah karena kuota penerimaan yang termasuk besar dibanding tempat lain, yaitu sebanyak 484 orang untuk formasi Arsiparis Ahli Pertama. Dalam tulisan ini, aku ingin berbagi pengalaman lengkap dari awal hingga akhir proses seleksi. Harapannya bisa menjadi pelajaran dan inspirasi bagi teman-teman yang ingin mencoba peruntungan di dunia CPNS.

Semua bermula dari pendaftaran online melalui portal SSCASN. Tahap awal ini terlihat sederhana, tapi cukup menegangkan. Aku harus memastikan semua dokumen seperti ijazah, KTP, transkrip nilai, dan surat lamaran lengkap yang ditulis tangan dan sesuai dengan format yang diminta. Istriku juga membantu dalam proses ini. Meskipun terlihat sepele, ada banyak peserta yang gugur hanya karena kesalahan kecil dalam mengunggah dokumen. Aku berulang kali memeriksa file-file tersebut, memastikan semuanya beres sebelum akhirnya mengunggahnya. Pengumuman seleksi administrasi keluar tanggal 16 September 2024, dan aku merasa lega ketika melihat namaku dinyatakan lolos. Ini baru langkah pertama, tetapi rasanya seperti mendapat suntikan semangat besar untuk melangkah ke tahap berikutnya.

Tes SKD menjadi tantangan berikutnya. Ujian berbasis CAT (Computer Assisted Test) ini menguji kemampuan dalam tiga bidang utama: Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), Tes Intelegensia Umum (TIU), dan Tes Karakteristik Pribadi (TKP). Aku dan teman-teman di tempatku bekerja belajar bersama untuk tes ini. Kami mengambil paket bimbel online dan latihan try out hampir setiap hari. Aku sarankan bimbel Alfaiz untuk latihan TIU dan untuk TWK di Dhedi R. Ghazali. Kebetulan ada juga satu orang temanku yang mengambil instansi K namun di formasi berbeda. Aku mengikuti tes SKD pada 25 Oktober 2024 di Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat, tempatku bekerja. Alhamdulilah, hasilnya cukup memuaskan. Skorku adalah 401, dengan rincian TWK 80, TIU 130, dan TKP 191. TWK tahun ini cukup sulit karena semua jawaban positif. Kita harus paham nilai-nilai Pancasila dan integritas serta cinta tanah air. Aku bersyukur karena berhasil mencapai nilai di atas passing grade (PG), tetapi melihat peserta lain yang juga memiliki nilai tinggi, aku sadar persaingan masih sangat ketat. Bersyukurnya lagi, di formasiku yang lulus SKD kurang dari 3x jumlah formasi, jadi otomatis semuanya lanjut ke tahap SKB.

Tahap selanjutnya adalah SKB Non-CAT yang berlangsung pada 2-5 Desember 2024. Tes ini meliputi psikotes, praktek kerja, wawancara psikologi, dan tes kesehatan. Aku berusaha diet agar berta badanku ideal sesuai BMI pada saat tes kesehatan. Bahkan aku juga ikut gym untuk persiapan. Tes pertama yaitu Psikotes berlangsung di Universitas Negeri Padang (UNP) dan menguji berbagai aspek seperti inteligensi (tes IST), Kepribadian dan Kejiwaan (PAPI Kostick dan MMPI). Sesi ini cukup menguras energi dan sedikit ada gangguan jaringan internet pada saat mengerjakan. Pada praktek kerja kami diberi 2 soal MS. Word dan 2 soal MS. Power Point yang harus kami tiru. Ada soal studi kasus juga pada soal pertama ms. Word. Aku merasa cukup percaya diri meskipun ada momen-momen di mana aku bertanya-tanya apakah yang aku lakukan sudah memenuhi ekspektasi panitia. Pada Wawancara psikologi aku ditanya tentang motivasi, kelebihan dan kekurangan, cara mengatasinya, cara menghadapi masalah di dunia kerja, cara berhadapan dengan orang-orang, dan pengalaman kerja. Aku mencoba untuk tetap jujur dan tidak memberikan jawaban yang terlalu "dibuat-buat.".

Selanjutnya Tes kesehatan yang dilaksanakan di Rumah Sakit dr. Reksodiwiryo Padang, yang meliputi pemeriksaan fisik, berat badan dan tinggi badan sesuai BMI, tes darah, tes urin, tes THT, mata, rontgen dada, tes EKG Jantung, tensi, dan terakhir ambeien. Di hari terakhir aku mengikuti wawancara pimpinan yang berlangsung di kantor wilayah Instansi K. Pewawancaranya adalah Bapak F*ja* M*ft*. Kami masuk ke ruangan beliau sekaligus berenam orang. Pertanyaan yang diajukan cukup menantang, seperti pandangan tentang IKN, kasus yang sedang viral di instansi K, hingga konsep restorative justice. Aku kagum dengan cara beliau menyampaikan pertanyaan dan berinteraksi, sehingga membuatku semakin semangat ingin menjadi bagian dari instansi ini. Tes terakhir yaitu Tes SKB CAT dilaksanakan pada 15 Desember 2024 di Kantor BKN Padang, dekat kompleks Singgalang. Aku mendapatkan skor 350 dan menjadi peringkat kedua di sesi tersebut. Meskipun hasilnya membanggakan, aku tetap waspada karena seleksi ini tidak hanya bergantung pada nilai CAT saja.

Saat pengumuman akhir tiba, aku merasa campur aduk. Harapan bercampur kecemasan yang terus menghantui. Namun, ketika hasilnya keluar, aku dinyatakan TMS (Tidak Memenuhi Syarat). Nilai praktek kerjaku 69 dan nilai wawancara pimpinan 92, namun tidak lolos di tes kesehatan. Rasanya seperti dihantam badai. Yang membuatku semakin kecewa adalah pengumuman ini tidak transparan. Tes kesehatan fisik, psikotes, kejiwaan, dan wawancara psikologi digabung dalam satu kategori penilaian "Tes Kesehatan," padahal tahun lalu dipisah. Sehingga aku tidak tahu di mana letak kekuranganku. Aku merasa bingung karena tidak ada penjelasan detail mengenai apa yang sebenarnya menjadi penentu utama dinyatakan memenuhi syarat (MS) atau tidak memenuhi syarat (TMS). Dari 484 kuota formasi Arsiparis Ahli Pertama, hanya 285 yang terisi. Sisanya dinyatakan TMS. Begitu juga di formasi lain yang banyak TMS sehingga menimbulkan tanda tanya besar. Padahal jika dari segi nilai, Alhamdulillah aku masuk 8 besar. Bahkan yang nilai paling tinggi di formasiku pun juga TMS. Rata-rata yang TMS adalah yang peringkat atas. Setidaknya panitia harus memberitahu dimana letak kekurangannya. Jika memang ada sakit fisik, maka itu akan jadi dasar kami untuk melakukan pengobatan. Jika gagal di psikotes, maka ini jadi bahan evaluasi dan instrospeksi kami sebagai peserta. Sistem seleksi yang ada terasa seperti "untung-untungan." Tapi balik lagi ya, semua ini soal rezeki dan memang belum rezekiku disini. Teman kerja yang mendaftar di Instansi K juga, yang aku ceritakan di awal tadi, juga TMS.

Kegagalan ini membuatku merenung. Aku merasa telah memberikan yang terbaik, mulai dari usaha belajar, doa, hingga berbagai ibadah yang aku lakukan. Namun, hasilnya tidak sesuai harapan. Meski begitu, aku mencoba menerima kenyataan ini dengan lapang dada. Aku percaya, Allah punya rencana lain yang lebih baik untukku. Setiap langkah dalam proses ini memberikan pelajaran berharga. Aku belajar untuk lebih sabar, kuat, dan tetap berusaha. Bisa jadi ada hikmah yang aku belum tau kali ini. Istriku juga memberi penguatan sehingga aku bisa lebih tenang. Bagi teman-teman yang sedang atau akan mengikuti seleksi CPNS, pesanku adalah persiapkan diri sebaik mungkin, bukan hanya secara akademis, tetapi juga mental dan fisik. Jangan lupa setelah kita berusaha dan berdoa, siapkan ruang IKHLAS di hati kita. Kalo belum kata Allah ya belum, tapi kalo udah saatnya, Tak ada satu orang pun yang bisa menghalangi rezeki kita. Bagi kalian yang ingin mendaftar di instansi K, jika masih muda dan punya banyak kesempatan gagal silakan mencoba karena hasilnya tidak bisa kita prediksi, tetapi bagi yang sudah usia di atas 30-an, mungkin saatnya memilih instansi lain yang tidak ada tes Non-CAT nya. Selamat berjuang bagi kalian yang membaca ini. Bagi yang mau nanya-nanya silakan tulis di kolom komentar.